Masyarakat Adat dalam "Bayang-Bayang" Negara

Studi di Kampung Adat Kuta, Ciamis, Jawa Barat
Oleh : Subhan Agung[1]

Pendahuluan
Kajian ini akan membahas topik tentang Survivalitas Masyarakat Adat Kuta dalam Bayang-Bayang Intervensi Negara. Kajian ini diilhami dari kondisi kepemimpinan adat selama ini yang selalu dilemahkan oleh negara. Studi Hudayana (Ibid, 2005 : 4-7) menunjukkan bahwa pelemahan tersebut sudah muncul di masa penjajahan Hindia Belanda dengan memaksa pemimpin adat untuk kooperatif dan tunduk kepada kepentingan penjajah. Belanda memang mengakui eksistensi masyarakat adat dalam bentuk satuan masyarakat hukum yang memiliki tata pemerintahan sendiri, namun Belanda selalu mengintervensi pemerintahan adat agar dapat berfungsi sebagai “kepanjangan tangan” birokrasi penjajah.

Dampak serius kondisi tersebut adalah lumpuhnya peran pemimpin adat dalam mengelola pemerintahan aslinya. Posisinya pun di mata negara dianggap antara “ada dan tiada” sehingga cenderung dikerdilkan. Dampak selanjutnya adalah punahnya sebagian besar pemerintahan asli dalam masyarakat adat. Hanya beberapa masyarakat adat yang secara nyata mengelola pemerintahan sendiri yang itupun dipertanyakan keasliannya seperti Nagari dan Gampong. Selebihnya mereka menjalankan sebagian kecil pemerintahan adat yang sangat terbatas, misalnya cukup hanya dalam pengelolaan upacara-upacara adat semata.

Fenomena yang hampir sama, namun memiliki beberapa perbedaan dengan kajian di atas seperti yang terjadi di Kampung Kuta, wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Kampung Kuta merupakan salah satu komunitas masyarakat adat yang masuk anggota dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sejak 2010. Sebagai komunitas yang berada di sebuah desa terpencil, kepemimpinan adat memang terbatas karena dampak adanya dualisme kepemimpinan setelah adanya pemerintahan desa seperti dipaparkan di atas. Bahkan upaya intervensi dan penggerusan pemerintahan asli oleh pihak pemerintah kabupaten terkadang muncul. Namun uniknya di Kampung Kuta pemimpin adat secara nyata memiliki dominasi yang sangat kuat dalam memainkan peranan dalam lembaga adatnya yang mirip dengan peranan sebagai self governing community atau yang dalam kajian ini disebut sebagai pemerintahan asli (Kusmayadi, et.al.(2009:62-630). Pemerintahan asli inilah yang dianggap mampu menggantikan peran pemerintahan formal (negara) dalam mencukupi setiap kebutuhan dasar masyarakatnya. Pemerintahan asli ini diproyeksikan menghadirkan manfaat besar bagi masyarakat untuk mencapai kehidupan yang sejahtera tanpa campur tangan negara. Kondisi masyarakat sejahtera yang muncul lewat peran-peran self governing community itulah yang dalam penelitian ini disebut sebagai welfare community.

Fenomena di Kampung Kuta sangat menarik untuk dikembangkan dalam kajian selanjutnya. Point utamanya adalah ketika semua masyarakat adat mengalami dilema dengan adanya dualisme kepemimpinan yang hampir melumpuhkan peran kepemimpinan adat, namun fenomena di Kampung Kuta kepemimpinan adat justru dominan bahkan mampu mendikte pemimpin formal. Mereka berusaha membangun formalisasi kepemimpinan adat yang tidak ada kaitannya dengan negara (independen). Tentu saja hal tersebut tidaklah gampang, pasti di dalamnya diwarnai dinamika dalam upaya penegakkan pemerintahan asli tersebut. Pertimbangan tersebut disebabkan kelemahan yang tidak bisa dihilangkan oleh semua masyarakat adat di Indonesia sebagai dampak UU No. 5 Tahun 1979 seperti yang dipaparkan di atas.

Permasalahan pokok dalam kajian ini adalah bagaimanakah peran pemimpin adat Kuta, Ciamis, Jawa Barat dalam mengelola pemerintahan asli sebagai upaya survivalitas kepemimpinan adat di bawah bayang-bayang negara?.

Memahami Welfare Community dalam Masyarakat Adat
Istilah welfare community sebenarnya secara konseptual merujuk kepada istilah yang sangat populer dalam tujuan dan fungsi negara yakni istilah negara kesejahteraan (welfare state). Salah seorang ilmuwan yang concern dengan konsep negara kesejahteraan adalah Kranenburg. Dilatarbelakangi oleh kenyataan hidup manusia yang berebut kekuasaan dan selalu muncul penguasa yang sewenang-wenang atas rakyatnya, Kranenburg mengenalkan teori tentang negara kesejahteraan (welfare state).

Menurut Kranenburg dalam Azhary (1982:13) disebutkan bahwa inti dari welfare state adalah : pertama, negara bukan hanya sekedar pemelihara ketertiban hukum belaka, tetapi secara aktif mengupayakan kesejahteraan warga negaranya. Kedua, negara harus benar-benar bertindak adil untuk seluruh warganya, merata dan seimbang. Ketiga, hukum berlaku untuk semua golongan dalam masyarakat dan diperuntukkan untuk kesejateraan seluruh rakyat.

Konsep ini kemudian berkembang dan disempurnakan oleh ilmuwan-ilmuwan selanjutnya semisal Keynes, Spikers dan Misra. Menurut Keyness dan Smith (2006), ide dasar negara kesejahteraan mendapat tempat dalam wacana negara, ketika Bentham (1748-1832) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness of the greatest number of their citizens. Terdapat istilah khusus yang menjadi icon kampanyenya yakni utility (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan konsep utility tersebut dikembangkan bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik bagi masyarakat dan juga pemerintahan. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah kondisi buruk. Peran dan fungsi pemerintahan harus selaras dengan pencapaian segala yang baik dan membahagiakan masyarakatnya.

Dalam konteks Indonesia, konsep negara kesejahteraan sebenarnya telah termaktub dalam konstitusi dasar negeri ini. Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 1974 mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan social yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.

Dari defenisi di atas dapat dikatakan bahwa kesejahteraan sosial senantiasa menjadi tujuan pembangunan di Indonesia yang dikelola oleh negara. Kita bisa melihat betapa pentingnya campur tangan negara pada saat misalnya masuknya “lintah darah” ke masyarakat. Dalam kasus ini pemerintah menjadi pelindung masyarakat dengan melakukan pembatasan para “lintah darat” masuk ke masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks tersebutlah Pierson (1996) mengemukakan pola-pola keterlibatan negara tersebut yang mencakup : pertama, negara sebagai pemilik. Kedua, negara sebagai pemilik dan produsen. Ketiga, negara sebagai majikan. Keempat, sebagai regulator. Kelima sebagai redistributor dan keenam, sebagai pembuat kebijakan ekonomi. Tak pelak lagi, Negara memainkan peranan penting dalam mengurus kesejahteraan rakyatnya.

Welfare community yang dimaksudkan dalam kajian ini sebagai komunitas-komunitas yang mengembangkan pola kehidupannya secara mandiri yang dipimpin oleh pemimpin-pemimpin komunitas tersebut (kepala adat) yang bertindak sebagai pemerintahan masyarakat mandiri dan bukan “kepanjangan tangan” pemerintahan formal. Kepemimpinan komunitas mampu memainkan peran-peran yang hampir mirip seperti dalam konsep negara kesejahteraan yang dijelaskan di atas. Keseluruhan peran kepemimpinan mencakup seluruh lini kehidupan masyarakatnya. Peran pengelolaan masyarakat adat tersebut harus mampu menjawab berbagai kebutuhan dasar masyarakatnya. Peran-peran untuk mewujudkan komunitas sejahtera (welfare community) dijalankan melalui peran sebagai pelayan sosial komunitasnya, pemberdayaan dan pengaturan.

Diantara komunitas-komunitas masyarakat asli tersebut sangat layak disebut sebagai komunitas kesejahteraan (welfare community) karena kepemimpinan adat (asli) yang dijalankan mampu mengakomodir dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakatnya seperti kebutuhan akan rasa aman (damai), kebutuhan hidup nyaman (sehat), dan kebutuhan dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari (kemandirian ekonomi).

Jejak Negara dan Pasar dalam Masyarakat Kuta
Masyarakat Kampung Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat memang terkenal dengan ketaatannya menjalankan adat istiadat yang sudah dijalankan sejak leluhur mereka. Keseluruhan adat istiadat tersebut terakumulasi dalam istilah yang sangat populer diantara mereka yakni amanah karuhun. Mereka senantiasa mengikuti berbagai ketentuan yang sudah digariskan, tidak ada yang berani menentang.

Namun di samping ketaatan mereka terhadap berbagai amanah karuhun tersebut, Kampung Kuta dapat dikatakan cukup akomodatif dengan simbol-simbol negara. Walaupun Kampung Kuta menarik garis tegas dengan negara dalam hal pengelolaan kehidupan kemasyarakatan, namun simbol-simbol yang menjadi ciri khas Negara Indonesia dan juga pasar dapat dengan mudah ditemukan di tempat ini. Misalnya kita akan menemukan dipakainya bahasa Indonesia dalam tulisan-tulisan yang menjadi petunjuk umum

Dalam tulisan yang dipajang dalam plang 1,5 meter x 1 meter bagian atas bertuliskan : “Wilujeng Sumping di Kampung Kuta”, di bawahnya bertuliskan “Jagalah Lingkungan, Stop Pengrusakan Hutan, jangan sampai Leuweung Ruksak, Cai Beak, Manusa Balangsak”. Tulisan tersebut jelas merupakan kompromi Kampung Adat Kuta dengan negara, karena bahasa Indonesia yang dipakai sebagian dalam plang tersebut merepresentasikan pengakuan Indonesia sebagai negara bagi komunitas tersebut. Secara tidak langsung sebenarnya mereka akomodatif dengan negara dalam hal ini.

Akomodasi mereka tentang hal ini secara langsung diakui oleh sesepuh lembur dan pupuhu adat. Menurut mereka hal ini mereka lakukan sebagai bentuk dinamisasi pemerintahan adat, dan secara substantif tidak bertentangan dengan amanah karuhun yang sudah digariskan. Namun walaupun diakui hal itu sebagai bentuk akomodasi mereka dengan pasar, tetapi perizinan hal tersebut sangat berat dan harus melalui prosedur keadatan yang ketat, seperti mendapat izin dari leluhur, lewat semedi yang dilakukan sesepuh lembur. Sehingga tidak seenaknya saja setiap rumah di wilayah adat ini mendapatkan akses untuk memiliki perangkat ini (wawancara 25 Oktober 2010).

Cerita di atas sebenarnya membuktikan kepada kita bahwa negara dan sebagian pasar selalu berupaya mencari celah intervensi, walaupun dengan cara halus. Negara dalam hal ini tidak mengambil peran berhadap-hadapan saling bertentangan, dengan banyak pertimbangan seperti kemungkinan kontraproduktif dan perlawan terbuka dari komunitas ini. Di pihak lain masyarakat adat juga melakukan perlawanan terhadap intervensi tersebut melalui optimalisasi peran sesepuh lembur untuk mensaring (filter) intervensi atau penguasaan halus tersebut. Hal ini dapat terlihat bagaimana masuknya televisi dan parabola sejak tahun 1996 hanya terbatas hanya beberapa rumah saja. Jika tidak melalui filter yang ketat tentu saja perangkat-perangkat tersebut sudah bertebaran di Kampung Kuta.

Sebaliknya berdasarkan informasi dari sesepuh lembur, bahwa ada sebagian kecil masyarakat melakukan penolakan saat pengaspalan tersebut, namun berdasarkan sidang sawala adat ada keputusan pihak adat bekerja sama dengan pemerintah, karena kebetulan hal yang dipersengketakan tidak menjadi substansi adat istiadat kita. Secara substansi tidak ada adat istiadat Kuta yang dilanggar oleh pemerintah. Termasuk anugerah Kalpataru di tahun 2001, di pihak masyarakat adat memang sebenarnya terjadi pertentangan untuk menerima ataupun tidak. Namun berdasarkan pertimbangan sawala adat, dan kesepakatan empat pemimpin utama Kuta menyatakan menerima anugerah Kalpataru di bidang Pelestarian Alam dari Presiden Megawati saat ini di Provinsi Bali.

Kemampuan survivalitas pemimpin adat dalam nelakukan resistensi infiltrasi ini tidak signifikan, bahkan terkesan akomodatif. Namun resistensi yang paling jelas terlihat adalah dengan adanya vitalisasi pemimpin sesepuh lembur lewat pengaturan pembatasan aliran listrik dan kepemilikan perangkat televisi. Temuan ini membuktikan secara jelas bahwa upaya intervensi lewat simbol-simbol negara dan pasar ditemukan di tempat ini. Namun ada kesepakatan di mana negara tidak bisa masuk ke wilayah struktural pengelolaan pemerintahan adat (asli).

Pola Hubungan Pemerintahan Asli dengan Pemerintahan Formal
Secara umum Kampung Kuta diakui negara sebagai salah satu kampung (dusun) yang masuk dalam wilayah administratif Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pengakuan negara terhadap Kampung Kuta sebagai kampung adat yang perlu diberikan hak pengelolaan sendiri secara detail tidak ada. Sampai saat ini tidak ada satupun Perda, baik Perda Kabupaten Ciamis, maupun Peraturan Daerah (Perda) Jawa Barat yang mengatur bahwa Kampung Kuta adalah kampung adat yang memerlukan pengelolaan mandiri (self governing community).

Jadi secara legal-formal Kampung Kuta sebagai kampung adat tidak memiliki landasan hukum positif negara. Jadi negara sebenarnya bisa kapanpun “merampas” hak milik masyarakat Kampung Kuta secara represif, karena ketiadaan payung hukum tersebut. Namun secara substantif, berdasarkan ciri-ciri masyarakat adat seperti yang dibuat dalam konferensi International Labour Organization (ILO), negara secara de facto mengakui Kampung Kuta sebagai Kampung Adat. Dalam situs Disbudpar, dituliskan bahwa Kampung Kuta sebagai salah satu kampung wisata yang dijadikan salah satu icon Kabupaten Ciamis. Kampung Kuta secara resmi diakui sebagai Kampung Kuta hanya oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dimana kampung ini menjadi salah satu anggotanya. Sedangkan hutan seluas 40 hektar (hutan keramat) dalam pencatatan Badan Pertanahan Nasional (BPN) memiliki status hutan adat yang dilindungi negara (Disbudpar Jabar, 2002).

Jadi dari uraian di atas, pemerintah jelas hanya mengakui secara de facto bahwa Kampung Kuta merupakan kampung yang unik, ada aturan tertentu yang khas, wilayahnya, dan terdapat lembaga komunitas. Syarat-syarat tersebut jelas dapat dikategorikan sebagai syarat masyarakat adat. Kampung Kuta jelas memiliki keseluruhan syarat tersebut seperti yang sudah dibahas di sub bab-sub bab di atas. Penerimaan de facto pemerintah formal jelas juga terlihat dengan tidak masuknya pemerintahan formal ke Kampung Adat Kuta ini. Pengambilan garis tegas pemimpin informal di Kampung Kuta terkesan sangat dipanuti oleh seluruh lapisan pemerintahan, baik dari pusat sampai ke satuan yang paling kecil (RT/RW).

Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa hukum negara menempatkan Kampung Kuta tidak lebih dari dusun-dusun lainnya sebagai “kepanjangan tangan” negara (local governing community). Kampung Kuta yang saat ini dipimpin oleh Kepala Dusun Sarman merupakan unit pemerintahan di bawah Kabupaten Ciamis dan Kecamatan Tambaksari. Sedangkan secara substansi negara “menghormati” keberadaan Kampung Kuta yang memiliki keunikan tersendiri dibanding kampung-kampung lainnya dengan berupaya mengikuti aturan adat yang diberlakukan di komunitas tersebut.

Di luar kelemahan Kampung Kuta secara de jure di mata pemerintahan formal, mereka memainkan fungsi vital sebagaimana negara layaknya dalam mengelola masyarakat, baik itu pengaturan, pelayanan, ataupun pemberdayaan. Ketiga peran yang dimainkan tersebut di atas sangat unik dikarenakan di masyarakat lain di Indonesia, peran-peran ini menjadi tanggung jawab pemerintah formal. Pemerintahan formal seperti kepala desa dan perangkatnya, seperti kepada dusun tidak mampu “berbicara” banyak dan mengintervensi kekuasaan pemimpin adat. Jika pun ada kebijakan pemerintah pusat yang harus disampaikan kepada masyarakat Kuta harus melalui para pemimpin adat. Mereka pun segan untuk langsung berhadapan dengan masyarakat tanpa melalui pemimpin adatnya. Keputusan pemimpin adatlah yang sangat menentukan bagi pelaksanaan segala aktivitas yang berjalan di masyarakat Kuta.

Pemerintahan formal terkesan tidak bisa berbuat apa-apa atas semua kewenangan kuncen tersebut. Namun sebagai pemerintahan yang diberikan hak dan kewajiban oleh pusat untuk mengelola dusunnya, pemerintahan desa merasa khawatir jika kekuasaan kuncen yang terlalu besar dalam pengaturan hutan keramat tersebut dimanfaatkan oleh kepentingan pribadi. Namun bagi masyarakat jelas kuncen adalah panutan mereka, kepentingan kuncen dianggap merepresentasikan kepentingan mereka. Sehingga pemerintahan formal (desa) pun tidak mampu berbuat banyak untuk masuk dalam wilayah yang selama ini sudah dianggap baku, karena tentu akan menimbullkan keresahan di masyarakat.

Upaya untuk turut mengelola hutan keramat ini sebenarnya pernah dibicarakan di tahun 2009, namun hasilnya nihil bahkan mendapatkan reaksi keras dari para pemimpin adat dan masyarakatnya yang secara tegas menolak tawaran wacana tersebut. Amanah karuhun bagi masyarakat Kuta bukanlah untuk ditawar-tawar, namun untuk diikuti. Melawan berarti sangksi berat, bahkan taruhan nyawa dan kehormatan mereka yang siap membela identitas dan amanah karuhun yang mereka percayai.

Oleh karena itulah, pemerintahan formal “menarik diri” dari urusan yang terkait dengan hutan keramat. Pemerintahan formal juga mengakui bahwa selama hutan keramat ini dijaga kuncen tidak pernah terjadi pembalakkan liar, illegal logging dan sebangsanya. Dalam konteks inilah pemerintahan administratif (formal) memberikan apresiasi. Namun satu hal penting yang dikritisi adalah sulitnya mengontrol sumbangan yang diberikan kepada kuncen. Selain ada ongkos masuk yang langsung masuk dalam pendapatan data, pengunjung juga diwajibkan mengisi amplop sebagai sumbangan untuk kuncen.

Aturan tersebutlah yang dianggap pemerintahan formal sebagai upaya kuncen untuk menambah keuntungan pribadi, karena pada kenyataannya diwajibkan bagi setiap pengunjung, walaupun besarannya dibebaskan. Tahun 2009 bahkan pernah secara langsung membicarakan persoalan pungutan masuk ke hutan keramat. Acara ini diprakarsai oleh pemerintah formal (aparat desa). Pemerintah formal menginginkan pungutan hanyalah terdapat satu yang terletak dipintu masuk hutan saja sebagai pemasukan kas adat. Namun opini yang berkembang di pihak masyarakat adat sendiri, hal tersebut dianggap bukan masalah, bahkan bagi masyarakat adat, hal demikian sebagai sesuatu yang wajar sebagai upaya balik jasa alakadarnya dari peran yang dijalankan tokoh kuncen tersebut. Alhasil pertemuan tersebut tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan.

Menanggapi hal tersebut, kuncen Kampung Kuta, Karman beranggapan bahwa pemerintahan formal tidak dibenarkan melakukan intervensi lebih dalam terhadap penyelenggaraan kepemimpinan adat. Baginya pemerintah sudah cukup dengan mengeksploitasi masyarakat adat sebagai “dagangan” sehingga banyak orang berdatangan ke Kampung Kuta. Namun pemerintahan formallah yang banyak mendapatkan keuntungan dengan semua itu. Selain itu Kampung Kuta sudah merasa menghargai dan mengakui negara dengan kooperatif dengan beberapa sarannya yang dianggap tidak melanggar hukum adat. Namun jika intervensi dilakukan terhadap peranan lembaga adat yang selama ini sudah baku, hal tersebut dianggap sudah keterlaluan, dan tentunya pihak Kampung Kuta resisten dengan hal itu (Intisari wawancara 10 Oktober 2010).

Pihak pemerintah melalui Badan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat (BKSDA) sebanarnya selalui mengontrol kelangsungan hutan keramat ini—hutan lindung dalam bahasa pemerintah formal–. Mereka mengakui secara rutin setidaknya sebulan sekali melakukan kunjungan. Mereka dapat masuk ke hutan keramat dengan alasan akan ritual, sehingga dengan ditemani kuncen pihak pemerintah ini dapat dengan leluasa melihat keadaan hutan yang sebenarnya merupakan tanggung jawabnya.

Dari pembahasan di atas, jelas terlihat bagaimana kuncen menganggap bahwa kekuasaan yang besar di hutan keramat dianggap sebagai upaya survivalitas kekuatannya sebagai penguasa adat terhadap upaya intervensi pemerintahan formal yang berlebihan. Bagi penguasa hutan keramat ini, masyarakat adat sudah nyaman dengan model yang sudah berjalan selama ini. Hutan keramat aman, dan tidak pernah ada pencurian, dan pengruskan lainnya. Justru mereka khawatir jika hutan tersebut dikuasai oleh pemerintahan formal. Mereka menganggap pasti masyarakat akan melakukan pembangkangan. Di sisi lain pemerintah formal “terpepet” dalam upaya mengelola hutan tersebut, bahkan untuk melihat keadaan hutan tersebut mereka sembunyi-sembunyi seolah-olah hanya sekedar ritual di hutan keramat.

Pemerintahan Asli Versus Negara
Berbicara peran pengaturan masyarakat adat Kuta, pemerintahan aslinya jelas memiliki peran yang sangat besar. Hampir seluruh lini kehidupan masyarakat adat terikat oleh aturan adat yang keberadaannya sangat dijunjung tinggi. Masyarakat hanya mengenal aturan adat yang mengendalikan kehidupan mereka selama ini. Hukum postitif negara Indonesia secara langsung tidak dirasakan oleh mereka, kecuali hanya dirasakan dalam derajat kecil saja. Mereka juga tidak pernah bersentuhan dengan hukum pidana dan perdata negara, karena memang anggota masyarakat yang bersangkutan tidak pernah melanggar esensi dari kedua undang-undang tersebut. Di antara pengaturan-pengaturan yang sangat dominan dirasakan masyarakat adat adalah seperti yang sudah jelaskan dalam pembahasan di atas, yakni pengaturan pendirian rumah, penentuan mata pencaharian, pembatasan pemanfaatan alam, penyelesaian konflik dan pengaturan dalam penciptaan kedamaian dan konflik.

Dari pengaturan-pengaturan tersebut, misalnya pengaturan mata pencaharian, peran sesepuh lembur sangat berpengaruh sebagai tempat bertanya (pananyaan) masyarakat dalam menentukan mata pencaharian, di bidang pengelolaan aset 40 hektar hutan Kuta juga lebih didominasi kuncen Kampung Kuta. Istilah hutan keramat sangat sering dipakai untuk menyebut hutan seluas 40 hektar tersebut dibanding hutan lindung. Sebagai hutan lindung milik negara yang dikelola Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) pemerintah formal sebenarnya sangat berhak untuk mengelola aset tersebut. Namun, jangankah mengelola, untuk masuk ke area hutan saja mereka “sembunyi-sembunyi” dengan dalih ritual. Bandingkan dengan kuncen yang bebas setiap saat berada di hutan keramat. Kemudian dalam memecahkan konflik di masyarakat, masyarakat lebih mempercayai tokoh-tokoh adat seperti pupuhu adat dan sesepuh lembur dibanding kepala dusun dan ketua RW. Bahkan tokoh-tokoh tersebut terkesan kalah pamor dan “kurang kerjaan” di masyarakat Kuta.

Studi ini memperlihatkan bahwa walaupun melibatkan eksistensi negara dalam pelayanan kesehatan masyarakat Kuta, namun pemimpin adat (sesepuh lembur), merupakan andalan utama dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Negara dibutuhkan sebagai pelayan sekunder saja dalam kondisi darurat, melalui izin dan perintah langsung sesepuh lembur. Keberadaan Puskesmas dan rumah sakit sebagai pelengkap dan telah melalui pelayanan utama yang didapatkan masyarakat dari sesepuh lembur.

Di bidang pemberdayaan masyarakat  Kuta, peran pemimpin adat jauh lebih terasa dibandingkan pemerintahan formal. Keberadaan pemimpin-pemimpin adat misalnya terasa dalam mencetak generasi penerus, mencetak generasi yang memiliki keahlian dan seni, memiliki keahlian dalam bercocok tanam dan berkebun. Keberadaan pemimpin-pemimpin tersebut sangat terasa dan sangat dibutuhkan dalam konteks Kampung Kuta, karena hal yang paling dibutuhkan oleh mereka adalah kemampuan untuk survive dan mandiri secara ekonomi. Pemimpin-pemimpin formal sama sekali tidak memiliki kapasitas dan teladan dalam hal-hal tersebut. Sehingga pantaslah jika pemimpin-pemimpin tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan kehadirannya.

Para pemimpin adat betul-betul tidak memberikan kesempatan para pemimpin formal untuk masuk dalam kekuasaan wilayah adat tersebut. Keberadaan mereka hanya sebagai pemimpin nomor dua yang tidak jelas perannya dalam konteks pengelolaan kebutuhan masyarakat adat ini.

Kredibilitas Kepemimpinan Adat
Dari kajian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan masyarakat adat sebagai salah satu kepemimpinan tradisional mampu mewujudkan citranya sebagai pemimpin yang kredibel, dinamis dan efektif dalam mengelola pemerintahan masyarakat adat (pemerintahan asli). Kredibilitas, sifat kepemimpinan yang dinamis dan efektif pada kondisi sosial-kemasyarakatan masyarakat yang bersangkutan.

Bukti dari bentuk-bentuk penyelenggaraan kepemimpinan masyarakat adat yang kredibel, dinamis dan responsif terhadap kepentingan masyarakatnya seperti terlihat dalam peran pemimpin mengatur penciptaan kedamaian kampung. Mereka menjadi kata kunci aktor yang menentukan dalam menyelesaikan masalah yang berkembang di masyarakat. Strategi pemimpin dalam menjalankan peran ini cenderung mengembangkan model konvensi yang sudah berjalan sebelumnya di Kampung Kuta. Manajemen konflik yang terjadi di tengah masyarakat dilakukan lewat mekanisme musyawarah atau masyarakat Kuta menyebutnya syawala. Melalui syawala ini, dikembangkan strategi untuk menciptakan suasana penciptaan kedamaian bersama (peace building) lewat adat istiadat yang selalu didengungkan oleh para pemimpin adat yakni sistem duduluran dan sauyunan. Fakta lapangan membuktikan bahwa kehidupan mereka aman, tidak pernah terjadi tindak kriminalitas di Kampung Kuta. Hal ini disebabkan berkembangnya kepercayaan jika mereka melakukan tindakan jahat (pamali), maka mereka mempercayainya lambat laun akan menemui balasannya yang setimpal.

Bentuk peran penyelenggaraan pemerintahan yang kredibel lainnya adalah dengan mencetak generasi muda yang paham akan filosofi keadatan, luas ilmu pengetahuan dan mekanisme dalam mencetak generasi muda yang tangguh secara fisik, menguasai olah bela diri dan memiliki keahlian dan jiwa seni yang tinggi pula. Pemimpin lainnya juga memiliki peran dalam memimpin masyarakat dalam ritual yang terkait dengan kebiasaan khas Islam dan menjadi pemimpin religi ke-Islaman, memfasilitasi pertemuan pemimpin dengan masyarakatnya lewat metode tepang sasih, yang merupakan media sebagai tempat masyarakat Kuta mengadu jika terjadi persoalan, mengkritik, saran ataupun ada hal-hal yang membutuhkan pencerahan seputar adat yang berlaku, perilaku dan juga konsultasi masyarakat seputar apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mengarahkan dan memandu mereka untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu yang dianggap sesuai dengan kehendak leluhur mereka. Oleh karena itulah, para pemimpin sering bertindak sebagai juru penerang pemahaman keadatan kepada masyarakat dan bagaimana aplikasi sesuai konteks saat ini.

Dari pemaparan-pemaparan di atas terlihat Kampung Kuta mewujud menyerupai masyarakat sejahtera (welfare community) yang resisten terhadap pemerintahan formal. Keberadaan welfare community di masyarakat Kampung Kuta digunakan sebagai alat survivalitas pemerintahan asli (adat) terhadap berbagai intervensi yang selama ini dijalankan oleh negara.

Penutup : Sebuah Inisiasi
Implikasi munculnya kepemimpinan adat yang kredibel, responsif dan dinamis dalam menyelenggarakan pemerintahan aslinya bagi negara masa kini adalah negara seharusnya mampu mengembangkan, melestarikan dan bekerja sama dalam menciptakan kepemimpinan desa yang kredibel, responsif dan dinamis sesuai kebutuhan masyarakat di desa yang bersangkutan.

Pemerintahan desa (negara) tidak seharusnya merasa tersaingi dengan munculnya pemerintahan masyarakat adat yang mampu secara efektif mengelola masyarakatnya. Namun sebaliknya mampu melindungi pemerintahan masyarakat adat (self governing community) yang mampu menopang pemerintahan desa (local governing community) yang kredibel dan responsif dalam rangka menciptakan negara kesejahteraan lewat masyarakatnya yang hidup bahagia, mandiri di segala bidang, merasa aman dan nyaman dalam menjalani hidupnya (masyarakat sejahtera).

Daftar Pustaka
Bosko, Rafael Edy, 2006, Hak-Hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam, ELSAM, Jakarta.
Cobo, Jose R. Martinez, 1987, Study of The Problem of Discrimination against Indigenous Populations, Volume V. Conclusion proposal and recomendation, United Nation, sales No.E.86. XIV.3, United Nation, NY.
Davidson, S. Jamie, dkk , 2010, Adat dalam Politik Indonesia, KITLV-Yayasan Obor, Jakarta.
Heinz, Weihrich dan Harold Koontz, 1993, Management: A Global Perspective, McGraw-Hill, Inc., New York.
Hudayana, Bambang, 2005, Masyarakat Adat di Indonesia : Meniti Jalan Keluar dari Jebakan Ketidakberdayaan, IRE Press, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1980, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, Jakarta.
———————-, 1997, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Kranenburg, R, dan Sabaroedin, 1986, Ilmu Negara Umum, Pradnya Paramitha, Jakarta.
Kusmayadi, Edi, Satori, A, Nurohman, Yuliawati, Widiastuti, Andrias, Ali,  2009, Kajian Sosial, Budaya dan Politik Masyarakat Adat Kampung Kuta, LPPM Unsil, Tasikmalaya
Spradley, James 1979, The Ethnographic Interview, Holt, Rinehart and Winston, New York.
Sujito, Arie, 2005, Melepas Jeratan Kolonialisasi : Catatan Pemberdayaan Masyarakat Adat di Musi Rawas Sumatera Selatan, IRE, Yogyakarta.

[1] Ketua Labpol dan pengajar Antropologi Politik FISIP Universitas Siliwangi, korespondensi via alamat e-mail : master@subhanagung.net

0 komentar:

Post a Comment