Revolusi Tekhnologi Informasi dan Perubahan Sosial dalam Perspektif Materialistis

Rino Sundawa Putra

Latar Belakang

Perkembangan tekhnologi, khususnya teknologi informasi telah membawa perubahan besar terhadap perilaku sosial masyarakat. Pesatnya perkembangan teknologi tidak hanya berdampak pada masyarakat yang dibatasi oleh batas-batas wilayah seperti negara, tapi jauh menembus batas regional bahkan global. Lahirnya penemuan-penemuan baru dalam bidang teknologi informasi membawa dampak yang sangat massif sebagai akibat dari pemanfaatan teknologi informasi.

Pesatnya perkembangan teknologi informasi ini, telah mengubah pola sosial dan tatanan-tatanan sosial lama. Perubahan ini ditandai dengan berubahnya pola interaksi, gaya hidup, perilaku, cara pandang, cara hidup dan orientasi sosial. Perubahan sosial sebagai dampak dari revolusi teknologi informasi sebetulnya bukan fenomena atau temuan baru secara konsep teori keilmuan. Hal tersebut sudah dianalisa oleh Veblen dalam Perpektif Materialistis. Pendekatan yang dirumuskan oleh Veblen ini, merujuk atau dipengaruhi oleh pandangan Marx, Marx mengatakan, “pandangan materialistis terhadap mekanisme perubahan kincir angin melahirkan masyarakat yang feodal, mesin uap melahirkan masyarakat Kapitalis Industri”. Sedangkan Veblen menjelaskan “teknologi mempengaruhi pikiran dan prilaku manusia, perilaku manusia dibentuk oleh cara manusia memperoleh dan mempertahankan kehidupan. Yaitu dengan teknologi”. Pandangan matrealistis ini merujuk pada bahwa penemuan tidak hanya bersifat mekanik, tetapi juga sosial, pembaharuan kultural akibat teknologi baru terhadap tatanan masyarakat.

Pandangan Marx ini memang merujuk pada latar revolusi industri yang kemudian menurut Marx akan melahirkan pola sosial baru yang disebut masyarakat kapitalis, dimana klasifikasi kelas Borjuis dan kelas buruh menjadi strata baru dalam membagi kelas-kelas sosial. Perspektif Materialistis yang dikemukaan oleh Veblen cukup mewakili sebagai landasan teori fenomena kekinian mengenai perubahan sosial sebagai dampak revolusi teknologi informasi. Kemudian bila melihat apa yang di kemukakan oleh Marx dan Veblen, apakah kemudian pendekatan Ideologi sebagai kendaraan dalam merubah pola sosial menjadi usang dan sudah terbantahkan?.

Kita lihat Perspektif Idealistis sebagai landasan dalam melakukan perubahan sosial. Perspektif ini menjelaskan bahwa kekuatan pendorong mempengaruhi perubahan dari satu keadaan sosial ke keadaan sosial yang lain dimana ide, ideologi atau nilai akan mempengaruhi pola atau tatanan sosial lama. Perspektif ini kemudian di konfrontir dengan Perspektif Materalistis yang kemudian menghasilkan jalan tengah, dimana memperhitungkan faktor material sebagai bagian dari perubahan sosial. Tapi pertanyaannya adalah, dari dua pendekatan tersebut (Perspektif Materialistis dan Perspektif Idealis), manakah yang lebih relevan guna menjawab fenomena yang terjadi dalam konteks kekinian?.


Pembahasan

Sebagai landasan historis, masyarakat di kelompokan pada masa-masa tertentu, yaitu Masa Berburu/Pengumpul, Masa Pertanian/tradisional, dan Masa Industri. Tapi klasifikasi tersebut berubah dengan karakteristik kekinian yang lebih relevan merujuk pada perubahan-perubahan sosial baru. Pengklasifikasian baru ini dikemukakan oleh Bell (1973), dimana masyarakat dikelompokan menjadi tiga kelompok, Masyarakat Agraris, Masyarakat Industri dan Masyarakat Pasca Industri (Post Industri).

Masyarakat Post Industri bisa dikatakan sebagai masyarakat dengan pola dan tatanan sosial baru sebagai akibat dari perkembangan teknologi yang sudah mencapai klimaksnya, yang akhirnya melahirkan masyarakat baru sebagai Masyarakat Pasca Industri. Masyarakat Pasca Industri ini ditandai dengan perkembangan atau revolusi industri yang melahirkan penemuan-penemuan baru dibidang teknologi informasi, maka dari itu masyarakat Pasca Industri ini sering dikatakan sebagai Masyarakat Informasi Pasca Industri.

Ciri-ciri perubahan sosial sebagai akibat dari revolusi teknologi informasi ini, dirasakan sangat tidak terbatas pada batas-batas teritorial tertentu, tetapi dampaknya sangat mengglobal. Ini mengakibatkan berubahnya pola-pola interaksi yang tidak dibatasi lagi oleh jarak dan waktu. Televisi, Internet dan Telepon Genggam sebagai salah satu penemuan cemerlang dibidang teknologi informasi, telah merubah pola-pola sosial lama seperti pandanga dalam berinteraksi atau berwawasan, prilaku sosial, gaya hidup atau pandangan hidup.

Dalam pandangan global, orang kemudian tidak lagi dibatasi akan ilmu-ilmu, pengetahuan-pengetahuan wawasan-wawasan, informasi-informasi dalam skala lokal, tetapi orang dituntut memiliki cara pandang yang mengglobal, hal tersebut kemudian akan mempengaruhi gaya hidup dan prilaku seseorang secara massif. Inilah kemudian yang akan bermuara pada perubahan sosial terstrukur. Untuk itulah dalam kerangka Globalisasi, agenda Globalisasi selalu berbasis pada revolusi teknologi informasi sebagai dasar utama. Dalam hal ini, dampak yang kemudian muncul adalah terkikisnya nilai-niai atau internalisasi paham-paham nasionalisme dalam batas teritori negara, dirubah menjadi nilai-nilai dan internalisasi Global Minded. Fenomena jejaring sosial (Facebook, Twiter, YM, Blog, Friendster), bahkan fenomena pornografi di dunia maya termasuk kasus video mesum artis, adalah salah satu dampak kecil perubahan orientasi sosial yang merubah sikap, prilaku dan gaya hidup masyarakat, dan yang paling parah adalah perubahan sosial yang mengikis aspek moralitas masyarakat.

Terkikisnya nilai-nilai nasionalisme dalam konteks adanya batasan teritorial (negara), jelas akan menghambat perubahan sosial yang merujuk pada pendekatan Idealis atau Ideologi, karena pendekatan ideologi, merujuk pada analisa historis, misalnya benturan Komunis dan kapitalisme bahkan Agama, selalu dibatasi oleh teritori-teritori tertentu (negara dan kawasan regional). Ini artinya, pendekatan Idealis atau ideologi kalah massif dengan perubahan sosial yang menggunakan pendekatan Materialis. Pertarungan ideologi dalam arti sebenarnya (benturan Komunis, Sosialis, demokrasi, Kapitalisme dan Islam) justru akan di menangkan oleh pihak yang menguasai teknologi informasi, karena disana ada proses internalisasi, sosialisasi dan propaganda yang dampaknya sangat massif ( terutama Media/Pers). Bila merujuk pada tesisnya Fukuyama, The End Of Histori, pada akhirnya demokrasi dan sistem kapitalis-lah yang akan memenangkan “pertarungan”, yang akan mengglobal sehingga semua negara didunia ini akan “tunduk” dalam sistem itu. Analisa Fukuyama ini tidak lepas dari fenomena-fenomena perubahan sosial yang diakibatkan pada revolusi teknologi informasi sebagai pendukung utama agenda kapitalisasi dan Globalisasi.

Kenapa bisa dikatakan bahwa negara yang menguasai teknologi informasi akan menjadi pemenang sebuah pertarungan ideologi dan nilai-nilai? Untuk menjawab semua itu, kita kaji bagaimana negara Amerika sebagai negara Adidaya mendistribusikan nilai-nilai demokrasi ke senatero dunia. Perang fisik kini telah berkembang ke arah perang pemikiran, dimana sebuah pemikiran akan didistribusikan sebagai alat cuci otak, internalisasi nilai-nilai bahkan propaganda. Perang media adalah salah satu gerakan dalam perang pemikiran ini. Media/pers punya andil sangat besar dalam membentuk pandangan masyarakat dunia tentang bahaya terorisme. Sejak Amerika menyuarakan perang terhadap teroris pasca tragedi WTC 11 september, bagaimana kemudian media-media cetak, elektronik termasuk media di dunia maya membentuk pandangan masyarakat dunia tentang terorisme. Setelah opini mengenai terorisme ini terbentuk dan terdistribusikan ke seluruh antero dunia dengan satu persepi, maka kita bisa melihat bagaimana strategi Amerika selanjutnya. Tekanan-tekanan melalui kebijakan politik luar negerinya menjadi lebih kuat, dimana isu terorisme menjadi legitimasi untuk melakukan sebuah intervensi ke negara lain yang dianggap sarang teroris, seperti Irak, Iran dan Pakistan bahkan Indonesia. Perang pemikiran memanfaarkan teknologi informasi ini, membuat Amerika menjadi leluasa dalam melancarkan strategi politik luar negerinya, walaupun dengan pendekatan standar ganda.

Jika di runtut dari teori-teorinya Marx dari mulai perubahan sosial sebagai efek revolusi industri yang menghasilkan pertarungan antar kelas, antara kelas borjuis dan kelas buruh, sehingga akan membentuk masyarakat komunis. Kemudian analisa Marx mengenai masyarakat kapitalis industri, rasanya sangat wajar bila Marx seolah-olah menyadari bahwa revolusi industri akan melahirkan sistem sosial baru dimana masyarakat kapitalis menjadi perubahan sosial yang sangat besar. Hal tersebut kemudian dikembangkan oleh Veblen dalam merumuskan pendekatan Matrerialistisnya. Hal tersebut kemudian yang membuat Bell mengelompokan masyarakat menjadi tiga, Masyarakat Agraris, Masyarakat Industri dan Masyarakat Post Industri. Ini menjelaskan bahwa kesimpulan Marx mengenai akan terbentuknya masyarakat komunis menjadi terbantahkan dengan kemenangan masyarakat Industri dalam membentuk tatanan sosial baru, yang kemudian dilanjutkan dengan masyarakat Post Industri (masyarakat Informasi Pasca Industri) yang akan membentuk tatanan atau perubahan sosial yang baru.

Relevansi perubahan sosial dengan menggunakan pendekatan matrelialistis ini memang tidak tiba-tiba ada, artinya ada pendekatan lain yang sebelumnya sangat relevan digunakan sebagai pendekatan dalam menganalisa perubahan sosial. Pendekatan Ideologis juga mempunyai masa ke-relevanannya dalam menganalisa atau sebagai konsep dalam melakukan perubahan sosial. Pada masa perang dunia ke dua misalnya, dimana Jerman membangun basis ideologi negaranya dengan dogma-dogma Nazi dan pendekatan legitimasi ras (Arya) untuk membentuk karakter masyarakatnya. Hitler telah berhasil menanamkan kebanggaan pada rakyat Jerman yang kemudian terjadi perubahan orientasi sosial dimana internalisasi nilai-nilai sangat merubah kehidupan sosial masyarakat Jerman. Pendekatan otoriter Hitler dengan menggunakan frame ideologi telah membentuk rakyat Jerman begitu sangat bangga, patuh atas nilai-nilai yang ditanamkan. Rakyat jerman dalam pandangan sosial pada waktu, dirubah dan dibentuk dengan pendekatan ideologi. Itu juga yang terjadi pada masa pemerintahan Mao Ze Dong di Cina, Pol Pot di Kamboja dan beberapa negara yang pernah terjebak pada orientasi nilai-nilai yang dibangun atas dasar ideologi. Pendekatan ideologi ini juga, cenderung menggunakan kekuataan paksaan yang mengatas namakan legitimasi negara.

Pendekatan ideologi ini juga terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pendekatan ideologi dibangun ketika akan membentuk kesadaran rakyat Indonesia untuk mau bangkit dari penjajahan dengan mengusung nasionalisme bangsa. Secara perlahan, dengan menggunakan frame Nasionalisme, rakyat Indonesia kemudian diubah mengenai sikap dan cara pandangnya yang berakumulasi terhadap gerakan perjuangan kemerdekaan. Bisa dikatakan embrio lahirnya gerakan kemerdekaan dibangun dengan mengangkat kesadaran rakyat tentang paham-paham nasionalisme. Soekarno dan seluruh founding father penggagas dan penggerak perjuangan kemerdekaan pada saat itu, gencar melakukan pemahaman-pemahan tentang apa itu nasionalisme. Ini juga merupakan bagian proses perubahan sosial yang dibentuk atas pendekatan Idealis. Setidaknya, pendekatan Ideologi untuk membangun kesadaran dan perubahan sosial baru terjadi di Indonesia pada masa-masa awal perjuangan kemerdekaan, hingga Orde Baru berakhir.

Pendekatan ideologi dengan frame Pancasila terjadi pada masa kekuasaan Orde Baru. Soeharto telah berhasil membentuk pandangan dan sikap untuk patuh dan memahami apa yang disebut dengan demokrasi Pancasila. Nilai-nilai Pancasila di distribusikan dan di internalisasikan dengan harapan, orientasi sosial masyarakat terbentuk untuk patuh pada nilai-nilai yang dibangun oleh penguasa. Orde Baru berhasil membangun kekuasaan dengan pendekatan Sosiologi dan politis, dimana perubahan sosial itu terjadi ketika masyarakat tidak lagi kritis terhadap segala kebijakan negara. Untuk itulah kenapa Orde Baru bisa bertahan selama 32 tahun, karena berhasil menggunakan bangunan sosial dalam menerapkan standar kehidupan bernegara dan bermasyarakat sesuai keinginan penguasa.

Bila merujuk pada metode perubahan yang dikaji oleh Chin dan Benne, ada tiga jenis strategi dalam melakukan perubahan sosial, yaitu, rasional empiris. Manusia rasional, normative edukatif yang berarti pendekatan manusia rasional tapi bertindak berdasarkan norma sosial, pengetahuan dan memiliki kepentingan sendiri dan paksaan kekuasaan, dimana manusia bertindak atas dasar hubungan kekuasaan sah atau paksaan. Maka strategi pendekatan ideologi termasuk pada metode perubahan ke tiga, dimana unsur paksaan dengan menggunakan legitimasi kekuasaan negara menjadi pendekatan yang dominan.

Pendekatan ideologi dalam merubah orientasi sosial, kini tidak lagi menjadi pendekatan yang mampu secara cepat mengubah orientasi-orientasi lama. Pendekatan ini digeser dengan begitu pesatnya penemuan-penemuan canggih di bidang teknologi informasi yang mengintegrasikan secara global nilai-nilai atau pandangan-pandangan sosial baru yang akan merubah sikap dan prilaku manusia. Teknologi informasi yang terintegrasi secara global seperti yang di ulas di awal, “mengalahkan” pendekatan ideologi yang memang terbatas oleh teritori-teritori tertentu. Orientasi perubahan sosial kini tidak lagi ada ditangan negara, tapi secara global terbentuk oleh faktor-faktor yang sangat kompleks yang melibatkan arena yang sangat luas dan menembus batas-batas negara (global).


Filterisasi terhadap Informasi Baru

Perubahan orientasi sosial yang diakibatkan oleh revolusi teknologi informasi ini, kemudian dikatakan Bell dengan lahirnya masyarakat Informasi. Dampak dari terbentuknya masyarakat informasi memang tidak selalu bergerak pada arah perubahan yang positif. Arus informasi yang datang dari segala arah tentunya harus memiliki filter guna membatasi informasi mana saja yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Salah satu aspek negatif dari derasnya arus informasi juga mengancam masalah moral masyarakat, salah satunya adalah masalah pornografi, yang menyangkut perubahan gaya hidup masyarakat.

Nilai-nilai atau budaya lokal tentunya akan terkikis seiring hadirnya informasi yang mengusung nilai-nilai dan pandangan baru. Bahkan nilai-nilai dan pandangan baru itu banyak yang kemudian justru bertentangan dengan nilai-nilai dan pandangan lama yang membentuk modal sosial lama yang terbentuk dari nilai-nilai dan pandangan lokal masyarakat setempat.
Di Indonesia, ada beberapa komunitas yang sudah sejak lama menutup diri dari komunitas di luar mereka, masyarakat Baduy di Banten atau masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya misalnya, sampai sejauh ini, mereka terlindung dari infiltrasi budaya-budaya baru yang datang dari luar. Mereka memegang teguh nilai-nilai dan budaya-budaya lokal, sehingga apa yang dianggap budaya atau teknologi baru yang datang dari luar, akan mereka tolak. Listrik adalah salah satu contoh teknologi baru yang mereka tolak, padahal listrik adalah teknologi yang akan membuka gerbang masuknya informasi-informasi baru, seperti dari televisi dan radio. Sejauh ini, kedua komunitas masyarakat ini, berhasil mempertahankan nilai-nilai dan budaya-budaya lama, artinya masyarakat informasi yang dikatakan oleh Bell tidak terbentuk pada dua komunitas masyarakat ini dan tidak terjadi perubahan sosial yang signifikan. Kedua komunitas masyarakat ini berhenti pada titik apa yang dinamakan masyarakat Pertanian.

Inilah salah contoh bagaimana filterisasi gencarnya arus informasi yang harus betul-betul dilakukan, walaupun tidak harus menutup diri sepenuhnya dari informasi-informasi baru, artinya jika ada nilai-nilai baru yang bertentangan bahkan akan mengikis nilai-nilai lokal lama yang dihasilkan oleh prodak budaya yang sangat sesuai dengan masyarakat lokal, maka kita harus membuang nilai-nilai baru itu.


Kesimpulan

Dari hasil pembahasan disana, kita dapat menyimpulkan bahwa terjadinya perubahan sosial dewasa ini yang menyangkut orientasi sosial, pandangan, sikap dan prilaku lebih dipengaruhi oleh pendekatan materialis. Artinya dua pendekatan dalam kajian ilmu sosial, lebih khusus lagi pada kajian Teori Perubahan Sosial, yaitu pendekatan idealis atau ideologis dan pendekatan materialis, lebih relevan pada pendekatan materialis. Pendekatan materialis ini merujuk pada penemuan-penemuan baru dalam teknologi informasi yang terus berkembang.

Rentetan perubahan sosial yang dilatarbelakangi oleh kemajuan di bidang industri, sudah mencapai klimaksnya. Kini orientasi perubahan sosial sudah digeser dengan dilatar belakangi oleh revolusi teknologi informasi. Bila dampak dari adanya revolusi industri yang melahirkan masyarakat kapitalis, maka pergeseran berkembang menjadi terbentuknya masyarakat informasi akibat revolusi teknologi informasi.

Terkikisnya pendekatan ideologi sebagai sebuah pendekatan dalam melakukan perubahan sosial, diakibatkan karena adanya penemuan-penemuan baru di bidang teknologi informasi yang mengintegrasikan secara global kesadaran-kesadaran massa dalam satu frame. Integrasi global ini, jelas mengalahkan pendekatan ideologi yang terbentur dengan batas-batas teritori tertentu. Oleh sebab itu, gejala-gejala terkikisnya rasa nasionalisme bangsa ini, bisa dikatakan sebagai akibat dari adanya kesadaran baru yang mengubah tatanan sosial menjadi lebih mengglobal (global minded).

Akhirnya, gejala-gejala perubahan sosial yang jangkauan secara massif mengglobal sudah terasa, batas-batas teritori kini tidak lagi menjadi batasan. Perubahan sosial yang menyangkut budaya baru, pandangan, sikap dan perilaku akan tersentralisasi pada satu sikap, tidak lagi beragam sesuai batasan teritori tertentu. Memang tidak sepenuhnya nilai-nilai lokal atau tradisional yang sudah lama ada akan seluruhnya tercerabut, tapi dalam konteks prilaku individu-individu yang akan bermuara pada prilaku kelompok yang sudah bisa menerima, memahami, menggunakan dan memanfaatkan perubahan teknologi informasi, perubahan sosial ini akan terjadi dan terinternalisai sebagai pandangan baru.

Referensi
Abdoellah, Oekan, 2010, Hand Out Mata Kuliah Teori Perubahan Sosial, STIA PRIATIM, Tasikmalaya.
Beni, R (2002). Transisi Masyarakat Informasi Indonesia: suatu Pemikiran Awal. Dalam. Sekapur Sirih Pendidikan Perpustakaan di Indonesia 1952 – 2002: Kumpulan artikel Alumni dan Mahasiswa PS Ilmu
Perpustakaan Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Ed. Sulistyo-Basuki. Depok: PS Ilmu Perpustakaan PPs FIB.
Rusmana, A. (1998). Peran Inforrmasi dalam Era Global dalam Dinamika Informasi dalam Era Global. Ed. Koswara, E. Bandung: R




Rino Sundawa Putra adalah Dosen program studi Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Beliau juga saat merupakan mahasiswa program Pascasarjana Ilmu Administrasi Negara STIA Priangan Timur Tasikmalaya.

3 komentar:

  1. Jauhari, Pekalngan, pengunjungAugust 9, 2010 at 11:58 PM

    Ok, tulisan yang lumayan..cukup menstimulan pengetahuan

    ReplyDelete
  2. hmmm teknologi adalah hal yg penuh dengan misteri & inovasi tak terbatas...

    ReplyDelete
  3. info dan tulisan-tulisan di blog ini sangat menarik, terimakasih. izin untuk menjadi pembaca setia. . dari admin http://aguzssudrazat.blogspot.com/

    ReplyDelete