Pemilih Cerdas Versus "Penebar Amplop"
Realitas Politik Menjelang Pemilukada Kota Tasikmalaya
Saat ini Komisi Pemilihan Umum Daerah kota Tasikmalaya sedang sibuk-sibuknya keliling menggelar sosialiasi pelaksanaan
Pilkada Kota Tasikmalaya yang akan digelar pada 9 Juli mendatang. Tema
besar yang diusung pada setiap sosialisasi yang membidik kalangan
pelajar dan mahasiswa ini adalah bagaimana menggiring masyarakat pemilih
untuk bersikap cerdas dalam menentukan pilihan.
Persepsi penulis mengenai apa yang ingin
dicapai oleh KPUD Kota Tasikmalaya dari tema ini adalah bagaimana
menggeser pola pikir berdasarkan pemikiran pragmatis yang menjangkiti
mayoritas masyarakat pemilih menjadi pemilih yang rasional. Secara
akademik dalam disiplin ilmu politik, memang belum ada bangunan teori
yang ajeg dalam mendefinisikan pemilih pragmatis dan pemilih rasional
dan masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. Tapi dalam konteks ini
secara praktis penulis memberikan pengertian berdasarkan fenomena yang
menjadi gejala pada setiap perhelatan politik bahwa, pemilih pragmatis
adalah pemilih yang menggunakan pendekatan materi jangka pendek dalam
menentukan pilihan. Amplop, beras, mie instans, kaos adalah materi
jangka pendek. sedangkan pemilih rasional adalah pemilih yang
menggunakan pendekatan berbasis informasi dengan tujuan-tujuan jangka
panjang. Informasi ini bisa berbasis ideologis, ketokohan calon, visi
misi calon dan kriteria calon menurut sudut pandang pemilih atau bahkan
kritisme pemilih kepada masing-masing calon.
Siapa Menebar Benih Pragmatisme?
Pertanyaan yang harus menjadi renungan
adalah, kenapa mayoritas masyarakat pemilih kita punya kecenderungan
yang sangat besar untuk menjadi pemilih pragmatis. Dalam kesempatan
tatap muka dengan tim sosialisasi KPUD kota Tasikmalaya, penulis sempat
menyampaikan faktor ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat
pemilih yang menjadi penyebab berantai pragmatisme masyarakat pemilih.
Tetapi ada beberapa hal yang belum sempat penulis sampaikan pada forum
itu, yaitu keyakinan penulis bahwa gejala pragmatisme akibat adanya
stimulus atau rangsangan. Siapa yang pertama kali memberikan rangsangan,
tidak lain tidak bukan adalah para elit politik yang “bermain” dalam
memperebutkan kursi kepala daerah. Alur pikirnya adalah, seandainya para
politisi yang akan “manggung” dalam setiap perhelatan politik termasuk
dalam Pilkada kota Tasikmalaya bersikap sebagai politisi sejati
yang gentle man, punya tanggung jawab moral dan sosial, rendah hati
dalam menerima kemenangan dan kekalahan kemudian bersama-sama
mengikrarkan diri tidak akan melakukan gerilya membagi-bagikan amplop,
beras dan mie instan, maka masyarakat akan dihadapkan pada satu pilihan
dalam menentukan pilihan, yaitu berdasarkan hati nurani, kemudian
masyarakat akan dipaksa untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya
mengenai masing-masing pasangan calon yang layak untuk mereka pilih.
Itulah yang penulis maksud dengan pemilih cerdas!.
Mari kita renungkan sejenak, sebetulnya
kita sadar bahwa saat ini kita terjebak pada ritual teknis demokrasi
yang menghabiskan energi tidak perlu. Sistem politik yang high cost,
sistem politik berbiaya tinggi, baik itu biaya secara finansial ataupun
biaya sosial. Fenomena pragmatisme adalah salah satu biaya sosial yang
harus kita bayar dan ini menjadi salah satu rincian biaya kenapa sistem
politik kita berbiaya tinggi. Penulis mengistilahkan dengan pasar bebas
politik. Kalau dalam konteks ekonomi, persaingan pasar bebas menitik
beratkan pada mekanisme pasar yakni hukum penawaran (Supply) dan permintaan (Demand)
yang akan menciptakan harga ke-ekonomian yang akan menjadi standar
harga, maka dalam konteks pasar bebas politik, penawaran yang seharusnya
berorientasi pada visi misi dan program kerja, digeser menjadi
penawaran materi jangka pendek, penawaran amplop, beras dan mie instan,
maka sebagai hukum yang menimbulkan sebab akibat, penawaran ini akan di
respon oleh masyarakat ke dalam sebuah permintaan yang akan diminta oleh
masyarakat pemilih, maka lahirlah fenomena pemilih pragmatis, fenomena
Golput alias Golongan Pendukung Uang Tunai!. Akhirnya semua calon yang
akan bertarung berkompetisi untuk mengeluarkan kocek lebih dalam, inilah
pasar bebas politik yang high cost!. Kalau saja penawaran yang
diberikan adalah visi misi dan program kerja, maka permintaan masyarakat
akan menghasilkan para pemilih cerdas!
Ironi Penegakan Hukum
Dalam Buku Sosialisasi yang dikeluarkan
oleh KPUD kota Tasikmalaya, pada Bab IV prinsip kampanye dijelaskan
bahwa kampanye harus dilakukan dengan prinsip jujur, terbuka, dialogis,
serta bertanggung jawab sebagai bagian dari pendidikan politik kepada
masyarakat. Ini jelas menggambarkan kepada kita prinsip-prinsip yang
harus dijalani pada setiap kampanye. Berkaca pada Pilkada kota
Tasikmalaya 2007 lalu, seharusnya persoalan klasik bagi-bagi amplop pada
pertemuan “minta doa restu” yang jauh dari kesan dialogis apalagi
pendidikan politik, menjadi pengalaman tersendiri bagi KPUD dan Panwaslu
untuk bekerja ekstra pada Pilkada kali ini. Pembiaran pada pola-pola
seperti ini oleh KPUD dan Panwaslu merupakan “serangan balik” dari
kesibukan KPUD melakukan road show sosialisasi pemilih cerdas yang
selama ini dilakukan.
Dari aspek penegakan hukum, Panwaslu
harus mengevaluasi kinerjanya pada Pilkada kota Tasikmalaya 2007 lalu.
Bagi-bagi amplop dalam setiap pertemuan dengan masyarakat jelas
mengindikasikan adanya kecurangan yang berakibat pada pelanggaran Pemilu
yang bisa ditindak secara pidana. Karena penggunaan uang untuk
mempengaruhi seseorang dalam menentukan pilihan atau membeli suara
adalah pelanggaran pemilu yang sudah dijabarkan pada UU nomor 12 tahun
2008 perubahan dari UU nomor 32 tahun 2004, tentang pembatalan pasangan
calon yang terbukti melakukan money politik.” Dalam pasal 82 UU nomor 32
tahun 2004, disebutkan jika pasangan calon terbukti melakukan tindak
pidana memberikan dan menjanjikan sesuatu yang bersifat materi, yang
dapat mempengaruhi pilkada, dapat diberikan sanksi pidana berupa
pembatalan pasangan calon. Fenomena ini pada 2007 lalu sangat nyata,
gamblang dan menjadi rahasia umum, tapi toh tidak ada tindakan apa-apa.
Dari ironi ini, penulis berseloroh,
kalau memang dari aspek penegakan hukum, bagi-bagi amplop ini dibiarkan,
atau lebih tepatnya pembiaran, maka jalan keluarnya adalah menghapus
bagi-bagi amplop sebagai cara yang dikategorikan pelanggaran dalam UU
Pemilu, artinya bagi-bagi amplop itu sah, legal dan diperbolehkan
menurut UU. Perputaran uang dari praktek ini akan dinikmati oleh
masyarakat, masyarakat senang dan tidak perlu lagi ada perdebatan
tentang pemilih cerdas, rasional dan pragmatis bahkan Panwaslu pun bisa
di tiadakan. Tapi bukan itu maksud saya, ini adalah bagian dari bentuk
sarkasme dan penyampaian ironi dari penulis, karena sudah lelah melihat
sistem politik yang kita jalani ini ternyata menghasilkan sistem
yang high cost, aturan yang mudah dilanggar, lembaga yang membiarkan
pelanggaran dan mungkin masyarakat yang dibodoh-bodohi. Wacana pemilihan
Kepala Daerah agar kembali lagi dipilih oleh DPRD rasanya perlu kita
pikirkan kembali, setidaknya cost sosial terbentuknya karakter
masyarakat pemilih yang pragmatis dan gesekan sosial akibat pola
pragmatisme dapat dihindari. Biarkanlah yang pragmatis itu wakil-wakil
kita di DPRD, dan jangan libatkan masyarakat.
Rino Sundawa Putra merupakan dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Sumber Artikel : King Ali
0 komentar:
Post a Comment