GOLKAR “TEBAR PESONA”; Studi Dimensi Reification dalam Institusionalisasi Partai Golkar Era Kepemimpinan Akbar Tandjung

Oleh : Subhan Agung 

A. Pendahuluan  
Gejala politik pasca jatuhnya rezim Soeharto di bulan Mei 1998 silam, menjadi hari-hari yang sangat sulit bagi Golkar. Golkar yang pada saat Soeharto masih berkuasa tidak mau disebut partai, terlanjur mendapat atribut yang negatif sebagai partai penguasa, mesin politik yang efektif bagi rezim dalam meraup suara sebesar-besarnya, tanpa mengindahkan hak-hak politik masyarakat. Soeharto lewat Golkar mampu mengkebiri hak-hak politik masyarakat, terutama untuk kalangan Pegawai Negeri Sipil. 

Fenomena gerakan anti-Golkar oleh sebagian besar masyarakat lewat sejumlah aksi massa pasca jatuhnya Soeharto mungkin juga sesuatu yang wajar terjadi dalam perpolitikan Indonesia saat itu. Hal ini dikarenakan Golkar jelas-jelas tumbuh besar menjadi partainya penguasa yang otoriter yang “menyakiti” begitu banyak nurani rakyat. Kemenangan demi kemenangan dalam pemilihan umum dengan menggunakan cara-cara yang tidak wajar dalam demokrasi, menumbuhkan kebencian dan ketidakpuasan tersendiri bagi elit dan konstituen partai lain, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pada kenyataannya hanya menjadi “gurem” dalam setiap pemilu. Sangat tepat kalau dominasi Golkar saat itu membentuk sistem kepartaian tersendiri yang unik, sejenis apa yang disebut Palombara sebagai sistem kepartaian hegemonik (the hegemonic party system)[1]. 

Tulisan ini akan berusaha membahas tentang proses pelembagaan partai Golkar dari dimensi pembangunan citra ke publik (reification) setelah ditempa gelombang ketidakpercayaan dan kebencian di mata khalayak, terkait peran dan track-record Golkar yang menjadi alat penguasa secara absolut seperti dijelaskan dalam fenomena di atas. Kajian ini penting untuk melihat proses bagaimana Golkar masih bisa bertahan sampai saat ini. Fokus kajian ini adalah reification Golkar pada masa kepemimpinan Akbar Tandjung. Hal ini sengaja dipilih karena pada masa Akbar Tanjung itulah yang menjadi penentu berhasil tidaknya Golkar survive sampai selanjutnya nanti dilanjutkan Jusuf Kalla. Selain itu juga beliau adalah figur puncak pimpinan partai pertama yang terpilih lewat Munaslub Partai Golkar pasca-Soeharto jatuh. 

B. Memahami Institusionalisasi Kepartaian 
Kajian teoritis yang akan digunakan dalam menggambarkan reification partai Golkar ini adalah bersumber dari kajiannya Randall dan Svasand[2]. Dua pemikir ini sebelumnya melihat dari kajian-kajian institusionalisasi kepartaian Selznick (1957) Huntington (1968), Kenneth Janda (1980), Panebianco (1988) dan terbaru Levitsky (1998). Keduanya menggunakan istilah-istilah yang oleh ilmuwan-ilmuwan di atas pernah dipakai dalam bentuk kajian metriks yang unik. Model ini mereka gunakan untuk mengkaji institusionalisasi kepartaian di Dunia Ketiga semisal Argentina, Malaysia termasuk Indonesia. Model metriks Randall dan Svasand ini juga digunakan Akbar Tandjung (2007)[3] sebagai kerangka teoritik dalam membaca institusionalisasi Partai Golkar pasca jatuhnya Soeharto dan juga yang terbaru dipakai oleh Tomsa yang juga sama untuk membaca institusionalisasi Partai Golkar Pasca Soeharto (2008)[4]. 

Dimensi-Dimensi Institusionalisasi Partai 
Pelembagaan partai politik dalam Randall dan Svasand[5] adalah proses pemantapan partai politik baik secara struktural dalam rangka mempolakan perilaku maupun secara kultural dalam mempolakan sikap dan budaya (the process by wich the party becomes established in terms of both integrated patterns on behavior and of attitudes and culture). Proses pelembagaan ini mengandung dua aspek, yaitu aspek internal-eksternal dan aspek struktural-kultural. Bila kedua dimensi ini dipersilangkan, maka akan tampak sebuah tabel empat sel, yaitu; pertama, dimensi kesisteman (systemness) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan struktural. Kedua, dimensi identitas nilai (value infusion) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan kultural. Ketiga, dimensi otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan (decisional autonomy) sebagai hasil persilangan aspek eksternal-struktural. Keempat, dimensi pengetahuan atau citra publik (reification) terhadap suatu partai politik sebagai persilangan aspek eksternal-kultural.  

Metriks Dimensi-Dimensi dari Institusionalisasi Kepartaian
Dimensi Kepartaian                   Internal                   Eksternal
Struktural                                   Kesisteman               Otonomi
Kultural                                      Identitas Nilai            Citra pada Publik
Sumber : Randall-Svasand (2002 :13)

Pertama, dimensi kesisteman adalah proses pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur dan mekanisme yang disepakati dan ditetapkan dalam AD/ART partai politik. Kedua, dimensi identitas nilai ini berkaitan dengan identitas partai politik berdasarkan ideologi atau platform partai dan karena itu berdasarkan basis sosial pendukungnya dan identifikasi anggota terhadap pola dan arah perjuangan yang diperjuangkan partai politik tersebut. Ketiga, dimensi otonomi suatu partai politik dalam pembuatan keputusan berkaitan dengan hubungan partai dengan aktor luar partai, baik dengan sumber otoritas tertentu (penguasa, pemerintah), maupun dengan sumber dana (pengusaha, penguasa, negara atau lembaga luar) dan sumber dukungan massa (organisasi masyarakat). Keempat, dimensi pengetahuan publik tentang partai politik, merujuk pada pertanyaan apakah keberadaan partai politik tersebut telah tertanam pada imajinasi public dan bagaimana pihak lain menyesuaikan dengan visi-misinya[6].  

Dari tulisan di atas, terpetakanlah dalam ranah mana penulis memfokuskan kajian, yakni memfokuskan pada salah satu dimensi pelembagaan partai politik yaitu pembangunan citra partai politik (reification). Hal inilah yang akan dikaji kemudian dalam konteks Partai Golkar masa kepemimpinan Akbar Tandjung. Kajian dimensi yang lain jika ada hanya sebagai pelengkap argumen, jika hal tersebut berkaitan dengan citra partai ke publik. Hal ini dimungkinkan terjadi, karena pada dasarnya metriks Randall dan Svasand ini include antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. 

Konsep Reification Kepartaian 
Sebagai mana dibahas di atas, reification merupakan salah satu dimensi dalam kajian institusionalisasi kepartaian. Reification maksudnya adalah bagaimana partai mampu memberikan citra ke public yang mampu mengangkat nilai kesetiaan konstituen dalam memberikan dukungannya. Selain itu juga bagaimana partai mampu menjelmakan institusinya sebagai institusi yang memiliki nilai positif dan membawa impact positif dalam mendapatkan pilihan konstituen sebanyak-banyaknya. 

Derajad pengetahuan publik tentang partai politik merujuk pada pertanyaan apakah keberadaan partai politik tersebut telah tertanam pada imajinasi publik. Bila keberadaan partai politik tertentu telah tertanam pada imajinasi publik, maka pihak lain baik para individu maupun lembaga akan menyesuaikan aspirasi dan harapan ataupun sikap dan perilaku mereka dengan keberadaan partai politik tersebut. Derajad pengetahuan publik ini merupakan fungsi dari waktu dan kiprah partai tersebut. 

Konsep citra terkait dengan imajinasi publik terhadap partai tertentu yang berdasar dari fakta dan informasi yang ada akan eksistensi partai tertentu. Dalam konteks ini reifikasi akan banyak bicara politik simbol yang dimainkan partai, flat-form partai yang populis dan implementasi flat-form yang masif. 

Kajian tentang reification Golkar pasca jatuhnya Soeharto pada masa kepemimpinan Akbar Tandjung ini akan menggunakan kerangka kajian seperti yang dijelaskan di atas, yang meliputi : pertama, upaya perubahan atribut dan simbol-simbol Golkar sebagai partai penguasa dan anti-demokrasi lewat ulasan tentang politik simbol. Kedua, imaji tersebut tidak hanya sekedar tertanam, namun juga menjadi penggerak untuk bersepaham dengan flatform dan kultur politik Golkar dengan menjadi bagian dari konstituennya yang diulas lewat penataan internal partai yang berdampak pada citra partai ke publik. Ketiga, citra publik yang maksimum akan terbentuk ketika flatform partai tersebut dimanifeskan dalam berbagai kebijakan yang menyesuaikan dengan kehendak konstituen, baik di parlemen, eksekutif atau lembaga politik lainnya yang akan dibahas dalam pencitraan lewat kebijakan yang populis.  

C. Reification Partai Golkar. 
Bahasan ini meliputi bahasan tentang politik simbol partai Golkar, penataan internal dan aksi-aksi nyata partai Golkar lewat kebijakan publik yang populis. Untuk lebih jelasnya kita lihat dalam kajian-kajian di bawah ini. 

Golkar Baru dan Politik Simbol 
Upaya perbaikan citra Golkar yang pertama kali dilakukan adalah mengubah nama Golkar menjadi Partai Golkar. Dalam bukunya Tomsa (1998:123-124) mengutip sedikitnya tiga hasil riset dari Thohari (2004), Santoso dan Tirta (2003) dan Kingsbury (2002) yang menguatkan fakta perbaikan citra Golkar pertama-tama dengan mengganti nama Golkar menjadi Partai Golkar. Penggantian nama tersebut bukanlah tanpa maksud tertentu untuk hal-hal yang lebih strategis ke depannya terkait dengan popularitas dalam memenangkan pemilu.  

Paling tidak, ada beberapa hal yang menjadi latar belakang dan harapan penambahan Golkar menjadi Partai Golkar. Pertama, sejarah kelam pemberian nama Golongan Karya memiliki visi besar, yakni Golkar tidak mengkotak-kotakan perbedaan identitas dari latar belakang apapun, sehingga Golkar lebih mementingkan nuansa karya nyata dari pada hanya sekedar wacana dan permainan ide semata, pertentangan yang mengarah pada konflik yang tidak substansi dan tidak produktif untuk perubahan yang lebih baik[7]. Untuk menguatkan dan memberikan citra positif pada Golkar, rezim kemudian memberikan nama Golkar tanpa embel-embel partai. Kesan positif tersebut dijadikan alat oleh rezim untuk memberikan kesan “sempurnanya” Golkar. Namun yang terjadi adalah Golkar hanya dijadikan mesin yang efektif untuk mengukuhkan kekuasaan rezim yang anti-demokrasi. Penambahan nama menjadi Partai Golkar dianggap mencerminkan “kejujuran” Partai Golkar, bahwa selama puluhan tahun mereka sangat jelas memainkan peran-peran politik strategis bahkan absolut, sedangkan saat ini Partai Golkar lebih terbuka dan merakyat. 

Kedua, penambahan juga diartikan sebagai politik simbol, bahwa Golkar dengan Partai Golkar memiliki perbedaan yang signifikan, walaupun dari rahim yang sama, apalagi saat itu sedang santer-santernya kampanye anti-Golkar dari pihak-pihak yang tidak puas dan benci atas kiprah Golkar selama ini. Partai Golkar pasca Soeharto jatuh adalah disimbolkan sebagai partai yang pro-rakyat, anti korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal ini terlihat dalam respon positif Partai Golkar yang banyak selaras dengan tuntutan reformasi semisal mendorong pelaksanaan pemilu yang demokratis, pencabutan secara bertahap Dwifungsi ABRI, pemeriksaan mantan presiden Soeharto, termasuk penyelesaian kasus KKN, mengakui hak-hak politik PNS dan lain sebagainya[8]. 

Selain membangun citra lewat penambahan nama menjadi Partai Golkar, para pimpinan partai juga berusaha mengkampanyekan telah berakhirnya Golkar pro-status quo yang tidak demokratis diganti dengan Golkar Baru dengan Paradigma Baru. Di dalam salah satu publikasi elektroniknya[9] dinyatakan bahwa Golkar Baru adalah Golkar yang demokratis, sehingga kepemimpinan dalam tubuh Golkar tumbuh dari bawah, Golkar Baru adalah Golkar yang lebih pro-aktif dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat, karena Golkar Baru menyadari bahwa sumber kekuatan adalah rakyat. Tanpa dukungan rakyat, Golkar Baru tidak mungkin dapat berkiprah dalam panggung politik Indonesia lagi. Dengan kata lain, Golkar yang tampil pasca jatuhnya Soeharto di bawah pimpinan Akbar Tandjung adalah Partai Golkar dengan slogan : “ Golkar Baru Bersatu untuk Maju”. 

Reification dan Penataan Internal  
Pencitraan Golkar juga tidak hanya pada hal-hal yang sifatnya visioner yang dipublikasikan secara umum, namun juga mencakup dimensi internal-struktural. Kepentingan mengkaji ini tidak dimaksudkan secara rigit perubahan-perubahan Partai Golkar pada dimensi sistemnes, karena memang bukan hal itu fokus kajian ini. Namun hanya mengkaji beberapa dimensi sistemness yang terkait erat dengan pencitraan dan menjadi booming dalam sejarah perubahan Partai Golkar. Bahkan bisa dikatakan menjadi ikon perubahan yang sering didengung-dengungkan sebagai bukti Golkar masa Akbar Tandjung berbeda dengan Golkar masa Orba. Hal tersebut adalah semisal memutus apa yang disebut Tiga Jalur Keluarga Besar Golkar (jalur A : keluarga besar ABRI, jalur B ; Birokrasi atau pemerintah, dan jalur G : organisasi Golkar itu sendiri. Dengan putusnya hubungan dengan jalur A dan B tersebut, partai Golkar dicitrakan sebagai partai politik yang mandiri dan tidak eksklusif serta menghargai hak-hak politik PNS yang selama ini dikebiri oleh Golkar Lama[10]. 

Dalam rangka pencitraan Golkar juga memangkas struktur Dewan Pembina, yang dipercaya selama ini menjadi “biang keladi” ketidakmandirian Golkar, menjadi partai yang penuh dengan nuansa nepotisme dan kolusi, serta lemahnya otonomi dari pimpinan partai sendiri. Hal ini dikarenakan Dewan Pembina memiliki kekuasaan dan pengaruh yang lebih besar dibanding ketua partai itu sendiri[11]. Dalam persidangan Komisi A Munaslub Golkar tahun 1998 yang membahas masalah AD/ART organisasi, secara aklamasi peserta menyepakati penghilangan struktur Dewan Pembina di tingkat DPP, Dewan Pertimbangan di tingkat DPD I dan Dewan Penasehat Golkar di DPD II. Menurut Sarwono Kusumaatmaja, pimpinan siding Komisi A waktu itu, hal ini menjadi sumber persoalan utama Golkar selama ini[12]. 

Pencitraan Golkar yang melibatkan penataan internal adalah me-recall anggota-anggotanya di di DPR/MPR. Dalam salah satu tulisan bukunya tentang konsolidasi organisasi, Akbar Tandjung[13] menulis : “..demi penegakan disiplin dan peningkatan citra partai, DPP Partai Golkar memutuskan untuk menghentikan 36 anggota F-KP MPR dan 5 anggota FKP-DPR/MPR, serta mengganti mereka dengan anggota-anggota baru. Mereka yang direcall antara lain di dalamnya tokoh-tokoh besar Golkar, yakni Sarwono Kusumaatmaja, Hayono Isman dan Siswono Yodhohusodo. Tercatat hingga bulan Oktober 1998, terdapat 91 orang telah diganti..” Namun penggantian besar-besaran ini kemudian dikaitkan sebagai upaya politis pimpinan Golkar untuk memuluskan pencalonan kembali Habibie sebagai presiden.  

Terlepas dari pro-kontra hal itu sebagai pencitraan atau upaya politis untuk menjegal anggota-anggota yang tidak selaras dengan pimpinan partai saat itu, jelas Partai Golkar telah mengambil tindakan yang berani dan tegas. Di Golkar sendiri memang saat itu masih santer-santernya ada upaya untuk mengusung kembali Habibie sebagai presiden, namun hal ini ditentang oleh sebagian tokoh dan petinggi Golkar semisal Sarwono Kusumaatmaja, dan dicemooh banyak tokoh semisal Abdurrahman Wahid, sebagai partai yang telah kehilangan sensibilitasnya, di mana akan mencalonkan kembali tokoh yang jelas-jelas telah gagal mengusung amanat reformasi dan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari rezim yang otoriter. 

Satu hal penting yang bisa dikategorikan sebagai upaya pencitraan Golkar yang terkait dengan penataan internal Partai Golkar adalah sistem rekruitmen untuk calon presiden lewat konvensi. Dalam banyak hal isu ini yang membawa simpati banyak kalangan untuk memberikan suaranya pada Golkar. Di sisi lain juga hal ini membuktikan bahwa Golkar yang sebelumnya sangat tertutup dan menjadi alat penguasa otoriter dalam melanggengkan kekuasaannya, telah dianggap benar-benar berubah, bahkan melampaui keterbukaan partai-partai lainnya yang masih tertutup dalam hal rekruitmen calon presiden. Isu ini menjadi booming dan secara otomatis menaikkan popularitas Golkar. Lagi-lagi banyak pihak yang pesimis dengan sistem konvensi Partai Golkar ini, semisal Abdurrahman Wahid yang menyebut hanya akal-akalan Partai Golkar untuk merebut simpati masyarakat saja. Kemudian juga tokoh dari Sulawesi Selatan Ajiep Padindang yang mengatakan bahwa hasil konvensi nantinya tidak akan mungkin memunculkan figur di luar kader Partai Golkar, orang yang tidak memiliki komitmen partai, tidak pernah berjuang di partai[14]. 

Pernyataan Ajiep di atas mungkin ada benarnya, juga ada salahnya. Dikatakan benar karena konvensi pada kenyataannya menggolkan Wiranto, yang memang bukan anggota ataupun fungsionaris partai Golkar, namun secara psikologis kita ingat dalam MPR dan DPR keanggotaan Partai Golkar selalu melekat dengan ABRI, wadah tempat Wiranto dibesarkan. Jadi secara psikologis, Wiranto memiliki kedekatan dengan para pimpinan dan konstituen Golkar waktu itu. Dikatakan salah, dikarenakan Golkar nyata-nyata sudah memutus hubungan dengan ABRI dalam internal organisasinya dan secara struktural-formal Wiranto adalah orang luar Golkar dan ternyata Wiranto menang. Kemenangan Wiranto inilah dianggap sebagai bukti perubahan paradigma Partai Golkar. 

Pencitraan Lewat Kebijakan di Lembaga Politik 
Citra diri pada public (reification) akan menjadi tidak lengkap ketika hanya berkutat pada citra diri berupa visi-misi demokratis dan kerakyatan serta paradigma baru Partai Golkar. Ada yang justru tidak kalah pentingnya dengan hal itu, yakni bagaimana paradigma baru tersebut termanifes dalam proses pengambilan kebijakan di lembaga politik semisal parlemen dan kritik yang tajam serta kontruktif terhadap pemerintahan. 

Hal yang menggambarkan tentang citra diri lewat peran serta kebijakan di lembaga politik cukup lengkap ditulis oleh Akbar Tandjung. Menurutnya[15] secara garis besar Golkar cukup memainkan peran strategis, baik di DPR maupun MPR. Segala usulan Partai Golkar diparlemen tidak terlepas dari paradigma baru, yang kemudian diderivasikan dalam bentuk sikap politik dan usulan yang strategis-kritis dalam bingkai keutuhan bangsa dan negara Indonesia, seperti usulan amandemen UUD 1945 yang selama ini dianggap tabu, esensi dalam usulan amandemen UUD 1945 ini diantaranya : peneguhan kembali bentuk kesatuan, peningkatan wewenang MPR, peningkatan peranan DPR, pemberdayaan BPK, aturan tentang kondisi presiden jika berhalangan tetap, pengkajian tentang wewenang dan fungsi DPA, perluasan masuknya butir-butir Hak Asasi Manusia (HAM), pengaturan soal hubungan luar negari dan menjadikan TNI/POLRI sebagai alat negara yang profesional, perwujudan sistem ekonomi nasional yang mewujudkan kemakmuran dan kemajuan bangsa serta adanya jaminan kesejahteraan nasional untuk seluruh warga negara. 

Selain itu juga Golkar menyerukan kepada pemimpin nasional sesuai dengan kehendak sebagian besar masyarakat yang pada saat itu kepemimpinan nasional dipimpin oleh Habibie—kalangan Golkar sendiri—yakni percepatan Pemilu yang sedianya dilaksanakan tahun 2002, dipercepat pada tahun 1999. Golkar juga mendukung desakan masyarakat saat itu yang gencar-gencarnya mendukung pemilu secara langsung. Mengenai sistem pemilu, baik distrik, proporsional ataupun campuran yang akan diterapkan bagi Golkar saat itu tidaklah berarti asalkan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)[16]. 

Pandangan-pandangan dan sikap politik Partai Golkar yang menurut fungsionaris Partai Golkar saat itu sangat fundamental dan mendasar merupakan perwujudan perubahan Golkar dari citra lama yang tertutup dan undemocratic ke Golkar yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan pro-Reformasi 1998. Reformasi tidak hanya berhenti dalam tataran perubahan kepemimpinan nasional, tetapi juga perubahan yang radikal yang meliputi di dalamnya kultur dan struktur politik. 

Dalam perkembangannya kemudian, pandangan dan sikap kritis Partai Golkar juga diperlihatkannya dalam menyikapi pemerintahan dari mulai presiden Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Pada masa Habibie, pemerintahan mendesakkan kebijakan politiknya, yakni mendorong terselenggaranya SI MPR November 1998 guna mempercepat pelaksanaan pemilu, menggulirkan kebebasan pers, mendorong amandemen konstitusi di MPR, membebaskan tahanan politik Orde Baru, mendorong reformasi internal militer sampai kebijakan kontroversial jajak pendapat Timor-Timur yang kemudian berhasil membuat Timor Timur memisahkan diri dari NKRI.  

Partai Golkar melihat semua kebijakan yang dambil Habibie saat itu merupakan kebijakan yang mendasar dan sejalan dengan semangat dan tuntutan Reformasi. Walaupun kemudian banyak kalangan tetap merasa tidak puas dengan kebijakan Habibie yang terlanjur melekat image “rezim pelanjut” Soeharto, sehingga akhirnya lewat SI MPR laporan pertanggungjawabannya ditolak MPR. Pada Masa Abdurahman Wahid, Partai Golkar juga memposisikan sebagai partai yang tetap kritis terhadap pemerintah terutama pada kebijakan-kebijakan presiden yang kontroversial. Tercatat Partai Golkar sebagai salah satu partai yang mendorong upaya penggunaan hak interpelasi terkait kebijakan-kebijakannya yang kontraproduktif dan kontroversial. 

Pada masa Megawati Soekarnoputri, Partai Golkar menganggap tetap bersikap kritis terhadap pemerintah, apalagi Akbar Tandjung saat itu memegang tampuk pimpinan DPR, seperti menyikapi secara kritis kasus lepasnya Sipadan dan Ligitan di kepulauan terluar Indonesia. Walaupun pada masa ini juga menjadi ujian terberat bagi citra Golkar yang sedang gencar-gencarnya pencitraan, yakni tersangkutnya dugaan korupsi Akbar Tandjung, pucuk pimpinan mereka. Walaupun kemudian lewat proses yang panjang dan melelahkan, Akbar divonis bebas dalam persidangan final di Mahkamah Agung[17].

Dari berbagai pencitraan yang dilakukan oleh partai Golkar, tidak aneh jika Golkar pasca Pemilu 1999, terutama di sekitar tahun 2003-an popularitasnya mengalami peningkatan tajam. Kemenangan suara Golkar sebagai pemenang Pemilu Legislatif pada Pemilu 2004, sebelumnya sudah banyak yang memprediksi. Survey Lingkaran Survey Indonesia[18] misalnya sudah memprediksikan hal itu melalui survei yang melibatkan 2240 responden yang tersebar di kota-kota besar Indonesia kecuali Nangroe Aceh Darussalam, dihasilkan bahwa suara PDI-P menurun menjadi 25 % dibanding tahun 1999 yang di atas 30%. Kondisi ini menjadikan PDI-P akan menduduki urutan kedua setelah Golkar yang mengalami peningkatan suara menjadi 30,7 % dibanding tahun 1999 yang hanya meraih suara 22,43%.  

D. Kritik Atas Pencitraan Partai Golkar 
Walaupun diakui banyak kalangan bahwa berbagai terobosan yang dilakukan oleh Partai Golkar masa Akbar Tandjung ini mampu mengangkat popularitasnya di mata masyarakat pasca jatuhnya Soeharto. Bukan berarti upaya pencitraan yang dilakukan Partai Golkar yang baik menurut Golkar, justru menimbulkan kelemahan dalam pandangan pihak lain, semisal pendapatnya Tomsa[19], bahwa dengan dihilangkannya Dewan Pembina dalam struktur Partai Golkar, Golkar justru kehilangan tokoh ataupun pemimpin kharismatik yang masih dibutuhkan untuk membangun citra partai. Golkar tidak seperti Partai Keabngkitan Bangsa (PKB) yang punya tokoh kharismatik, populis dan legendaris semisal Gus Dur, di Partai Amanat Nasional (PAN) semisal Amin Rais, Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) semisal Megawati Soekarnoputri, bahkan kemudian muncul Partai Demokrat yang punya figure populis Soesilo Bambang Yudhoyono. Apalagi Akbar Tandjung yang diharapkan saat itu akan tumbuh sebagai pemimpin besar dari Golkar tersangkut kasus hukum serius, yang justru dalam dataran tertentu menodai Golkar itu sendiri. 

Di satu sisi Golkar mendengung-dengungkan anti korupsi, kolusi dan nepotisme, namun juga di sisi lain pucuk pimpinan mereka terkena kasus korupsi. Lebih memalukan lagi ketika Akbar Tandjung tetap ngotot untuk tetap mengikuti konvensi calon presiden dari Partai Golkar, padahal saat itu belum ada keputusan tetap akan status hukumnya yang sedang proses kasasi di Mahkamah Agung. Hal ini juga menimbulkan “kekisruhan” dan kekecewaan tersendiri terutama bagi DPD-DPD yang justru menjadi basisnya Partai Golkar semisal Sulawesi Selatan. Kekecewaan tersebut dalam hal tertentu menimbulkan manuver-manuver dari tokoh Partai Golkar semisal AA. Baramuli di Sulsel yang didukung oleh tokoh Partai Golkar semisal Muladi dalam upaya mengganti ketua umum Akbar Tandjung saat itu. Konflik seperti ini justru menimbulkan melemahnya citra Golkar di mata publik dan konstituennya. 

Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah kesalahan Golkar dalam membuat kebijakan strategis dengan mencalonkan kembali Habibie sebagai presiden. Hal ini tentu saja bukan kemudian memperbaiki citra Golkar lebih baik, malah justru semakin banyak yang memusuhi, dikarenakan Habibie adalah “orang dekat” Soeharto, di mana masyarakat Indonesia sudah terlampau memberikan streotifing negatif pada Soeharto dan Habibie. Hal ini juga dikuatkan dengan berbagai kebijakan Habibie yang kontraproduktif dengan lepasnya Timor-Timur, yang membuktikan lemahnya diplomasi politik, pelanggaran HAM Semanggi dan lainnya. Walaupun kemudian Golkar tidak bisa meneruskan niatnya mencalonkan Habibie, karena SI MPR menolak laporan pertanggungjawabannya. 

Namun, di luar semua itu, sebagai partai yang mendapat tekanan berat pasca jatuhnya Soeharto, Golkar mau tidak mau harus melakukan serangkaian upaya pencitraan ulang yang sama sekali jauh berbeda dengan anggapan umum masyarakat. Upaya pencitraan Golkar, walaupun terdapat kelemahan, diakui sangat efektif mendongkrak popularitasnya. [20]Popularitas Golkar walaupun masih kurang pra-Pemilu 1999, tetapi masih punya basis suara yang besar di daerah, terutama di Indonesia Timur. Bahkan pra-Pemilu 2004 popularitasnya meningkat 2 kali lipat, sehingga mampu menggeser peraihan suara nasional PDI-P dipuncak perolehan suara legislatif. 

E. Kesimpulan 
Paper ini tidak mengkaji ada atau tidaknya hubungan antara leading suara partai Golkar di pemilu palemen masa Akbar Tandjung memimpin partai. Namun hanya menggambarkan bagaimana upaya pencitraan yang dilakukan oleh Golkar saat itu untuk mengembalikan citra positifnya, yang bersignifikansi terhadap popularitas di mata publik dan konstituennya. Mereka melakukannya melalui pencitraan simbol, lewat penggantian nama Golkar menjadi Partai Golkar, istilah Golkar Baru dengan Paradigma Baru yang terus diulang-ulang dan dikampanyekan lewat berbagai media massa saat itu.  

Selain itu juga upaya pencitraan dilakukan melalui serangkaian penataan internal yang memiliki dampak populis bagi publik semisal konvensi calon presiden, dihapusnya struktur Dewan Pembina dan pemangkasan jalur pendukung, yakni ABRI dan Birokrasi. Pencitraan juga dilakukan lewat proses pengambilan berbagai kebijakan yang pro-demokrasi dan pro-Reformasi 1998, baik di parlemen maupun di pemerintahan. Kritik yang dianggap pihak Golkar membangun, terus-menerus dilancarkan, baik pada masa Habibie, Abdurahman Wahid sampai Megawati Soekarnoputeri berkuasa untuk mendapat simpati publik.


*) Tulisan ini awalnya merupakan peper pengganti ujian mata kuliah Partai Politik, Pemilu dan Legislasi. sengaja saya posting supaya dibaca orang banyak dan bisa diambil manfaatnya. silahkan koment ya..
REFERENSI LIST
La Palombara, Joseph dan Myron Weiner (1966) dalam bukunya Political Parties and Political Depelovment, Princeton University Press.
Pamungkas, Sigit, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, Cet I, Yogyakarta.
Vicky Randall dan Lars Svasand (2002), Party Institusionalization in New Democracies, Party Politics, Vol.8 No.1, Sage Publication, London.
Lili Romli, dkk, 2003, Potret Partai Politik Pasca Orde Baru, P2P-LIPI, Jakarta,
Akbar Tandjung, 2007, The Golkar Way : Survival Partai Golkar dalam Turbulensi Politik Era Transisi, Gramedia, Jakarta.
Dirk Tomsa (2008), Party Politics and Democratization in Indonesia : Golkar in The Post- Soeharto Era, Routledge, London and Newyork.
Hairus Salim HS, dkk, 1999, Tujuh Mesin Pendulang Suara : Perkenalan, Prediksi dan Harapan Pemilu 1999, LKiS, Yogyakarta.
Sumber Lain :
http://www.pks-jaksel.or.id/Article128.html, Hasil Poling LSI : Suara Golkar dan PKS Diperkirakan Naik pada Pemilu 2004, 21 Maret 2004.
http://ppq.sagepub.com



[1] Sistem ini diperkenalkan oleh Joseph La Palombara dan Myron Weiner (1966) dalam bukunya Political Parties and Political Depelovment, Princeton University Press, hal.35
[2] Vicky Randall dan Lars Svasand (2002), Party Institusionalization in New Democracies, Party Politics, Vol.8 No.1, Sage Publication, London, hal 5-29, atau didownload di http//:ppq.sagepub.com.
[3] Lihat dalam Akbar Tandjung, 2007, The Golkar Way : Survival Partai Golkar dalam Turbulensi Politik Era Transisi, Gramedia, Jakarta.
[4] Lihat dalam Dirk Tomsa (2008), Party Politics and Democratization in Indonesia : Golkar in The Post- Soeharto Era, Routledge, London and Newyork.
[5] Ibid, hal.11
[6] Ibid, hal. 10-11
[7] Lihat Akbar Tandjung (2007 : 379 ). Dalam bukunya ini, Akbar Tandjung mencantumkan lampiran Keputusan Rapim IV Golkar Tanggal 21 Juli 2000 tentang Paradigma Baru Partai Golkar, yang di dalamnya memuat tentang pokok-pokok doktrin, visi, misi dan platform Partai Golkar Baru.
[8] Uraian lengkap tentang keberpihakan Partai Golkar atas isu-isu politik pro reformasi, mencitrakan sebagai Partai Golkar baru yang berbeda jauh dalambanyak hal dengan Golkar lama. Lihatlah ulasan ini dalam Hairus Salim HS, dkk, 1999, Tujuh Mesin Pendulang Suara : Perkenalan, Prediksi dan Harapan Pemilu 1999, LKiS, Yogyakarta. Hal 125-127.
[9] Lihat http://www.Golkar.or.id/index.php?op=profil
[10] Dalam Tandjung (2007;102-103)
[11] Tentang hal ini lihat dalam Ibid, hal.99-100, atau dalam Lili Romli, dkk, 2003, Potret Partai Politik Pasca Orde Baru, P2P-LIPI, Jakarta, hal.127.
[12] Lihat dalam Tandjung (2007, hal.99-100)
[13] Ibid, hal.105
[14] Lihat dalam Lili Romli, dkk (2003;150).
[15] Akbar Tandjung (2007 :254-274)
[16] Ibid, 268-269.
[17] Ibid, 281-286
[18]Lihat dalam bahasan survey LSI di http://www.pks-jaksel.or.id/Article128.html, tentang Hasil Poling LSI : Suara Golkar dan PKS Diperkirakan Naik pada Pemilu 2004, 21 Maret 2004.
[19] Dirk Tomsa (1998:154-155)
[20] Untuk melihat secara jelas dinamika perubahan popularitas Partai Golkar semasa Akbar Tandjung memimpin (dua kali pemilu) dalam berbagai survey dan analisis terhadap survey tersebut lengkap dengan perolehan akhir suara dalam dua kali masa pemilu tersebut, lihat dalam Akbar Tandjung (2007:307-318). Tentang perolehan suara Golkar di palemen dalam dua pemilu itu juga bisa di lihat di Sigit Pamungkas (2009:95-96, 120-122)

0 komentar:

Post a Comment