Memahami Struktur dan Budaya Politik
Oleh : Mohammad Ali Andrias., S.IP., M.Si
Pemahaman tentang struktur dan budaya
politik dalam kerangka kerja sistem politik memegang peran penting.
Gabriel Almond mengatakan, sistem politik merupakan organisasi melalui masyarakat,
merumuskan dan berusaha mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, sistem
politik melaksanakan perang atau mendorong perdamaian, memajukan
perdagangan internasional atau membatasinya, membuka diri demi
pertukaran gagasan-gagasan atau menutup diri, menarik pajak dari rakyat
secara adil atau tidak, mengalokasikan sumberdaya untuk hajat hidup
orang banyak. Singkatnya sistem politik melaksanakan berbagai kegiatan
yang ditunjukkan untuk meraih tujuan-tujuan bersama yang telah
dirumuskan.
Dalam rangka melaksanakan kegiatan yang
kompleks ini, sistem politik memerlukan badan-badan dan
struktur-struktur yang bekerja dalam sistem politik seperti, parlemen,
birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang melaksanakan
kegiatan atau fungsi-fungsi tertentu. Pelaksanaan fungsi-fungsi inilah
yang pada akhirnya membuat sistem politik bekerja, dalam arti mampu
merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakannya.
Dalam suatu sistem politik, biasanya
terdapat tiga fungsi yang hampir selalu ada. Ketiga fungsi tersebut
adalah sebagai berikut. Pertama, fungsi
sosialisasi politik. Ini merupakan sungsi mengembangkan dan memperkuat
sikap-sikap politik di kalangan penduduk atau bagian-bagian penduduk
ataupun melatih rakyat untuk melaksanakan peran-peran politik,
administrasi birokrasi, dan peranan yudikatif. Fungsi-fungsi ini menurut
Almond, akan melibatkan keluarga, sekolah, media dan struktur-struktur
politik yang ada di dalam masyarakat. Kedua,
rekruitmen politik, ini merupakan penyeleksian rakyat untuk kegiatan
politik dan jabatan-jabatan pemerintahan melalui penampilan media
komunikasi, anggota organisasi, pencalonan pada jabatan tertentu,
pendidikan, dan ujian. Ketiga, komunikasi
politik. Fungsi ketiga ini bertanggungjawab terhadap mengalirnya
informasi dari masyarakat dan melalui berbagai struktur yang ada di
dalam sistem politik. Dalam sistem politik demokratis, komunikasi
politik sering dianggap sebagai ‘life blood’ yang membuat
sistem politik bekerja dengan baik. Dalam konteks ini, komunikasi
politik mengalir tidak hanya dari penguasa politik atau pemerintahan ke
masyarakat atau warga negara, tetapi juga sebaliknya. Apa yang sering
disebut sebagai artikulasi dan agregasi kepentingan pada dasarnya
berlangsung melalui mekanisme komunikasi politik dalam bangunan sistem
politik.
Almond mendefinisikan sistem
politik sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya suatu
organisai yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, yang mempengaruhi
atau yang dipengaruhi. Ini berarti bahwa setiap sistem politik tidak
pernah hidup dalam ruang hampa. Ia senantiasa hidup dalam suatu
lingkungan tertentu yang saling mempengaruhi. Lingkungan dalam pandangan
Almond, terdiri dari lingkungan domestik dan internasional.
Selain struktur dan fungsi-fungsinya,
dalam sistem politik juga dipengaruhi oleh budaya politik juga mempunyai
peran penting dalam membantu menjelaskan sistem politik, meskipun
budaya politik bukan merupakan satu-satunya aspek politik. Perhatian
terhadap budaya politik setidak-tidaknya dilandasi oleh dua hal. Pertama, meskipun
sistem politik menghadirkan keterkaitan yang kompleks antara budaya
politik dengan aspek-aspek lain dalam sistem politik, baik formal maupun
informal, tetapi dengan menggunakan alat yang ada sangatlah sulit untuk
melihat totalitas sistem politik dalam waktu bersamaan. Oleh karena
itu, hampir semua ilmuwan politik dipaksa untuk melihat satu aspek atau
aspek-aspek lain dalam sistem politik. Kedua, dilandasi
oleh keyakinan bahwa budaya politik masyarakat merupakan aspek yang
sangat signifikan dalam sistem politik. Dalam konteks ini terdapat
hubungan yang dekat antara struktur dan budaya politik.
Menurut Sidney Verba, budaya politik
tidak merujuk pada interaksi struktur politik baik formal maupun
informal seperti pemerintahan, parpol, kelompok kepentingan, atau
klik-klik politik. Budaya politik juga bukan merujuk pada pola interaksi
di antara aktor-aktor politik-siapa berbicara kepada siapa, siapa
mempengaruhi siapa, dan siapa memilih siapa. Namun, sebagaimana
dikemukakan oleh David Easton, budaya politik merujuk pada tindakan atau
tingkah laku yang membentuk tujuan-tujuan umum maupun khusus mereka,
dan prosedur-prosedur yang mereka anggap harus diterapkan untuk meraih
tujuan-tujuan tersebut.
Lebih dalam lagi kita membahas
mengenai budaya politik, cukup memiliki pengaruh dalam struktur dan
sistem politik. Perilaku politik seseorang atau sekelompok orang
dipengaruhi oleh sistem kultur yang melekat dan berlaku dalam
masyarakat. Karenanya antara perilaku politik dan budaya politik
mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Setiap masyarakat dalam suatu
negara memiliki budaya politik yang khas, demikian pula dengan individu
yang hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Hal ini terjadi dalam
setiap masyarakat, baik dalam masyarakat modern, transisional maupun
tradisional.
Menurut Gabriel A. Almond dan Sidney
Verba kebudayaan politik suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola
orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu,
yang tidak lain adalah pola tingkah laku individu yang berkaitan dengan
kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota dalam suatu sistem
politik (Sastroatmodjo, 1995 : 36). Budaya politik terdiri dari
sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan kecakapan-kecakapan
yang berkembang di seluruh lapisan masyarakat, termasuk
kecenderungan-kecenderungan alamiah dan pola-pola tertentu yang mungkin
terdapat dalam masyarakat.
Istilah budaya politik mulai dikenal
terutama sejak lahirnya pendekatan tingkah laku (behavioralisme). Budaya
politik banyak dikaji dalam bidang perbandingan politik. Dalam sebuah
artikel wordpress (2006/10/13/kajian-budaya-politik), pendekatan budaya politik banyak ditinggalkan karena beberapa sebab :
- Konsep budaya politik terlalu abstrak (vague). Persoalan yang ditimbulkan dari abstraknya konsep budaya politik ini antara lain adalah persoalan menentukan unit analisa. Atribut budaya politik harus diasosiasikan pada level mana: kultur individu, kelompok atau negara. Jika pada level individu, apakah bisa digeneralisasi?. Kalau pada level negara, apakah bisa mencerminkan individu? Bila diletakkan dalam konteks kelompok (etnis atau relijius misalnya), bagaimana menjelaskan variasi kultur kelompok yang satu dengan yang lainnya? Persoalan kedua yang ditimbulkan karena terlalu abstrak adalah variabel budaya sering diperlakukan sebagai variabel residu. Artinya, variabel kultur menjadi the last resort (tujuan terakhir), kalau variabel lain tidak mampu menjelaskan sebuah fenomena.
- Bahwa politik selalu dikaitkan dengan political correctness. Artinya, budaya politik cenderung dijadikan alat untuk menyalahkan keadaan. Misalnya, apabila sebuah masyarakat gagal membangun demokrasi, maka budaya dijadikan latar belakang gagalnya demokrasi itu.
- Sejak tahun 1990-an, kajian budaya politik kembali mendapat perhatian. Ada beberapa penyebanya, diantaranya adalah mulai tersedianya data mengenai budaya, seperti data dari World Value Survey. Tersedianya data yang memungkinkan budaya politik dikaji secara lebih spesifik, dengan dukungan data empirik. Sehingga, kajian budaya politik tidak lagi menjadi kajian yang vague dan abstrak.
Sebab lain berkembangnya kajian budaya politik adalah munculnya karya-karya akademis yang realible mengenai budaya. Ada dua ilmuwan yang sering, Pertama, Robert Putnam dengan bukunya Making Democracy Work (1993).
Putnam melakukan penelitian di negara Italia, dengan membandingkan
budaya Italia bagian utara dan selatan. Kesimpulan penelitian tersebut
bahwa Italia bagian utara lebih makmur dan demokratis karena densitas network dan asosiasi kemasyarakatan lebih tinggi daripada Italia wilayah selatan. Penyebabnya adalah trust antara anggota masyarakat di Italia sebelah utara jauh lebih tinggi.
Kedua, Ronald
Inglehart melakukan banyak kajian mengenai budaya politik dengan data
empirik, antara lain dengan menggunakan dataset dari World Value Survey itu. Artikel lain Inglehart berjudul “Trust, Well-being and Democracy”.
Walaupun ada beberapa kritik untuk tulisan tersebut, tetapi artikel ini
cukup banyak mendapatkan perhatian. Salah satu temuan Inglehart adalah
mengenai tingkat interpersonal trust yang dihubungkan dengan
tradisi agama dan budaya serta tingkat pembangunan ekonomi. Studi
Inglehart menunjukkan bahwa budaya politik bisa dikaji dengan data-data
empirik.
Dalam literatur politik khususnya
pendekatan perilaku, budaya politik sering digunakan untuk menjelaskan
fakta yang hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan
sistemik. Dengan kata lain menjelaskan dengan pendekatan budaya politik
adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang
atau sebuah kelompok.
Almond dan Verba mendefinisikan budaya
politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap
sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan
warga negara di dalam sistem itu (Almond dan Verba, 1965: 13). Menurut
kedua ahli ilmu politik ini, warga negara senantiasa mengidentifikasikan
diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga-lembaga kenegaraan
berdasarkan orientasi yang mereka miliki masing-masing. Dengan orientasi
itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka
di dalam sistem politik.
Sebenarnya pengertian budaya politik
seperti ini akan membawa pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua
tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu (Walter A.
Rosembaum, 1975: 4). Dengan orientasi pada tingkat individu atau yang
bersifat individual itu tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem
politiknya menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah
individualisme. Jauh dari anggapan demikian, pandangan ini melihat aspek
individu dalam orientasi hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena
dalam masyarakat tertentu, yang semakin mempertegas bahwa masyarakat
secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi
individual.
Almond dan Verba melihat bahwa dalam pandangan tentang obyek politik, terdapat tiga komponen, yaitu komponen orientasi kognitif, afektif dan evaluatif. Menurut
Almond dan Verba, ketiga komponen tersebut dapat mengukur bagaimana
sikap individu atau masyarakat terhadap sistem politik dengan
menggunakan ketiga komponen ini.
Orientasi kognitif yang
dimaksud Almond dan Verba adalah dengan menilai pengetahuan tentang dan
kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input,
dan outputnya.
Orientasi afektif berbicara
tentang perasaan seorang warga negara. Perasaan terhadap sistem
politik, peranannya, para aktor dan penampilannya. Seorang individu
mungkin mempunyai suatu perasaan yang khusus terhadap aspek-aspek sistem
politik tertentu yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem
politik itu secara keseluruhan. Dalam hal ini, telah menjadi kesepakatan
para ahli bahwa sikap-sikap yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam
keluarga atau lingkungan hidup seorang pada umumnya mempunyai pengaruh
terhadap pembentukan perasaan individu yang bersangkutan (Nazaruddin
Syamsudin,1991: 21-22).
Orientasi yang terakhir yaitu orientasi evaluatif.
Orientasi ini merupakan keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek
politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan
kriteria dengan informasi dan perasaan. Komponen evaluatif orientasi
politik ditentukan oleh evaluasi moral yang memang telah dimiliki
seseorang. Di sini, norma-norma yang dianut akan menjadi dasar sikap dan
penilaiannya terhadap sistem politik. Penilaian ini merupakan suatu
kemampuan untuk mengukur kehadiran sistem politik, bagian-bagian,
simbol-simbol dan norma-norma yang dimiliki masyarakat.
Menurut Nazaruddin Syamsudin, ketiga
komponen orientasi tersebut tidaklah terpilah-pilah seperti itu (1991:
22). Adanya perbedaan tingkat pemahaman tentang perkembangan masyarakat
pada setiap individu menyebabkan ketiga komponen tersebut saling
berkaitan, atau sekurang-kurangnya saling mempengaruhi. Untuk dapat
membentuk suatu penilaian tentang seorang pemimpin, misalnya, seorang
warga negara tentunya harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang
si pemimpin. Akan tetapi pengetahuannya itu tentulah sudah dipengaruhi,
diwarnai atau dibentuk oleh perasaannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan
orang tersebut tentang suatu simbol politik, misalnya, dapat pula
membentuk atau mewarnai perasaannya terhadap simbol politik itu. Bahkan
dapat dikatakan pula bahwa pengetahuan tentang suatu simbol sering
mempengaruhi perasaan seseorang terhadap sistem politik secara
keseluruhan.
Dalam menggolongkan obyek orientasi politik, Almond dan Verba membagi sistem politik ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :
1. Peranan atau struktur khusus seperti badan legislatif, eksekutif, atau birokrasi.
2. Pemegang jabatan; seperti pemimpin, legislator dan admininistrator
3. Kebijakan, keputusan, struktur,
pemegang jabatan, dan struktur secara timbal balik dapat diklasifikasi
termasuk dalam proses “input” atau dalam proses adminstratif atau “output”.
Di samping orientasi terhadap sistem
politik, pandangan atau sikap warga negara juga merupakan suatu aspek
budaya politik penting lainnya. Sikap atau pandangan ini berkaitan
dengan ”rasa percaya” (trust) dan “permusuhan” (hostility) yang biasanya
memang terdapat antara warga negara yang satu dengan warga negara
lainnya, kelompok yang satu dengan kelompok lainnya atau antara golongan
satu dengan golongan lainnya dalam masyarakat (Almond dan Bingham
Powell. 1978: 37-39). Perasaan-perasaan yang demikian terlihat pada
sikap seseorang terhadap pengelompokan yang ada disekitarnya, baik yang
berbentuk kelas, etnis, kedaerahan, agama, maupun antar kelompok agama
itu sendiri. Dalam hal ini pengelompokan-pengelompokan tersebut
mempengaruhi, baik dalam arti melahirkan sikap percaya maupun sikap
bermusuhan seseorang.
Budaya politik suatu masyarakat dengan
sendirinya berkembang di dalam dan dipengaruhi oleh kompleks nilai yang
ada dalam masyarakat tersebut. Kehidupan masyarakat dipenuhi oleh
interaksi antarorientasi dan antarnilai. Interaksi yang demikian
memungkinkan timbulnya kontak-kontak antara budaya politik suatu
kelompok, atau yang mungkin lebih tepat disebut ”subbudaya politik”,
dengan budaya politik kelompok lainnya (Nazaruddin Syamsudin,1991:
22-23).
Albert Widjaja menyatakan budaya politik
adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri ide,
pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal
dan diakui sebagain besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi
rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Albert
Widjaya menyamakan budaya politik dengan konsep “ideologi” yang dapat
berarti “sikap mental”, “pandangan hidup”, dan “struktur pemikiran”.
Budaya politik, menurutnya, menekankan ideologi yang umum berlaku di
masyarakat, bukan ideologi perorangan yang sifatnya sering khusus dan
beragam (Albert Widjaya, 1988: 24).
Almond dan Verba, selain mengelompokkan
tipe orientasi budaya politik, juga melakukan klasifikasi tipe-tipe
budaya politik. Kebudayaan politik dikategorikan menjadi kebudayaan
politik parokial, subyek, dan partisipan (Almond dan Verba, 1984: 20-22).
Tabel 1. Tipe-Tipe Kebudayaan Politik
Sistem sebagai obyek umum
|
Obyek-obyek input
|
Obyek-obyek output
|
Pribadi sebagai partisipan aktif
|
|
Parokial |
0
|
0
|
0
|
0
|
Subyek |
1
|
0
|
1
|
0
|
Partisipan |
1
|
1
|
1
|
1
|
Sumber : Almond dan Verba, 1984: 19
Kebudayaan politik parokial dalam
sistem politik lebih bersifat afektif dan normatif. Dengan kata lain,
masyarakat yang ada dalam sistem politik tersebut mempunyai orientasi
afektif. Kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sekali terhadap
sistem politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai lapisan
masyarakat. Frekuensi orientasi terhadap keempat jenis obyek politik
dalam tabel di atas mendekati nol.
Kebudayaan politik subyek menurut
Mochtar Mas’oed menyebutnya kebudayaan politik kaula, memiliki ciri
masyarakat menyadari adanya otoritas pemerintah, mereka secara efektif
diarahkan untuk terhadap orientasi tersebut, mereka mungkin menunjukkan
kebanggaannya terhadap sistem itu, atau mungkin tidak menyukainya tapi
hubungannya dengan sistem politik menunjukkan pola hubungan yang pasif.
Dalam tabel tersebut terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap
sistem politik yang diferensiatif dan output dari sistem itu, tetapi
terhadap input dan sebagai individu yang aktif, mendekati nol.
Terakhir, Kebudayaan politik partisipan.
Tipe kebudayaan politik partisipan adalah suatu bentuk kebudayaan
dimana anggota-anggota masyarakat memiliki partsipasi aktif terhadap
sistem politik, dan sudah bisa mengevaluasi jalannya sistem politik.
Menurut Almond dan Verba (1984: 24),
kebudayaan politik yang ideal adalah adanya keharmonisan antara struktur
dan budaya politik. Kebudayaan parokial, subyek, dan partisipan hampir
sama dengan struktur politik yang tradisional, otoritarian, dan
demokratis. Kebudayaan politik juga bisa berupa bersifat campuran, yaitu
kebudayaan subyek parokial, kebudayaan partisipan subyek, dan
kebudayaan parokial partisipan (Almond dan Verba, 1984: 27-31).
Kebudayaan subyek parokial adalah suatu
tipe kebudayaan politik dimana sebagian besar penduduk menolak
tuntutan-tuntutan ekslusif masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas
feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang
lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat
khusus. Jadi mulai ada pergeseran atau perubahan dari kebudayaan
parokial menuju kebudayaan politik subyek.
Kebudayaan partisipan subyek, mulai
terjadi perubahan dari budaya subyek kepada budaya partisipan. Sebagian
besar penduduk telah memperoleh orientasi-orientasi input yang bersifat
khusus dan serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis,
sementara penduduk yang lain terus diorientasikan kearah suatu struktur
pemerintahan dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi yang pasif.
Kebudayaan parokial partisipan, banyak
terdapat di negara sedang berkembang. Budaya yang dominan adalah
parokial. Norma-norma struktural diperkenalkan bersifat partisipan, demi
keselarasan dengan struktur politik.
Dalam hubungannya budaya politik dengan demokrasi, dalam tradisi riset civic culture,
menurut Saiful Mujani (2007: 5), budaya dan tingkah laku demokratis
dapat dipahami sebagai kompleks gabungan beberapa unsur, yaitu :
keterlibatan kewargaan yang bersifat sekuler (secular civic engagement), sikap saling percaya (interpersonal trust), toleransi, keterlibatan politik, dukungan terhadap sistem demokrasi, dan partisipasi politik.
Studi budaya politik di
Indonesia pernah dilakukan oleh para ilmuwan dari barat diantaranya
yaitu Herberth Feith dan Clifford Geertz. Budaya politik suatu
masyarakat akan ditentukan oleh unsur-unsur yang ada dalam masyarakat
tersebut. Herbert Feith, mengemukakan bahwa Indonesia memiliki dua
budaya politik yang dominan, yaitu aristokrasi Jawa dan wiraswasta Islam
(Feith, 1968: 30-31). Sedangkan menurut Clifford Geertz, dalam
masyarakat Jawa terdapat tiga subkebudayaan yaitu santri, abangan, dan
priyayi (Clifford Geertz, 1969). Sementara itu, Hildred Greetz,
mengelompokkan masyarakat ini kepada tiga subbudaya, yang disebut sosiocultural types menjadi
petani pedalaman Jawa dan Bali, masyarakat Islam pantai, dan masyarakat
pegunungan . Pendapat para ahli dari Barat tersebut kendati pun banyak
menuai kritik, akan tetapi hal tersebut menunjukkan adanya
keanekaragaman subbudaya politik yang mempengaruhi budaya politik
masyarakat di Indonesia.
Perkembangan pada subbudaya politik,
menurut Nazaruddin Syamsudin, dipengaruhi oleh dua faktor dominan, yakni
adat istiadat dan sistem kepercayaan (agama). Adat dan agama memainkan
peranan yang besar dalam proses penyerapan dan pembentukan pandangan
masyarakat tentang kekuasaan atau simbol-simbol yang ada
disekitarnya. Adat dan agama telah mempengaruhi atau memberi bentuk
pola sikap/pandangan individual anggota masyarakat mengenai peranan yang
mungkin dimainkannya dalam sistem politik (1991: 34-45).
Dalam kelompok agama pun, subbudaya
politik akan berkembang karena dalam satu agama akan ada
kelompok-kelompok yang memiliki budaya dan corak yang berbeda. Islam
misalnya, Islam memiliki organisasi-organisasi yang memiliki ciri khas
sendiri. Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), ataupun
Ormas Islam lainnya yang memiliki hubungan kultural yang kuat dengan
anggotanya akan memberikan corak dalam kebudayaan politik.
REFERENSI
Easton, David. 1984. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Sahat Simamora. Bina Aksara. Jakarta.
Gaffar, Afan. 2002. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Haryanto. 1982. Sistem Politik; Suatu Pengantar. Liberty. Jakarta
Kantaprawira, Rusadi. 1988. Sistem Politik Indonesia; Suatu Model Pengantar. Sinar Baru. Jakarta.
Mas’oed, Mohtar dan Nasikun. 1987. Sosiologi Politik. PAU-Studi Sosial UGM. Yogyakarta
Rush, Michael & Althoff, P. !988. Pengantar Sosiologi Politik. Rineka Cipta.
Sumber : King-Ali
thanks udah share artikel nya gan :)
ReplyDelete