Eksploitasi Ekonomi dalam Politik Lingkungan di Indonesia

Eksploitasi Ekonomi dalam Politik Lingkungan di Indonesia
Oleh : Fitriyani Yuliawati[1]

Abstrak
Kerusakan hutan di Indonesia telah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kelestarian lingkungan maupun perekonomian masyarakat, pada awalnya hal ini terjadi karena Indonesia pada masa Orde Baru menjadikan hutan sebagai alat untuk membiayai pembangunan dengan cara melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap hutan tanpa adanya upaya untuk melakukan redeforestasi terhadap hutan itu sendiri sehingga pada akhirnya akan merugikan masyarakat disekitar hutan dan lingkungan itu sendiri. Indonesia pada akhirnya dalam memperjuangkan kepentingan politik lingkungannya harus mempunyai posisi tawar pada dunia internasional baik dari segi ekonomi maupun dari segi lingkungannya.

Deforestation (perusakan hutan) di Indonesia saat ini telah menjadi ancaman yang sangat serius, setiap tahunnya kerusakan hutan yang terjadi  di wilayah Indonesia terutama di luar pulau jawa, sepanjang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua telah berada pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan Deforestation sebagai kejadian ketika lahan hutan ditebangi atau dibersihkan untuk dikonversi penggunaan lahan untuk sektor di luar kehutanan (Herman Hidayat, 2008). Kehancuran hutan menunjukkan pada penggantian dalam kualitas hutan, dan terjadi ketika beragam spesies dan biomas berkurang secara penting, misalnya, penggunaan hutan secara tidak lestari. Keadaan kerusakan hutan ini terjadi secara nyata di Indonesia. Hal ini terus berlangsung semenjak kebijakan mengenai pengelolaan hutan oleh pihak swasta diberlakukan melalui Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kebijakan mengenai pengusahaan hutan yang mulai diberlakukan ketika masa pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto ini telah menimbulkan kerusakan hutan yang sangat mengkhawatirkan, karena melalui HPH pengeksploitasian hutan berjalan secara sporadis baik itu melaui loging maupun pertambangan.

Bahkan, sebuah badan dunia FAO (Food and Agricultural Organization) melansir sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat di dunia. Laju kerusakan hutan kita, menurut data itu, adalah 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 km persegi hutan kita rusak setiap setiap hari atau atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jamnya. Lembaga lain United Nation Environment Programme (UNEP/GRID-Arendal) pada Mei 2007 mempublikasikan perubahan wajah Pulau Kalimantan dalam enam dekade ke belakang dan satu setengah dekade ke depan. Pada tahun 1950, Kalimantan nyaris dipenuhi hijau hutan. Tahun 2005, Kalimantan sudah kehilangan sekitar 50% hijaunya. Pada 2020, diestimasikan bahwa hanya sedikit warna hijau (sekitar 25% saja) yang akan tertinggal di pulau ini.

Selain itu, pada tahun 2007 majalah Times (edisi 1 Oktober 2007) memuat sebuah gambar satelit yang menggambarkan perubahan Jakarta secara dramatis. Tahun 2010, permukaan air laut diestimasikan sudah makin merambah masuk ke daratan (hal ini sudah mulai dirasakan dengan adanya air rob yang mulai masuk ke pemukiman penduduk). Pada 2020, sebagian Bandara Sukarno-Hatta sudah mulai tergenangi air laut. Bahkan pada 2050, permukaan air laut sudah mengancam kawasan Monumen Nasional di pusat ibukota. Pemanasan global dan kenaikan permukaan air laut yang diakibatkannya adalah ancaman konkret yang tak bisa dihindari. Majalah Times (edisi 1 Oktober 2007) juga memperlihatkan bahwa lapisan es di Kutub Utara yang sudah menyusut lebih dari 20% dalam 25 tahun terakhir. Pencairan es ini akan terus berlangsung hingga tinggal sekitar 20% saja pada 2040. Pada saat itu, Indonesia diestimasikan akan akan kehilangan lebih dari 2.000 pulaunya yang tenggelam.

Apabila kita melihat data di atas, hal ini telah menjadikan politik lingkungan sebagai wacana yang semakin menarik perhatian saat ini. Politik lingkungan mulai berkembang pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an (Daugverne, 2005). Lingkungan pada dasarnya mempunyai makna yang sangat luas, kita sering menterjemahkan lingkungan sebagai suatu bentuk alam saja, akan tetapi lingkungan bermakna tidak saja menyangkut masalah alam, akan tetapi juga sosial atau sering disebut sebagai lingkungan sosial atau aturan-aturan, kebiasaan, hukum yang berkaitan dengan bagaimana mengatur orang sebagai anggota masyarakat. Lingkungan yang dipahami sebagai bentuk alam atau lingkungan alam keadaannya sangat mencolok berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan dan ini memerlukan penanganan secara politik dari pihak pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Secara politik, lingkungan boleh dibilang masih terpinggirkan hampir setiap kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan belum kelihatan hasilnya, akibatnya kini kondisi lingkungan semakin bertambah parah. Intervensi manusia terjadi dengan paradigma yang tidak didasarkan pada pertimbangan lingkungan, bahkan lingkungan masih dijadikan beban atau dianggap sebagai eksternalitas yang membebani persoalan yang sama juga terjadi di tingkat pengambilan keputusan. Para pengambil keputusan tidak mempertimbangkan persoalan lingkungan di dalamnya. Masalah kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia adalah berhubungan dengan pengelolaan yang salah atas eksploitasi hutan yang menunjukkan korelasi indikator sebagai berikut, Pertama, kelengahan atas pengelolaan hutan diantara aktor (pelaku)yang langsung misalnya birokrat Departemen Kehutanan baik di instansi pusat maupun instansi daerah dan para pengusaha baik lokal maupun transnasional. Mereka seringkali lengah untuk mengimplementasikan konsep dan sistem pembangunan kehutanan yang berbasis lingkungan. Kedua, para aktor ini tidak memperhatikan pentingnya tabiat manusia dengan lingkungan dan mereka (pelaku) gagal gagal untuk mengintegrasikan sistem hubungan manusia dengan alam. Hal ini penting untuk diakui perbedaan antara sistem manusia dengan alam, manusia secara individu dan kelompok dapat mengantisipasi dan menyiapkan masa depan untuk lebih besar keperluannya (tingkatannya) daripada sistem lingkungan (Peterson, 2000).

Para ahli mendefinisikan politik lingkungan secara berbeda, Garry Peterson dalam jurnal Ecological Economics mengatakan bahwa politik lingkungan merupakan suatu pendekatan yang menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi untuk mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik antara lingkungan dengan manusia, dan antara kelompok yang bermacam-macam di dalam masyarakat dalam skala dari individu lokal kepada transnasional secara keseluruhan. Bryant mengatakan bahwa politik lingkungan boleh didefinisikan sebagai usaha untuk memahami sumber-sumber politik, kondisi dan menjadi suatu jaringan dari pergantian lingkungan. Sedangkan, Abe ken-ichi mendefinisikan politik lingkungan sebagai suatu kolektif nama untuk semua usaha intelektual untuk secara kritis menganalisis masalah ketepatan sumber daya alam dan asal usul kerusakan sumberdaya alam secara politik ekonomi, dengan maksud itu diperoleh studi akademik atau aplikasi yang bersifat praktis.

Politik lingkungan juga menganalisis peran institusi atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya alam dan lingkungan. Disini peran masyarakat, pemerintah, swasta, LSM, lembaga pendidikan dan penelitian juga mempunya kontribusi di dalam menganalisis politik lingkungan. Politik lingkungan juga menganalisis persoalan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pasar namun tidak dapat dikontrol oleh pasar. Pasar dan swasta biasanya memiliki kekuasaan dan kontrol walaupun tidak memiliki kewenangan atas sumberdaya alam. Akibat dari perilaku dan tindakan pasar terjadi eksternalitas yang kemudian membutuhkan intervensi pemerintah untuk menanganinya. Peranan pemerintah dalam menanggapi keperihatinan publik atas persoalan lingkungan dapat ditindak-lanjuti dengan membuat dan menegakkan peraturan untuk pengendalian dampak lingkungan maupun mengendalikan atau menindak perusahaan yang menghasilkan dampak negatif pada lingkungan. Tindakan ini dapat diklasifikasi sebagai tindakan disinsentif karena memberikan hukuman kepada mereka yang melanggar aturan namun bisa berdampak positif bagi lingkungan.

Dari uraian di atas tampaknya politik lingkungan sangat kompleks. Ide dan analisis bisa berada dalam dimensi atau ruang lingkup ilmu lain seperti ekologi politik, keadilan lingkungan, persoalan-persoalan rasial yang berkaitan dengan lingkungan, ekonomi politik penguasaan sumberdaya alam dan perusakan lingkungan, kerusakan lingkungan, dampak negatif pada lingkungan, bioteknologi, tata kelola lingkungan, pengelolan sumberdaya alam berbasis masyarakat, resolusi konflik lingkungan, kemiskinan masyarakat, tataguna lahan, desentralisasi, kekuasaan dan kewenangan, hukum lingkungan, tata kelola dan alat kontrol kekuasaan atas lingkungan, politik dan kebijikan serta pengambilan keputusan tentang lingkungan.  

Politik Lingkungan di Indonesia 
Kasus pencemaran lingkungan seperti kasus New Mont Minahasa Raya di Sulawesi Utara, persoalan Freeport di Papua , PT Indorama, PT Indorayon, Lapindo Sidoarjo dan yang paling baru kasus Sinar Mas Grup yang diyakini telah membabat hutan di Indonesia secara illegal melalui anak perusahaan mereka Asia Pulp and Paper (APP) merupakan kasus yang menarik untuk dikaji dari sudut politik lingkungan. Di sini ada uraian historis tentang proses penguasan sumberdaya alam, ada keterlibatan perusahaan asing, pejabat pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi lokal. Ada peranan media dan Ornop serta kelompok lokal dalam kampanye dan advokasi, ada konflik politik dan perlawanan. Ada campur tangan hukum namun ada permainan (politik) yang membebaskan perusahaan dari penjara, dari tanggung jawab oleh pihak yang bisa membayar pihak penguasa, ada interaksi antara kekuasaan dan kewenangan, uang dan politik.

Salah satu permasalahan serius yang pernah dihadapi adalah adanya perlawanan masyarakat lokal terhadap perusahaan pertambangan emas AS Freeport di Papua maupun di daerah lain di Indonesia. Ada persoalan ekonomi dan politik, ada diplomasi dan hubungan Internasional di dalamnya yang menghasilkan dampak negatif pada masyarakat lokal. Ada kolusi dan kerjasama kolektif yang lebih menguntungkan kelompok tertentu, dan dampak negatif pada lingkungan sudah sangat dasyat. Permasalahan yang akhir-akhir ini sedang mendapatkan perhatian yang begitu besar dari LSM internasional Greenpeace adalah konflik yang terjadi antara warga Teluk Meranti dengan Asia Pacific Resource International Limited (APRIL). Dilaporkan bahwa sekitar seribu warga Teluk Meranti menyatakan sikap menolak hutan Semenanjung Kampar dikelola perusahaan milik APRIL. Deklarasi penolakan juga diikuti puluhan warga dari empat desa di sekitar Semenanjung Kampar, yakni Desa Kuala Panduk, Teluk Binjai, Pulau Muda, dan Desa Segamai yang juga merasa terancam atas aktifitas PT RAPP di hutan dan lahan pertanian mereka. “Ratusan hektar lahan pertanian kami sudah diambil sepihak oleh perusahaan. Banyak program pertanian pemerintah yang seharusnya membantu ekonomi masyarakat gagal karena RAPP. Sekarang mereka buat bencana lebih besar mengambil hutan kami lebih dari itu. Sementara perusahaan tidak bisa memberi hak kompensasi,” pernyataan ini dilontarkan oleh tokoh masyarakat Teluk Meranti.

PT. RAPP selama ini memang disinyalir sebagai pelaku utama perusak hutan di Semenanjung Kampar yang kaya akan karbon. Padahal Semenanjung Kampar merupakan tempat yang wajib dilindungi untuk mencegah dampak bencana akibat perubahan iklim. Hutan di kawasan ini tinggal tersisa 400.000 hektar dari jumlah semula 700.000 hektar. Persoalan pembakaran liar yang melibatkan institusi lintas negara telah merugikan negara baik secara finansial dan lingkungan merupakan persoalan yang pantas juga dikaji dari sudut politik lingkungan. Persoalan yang sama dapat juga dilihat dalam kasus pencurian ikan, penjualan pasir dan penambang liar yang merupakan persoalan-persoalan politik lingkungan juga. Pembalakan liar (illegal logging) merupakan salah satu kasus politik lingkungan yang paling lengkap dan kompleks. Ekstraksi sumberdaya hutan ini melibatkan berbagai institusi dan perorangan dengan perilaku oportunistik yang luar biasa. Bahkan yang paling menarik adalah bahwa kegiatan pembalakan liar ini juga melibatkan pembuatan kebijakan dan keputusan politik di tingkat pemerintahan daerah yang dilakukan untuk menambah anggaran pendapatan daerah serta keuntungan pribadi perorangan dalam sistem pemerintahan daerah maupun institusi informal. Politik lingkungan cukup lengkap kasusnya di Indonesia di hampir semua sumberdaya alam dan politik yang terlibat di dalamnya.

Selain hal-hal tersebut di atas kasus disahkannya Perpu tentang ijin penambangan di hutan lindung terkesan menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji. Departemen kehutanan mengklaim bahwa hutan yang tidak rusak difungsikan sebagai hutan lindung, namun pihak departemen kehutanan sendiri di satu pihak tidak dalam kapasitas sebagai pengontrol. Pada saat yang sama, menurut departemen energi dan sumber daya mineral, lahan yang sama itu adalah lahan pertambangan. Jadi diklaim juga sebagai lahan yang layak untuk investasi di bidang pertambangan. Memang secara umum, hutan merupakan wewenang pemerintah dalam pengelolaannya, sedangkan departemen kehutanan dan juga departemen pertambangan merupakan juga pemerintah, ini tidak dapat dipungkiri adanya kepentingan dari masing-masing pihak dalam memahami fungsi hutan.

Apabila melihat kasus-kasus di atas saat ini, masih banyak masyarakat Indonesia (bahkan masyarakat-masyarakat lokal yang berhubungan langsung dengan hutan) yang belum merasa menjadi korban lingkungan. Kalaupun ada yang menjadi korban lingkungan adalah mereka kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai daya tawar politiknya rendah seperti yang terjadi pada masyarakat teluk meranti yang memprjuangkan kelestarian hutannya. Sayangnya, pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah banyak yang belum menyadari bahwa kebijakan-kebijakan yang mereka buat mengenai hutan banyak yang tidak memandang hutan sebagai aset yang harus dilestarikan, akan tetapi mereka melihat hutan sebagai barang ekonomis yang layak untuk dieksploitasi tanpa adanya upaya untuk memperbaikinya, sehingga hal tersebut telah mengorbankan lingkungan yang akhirnya akan mengubur dirinya sendiri. Untuk memperkuat bargaining position bagi kelembagaan lingkungan, baik di pemerintahan maupun parlemen, kita harus menggunakan instrumen yang namanya social marketing, agar terjadi pemihakan yang besar. Selanjutnya, atau sebut saja yang kedua, harus dibentuk massa kritis di masyarakat yang menjadikan lingkungan sebagai daya tawar terhadap politisi, kasus ini bisa dibuktikan pada saat terjadi pemilihan kepala daerah secara langsung. Di sini masyarakat bisa menanyakan dan menguji komitmen lingkungan dari para calon kepala daerah tersebut. Oleh karena itu, salah satu terobosan yang mungkin terjadi adalah justru dari tingkat lokal. Dari politik lokal dan dari jaman dimana politik Indonesia itu ikut terdesentralisasi. Politik lokal harus bisa memainkan perannya secara optimal dan membangun aliansi dengan LSM  lokal. 

Eksploitasi Ekonomi 
Kebijakan pembangunan hutan di Indonesia dimulai pada masa pemerintahan Soeharto, setelah mengalami keterpurukan ekonomi pada masa pemerintahan Soekarno melalui kebijakan ekonomi terpimpinnya akhirnya Soeharto mengaplikasikan paradigma pertumbuhan ekonomi,  teori pertumbuhan merupakan suatu bentuk teori modernisasi yang menggunakan metafora pertumbuhan, yakni tumbuh sebagai organismne. Teori the five stage scheme yang menjelaskan perubahan sosial terjadi dalam lima tahapan pembangunan ekonomi, tahap pertama adalah masyarakat tradisional kemudian berkembang menjadi prakondisi tinggal landas, kemudian masyarakat tinggal landas, masyarakat pematangan pertumbuhan hingga akhirnya mencapai tahapan masyarakat modern yang dicita-citakan, yakni masyarakat industri yang disebut sebagai masyarakat konsumsi massa tinggi. Teori tersebut merupakan teori pertumbuhan yang paling terkenal, teori ini dikemukakan oleh Rostow yang mengasumsikan bahwa semua masyarakat termasuk masyarakat Barat pernah mengalami masa tradisional dan akhirnya menjadi modern. Dalam teori ini sikap manusia tradisional dianggap sebagai masalah. Pembangunan akan berjalan secara otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan investasi) dengan tekanan bantuan dan hutang luar negeri. Rostow memfokuskan pada perlunya elite wiraswasta yang menjadi motor proses tersebut.

Indonesia di bawah Pemerintahan Soeharto menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow tersebut dan menjadikannya landasan pembangunan jangka panjang yang ditetapkan secara berkala untuk waktu lima tahunan, yang terkenal dengan Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Sektor kehutanan menjadi salah satu sasaran eksploitasi ekonomi oleh pemerintahan soeharto. Pemerintahan soeharto melalui persetujuan parlemen akhirnya mengeluarkan Undang-undang No. 1/1967 tentang modal asing, UU No.6/1967 tentang modal dalam negeri, UU No. 5/1967 tentang Undang-undang pokok kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 1/1970 tentang mekanisme perizinan HPH. Kebijakan-kebijakan ini kemudian akhirnya menberikan sumbangan kerusakan hutan pada masa Orde Baru. Dalam pasal 1 (ayat 1) dari UU Prinsip Kehutanan, ditegaskan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan untuk menentukan dan mengatur perencanaan dan pemakaian atas lahan kehutanan di dalam area hutan produksi. Kemudian di dalam pasal 13 juga tertulis bahwa pembangunan sektor kehutanan mengijinkan untuk menebang kayu log (gelondongan) dari hutan produksi untuk tujuan-tujuan ekonomi, untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia. Dari pernyataan ini perusahaan swasta, apakah dalam negeri dan transnasional diizinkan untuk mengoperasionalkan kegiatan usahanya di sektor kehutanan di Indonesia, yaitu dengan mendaftarkan perizinan usahanya di Departemen Kehakiman. Sehingga, banyak perusahaan transnasional yang kemudian membentuk Joint Operational dengan perusahaan swasta dalam negeri untuk mengoperasionalkan konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Apabila kita melihat kebijakan-kebijakan tersebut di atas, pemerintah pada masa itu menjadikan hutan sebagai penghasil ekonomi yang sangat layak untuk dieksploitasi dan menjadikan sektor kehutanan sebagai salah satu sumber pendapatan devisa terbesar bagi Indonesia pada saat itu. Namun sayangnya hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada masyarakat lokal di sekitar hutan itu sendiri, maraknya konflik lahan antara pengusaha swasta dengan masyarakat lokal setelah diberlakukannya HPH telah membuat keadaan perekonomian masyarakat lokal terpinggirkan. Sehingga hal ini, telah memaksa pemerintah untuk mengeluarkan PP No. 21 th. 1970 yang menekankan bahwa sebagian pendapatan dari sektor kehutanan akan dipakai untuk membangun infrastruktur masyarakat lokal, seperti jalan, transportasi baik sungai maupun darat, program-program pemukiman penduduk, dan peningkatan sosial ekonomi masyarakat. Meskipun pada kenyataanya hal ini tidak berjalan dengan baik, karena minimnya pengetahuan dari masyarakat lokal dan birokrat yang tidak pro terhadap masyarakat lokal.

Dari paparan di atas terlihat jelas bahwa sistem konsesi HPH mempunyai pengaruh yang positif dan keuntungan bagi para pengusaha, khususnya para pengusaha yang mempunyai kedekatan dengan pemerintah. Di sisi lain, terlihat juga adanya kedekatan antara pemerintah dengan kelompok militer dalam penanganan sektor kehutanan, sehingga pada akhirnya hal ini dengan sendirinya telah menyebabkan terjadinya kolusi, korupsi dan nepotisme di Departemen Kehutanan dalam mendapatkan izin konsesi HPH. Sejalan dengan kondisi ini implementasi peraturan bagi yang melanggar mengalami kesulitan di lapangan dan akhirnya mengakibatkan eksploitasi ekonomi besar-besaran terhadap hutan tanpa adanya upaya untuk meredeforestasi hutan tersebut sehingga berujung pada kerusakan hutan secara cepat khususnya terjadi pada pulau-pulau di luar Jawa.

Eksploitasi ekonomi terlihat sangat jelas dalam kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam pengelolaan hutan, eksplotasi secara besar-besaran yang akhirnya dihalalkan oleh pemerintah Indonesia atas nama pembangunan. Sumber daya alam dalam hal ini hutan beserta isinya dijadikan sebagai salah satu faktor produksi yang utama dalam pengumpulan modal yang sebesar-besarnya dan akhirnya kemudian para kapitalis(pemilik modal)lah yang menikmati semua keuntungan tanpa adanya upaya untuk memperbaiki apa yang telah dirusak dan diambil dan masyarakat di sekitar hutan pun yang seharusnya menikmati hasil hutan kemudian akhirnya menjadi termarjinalisasi, salah satunya dengan pelabelan mereka sebagai ‘perambah’ hutan.          

Sebuah Catatan
Pengaruh anggapan log (kayu gelondongan) dari pandangan politik lingkungan yang memfokuskan pada tiga kata kunci, yakni isu politik, ekonomi dan lingkungan. Pengaruh positif yang sangat besar dilihat dari perspektif ekonomi politik. Seperti yang telah diuraikan di atas pemerintahan pada masa Orde Baru menjadi pemerintahan yang paling sukses dalam menarik banyak investor baik yang berasal dari perusahaan domestik maupun perusahaan transnasional untuk menanamkan modalnya di Indonesia dalam sektor kehutanan. Sedangkan pengaruh negatif yang sangat besar ada pada masalah isu lingkungan, hal ini terjadi karena penebangan kayu yang berlebihan di berbagai wilayah hutan di Indonesia yang akhirnya menimbulkan kerusakan hutan yang sangat mengkhawatirkan.

Perdebatan yang terjadi persoalan lingkungan dianggap sebagai persoalan ekonomi politik, pemerintah, kelembagaan, tata kelola, kewenangan, kekuasaan, norma, ideologi, kebijakan dan pasar maupun persoalan sosial budaya tergantung bagaimana kita melihatnya. Definisi ruang lingkup dan batasan politik lingkungan sering dianggap tidak jelas. Namun, pada umumnya politik lingkungan dianggap merupakan domain bidang politik. Di dalam banyak buku ekonomi, persoalan lingkungan dianggap sebagai akibat dari tingkah laku ekonomi dan pasar. Perilaku ekonomi perorangan atau institusi (organisasi) dianggap menentukan jenis penguasaan atas sumberdaya alam dengan ekternalitas pada lingkungan.

Pada banyak kasus kerusakan hutan di Indonesia diyakini banyak aktor yang berperan dalam kerusakan hutan, tidak hanya aktor dalam negeri saja tetapi juga melibatkan aktor-aktor transnasional diantaranya lembaga-lembaga keuangan seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). Lembaga-lembaga tersebut diyakini berperan secara tidak langsung dalam perusakan hutan, peran-peran tersebut biasanya diwujudkan dalam proyek-proyek sektor pembangunan di Indonesia seperti yang dilakukan oleh Bank Dunia yang mendanai adanya transmigrasi masyarakat Indonesia. Pada awalnya transmigrasi dinilai memberikan hasil yang positif karena mengurangi penduduk pada daerah perkotaan yang padat, namun pada kenyataannya banyak ahli lingkungan yang meyakini bahwa transmigrasi ternyata memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan khususnya hutan karena banyak transmigran yang ditempatkan pada hutan-hutan tropis yang pada akhirnya karena buruknya koordinasi antara masyarakat transmigran dengan pemerintah pada akhirnya hutan juga yang menjadi korbannya. Para transmigran membuka lahan baik itu untuk tempat tinggal maupun untuk areal pertanian melalui pembakaran hutan.

Indonesia sebagai salah satu negara dengan hutan tropis yang cukup besar, saat ini dikhawatirkan oleh berbagai kalangan akan mengalami penurunan lahan hutan yang cukup drastis akibat perusakan hutan dalam skala besar secara terus menerus. Menurut Lemabaga Swadaya Masyarakat (LSM ) seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan APHI, area kerusakan hutan di Indonesia mencapai 300.000 Ha pada tahun 1970an dan meningkat menjadi 800.000 Ha pada tahun 1980an kemudian pada tahu 1990an meningkat dengan pesat menjadi 1,5-2,0 juta Ha. Kerusakan hutan ini pun diyakini karena buruknya pengawasan pemerintah terhadap para pengusaha yang memegang ijin HPH, diperburuk dengan banyaknya pengelolaan hutan secara ilegal. Selain itu, kolusi antara pemilik konsesi HPH dengan dengan aparat pengawas kehutanan baik pada tingkatan pusat maupun tingkatan daerah terjadi kurangnya sanksi yang tegas dan penegakan hukum bagi pelanggar peraturan mengenai kehutanan. Seperti, para pengusaha HPH yang melanggar sistem Tebang Pilih Tanan Indonesia (TPTI) dan juga dana reboisasi yang dimanipulasi dan digunakan untuk di luar sektor kehutanan.

Pada akhirnya Indonesia harus memperjuangkan kepentingan politik lingkungannya pada dunia internasional dalam konfrensi lingkungan yang diadakan di Kopenhagen Jerman, di antaranya Indonesia harus memastikan komitmen negara maju dalam kesepakatan konferensi sebelumnya. Kepentingan politik lingkungan yang juga harus diperjuangkan Indonesia adalah tidak ada negara yang memiliki hegemoni kuat dalam isu lingkungan. Dalam usaha pemulihan lingkungan seperti jual beli karbon, negara berkembang yang notabene merupakan paru-paru dunia dan negara maju yang memiliki uang untuk membiayai konversi memiliki bargaining power yang sama. Dengan demikian, akan sulit untuk saling menguasai. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu melihat peluang tersebut. Indonesia memiliki hutan untuk dikonversi atau diperbaiki, berarti Indonesia memiliki bargaining power yang kuat dalam jual beli karbon baik dilihat dari segi lingkungan maupun dari segi ekonomi. 

Daftar Pustaka 
Dietz, Ton, Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam Kontur Geografi Lingkungan Politik, Insist Press, Yogyakarta, 1994.
Hidayat, Herman, Politik Lingkungan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008. 

Sumber Gambar
http://hijau-nature.blogspot.com/2010/12/kerusakan-hutan-di-indonesia-menempati.html

7 komentar:

  1. informasi yang bermanfaat nih sobat blogger dan tolong jangan lupa mampir dan komentarnya di blog ane ya

    ReplyDelete
  2. Blog wanita kesepian :
    http://soulmate100.blogspot.com

    ReplyDelete
  3. Hancur ni indonesia nga da perubahan,yang terkenal penebangan hutan secara liar di kalimantan :(:)

    ReplyDelete
  4. wow baru tahu saya jika hal tersebut ada hubungannya dengan dunia politik

    ReplyDelete
  5. Bismillah... kembali ke diri masing2 adakah kesimbangan diri dengan alam semesta.. kalau emang ada.. Insya Allah kalau manusia.. evaluasi.. Insya Allah Indonesia.. jaya. thanks sahabat..

    ReplyDelete