DPR dalam Bayang-Bayang Eksekutif


Subhan Agung




Berbicara peran dan fungsi DPR di Indonesia menurut saya tidak banyak berbeda dengan peran dan fungsi legislatif seperti yang ada dinegara-negara lainnya. Fungsinya berkisar seputar fungsi legislasi (memformulasi dan mensahkan undang), fungsi representasi, dan fungsi kontrol. Fungsi-fungsi tersebut sesuai dengan apa yang di tulis Andrew Heywood[1], walaupun beliau lebih luas membahasnya dalam bingkai Assemblies, dan lembaga legislatif semisal DPR adalah masuk di dalamnya. Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia dalam perkembangannya terjadi pasang surut dalam konteks relasinya dengan eksekutif.

Selama puluhan tahun sejak Orde lama sampai Orba posisinya hanya menjadi “hiasan” dan embel-embel “wakil rakyat” semata, fungsi dan perannya hanya menjadi pengikut setia eksekutif saja. Memang konteks penguasaan eksekutif terhadap legislatif di zaman Orba dan Orla konteksnya tidak bisa disamakan. Jika zaman Orla kemandulan DPR lebih banyak disebabkan model dominannya kepemimpian sentral Soekarno-Hatta. Ketiaka suasana politik masih dalam keadaan gonjang-ganjing, baik rongrongan dari luar dan dalam, mengharuskan Soekarno mengambil jalan pengambilalihan peran yang sangat dominan dalam pemerintahan. Terjadi bongkar pasang sistem pemerintahan dari model parlementer, presidensial dan terpimpin lebih disebabkan percobaan Soekarno-Hatta dalam meredam persoalan tadi, bukan karena pengaruh dari Komite Nasinal Indonesia Pusat (lembaga legislatifnya saat ini)[2]. Sedangkan di Zaman Orba kenyataannya tidak hanya sekedar pengaruh pribadi Soeharto yang kuat, tetapi yang paling menentukan adalah Golkar, sokongan kuat militer dan birokrasi[3]. Dalam konteks ini Golkar menjadi ‘parpol pendekar’ tak terkalahkan sepanjang rezim ini berkuasa dan sebagian besar bercokol dalam legislatif, sehingga yang terjadi adalah kemandulan legislatif saat itu. Kondisi di atas berbeda dengan yang terjadi terutama awal-awal pasca Reformasi dimana DPR mulai menguat, hak-hak yang dimiliki DPR (semisal hak interpelasi) yang semula tidak pernah digunakan, saat itu mulai dengan deras bermunculan. Mereka menjadi kritis dan mengikuti arus besar saat itu yang mengharuskan adannya percepatan Pemilu saat rezim transisi Habibi. Dampak UU No.22/1999 juga di daerah memperkuat posisi Badan Perwakilan Desa yang lebih banyak menekan desa. Baru setelah ada koreksi terhadap UU tersebut bertransformasi menjadi Badan Permusyawaratan Desa yang lebih bertindak sebagai mitra kepala desa dan perangkatnya.

Tahun 2004 menjadi sejarah berharga bagi Indonesia yang mulai menganut model pemilihan langsung dua mandat, mandat rakyat yang pertama diberikan kepada eksekutif, mandat kedua diberikan rakyat kepada legislatif. Apa artinya ini?. Pertama, kalau semula lewat namanya sebagai “wakil rakyat”, DPR selalu mengatakan “kamilah wakil rakyat yang sebenarnya”, sehingga dapat dengan mudah “menggoyang eksekutif”, tetapi mulai saat itu posisinya mendapatkan mandate yang sama dan langsung dari rakyat dengan eksekutif. Konsep ini dimakasudkan untuk menyeimbangkan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif (check and balanced). Kedua, sangat memungkinkan partai politik dominan bekerja dalam DPR, jika koalisi Parpol lebih kuat atau condong ke eksekutif maka terjadi concensus dalam DPR, sehingga ujung-ujungnya akan kembali seperti pada zaman Soeharto ketika DPR di dalamnya dikuasai Golkar. Keadaan sebaliknya jika koalisi Parpol lebih kuat pada Partai besar yang kontra pemerintah, maka yang terjadi adalah instabilitas pemerintahan, yang terus-menerus mendapat rongrongan dari DPR.

Kondisi check and balanced kurang lebih dapat tergambar ketika pemerintahan SBY jilid I[4], di mana DPR di sisi yang satu dapat dengan leluasa melakukan kotrol terhadap eksekutif lewat hak-hak mereka dalam kebijakan-kebijakan yang dinilai merugikan rakyat. Disisi lain eksekutif di bawah pimpinan Presiden posisinya kuat, walapun rongrongan banyak sebagai akibat dari disperse kekuasaan, baik dalam level internal ataupun eksternal negara[5]. Kondisi concensus[6] di DPR justru sepertinya akan terjadi pada pemerintahan SBY-Boediono saat ini. Kekuatan terbesar DPR saat ini adalah partai nya SBY dan dukungan koalisi partai yang hampir merata minus PDI-P, sudah bisa dibayangkan kemampuan DPR dalam melakukan fungsi kontrolnya akan mengalami kemandulan. Fungsi memformulasi dan mensahkan undang-undang jika sudah terjadi consensus pro eksekutif di DPR maka dikhwatirkan DPR hanya membuntut eksekutif. Kontrol yang efektif justru sepertinya akan banyak dilakukan oleh lembaga-lemga semisal civil society dan lembaga atau kelompok lainnya.



Antara Representasi Konstituen dan Kepentingan Partai



Sebenarnya kepentingan partai dan kepentingan rakyat sangatlah selaras, di mana Parpol dalam perpolitikan modern memiliki misi menjawab problem sosialisasi politik dan komunikasi politik, agregasi dan artikulasi kepentingan, rekrutmen politik dan sejumlah fungsi fital lainnya. Ketika membicarakan partai dan konstituennya, maka fungsi urgen yang melekat adalah partai harus mampu menyerap aspirasi masyarakat konstituennya dan mampu mengagregasikan serta artikulasi aspirasi tersebut. Dilihat dari hal itu, kepentingan partai sama dengan kepentingan rakyat. Namun apakah kenyataannya demikian?. Dalam banyak kasus kepentingan partai hanya dikuasai sekelompok kepentingan elit dari partai, atau negera tersebut yang berkuasa. Apalagi saat ini ada kekuatan pasar yang sepertinya “ramah” terhadap rakyat, tapi menindas secara halus lewat privatisasi, fragmatisme, konsumerisme dan lainnya. Dialogis Parpol sepertinya lebih banyaknya cenderung pro pasar, fragmatisme, dan hanya untuk mendapatkan akumulasi kekayaan. Kasus kemarin saja seperti diekspos media, belum lagi kerja, DPR dan kabinet sudah ramai mengurusi kenaikan gaji DPR, Presiden dan Menteri. Dari hal ini terlihat jurang pemisah antara Partai Politik dan masyarakat.





Dalam konteks itulah sebenarnya saat ini menjamur lembaga-lembaga yang katanya memperjuangkan “nasib rakyat” sebagai respon atas ketidakmampuan Partai Politik dalam mengemban amanah konstituennya. Struktur kepartaian saat ini penekannya harus lebih banyak pada peran dan fungsi kepartai itu sendiri. Misalnya departemen Advokasi Rakyat, Departemen Peningkatan Ekonomi Makro dan lain sebagainya yang tidak hanya cenderung kepentingan elit dan anggota terkemuka partai saja. Kalau sudah seperti itu, DPR yang nota bene berasal dari unsure partai akan lebih concern dalam upaya-upaya memperjuangkan publics goods[7] bersama eksekutif dan elemen kekuatan politik lainnya. Amin Ya Robbal ‘alamin..


[1] Andrew Heywood dalam bukunya Politics, hal.316-319 [2] Penjelasan terperincinya lihat dalam tulisannya Moehkardi dalam Bunga Rampai Sejarah Indonesia, 2008, hal. 258. [3] Pemetaan Piramida Kekuasaan Orde Baru oleh Bactiar Efendy mirip seperti Piramida Kekuasaannya R. William Lidlle (Kantor Kepresidenan, Birokrasi dan Militer) dalam Zainudin Maliki, Birokrasi Militer dan Parpol dalam Negara transisi, 2000, hal. xxiv. [4] SBY yang terpilih secara legitimate lewat pemilihan langsung, tapi Partainya bukanlah Partai yang dominan. Dominasi justru masih dipegang oleh Partai Golkar, PDI-P, PPP dan PKB. Artinya pemilihan langsung mengisyaratkan belum tentu calon yang menang jadi Presiden partainyapun menang. [5] Seperti banyak dikaji dalam studi Politik Indonesia, salah satu dampak dari maraknya pendekatan pluralism dalam memandang Indonesia, hasilnya saat ini adalah disperse (penyebaran kekuasaan), baik di level negara, masyarakat sipil ataupun pasar, dan juga antara negara dan masyarakat, muncul yang disebut State Auxilary Institution, semisal komisi judisial, Komnas-Komnas dan lainnya. [6] Kata lain untuk menyebut persekongkolan DPR dan eksekutif. [7] Sebagaimana yang dipahami dalam konsep governability
.

0 komentar:

Post a Comment