Tafsir Agama dan Ketidakadilan Gender


Hamdan Kurniawan
Subhan Agung


Pengantar

Agama (baca : Islam) acapkali menjadi terdakwa bagi pelanggengan kekuasaan patriarki yang meletakkan dominasi maskulinitas atas perempuan. Pemahaman ini konon berakar dari pengalaman pahit perjalanan kenabian yang kerap merendahkan martabat perempuan. Selain itu, ayat-ayat suci Al-Qur’an yang merupakan petunjuk Tuhan bagi kehidupan manusia juga dituduh sebagai akar penyebabnya. Ia dianggap kondusif bahkan melegalkan praktek superioritas laki-laki terhadap perempuan. Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi apakah Islam melalui wahyu dari langit melestarikan sebuah konstruksi dominasi laki-laki atas perempuan, ataukah sebaliknya, dominasi tunggal tasfir lama-lah yang diyakini justru menyokong –jika tidak bisa dikatakan menciptakan–konstruksi sosial yang menyeleweng sehingga seolah-olah Al-Qur’an tidak menyejajarkan kedudukan kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan.


Tafsir Agama

Secara umum, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi ke dalam dua kategori besar yakni ayat muhkamat –yang makna dan maksudnya tidak lagi menimbulkan perdebatan dan ayat mutashabihat –yang maknanya menimbulkan perdebatan sehingga memunculkan tafsiran yang berbeda.[1] Ini dipertegas dalam Qur’an Surat Ali Imron ayat 7 Allah berfirman : ”Dialah yang menurunkan Al-Qur’an kepadamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat, dan itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutashabihat. Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutashabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengenal takwilnya kecuali Allah saja”.

Namun, perbedaan penafsiran sesungguhnya tidak hanya pada ayat mutashabihat. Bahkan ayat-ayat yang dianggap selesai maknanya pun tetap ditafsir secara berbeda. Menurut Asghar Ali Engineer[2] perbedaan ini tidak hanya terjadi di antara komentator dan ahli tafsir zaman klasik, namun juga sahabat-sahabat dekat nabi. Mereka memahami banyak sekali perbedaan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan yang menentukan adalah kedudukan subyektifnya (secara sosial, politik dan ekonomi).

Setiap wahyu yang diturunkan oleh Tuhan kepada umat manusia melalui Nabi dan Rasul-Nya pasti memiliki latar belakang peristiwa tertentu. Ia turun untuk merespons kejadian tertentu pada waktu tertentu pula. Seiring bergulirnya waktu, penafsiran atas ayat-ayat suci Al-Qur’an mengalami perubahan bergantung pada persepsi dan tingkat perkembangan pengetahuan seseorang.

Kadangkala kita menemui apa yang kita pahami sekarang jauh berbeda dengan yang dipahami kala abad pertengahan. Sebagai misal, Q.S 21 : 30 yang berbunyi : “Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu kesatuan, kemudian Kami pisahkan keduanya?. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu hidup di dalamnya. Mengapa mereka juga tidak beriman?”. Pada penafsiran kontemporer saat ini, orang sudah dibantu dengan kemajuan teknologi sehingga proses pemisahan langit dan bumi yang awalnya kesatuan dipahami sebagai teori big a bang tentang penciptaan alam semesta,[3] sesuatu yang mungkin tidak pernah terpikirkan pada abad pertengahan.

Mungkin, kita perlu menyimak apa yang disampaikan oleh tokoh neomodernisme Islam, Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa “bersikeras mempertahankan implementasi harfiah ketentuan-ketentuan Al-Qur’an, dengan menutup mata terhadap perubahan sosial yang telah dan tengah terjadi secara gamblang di depan mata kita, sama saja menghancurkan secara langsung maksud-maksud dan tujuan moral-sosialnya”[4]

Pada pembahasan mengenai peran dan posisi perempuan dalam pandangan Islam, kita akan melihat bahwa tafsir tunggal yang selama ini kita yakini kebenarannya rasanya perlu diguyur dengan pemahaman baru yang lebih segar agar lebih komprehensif dalam memandang persoalan ketidakadilan gender.


Ketidakadilan Gender

Dalam bahasa sederhana, gender dipahami sebagai atribut yang dilekatkan, dikodifikasi dan dilembagakan secara sosial maupun kultural kepada perempuan atau laki-laki.[5] Gender berbeda dengan sex yang merupakan atribut yang dilekatkan secara biologis kepada laki-laki atau perempuan.

Ketidakadilan gender termanifestasi ke dalam beberapa bentuk yakni marginalisasi atau pemiskinan perempuan dalam kehidupan ekonomi, subordinasi atau penomorduaan dalam kehidupan politik, stereotype atau pelabelan negatif dalam kehidupan budaya, violence atau kekerasan dalam kehidupan sosial dan double burden atau beban ganda dalam kehidupan keluarga.[6]

Pemiskinan perempuan dalam ekonomi acapkali kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Kesempatan kerja lebih terbuka bagi laki-laki ketimbang perempuan. Demikian pula penghargaan terhadap kedua makhluk ini, yang lebih sering tidak adil terhadap perempuan.

Dalam kehidupan politik, perempuan sering dianggap tidak mampu terjun dalam kehidupan politik, termasuk tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan-keputusan penting. Dalam tubuh Parpol misalnya, penerimaan perempuan dalam pencalonan legislatif lebih karena memenuhi kewajiban kuota minimal yang dipersyaratkan undang-undang ketimbang itikad baik pelibatan perempuan untuk kehidupan parpol yang lebih berkualitas. Pemimpin, dalam benak banyak orang juga diasosiasikan sebagai laki-laki, sesuatu yang maskulin dan kuat ketimbang sebaliknya.

Pelabelan negatif melekat pada diri perempuan, dianggap sebagai makhluk lemah yang tidak pantas melakukan sesuatu ke arah yang lebih maju. Fungsi perempuan adalah pendamping suami, dan hanya melakukan tugas-tugas rumah tangga. Mereka tidak layak mendapat pendidikan yang tinggi karena pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga.

Sedang dalam kehidupan sosial, kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam rumah tangga sering kita temui kasusnya. Kekerasan tidak hanya berbentuk fisik, namun juga kekerasan seksual dan psikis. Pelaku adalah orang yang tidak menghargai perempuan, menganggap mereka sebagai objek yang bisa diperlakukan semena-mena. Seorang suami yang merasa istri adalah propertinya, akan melakukan apa saja untuk kebutuhannya.

Beban perempuan dalam rumah tangga semakin bertumpuk manakala posisinya sebagai ibu dan istri harus dilaksanakan secara bersamaan tanpa pembagian tugas dan peran dengan suaminya. Pada saat yang sama, dia harus merawat dan memberikan pendidikan memadai untuk anak, melayani suami luar dalam dan juga mengerjakan tugas rumah tangga yang umumnya dikategorikan sebagai pekerjaan perempuan (mencuci baju, piring, memasak, membersihkan rumah dan lain sebagainya).


Konstruksi Sosial versus Tafsir Ulang

Dalam praktek kehidupan sehari-hari, secara sadar atau tidak, kita sedang berada dalam lingkar kehidupan yang bias gender. Struktur yang timpang dan menempatkan perempuan pada posisi inferior ini, telah menuntun kita pada pemahaman –juga keyakinan–bahwa keadaan demikian memang sudah sepantasnya, bahkan cenderung menikmati. Reproduksi atas ketidakadilan gender terkadang justru dilakukan oleh masyarakat kita karena mendapat justifikasi secara sosial, politik, ideologi dan pemahaman yang akhirnya mewujud pada tindakan yang selalu meletakkan posisi laki-laki lebih superior atau lebih hebat ketimbang perempuan inilah yang kita sebut sebagai patriarki.

Kondisi yang demikian bukan tanpa sebab dan tanpa akar panjang dalam sejarah perjalanan kehidupan masyarakat. Pertanyaan bahwa apakah agama menjustifikasi konstruksi sosial yang patriarkis ini dan menciptakan sikap mental yang membenci perempuan (misoginis), akan kita jawab dengan menyajikan contoh-contoh berikut.

Beberapa petikan ayat Al-Qur’an sepertinya memang memberi dukungan bagi direndahkannya posisi perempuan. Ini bisa kita simak pada Q.S An-Nisa ayat 34 : (membolehkan memukul perempuan) dan Q.S An-Nisa ayat 11 (perempuan mendapat bagian separo dari bagian laki-laki dalam pembagian warisan). Seperti kutipan dari Qur’an di bawah ini :

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah dan memelihara diri ketika suminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (Q.S An-Nisa (4) : 34).

Ayat ini dianggap sebagai alasan bagi dimakluminya kekerasan dalam rumah tangga. Istri yang tidak menuruti perintah suami, boleh saja dipukul, meski itu merupakan upaya paling akhir setelah dinasehati dan dipisahkan dari tempat tidurnya. Dalam membaca ayat ini, kita terpaku pada pembacaan yang literal atau letterlegs. Kita lupa –meminjam bahasanya Asghar– bahwa turunnya ayat ini harus dilihat dalam konteksnya yang proporsional. Saat itu perempuan sangat dibatasi dan hanya boleh berada dalam rumah sementara laki-lakilah yang menghidupinya. Dan Al-Qur’an tidak menganggap atau menyatakan bahwa sebuah struktur sosial bersifat normatif[7] karena sebuah struktur sosial pastilah akan berubah. Justru, Al-Qur’an tampak kontekstual dengan keadaan saat itu. Yang harus kita ingat, Al-Qur’an memuat ayat-ayat kontekstual/pragmatis pada satu sisi, namun juga ayat yang bersifat normatif, berlaku umum dan sepanjang masa.

Rasanya perlu kita sandingkan dengan penafsiran terhadap ayat ini yang lebih revolusioner. Seorang ahli tafsir, Ahmed Ali, lewat tulisan Qur’an – A Contemporary Translation (mengutip leksikon dari kata-kata Al-Qur’an), menerjemahkan wadribuhunna (dan pukullah mereka) tidak berarti ‘memukul’ namun secara alegoris bermakna ‘bersenggama dengan mereka’. Jika kita baca lengkap akan berbunyi “....Kalau wanita-wanita yang kamu khawatirkan menentang, bicaralah dengan mereka secara baik-baik; kemudian tinggalkanlah mereka di tempat tidur sendirian (tanpa menganiaya mereka) dan kemudian tidurilah mereka (jika mereka mau). Jika mereka tidak lagi menentangmu, janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyalahkan mereka. Sungguh Allah Maha Tinggi dan Maha Agung.”[8]

Sekali lagi ditegaskan, bahwa pembacaan dan penerjemahan ayat Al-Qur’an sangat dipengaruhi kedudukan, pemahaman dan kondisi seseorang saat itu. Jika yang dominan adalah penafsiran lama, maka tampak seolah-olah bahwa laki-laki diciptakan lebih kuat dan berkuasa dibanding perempuan. Dominasi ini berkonotasi buruk karena pada prakteknya menciptakan kekerasan yang seolah-olah dimaklumi dan diijinkan atas nama agama.

Dalam hal pembagian warisan, nuansa ketidakadilan terhadap perempuan tampak dari hak mereka yang hanya separuh bagian laki-laki. Kutipan lengkapnya sebagai berikut :

“Dan Allah mensyari’atkan kepada kalian tentang pembagian harta warisan kepada anak-anakmu yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua anak perempuan dan jika semua anak itu perempuan dan lebih dari satu; maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan orangtuanya. Dan jika anak perempuan itu hanya seorang saja maka ia mendapatkan separo dari keseluruhan harta. Dan untuk ibu bapak, masing-masing mendapat bagian seperenam dari harta yang ditinggalkan. Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan yang diwarisi hanya bapak ibu saja maka bagi ibunya sepertiga dari keseluruhan harta; jika yang meninggal mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian itu dilakukan bila sudah dipenuhi wasiat-wasiat dan hutang-hutangnya. Di antara orang tuamu dan anak-anakmu kalian tidak mengetahui siapa yang memberi manfaat kepadamu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S An-Nisa (4) : 11).

Kalau kita membaca secara tekstual ayat di atas, seolah bias gender dan merugikan perempuan, jika kita memahaminya berdasar teks yang ada. Apabila kita mengikutsertakan aspek kesejarahan akan kelihatan bahwa yang tertuang justru merupakan pengakuan terhadap eksistensi perempuan.

Dunia Arab kala itu didominasi masyarakat tribal atau suku dan sistem kepemilikan yang berkembang adalah kolektif. Relasi antar suku bersifat konflik termasuk dalam memperebutkan lahan penggembalaan ternak. Untuk mengeleminasi konflik, salah satu strategi yang dijalankan adalah proses perkawinan antar suku dengan tujuan membangun relasi lebih jauh, aliansi, dan kerjasama. Namun yang terjadi perkawinan model ini tetap menciptakan perseteruan antar suku berkait dengan warisan yang ditinggalkan orang tua si perempuan. Ketika perempuan mendapat warisan maka kekayaannya menjadi milik suami dan itu menjadi milik sukunya. Kenyataan ini tidak bisa diterima oleh suku perempuan dan mengobarkan perang antar suku yang tak kunjung usai. Pada akhirnya, perempuan tidak mendapat hak apa pun atas warisan.[9] Islam kemudian datang dengan terobosan cukup revolusioner yakni memberi hak perempuan separuh hak laki-laki.

Penafsiran yang meninggalkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) adalah ciri khas metode penafsiran yang paling dominan yakni metode tahlili yang menganilisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat. Penafsir sebagian besar berpegang pada kaidah “yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafadh, bukan sebab tertentu.”[10] Kelemahan utama terletak pada pengabaikan sebab-sebab atau alasan yang mendasari turunnya ayat tersebut. Artinya, bunyi teks terlepas atau dilepaskan dari konteks yang terjadi.


Pelajaran Berharga

Sebagai petunjuk Tuhan yang paripurna, Al-Qur’an dipedomani oleh umat manusia sebagai kebenaran yang akan menuntun menuju kebahagiaan sejati, yakni kehidupan abadi di akhirat kelak. Tidak ada kekuatan yang sebanding dan dapat ditawar kecuali keyakinan penuh dan utuh atas ayat-ayat dalam kandungan Al-Qur’an. Kepercayaan, ideologi, pemahaman, bahkan tindakan dalam kehidupan sehari-hari bersumber dari wahyu Tuhan ini, membentuk keyakinan yang terpatri begitu mendalam di kalbu.

Sayangnya, pembacaan dan pemahaman keagamaan yang diyakini kebenarannya, khususnya menyangkut hubungan dengan sesama manusia, selama ini didominasi oleh tafsir agama yang terlalu literal, mengabaikan konteks, ahistoris dan mengagungkan wacana tunggal. Agama, berikut ajaran dan kalam-kalam Ilahi di dalamnya seolah menjadi sesuatu yang given, statis, beku dan baku. Dalam melihat perempuan, seolah Islam meletakkan tonggak kuat dan tak berubah hingga akhir jaman bahwa mereka merupakan tulang rusuk pria, selalu berada di bawah dominasi laki-laki. Struktur sosial-politik yang pincang, dengan demikian akan mengukuhkan dominasi satu pihak (male-centered), membuat hubungan laki-laki perempuan tidak lagi sejajar. Pemahaman miring ini tidak beda jauh dari sesuatu yang bersifat rasialis, yang melihat keunggulan ras tertentu di satu sisi dan merendahkan ras lain di sudut yang lain.

Pembacaan juga dilakukan sepotong-sepotong sehingga mengurangi sifat kesemestaan wahyu Ilahi. Beberapa potong ayat terasa tidak adil gender, namun jika kita melihatnya secara keseluruhan akan tampak nyata bahwa Allah tidak pernah membeda-bedakan jenis kelamin makhluk-Nya. Terlalu banyak nukilan ayat Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang menunjukkan secara tegas bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan, mulai dari asal penciptaan mereka yang sama, hak untuk mendapatkan perlindungan, hak untuk bekerja dan lain sebagainya. Hanya manusia yang beriman dan bertaqwa lah yang akan mendapat tempat paling mulia di sisi Tuhan.



REFERENSI

Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Cetakan II Mei 2000

Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam, terbitan LESISKA Yogyakarta, cetakan I Agustus Tahun 1996

Moh. Yasir Alimi, Jenis Kelamin Tuhan Lintas Batas Tafsir Agama. LKiS, Yogyakarta, Tahun 2001

Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998.



[1] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, hal 177, Pustaka Pelajar, Cetakan II Mei 2000

[2] ibid, hal 178.

[3] Asghar, op.cit, hal. 180.

[4] Termuat dalam Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam, hal 73 terbitan LESISKA, cetakan I Agustus Tahun 1996, Yogyakarta

[5] Moh. Yasir Alimi, Jenis Kelamin Tuhan Lintas Batas Tafsir Agama. LKiS, Yogyakarta, Tahun 2001

[6] Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998.

[7] Ashgar, op.cit. hal 237.

[8] Ibid, hal 176, dikutip utuh dari buku yang sama.

[9] Moh. Yasir Alimi, op.cit Hal. 91

[10] ibid. Hal 73


Hamdan Kurniawan dan Subhan Agung adalah mahasiswa pada program pascasarjana Ilmu Politik UGM, Yogyakarta.

0 komentar:

Post a Comment