PR Aceh Pasca Konflik Politik GAM-RI

Subhan Agung


Persoalan Aceh untuk sementara memang selesai dengan kesepakatan bersama antara pemerintah RI dan GAM, bahkan Aceh saat ini menjadi provinsi dengan pembenahan-pembenahan istimewa, seperti adanya partai lokal, undang-undang pemerintahan tersendiri, bahkan Aceh saat ini terlihat “adem ayem” dengan dipimpin oleh seorang mantan petinggi GAM sendiri. Namun satu hal yang tidak bisa dikesampingkan “api dalam sekam” jika pemerintah pusat selama ini menganggap persoalan Aceh selesai tanpa ada upaya menyelesaikan PR pasca konflik.

Terkait dengan penanganan pasca konflik, paling tidak ada tiga tahapan yang menjadi pokok perhatian sementara mengenai kemanan di Aceh pasca konflik yang dikenal dengan demobilisasi, demiliterisasi dan re-integrasi (DDR). Pertama, demobilisasi, yakni penghentian pengerahan kekuatan-kekuatan elemen konflik yang selama ini berkonflik, baik itu tentara ataupun GAM dengan cara-cara persuasif dan melaksanakan kesepakatan-kesepakatan bersama sebagaimana yang sudah disepakati dalam perjanjian Helsinki. Meminimalisir aktivitas-aktivitas yang dapat menstimulan munculnya konflik lanjutan. Selain itu juga, peemerintah rspek pada .rasa keadilan untuk para korban dan mantan kombatan GAM terkait dengan hak-haknya, baik sebagai warga negara. Hal ini penting, karena jika tidak diperhatikan atau disepelekan tidak mustahil menimbulkan benih-benih munculnya konflik baru yang bersumber dari kekecewaan tadi.

Kedua, demiliterisasi, yakni melakukan upaya pasca konflik dengan cara-cara yang lebih persuasif dan tidak mengedepankan kekuatan militer seperti yang selama ini dilakukan. Pengerahan-pengerahan pasukan TNI yang seperti selama ini dilakukan harus secepatnya dihentikan, dan biarkan polisi melakukan tugasnya sebagai penegak hokum dalam mengatasi kriminalitas dan konflik-konflik dalam masyarakat Aceh saat ini, yang skalanya lebih pada konflik yang horizontal dan standar. Peristiwa keamanan terkini di Aceh, termasuk apakah masih adanya kekerasan, baik yang terkait dengan GAM ataupun lainnya yang dapat menstimulan munculnya kekecewan baru bagi warga Aceh lebih banyak diselesaikan oleh campur tangan TNI, yang sebenarnya sudah masuk pada wilayah kerja kepolisian.

Press Release yang seperti tercantum dilampiran ini menandakan bahwa polisi di Aceh masih gagap dalam memainkan perannya di Aceh dan memunculkan buncahan-buncahan kekecewaan elemen masyarakat di Aceh. Di lain pihak, TNI masih dijangkiti post power sindrom, masih merasakan serasa dalam kondisi konflik, sehingga cara-cara militer dalam mengatasi persoalan di Aceh dihadapi dengan militer. Mereka selalu “gatal” ingin terjun mengatasi persoalan yang padahal bukan wilayah tugas dan wewenang mereka. Pemerintah Aceh harus secepatnya mampu membenahi persoalan ini, termasuk juga bagaimana membedakan peran dengan polisi syari’ah di Aceh yang saat ini kurang jelas fungsi dan keberadaannya dalam format profrsionalisme actor-aktor keamanan di Aceh.

Ketiga, re-integrasi, yakni proses bagaimana menyatukan semua elemen yang selama ini berseteru sebagai satu kesatuan yang terikat dalam bagian masyarakat Aceh dan menekankan pada upaya bersama dalam penegakkan kesepakatan-kesepakatan yang sudah disepakati. Reintegrasi dalam hal ini terkait erat di dalamnya bagimana kpmbatan-kombatan GAM yang selama ini belum dibebaskan, harus secepatnya dibebaskan seperti diamanatkan oleh kesepakatan Helasinki dan Kepres. Namun kalau kita lihat lampiran di data, masih banyak kombatan GAM yang sampai saat ini meringkuk di penjara. Selain itu juga, pemerintah berkewajiban membersihkan nama baik dan mengembalikan mereka ke masyarakat dan beraktivitas selayaknya masyarakat lainnya serta berhak mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai warga Negara. Tugas yang tidak kalah penting lainnya adalah persoalan mereka yang penghidupannya mengalami kesulitan dikarenakan cacat seumur hidup, kehilangan suaminya, anaknya dan lain sebaginya yang sampai saat ini belum mendapat santunan dari pemerintah. Keamanan saat ini memang mulai tercipta, tapi bukannya keamanan tidak hanya itu, tetapi bagaimana kemananan ini menjadi pilar membangun kesejahteraan mereka yang ternyata masih mengkhawatirkan akibat konflik dan operasi yang sporadic lewat DOM yang selama ini dilakukan.

Dalam konteks peace building post-konflict seperti yang diulas di atas, ada beberapa hal yang perlu kita kritisi terkait kondisi kemanan saat ini di Aceh dan prosfeknya di masa yang akan dating. Persoalan pertama terkait erat dengan peristiwa yang terkait dengan terbentuknya rasa aman warga lewat kontak-kontak fisik atau konflik terbuka yang membuat kerisuan dan mengganggu rasa aman warga dan pemerintahan menjadi tidak stabil yang sering terjadi di sepanjang tahun 2008 sampai awal 2010 ini. Sebagian besar data memang melihat pasca Mou 15 Agustus 2005 Helsinki konflik fisik mulai kurang, bakhan tidak ada, tapi apakah benar tidak ada buktinya kekerasan itu muncul?. Ingatan kita kemudian disegarkan dengan sejumlah peristiwa penyerangan sejumlah anggota Komite Peralihan Aceh di Atu Lintang akhir Februari 2008. KPA merupakan sebuah institusi yang menyatukan para anggota kombatan GAM di mana anggotanya lebih banyak berasal dari mantan kombatan daripada mereka yang menjadi juru runding GAM itu sendiri. Satu bulan kemudian pada akhir bulan Maret 2008, media kembali memberitakan kasus penembakan anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) oleh anggota KPA .

Persoalan kedua, terkait dengan prosfek keamanan di Aceh. Ada sejumlah isu yang menarik dibahas, tentang konflik politik RI-GAM yang termanifest lewat upaya memajukan Aceh seperti dalam penjelasan tentang fase-fase demobilisasi, de-militerisasi dan re-integrasi (DDR) seperti di jelaskan di atas, kekhawatiran adanya polisi syariah dan polisi negara serta masih banyak PR yang harus secepatnya diselesaikan, semisal pengusutan kejahatan dalam DOM yang dilakukan para anggota militer, semisal pemerkosaan, pelecehan, dan perilaku asusila lainnya yang sampai sekarang masih belum ada tindak lanjutnya. Salah satu organisasi yang semangat mengusut kejahatan adalah Kontras lewat tokohnya Munir, namun sampai saat ini masih banyak yang terbengkalai.

Semoga dengan upaya yang serius dari berbagai pihak, dan terutama pemerintah pusat dan pemerintahan Aceh yang respek pada upaya dan fase-fase pasca konflik dan serius melakukannya, kemananan di Aceh akan stabil. Pemerintah juga harus mampu mengangkat tingkat kesejahteraan di Aceh saat ini yang dinilai masih rendah disbanding daerah lain di Indonesia, semoga.

Tulisan ini asalnya merupakan analisis pendek Mk Politik Keamanan dan Pembangunan Pascasarjana Ilmu Politik UGM yang sengaja penulis posting supaya dibaca banyak orang dan bermanfaat.

0 komentar:

Post a Comment