Komunitas Sub-Altern dan PR Negara : Belajar dan Mengenal Komunitas Penghayat Kerohanian Sapto Darmo



Subhan Agung

Abdullah Kaunar

Didit Aditia Permana

Jamul Hasani


Cerita dibalik Munculnya Sapto Darmo

Tepatnya di Kampung Pandean, Gang Klopakan, Desa Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, berdiamlah seorang putra bangsa Indonesia yang bernama Bapak Hardjosapuro. Pada hari Kamis, tanggal 26 Desember 1952, Bapak Hardjosapuro seharian ada di rumah (tidak bekerja sebagaimana biasanya sebagai tukang potong rambut) karena hatinya merasa gelisah.

Kemudian, pada malam harinya beliau pergi berkunjung ke rumah temannya. Menjelang pukul 24.00 WIB beliau pamit pulang, setelah tiba di rumahnya, beliau mengambil tikar dan beralaskan lantai, tiduran-tiduran untuk menenangkan perasaan yang gelisah. Pada saat mau tidur-tiduran, tepat pada Jumat Wage jam 01.00 WIB malam, seluruh badan beliau tergerak oleh getaran yang kuat diluar keinginannya, dengan posisi duduknya menghadap Timur dengan kaki bersila dan kedua tangan bersidakep. Namun dalam keadaan sadar, beliau mencoba melawan gerakan tersebut, namun tidak mampu untuk melawannya. Diluar kemauannya, beliau mengucapkan Kalimat dengan suara keras: “Allah Yang Maha Agung, Allah Yang Maha Rokhim, Allah Yang Maha Adil” setelah itu badannya tergerak untuk sujud secara otomatis diluar kemauannya dengan ucapan-ucapan sujud sambil mengucap dengan suara keras, “Hyang Maha Suci Yang Maha Kuwasa, Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa, Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa”, kemudian duduk dan sujud kembali sambil mengucapkan: “Kesalahane Hyang Maha Suci Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuwasa, Kesalahane Hyang Maha Suci Nyuwun” sebanyak 3 (tiga kali). Kemudian duduk kembali seperti semula dalam keadaan yang masih bergetar, setelah itu tergerak kembali untuk sujud dengan mengucapkan; “Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Kuwasa”, kemudian kembali dalam posisi semula. Hal ini terjadi berulang kali sesuai dengan urutan sebelumnya dan berlangsung sampai pukul 05.00 WIB pagi. Apa yang dialaminya tidak diketahui oleh seorangpun yang berada di rumah.

Karena takut dengan kejadian tersebut, Hardjosapuro kemudian membangunkan orang yang berada di rumah, namun semua tidak dapat memahami apa yang dimaksudkannya. Oleh karena itu beliau bermaksud untuk menemui teman terdekatnya yakni Bapak Djojo Djaimoen untuk menceritakan hal yang dialaminya. Pada tanggal 27 Desember 1952 jam 07.00 pagi tibalah beliau di rumah temannya tersebut, kemudian diceritakan apa yang dialaminya. Namun temannya Djojo Djaimoen tidak mempercayai akan hal itu. Akan tetapi, secara tiba-tiba seluruh badan Djojo Djaimoen tergetar dan bergerak seperti yang dialami Hardjosapuro. Setelah dialaminya, mereka berdua berniat datang ke temannya lagi yang bernama Bapak Kemi Handini yang bekerja sebagai sopir di Desa Gedangsewu, Pare untuk diberitahukan serta menanyakan kejadian yang mereka alami.

Niat untuk mendatangi temannya itu dengan harapan mereka akan mendapatkan penjelasan-penjelasan serta nasehat-nasehat dari padanya. Tanggal 28 Desember 1952 jam 17.00 mereka berdua tiba di rumah Bapak Kemi Handini dan diceritakanlah pengalaman mereka. Belum sampai selesai ceritanya, ketiga orang tersebut digerakkan semacam kekuatan yang sama. Dengan tiba-tiba Hardjosapuro melihat dengan terang gambar-gambar tumbal ditempat-tempat tertentu yang tertanam di rumah Kemi. Setelah gerakan berhenti diceritakannlah kepada Bapak Kemi, apa yang diketahuinya di dalam gerak sujud. Ketika diceritakannya kedua teman, Hardjosapuro merasa heran, karena yang dialaminya sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

Kemudian mereka bertiga sepakat menemui sahabatnya yang bernama Somogiman yang mengerti akan kebatinan, dengan harapan akan mendapatkan penjelasan darinya. Bapak Somogiman adalah seorang pengusaha pengangkutan di kampung Plongko (Pare). Pada tanggal 29 Desember 1952 jam. 17.00, mereka tiba di rumah Somogiman. Pengalaman gaib pun dipaparkan kepada Somogiman yang banyak dikerumuni oleh kawan-kawannya. Pada waktu itu Somogiman tidak memberi tanggapan dan kelihatannya tidak dipercaya. Tetapi yang terjadi, secara tiba-tiba Somogiman mendapat gerakan yang otomatis di luar kemauannya juga seperti apa yang diceriterakan teman-temannya tadi. Semenjak itu tersiarlah kabar dari mulut ke mulut kegaiban di kota Pare yang dialami oleh Bapak Hardjosapuro dan kawan-kawannya. Hingga terdengar pula oleh Bapak Darmo seorang sopir dan seorang lagi bernama Reksokasirin pengusaha batik. Kedua orang tersebut mendatangi rumah Somogiman untuk membuktikannya, namun belum sampai mendengarkan cerita kawan-kawannya itu tiba-tiba mengalami gerakan sedemikian juga dialaminya.

Pada saat kedua orang itu mengalami gerakan yang sama, semuanya juga bergerak bersama-sama sujud yang serupa. Kini jumlahnya 6 (enam) orang (Bapak. Hardjosopoero, Djojodjaiman, Kemi Handini, Somogiman, Darmo dan Rekso Kasirin). Kemudian mereka kembali ke rumahnya masing-masing. Kecuali Hardjosapuro yang tidak mau kembali ke rumahnya karena takut mendapat gerakan-gerakan sendirian di rumahnya. Sampai dua bulan lamanya beliau tidak mau pulang ke rumahnya sendiri, tetapi berpindah-pindah ke rumah temannya. Karena ke-enam orang tersebut seolah-olah sama niatnya untuk berkumpul setiap malam hingga dua bulan lamanya.

Pada suatu malam pada tanggal 12 menjelang 13 Februari 1953, setelah ke enam orang tersebut berkumpul, oleh mereka diterima suatu penerimaan petunjuk agar Bapak Hardjosapuro kembali ke rumahnya karena nantinya akan menerima ajaran-ajaran dari Hyang Maha Kuasa yang lebih tinggi lagi. Keesokan harinya pada tanggal 13 Pebruari 1953 jam 10.00 pagi mereka sudah berkumpul di rumah Bapak Hardjosapuro kemudian sedang asyik bercakap-cakap tiba-tiba diterima perintah langsung kepada Hardjosapuro dan berkatalah beliau dengan suara keras (dalam bahasa Jawa), ’’Kawan-kawan lihatlah Saya mau mati dan amat-amatilah Saya”. Maka berdebar-debarlah hati kawan-kawannya dengan mengamat-amati Bapak Hardjosapuro yang berbaring membujur ke timur sambil memejamkan mata dan tangan bersidakep. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari sahabat-sahabatnya dan dengan cara yang beragam para sahabatnya ingin meyakinkan kondisi Hardjosapoero apakah sudah mati atau belum. ”Inilah yang dikatakan Racut ialah mati di dalam hidup”. Pikiran yang seolah-olah mati akan tetapi rasanya masih hidup. Masih mendengar segala yang diceritakan orang akan tetapi tak mendengarkan segala yang diceritakan.

Setelah mengalami Racut beliau menceritakan bahwa dalam keadaan racut tersebut Bpk. Hardjosapuro merasa rohnya/rohaninya keluar dari wadagnya, dan naik ke atas melalui alam yang enak sekali dan masuk ke dalam rumah yang besar dan indah sekali dan beliau sujud didalamnya. Kemudian dilihatnya ada orang bersinar sekali, hingga badannya tak terlihat nyata karena sinar yang berkilauan itu. Di situlah Hardjosapoero duduk bersila dan sujud Menyembah Allah Hyang Maha Kuasa, setelah sujud maka orang yang bersinar tadi terus memegang Hardjosapuro dan dibopong dan diayun-ayunkan setelah itu beliau dituntun ke taman yang penuh bunga dan indah sekali, kemudian di bawa ke sebuah sumur yang penuh airnya lalu dibawa ke sumur yang kedua, disuruh membukanya dan setelah dibuka ternyata airnyapun penuh dengan air yang jernih sekali. Nama kedua sumur tersebut adalah Sumur Gumuling dan Sumur Jalatunda.

Setelah itu kembali ke rumah yang sangat besar dan indah tadi, bersabdalah orang yang bersinar tersebut kepada Bapak Hardjosapoero “Inilah Untukmu” sambil menyodorkan dua bilah keris pusaka. Yang satu wujudnya besar dengan rangka polokan Mataraman dan yang lain pada pamornya terdapat dua bentuk benda bulat berjajar bagaikan Bendo Segodo, yang diberi nama Nogososro dan Benda Segodo / Sugada. Setelah itu beliau disuruhnya kembali pulang. Setelah beliau pada waktu pulang beliau merasa diikuti oleh sebuah bintang yang amat besar dengan sinar terang mengantar perjalanan pulangnya.

Untuk meyakinkan tentang kebenaran ajaran Racut yang diterima oleh Bapak Hardjosapuro, maka para sahabatnya dimintanya melakukan secara bergantian. Pelaksanaan racut yang dilakukan para sahabatnya ditunggui oleh Bapak Hardjosapoero namun yang dialalmi masing-masing sahabat berbeda. Namun dalam hal-hal yang pokok adalah sama, misalnya melalui alam yang enak sekali, sampailah pada sebuah rumah yang besar dan indah dan bertemu orang yang bersinar bagaikan maha Raja. Tetapi tidak ada satupun sahabat yang melakukan sujud di rumah yang besar itu. Pemberian yang diterima juga berbeda ada yang berupa bunga dalam vas, ada pula berupa pakaian serta tidak diberikan apapun. Namun semuanya itu telah meyakinkan para sahabatnya akan kebenaran Racut serta apa yang dialami Bapak Hardjosapoero.

Sejak itulah, semua sahabat-sahabatnya harus berkumpul di rumah Bapak Hardjosapoero, dan tidak boleh berkumpul di rumah sahabat yang lain. Sehingga setiap malam mereka berkumpul untuk melakukan sujud bersama dan juga melakukan latihan-latihan Racut.

Namun pada satu waktu Bapak Hardjosapoero dalam melakukan sujud bersama dilakukannya juga racut seperti yang pernah dialaminya. Dalam melakukan Racut beliau selalu berjumpa dengan sang maha raja, bahkan diberi juga “Kotang Ontokusumo” dan “Caping Basunondo”. Pernah juga menerima “Bongkok” (tangkai daun kelapa, papah blarak; Jawa). Satu panah” dan “Buku Besar”. Sehingga diyakini apapun yang dikerjakan olehnya adalah suatu petunjuk yang benar dari Allah Hyang Maha Kuasa.

Pada tanggal 12 Juli 1954 jam 11.00 siang, datanglah dirumah Hardjosapuro ialah : 1. Sdr. Sersan Diman, 2. Sdr. Djojosadji, 3. Sdr. Danumihardjo (Mantri guru Taman Siswa Pare) dan Bpk. Marto. Mereka sedang asyiknya bercakap-cakap, tiba-tiba kelihatan dengan perlahan-lahan pemandangan sebuah gambar di meja tamu yang kelihatan dengan jelas sekali, tetapi kejadian ini tidak tetap, sebentar kelihatan sebentar lagi hilang. Tiba-tiba Sdr. Sersan Diman berdiri sambil menunjuk gambar tersebut dengan berkata keras : ”Ini harus digambar, ini harus digambar”, berkali-kali berkata demikian. Gambar tersebut tidak hanya muncul di meja namun di dinding, sehingga para tetanggapun menyaksikan hal tersebut dengan penuh tanda tanya. Kemudian kawan-kawannya segera pergi ke toko mencari/membeli alat-alat gambar berupa mori putih, cat, kwas (alat-alat gambar tersebut). Setelah mendapatkannya terus segeralah digambar pemandangan gambar simbul itu sampai selesai. Setelah selesai digambar, maka hilanglah gambar pemandangan simbul itu dari pandangan mata, yang selanjutnya dinamakan Simbul Sapto Darmo yang merupakan Simbol Pribadi Manusia. Yang bertuliskan huruf Jawa : SAPTA DARMA dan NAPSU BUDI PAKARTI, yang selanjutnya disempurnakan dengan penerimaan peribadatannya yang disebut SUJUD SAPTA DARMA /SUJUD ASAL MULA MANUSIA.

Pada hari itu juga, tanggal 12 Juli 1954 setelah diterima wahyu Simbul Pribadi Manusia, diterima pula wahyu Wewarah Tujuh. Kejadian ini sama halnya dengan gambar simbul pribadi manusia, hanya bedanya dalam penerimaan yaitu kelihatan tulisan tanpa papan (Sastra Jendra Hayuningrat). Sedangkan bahasanya memakai bahasa jawa. Oleh karena tulisan tersebut sebentar kelihatan dan sebentar menghilang seperti menerima simbul Sapta Darma tadi, maka dibagilah tugas untuk menulisnya. Sersan Diman menulis Wewarah 1 sampai dengan 4, sedangkan Bapak Danoemihardjo menulis 5 sampai 7. Setelah ditulis diserahkanlah kepada Bapak Hardjosapoero, Djojosadji dan Bapak Marto untuk dicocokkannya.

Setelah diterima wahyu simbul Sapta Darma dan Wewarah Tujuh, hari itu juga masih diterima lagi wahyu Sesanti yang bunyi lengkapnya seperi berikut; “Ing Ngendi bae marang sapa bae Warga Sapta Darma Kudu sumuar pinda baskara”. Dengan diterimanya wahyu simbul Sapta Darma (Simbul Pribadi Manusia), Wewarah Tujuh dan Sesanti oleh Bapak Hardjosapoero, penerimaan ajaran ini semakin memperjelas para pengikutnya. Sejak hari itulah baru dimengerti bahwa sujud yang dilaksanakan oleh Bapak Hardjosapoero dan para sahabatnya, sebagai perilaku pendekatan pribadi (Hidup) Manusia dengan Allah Hyang Maha Kuasa, adalah “Sujud Sapta Darma.

Menjelmanya sebuah Ajaran, dan Perkembangan…

Dari fenomena dan kejadian-kejadian aneh yang dipaparkan di atas, Keyakinan akan sebuah petunjuk dan termasuk juga tugas berat, semakin mendalam bagi Bapak Hardjosapoero dan sahabat-sahabatnya, setelah diterimanya wahyu-wahyu Sapta Darma bertambah lengkap, dank e depannya menjadi ajaran ibadah kelompok ini:

1. Wahyu Sujud adalah memuat ajaran tentang tata cara ritual sujud/ menyembah kepada Tuhan (Allah Hyang Maha Kuasa) bagi Warga Sapta Darma.

2. Wahyu Racut adalah memuat ajaran tentang tata cara rohani manusia untuk mengetahui alam langgeng atau melatih sowan/menghadap Hyang Maha Kuasa.

3. Wahyu Simbol Pribadi Manusia menjelaskan tentang asal mula, sifat watak dan tabiat manusia itu sendiri, serta bagaimana manusia harus mengendalikan nafsu agar dapat mencapai keluhuran budi.

4. Wewarah Tujuh, merupakan kewajiban hidup manusia di dunia sekaligus merupakan pandangan hidup dan pedoman hidup manusia. Dalam Wewarah Tujuh tersebut tersirat kewajiban hidup manusia dalam hubungannya dengan Allah Hyang Maha Kuasa, Pemerintah dan Negara, nusa dan bangsa , sesama umat makluk sosial, pribadinya sebagai makluk individu, masyarakat sekitar dan lingkungan hidupnya serta meyakini bahwa keadaan dunia tiada abadi

5. Wahyu Sesanti yang cukup jelas dan gampang dimengerti oleh siapapun, membuktikan suatu etika/ciri khas Sapta Darma yang menitik beratkan kepada warganya harus bermakna dan berguna bagi sesama umat/ membahagiakan orang lain (tansah agawe pepadang lan maraning lian).

Selanjutnya semakin hari semakin bertambah orang-orang yang menjalankan ajaran Sapta Darma. Apa yang diterima Bapak Hardjosapoero ternyata belum berakhir, karena pada tanggal 27 Desember 1955 jam 24.00, beliau menerima wahyu Gelar Sri Gutama yang berarti Pelopor Budi Luhur dan selaku Panutan Agung

Setelah seluruh ajaran yang diterima genap, maka dalam pengembangan ajaran Sapta Darma itu dilakukan dengan jalan penyembuhan, dimana pada saat itu dengan Sabda WARAS, setiap warga yang saat itu menjalankan sujud Sapta Darma dapat menyembuhkan masyarakat yang sakit. Inilah awal mula perkembangan ajaran Sapta Darma, yaitu dari mereka yang telah disembuhkan maupun yang ingin menjalani sendiri (bukan karena sakit). Sejak tahun 1956 itulah ajaran Sapta Darma merambah ke luar dari Pare, Kediri Jawa Timur menuju daerah lain seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Sumatera dan Kalimantan.

Tiga dasar/pegangan yang diberikan oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama kepada para warga yang bersedia menyebarkan ajaran Sujud Sapta Darma adalah:

· Yakin akan kebenaran terhadap ajaran Sapta Darma itu berdasarkan wahyu,

· Harus didasari dengan kesucian hati, kejujuran dan tanpa adanya pamrih apa saja untuk kepentingan pribadi

· Kebulatan tekad ketabahan hati serta tahan uji dari segala rintangan yang mungkin terjadi.

Setelah ajaran Sapta Darma berkembang luas di mana-mana, maka untuk adanya keseragaman dan kemurnian ajaran Sapta Darma, di tiap-tiap daerah yang sudah banyak warganya oleh Panutan Agung ditunjuk adanya Tuntunan yaitu warga yang diberi tugas sebagai penanggung jawab terhadap perkembangannya maupun kelangsungan pembinaan para warga di daerah-daerah di tingkat kabupaten dan karisedenan pada waktu itu.

Rupanya tugas Panutan Agung Sri Gutama telah digariskan Allah Hyang Maha Kuasa karena setelah 12 tahun penerimaan wahyu ajaran Sapta Darma sampai berkembang di bumi, tepat pada tanggal 16 Desember 1964, pada hari Rabu jam 12.00 di rumah kediamannya, Bapak Hardjosapoero meninggal dunia. Sesuai dengan pesannya sebelum wafat bahwa ketika meninggal dunia agar jenasahnya diperabukan dan dilarung ke laut. Maksud dari permintaannya adalah dikhawatirkan apabila jenasahnya dikubur atau dimakamkan lalu makamnya dipuja-puja oleh warganya. Beliau menjelaskan sebelumnya bahwa memuja-muja makam/kuburan adalah suatu kepercayaan yang sesat dan hal itu dilarang dalam ajaran Sapta Darma. Dengan demikian abu jenasahnya dihanyutkan di pantai Kenjeran, Surabaya pada tanggal 19 Desember 1964.

Setelah meninggalnya Bapak Hardjosapoero yang dikenal sebagai Panutan Agung Sri Gutama, ajaran Sapta Darma tetap berjalan dan berkembang pesat dibawah bimbingan dan tuntunan Ibu Sri Pawenang yang bernama asli Soewartini Martodihardjo, seorang Sarjana Hukum, alumnus Universitas Gadjah Mada yang telah mengikuti dan menghayati ajaran Sapta Darma sejak tahun 1956. Pada mulanya Ibu Soewartini yang berstatus mahasiswa, mengenal Sapta Darma karena rasa ingin mengetahui lebih jauh dan ingin membuktikan bahwa ada orang yang mampu menyembuhkan orang sakit dengan sabda Waras. Tetapi saat itulah Ibu Soewartini bertemu langsung dengan Bapak Hadjosapoero mengenai ajarannya dan ditawari untuk melakukan penelitian dan sejak itulah Ibu Soewartini selalu mengikuti membantu Bapak Hardjosapoero sebagai Panutan Agung Sri Gutama dalam menyebarkan ajaran tersebut.

Puncak dari penghayatan Ibu Soewartini adalah pada tanggal 30 April 1957 hari selasa Kliwon dalam perjalanan ke Kediri, Trenggalek dan Blitar, beliau menerima gelar “Sri Pawenang”. Yaitu sebagai Juru Bicara Panutan Agung dan juga dikukuhkan sebagai Panuntun Wanita, maka sejak itulah Ibu Soewartini disebut sebagai Sri Pawenang. Beliau meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1996. Setelah itu untuk tetap menjalankan ajaran Sapta Darma, diadakanlah Sarasehan Agung Luar Biasa Para Tuntunan pada tanggal 10-12 Juli 1996 dengan keputusan dibentuknya lembaga Pelaksana Tuntunan Agung, yang bertugas melanjutkan tugas dalam membina para warga untuk menghayati ajaran Kerokhanian Sapta Darma. Perkembangan Ajaran Sapto Darma sampai saat ini, tidak hanya berkembang di wilayah Indonesia namun di luar negeripun sudah mulai berkembang. Saat ini Pusat Ajaran Sapta Darma berada di Sanggar Candi Sapta Rengga – Surokarsan Mg. II/472 Yogyakarta. Dan di setiap daerah ada tempat beribadah sebagai cabang, yakni Sanggar Candi Busono yang tersebar di seluruh cabang di Indonesia, bahkan di luar negeri

Sapta Darma dalam Hubungannya dengan Masyarakat dan Negara

Selama penyebarannya Ibu Soewartini dianggap bagi Warga Sapta Darma yang juga turut berperan serta dalam membantu Pemerintah Indonesia, bahkan pada era itu, Ibu Soewartini Martodihardjo, SH menjabat selaku anggota Majelis Permusyawaratn Rakyat Republik Indonesia yang mewakili kelompok penghayat terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini menurut warga Sapta Darma merupakan bentuk kepedulian terhadap keadaan negara dan juga merupakan salah satu kiprah dari pengalaman (darma) yang tercantum dalam Wewarah Tujuh.

Untuk menindaklanjuti fatwa Panutan Agung Sri Gutama mengenai pendanaan untuk menunjang kegiatan para Tuntunan, maka dengan akta nomor 23 yang dibuat dihadapan Notaris Wiranto, SH, pada tanggal 17 Maret 1959 didirikan Yayasan Srati Darma atau disingkat YASRAD, di mana perkembangannya sangat pesat dan memberikan manfaat besar bagi pelaksanaan ajaran Kerokhanian Sapta Darma.

Ketika pemerintah mengeluarkan peraturan tentang agama yang diakui hanya 5, maka Sapto Darmo berubah menjadi Ormas, dalam pandangan negara, tetapi mereka menyebutnya aliran kepercayaan. Pusat dari ajaran Sapto Darmo ini adalah di Yogyakarta (Sanggar Candi Sapta Rengga) sebagai kiblat dan pusat ibadah. Dengan adanya ketentuan Pemerintah yang mengatur mengenai organisasi kemasyarakatan yaitu Undang-undang No.8 tahun 1958 maka berdasarkan putusan Sarasehan Agung Tuntunan Kerokhanian Sapta Darma pada tanggal 27 Desember 1986 dibentuklah suatu wadah untuk menghimpun dan membina warga serta Tuntunan Kerokhanian Sapta Darma yang bernama Persatuan Warga Sapta Darma (PERSADA). PERSADA merupakan merupakan organisasi kemasyarakatan yang kegiatannya berorientasi di bidang rohani (spiritual). Dengan adanya PERSADA, maka untuk selanjutnya yang berhubungan dengan pihak luar yaitu Instansi Pemerintah, agama dan juga ajaran-ajaran kepercayaan lainnya. Hal ini merupakan bentuk tindak lanjut dari keinginan untuk tetap menunjukkan eksistensi kerokhanian ajaran Sapta Darma bagi para warga Sapta Darma, karena disadari bahwa Sapta Darma belum mendapat pengakuan secara penuh dari negara maupun sebagian masyarakat terhadap keberadaannya.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bagi warga Sapta Darma tidak melihat perbedaan kepercayaan dan keyakinan maupun hubungan antara sesama manusia dengan kepentingan dan asal-usul yang berbeda sebagai sebuah penghalang atau hambatan dalam menanamkan keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. Sebagaimana dari pengalaman-pengalaman perjalanan Warga Sapta Darma dalam penyebaran ajarannya sering mengalami berbagai tekanan dalam pemahaman yang dianggap sepihak oleh pihak-pihak tertentu. Semisal dalam beberapa waktu lalu terjadi penyerangan terhadap Sanggar (tempat ibadah) warga Sapta Darma. Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan dalam kepercayaan dan keyakinan di Indonesia belum dapat dimaknai secara baik oleh warga negara. Hal inilah yang menjadi pemicu terjadinya keretakan hubungan antara sesama.

Apa yang dialami oleh warga Sapto Darmo inilah yang dapat kita katakan sebagai kelompok subaltern. Subaltern menurut Gayatri Spivak[5], dimaksukan adalah subjek yang tertekan. Menurutnya subaltern memiliki dua karakteristik penting. Pertama, adanya penekanan dan kedua, di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Fenomena inilah yang dapat dilihat bagaimana sebuah penekanan dan proses pendisriminasian yang dialami Warga Sapto Darmo selama ini.

Kasus lainnya misalnya kesulitan yang dialami warga Sapto Darma mendapatkan perlakuan dalam hal pelayanan publik seperti pengurusan KTP, pernikahan yang sah menurut negara, kartu keluarga, belum lagi cibiran dan pandangan sebagian masyarakat di luar kelompok ini yang bersifat negatif, di cap aliran sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah beberapa tragedi penyerangan sekelompok Ormas terhadap para penghayat ajaran ini, seperti banyak terjadi di berbagai daerah semisal Klaten, Semarang, Pati dan di Jogjakarta sendiri semisal yang terjadi di Perengkembar, Gamping Sleman, tahun 2008 silam. Kasus lain adalah tidak diterimanya jenazah penghayat ketika meninggal oleh penduduk setempat, sampai yang sudah dikuburpun, harus dibongkar dan dipindahkan seperti terjadi di Brebes, Jawa Tengah. Adapula beberapa kasus yang dialami dalam jajaran birokrasi yang mempermasalahkan Ajaran Sapta Darma ketika berurusan dengan masalah jabatan dan kenaikan kepangkatan/golongan pegawai negeri sipil.

Hal tersebut memang agak berkurang setelah keluarnya UU no. 23/2006 yang cukup mengakomodasi kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan, sehingga mulai di akomodirnya kebutuhan mereka, salah satunya di KTP mereka di tulis agama lain-lain bahkan dalam kasus tertentu langsung ditulis agama Sapta Darma, yang sebelumnya mereka dimasukkan ke dalam salah satu agama yang diakui negara. Namun diakui informan, proses subordinasi sampai saat ini masih dirasakan dan sering terjadi, walaupun tidak sebanyak dulu.

Beberapa pengakuan yang diakui oleh informan, seperti bukti KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang dalam identitasnya telah ditulis agama Sapta Darma merupakan sebuah upaya yang tidaklah mudah dalam prosesnya, karena Sapta Darma yang belum diakui oleh negara sebagai salah satu agama. Sementara warga Sapta Darma lainnya, dalam identitas KTP nya ditulis lain-lain.

Bagi para warga Sapta Darma, mengimplementasikan ajaran yang sesuai dengan ajaran yang diterimanya (sebagaimana tercantum dalam wewarah tujuh) sebagai pedoman hidup tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan pada umumnya yang menganjurkan kebersamaan dan kejujuran dalam kehidupan. Namun perlakuan yang diskriminatif yang dirasakan selama ini tentunya bagian dari cobaan dalam kehidupan yang begitu plural/majemuk.

Jaminan yang tercantum dalam konstitusi kita yang menjamin kebebasan beragama dan kepercayaan/keyakinan belumlah dapat dimaknai secara keseluruhan. Walaupun agama yang diakui negara sudah ditetapkan, namun kepercayaan lain yang dimiliki atau diyakini oleh masyarakat lainnya pun tidak kalah penting untuk dihormati selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai bangsa dan negara ini. Bangsa Indonesia yang kaya akan pluralitas ini belum mampu memahami akan pluralitasnya, sehingga dalam tataran tertentu menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Lebih memprihatinkan lagi pemerintah menafikkan keadaan mereka dalam negara ini, dengan tidak mengakomodir kebutuhan mereka sebagai warga negara. Terjadi proses diskriminasi dalam urusan-urusan publik yang justru menjadi kebutuhan nyata bagi mereka. Harapan mereka hanya ingin ketentrama dan kedamaian dalam menjalankan keyakinannya dan kebutuhan sebagai warga negara tercukupi. Oleh karena itulah mereka butuh pengakuan Negara serta pengakuan masyarakat sehingga hubungan kemanusiaan antar sesama seperti yang dianjurkan oleh semua kalangan dapat tercapai.

Sebuah Renungan…

Fakta-fakta dari studi sederhana kami menunjukkan bahwa kegagapan kita sebagai masyarakat dan juga negara. Kita mengklaim bahwa kita adalah negara yang sangat multi dalam segala apapun, dari mulai budaya, keyakinan, ras, dan identitas lainnya, tapi pada kenyataannya kita masih gagap untuk merespon kenyataan perbedaan itu. Klaim kebenaran bahwa hanya identitas Aku dan Kamilah yang paling benar, coba mengidentifikasikan kelompok kita berbeda dengan kelompok lainnya (otherness), melalui kategori-kategori pembeda tertentu (sense of difference). Keyakinan bahwa kelompok lainnya itu tidak baik dalam pandangan kelompok kita. Bahkan yang lebih fatal lagi adalah kelompok lain bukan manusia utuh seperti kelompok kita, sehingga kasus ditolaknya zenajah seseorang yang dianggap berbeda dengan komunitasnya bukan lagi isu yang aneh.

Kalau kita pikirkan lebih jauh lagi, kelompok-kelompok tertentu yang dominan cenderung menghilangkan identitas-identitas lainnya yang dianggapnya kecil dan tidak penting. Keyakinan ini justru menjadi penyebab utama mengukur kebaikan, kebenaran dan kelayakan dalam konteks hubungan social-kemasyarakatan lewat aturan, norma, identitas atau standar-standar lainnya lewat identitas dominan tersebut. Bagimana kita melihat FPI melakukan pengrusakan tempat-tempat ibadah dari Sapto Darmo semisal kasus di Jogjakarta, Klaten, Magelang, Semarang dan lainnya karena menganggap Sapto Darmo sebagai aliran sesat. Hal ini terjadi dikarenakan standar kebenaran yang digunakan adalah standar dari Islam, atau mungkin pemahaman Islam yang dihayati oleh FPI. Namun tidak melihat bahwa dalam konteks ke-Indonesiaa yang multikultur hal tersebut sulit untuk dicari pembenarannya. Padahal Sapto Darmo muncul tahun 1950-an jauh sebelum munculnya Ormas FPI.

Hal lain yang menjadi pelajaran kita dari kasus pelayanan dan pengakuan negara dalam kasus di atas adalah terkesannya negara menutup akses bagi salah satu kelompok warga negara yang memiliki keyakinan tertentu. Secara otomatis negara mau meniadakan identitas tersebut. Hal ini jelas sebuah penghianatan atas rakyat dalam konteks masyarakat multikulturalisme. Bagaimana mungkin negara menutup akses seseorang butuh pengakuan lewat ID card kependudukan, Kartu Keluarga. Selain itu juga mengalami kesulitan dalam kebutuhan-kebutuhan lainnya semisal menikah, memiliki barang-barang atau kekayaan tertentu yang membutuhkan pencatatan sipil. Persoalan pembeda keyakinan terhadap Tuhan ini membawa malapetaka yang justru berdampak besar, sehingga dalam banyak kasus mereka dipaksa untuk dimasukkan dalam salah satu agama yang establish dan diakui negara.

Dari kasus dan perenungan di atas, sudah saatnya tawaran akan pentingnya kewarganegaraan multikultur, di mana kesetaraan bisa dicapai justru dengan memberikan hak-hak yang berbeda, khususnya dari aspek kultural pada kelompok-kelompok sosial tertentu, semisal Sapto Darmo ini. Core yang harus menjadi perhatian utama adalah pengakuan terhadap hak-hak kolektif pada kelompok-kelompok yang sudah ada, terutama minoritas kebudayaan tertentu di negeri ini. Ujung-ujungnya adalah legitimasi dan pengakuan negara, tidak hanya persoalan redistribusi saja. Hal ini dilakukan dalam kerangka melestarikan khazanah atau keunikan-keunikan dari identitas negara ini. Terima kasih.



DAFTAR PUSTAKA

Abdillah S. Ubed, “Politik Idnetitas Etnis; Pergulatan Tanda Tanpa Identitas”, Indonesiatera, Magelang, 2002

Widayanti Titik, “Politik Subaltern; Pergulatan Identitas Waria”, Polgov UGM, Yogyakarta, 2009.



1-4 Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM

[5] Titik Widayanti, “Politik Subaltern; Pergulatan Identitas Waria”, Yogyakarta, 2009. Hal: 22

0 komentar:

Post a Comment