Analisa Hasil Pemilukada Kota Tasikmalaya Tahun 2012

Oleh: Rino Sundawa Putra

Sejenak penulis termenung ketika mendengar hasil Real Count KPUD Kota Tasikmalaya yang mengumumkan kemenangan Budi-Dede mencapai angka 202.097 atau 58,02 persen, jauh mengalahkan Syarif-Cecep yang hanya mendapat perolehan suara 117.660 suara atau sekitar 33,78 persen, bahkan pasangan Budi-Dede menang di 10 kecamatan. Sebelumnya penulis melakukan analisa bahwa antara pasangan Dede-Budi dengan Syarif-Cecep akan terjadi persaingan yang ketat dimana siapapun yang menang dari kedua pasangan selisihnya tidak terlalu besar, apalagi penulis pernah mengatakan bahwa seorang incumbent akan sedikit diuntungkan dengan sumber daya yang dimilikinya, termasuk jaringan-jaringan pemenangan pada Pilkada 2007 lalu, ternyata analisa penulis tidak terbukti.

Ada beberapa analisa yang bisa dijadikan indikator dan kontribusi bagi  kemenangan  Budi-Dede, yaitu; pertama adalah dari hasil modal sosial H. Dede Sudrajat yang notabenenya adalah incumbent wakil walikota. Memori penulis tentang pribadi kepemimpinan H. Dede dalam kapasitasnya sebagai wakil walikota yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat langsung dibanding walikota. Penulis masih ingat ketika H. Dede di sibukan dengan aktifitas monitoring langsung ke lapangan ketika pengerjaan normalisasi gorong-gorong, bahkan tidak sungkan ketika berinteraksi langsung dengan warga dan pekerja perihal kelancaran fungsi gorong-gorong. Dari faktor inilah kemudian masyarakat sudah tidak asing lagi dengan sosok H. Dede Sudrajat, bahkan ada sebagian masyarakat mengenalnya dengan sosok yang merakyat karena selalu bersentuhan dengan masyarakat tanpa pengawalan dan protokoler yang berlebihan.

Yang kedua adalah  citra yang dibangun oleh H. Budi Budiman dan H. Dede Sudarajat  sebagi seorang muda, profesional dan berbudi dan dikombinasikan dengan kesan seorang pengusaha muda yang sukses. Citra muda yang dilekatkan mau tidak mau merupakan paradigma kepemimpinan yang otomatis dibenturkan (vis a vis) dengan citra H. Syarif-Cecep. Pencitraan muda dan profesional telah berhasil menarik simpati masyarakat, terlebih lagi simbol kesuksesannya selalu dikaitkan dengan pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat kota Tasikmalaya, dan bukan tidak mungkin seluruh pekerja yang bernaung pada beberapa perusahaan milik Budi-Dede menjadi jaringan suksesi tidak resmi (bukan jaringan tim suksesi dalam lingkar partai) yang mendongkrak perolehan suara. Kesan yang kemudian muncul ditengah-tengah masyarakat adalah kombinasi manajerial yang modern dan profesional antara Budi dengan Dede yang akan diterapkan pada tata kelola pemerintahan kota sesuai pengalaman dalam mengelola cabang-cabang bisnisnya.

Yang ketiga adalah adanya kecenderungan yang besar dari masyarakat kota Tasikmalaya yang ingin  mencari alternatif pemimpin baru bagi kota Tasikmalaya. Ada kesan negatif  pada masyarakat apabila kepemimpinan di kota Tasikmalaya diserahkan lagi kepada Incumbent. Salah satu faktor yang mendorong kesan negatif itu adalah pola interaksi atau komunikasi kepemimpin Incumbent yang terkesan jauh dari masyarakat (elitis), secara psikologi politik, publik akan memaknai bahwa kepemimpinan Incumbent di analogikan sebagai mobil mogok, ketika didorong dan kembali berjalan, orang-orang yang mendorongnya ditinggalkan begitu saja tanpa tegur sapa. Hal ini tidak hanya dirasakan ditingkat masyarakat, tetapi juga ditingkat elit  atau lingkar elit yang mendukung H. Syarif pada Pilkada 2007 lalu.

Memang ada beberapa analisa  mengatakan bahwa mesin partai dan mesin tim sukses di kubu Syarif –Cecep kurang berjalan dan kurang massif secara kuantitas. Tetapi penulis kurang sependapat dengan asumsi itu, karena dari pengamatan penulis, masing-masing calon menggerakan mesin suksesinya secara seimbang, bahkan dari sisi “saweran” politik keduanya sama-sama massif menempati simpul-simpul masyarakat disemua kecamatan, jadi kalau ada yang memperkarakan mengenai money politic, keduanya sama-sama melakukannya. Intinya adalah ada pada tingkat elektabilitas yang kemudian secara marketing politik dimenangkan oleh Budi-Dede.

Ada fenomena yang terjadi, contoh kasus ada dibeberapa daerah di kecamatan Cihideung dan Tawang, dimana tim sukses Syarif –Cecep intens melakukan pendekatan kepada masyarakat, bahkan rutin mengadakan acara hiburan dan “saweran” dibanding tim sukses pasangan Budi-Dede, tetapi pada pemilihan, hasil yang didapat justru pasangan Syarif-Cecep kalah telak oleh pasangan Budi-Dede. Secara akumulatif pasangan Syarif-Cecep di Kecamatan Cihideng mendapat perolehan suara 13.098 dan Budi-Dede mendapatkan suara 20.452, juga untuk kecamatan Tawang Syarif-Cecep mendapatkan suara 9.060 dan Budi-Dede jauh meninggalkan dengan perolehan suara 19.949. Fakta ini menunjuka bahwa masyarakat sudah mulai memilih dengan menggunakan hati nurani, bahkan ada istilah yang mengatakan “tarima we ampolop mah, ari milih mah kumaha engke”.

Pelajaran penting bagi pemimpin selanjutnya yang ingin memperpanjang masa jabatan, bahwa masyakat kota Tasikmalaya cenderung sudah cerdas memilih dengan hati nuraninya, konskuensi positifnya bilamana pemimpin baru dianggap gagal, maka pilihan publik akan berpindah ke lain hati.

[1] Dosen Ilmu Politik, FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.

2 komentar: