Politik Identitas Komunitas " Vespa Gembel" di Tasikmalaya

Oleh : Nia Kurniasih

Studi ini membahas topik tentang identitas politik Komunitas “Vespa Gembel” di Kota Tasikmalaya. Studi ini didasari atas banyaknya identitas politik yang perlu digali dari kelompok subaltern. Menurut Spivak dalam (Gandhi 2006) kaum subaltern adalah subjek yang tertekan. 

Subaltern memiliki dua karakteristik yaitu, adanya penekanan dan di dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Dari pendapat Spivak tersebut diketahui bahwa subaltern tidak bisa memahami keberadaannya dan tidak mampu untuk menyuarakan aspirasinya. Kaum subaltern juga  tidak memiliki ruang untuk menyuarakan kondisinya.    

Subaltern difahami sebagai sekelompok orang-orang yang termarginalkan dan terekskusi dalam ranah publik sehingga mengalami tekanan, khususnya dalam perjuangan melawan hegemoni globalisasi. Marginalisasi yang didefinisikan sebagai pengasingan dari sistem ketenagakerjaan dan partisipasi dalam kehidupan sosial berdampak pada timbulnya perbedaan materi, pembatasan hak-hak kewarganegaraan dan hilangnya kesempatan untuk mengekspresikan diri. (Garcia. 2012).

Kaum subaltern ini dalam menegaskan dan mempertahankan identitas tidak terlepas dari kemampuan mereka untuk memperoleh, memperluas dan mempertahankan identitas tersebut sebagai bukti nyata dalam representasi sosial. Sehingga mereka dapat diakui dan melepaskan “baju” minoritasnya. Oleh karena itu subaltern erat kaitannya dengan relasi kuasa dan politik.

Komunitas Vespa Gembel dapat dimasukan kedalam kelompok subaltern, karena mereka dianggap tidak berarti di mata masyarakat, bahkan komunitas tersebut juga kerap kali dianggap sebagai “sampah masyarakat” karena penampilan mereka yang berbeda dengan komunitas yang lainnya. Walaupun Komunitas tersebut dalam kondisi terkucilkan, komunitas ini tetap memiliki identitas yang tetap mereka pertahankan. Selain mempertahankan identitasnya, komunitas tersebut juga berusaha untuk tetap mempertahankan eksistensinya sebagai sebuah komunitas yang ada di Kota Tasikmalaya.

Komunitas Vespa Gembel juga terkenal akan solidaritasnya, untuk mempersolid anggota komunitas maka tentunya akan dibutuhkan sesorang pemimpin yang memiliki kekuasaan sehingga dapat mempengaruhi tindakan dari anggota komunitas dan juga juga akan menentukan kemana arah dan tujuan dari komunitas tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut, fenomena mengenai Komunitas Vespa Gembel di Kota Tasikmalaya ini sangat menarik untuk dikaji. Adapun permasalahan pokok dalam kajian ini adalah bagaimana politik identitas dari komunitas Vespa Gembel di Kota Tasikmalaya. 

Pembahasan 
Istilah “Vespa Gembel” ini populer seiring dengan adanya penyebutan terhadap sekumpulan orang yang mengendarai vespa rombeng. Sejak tahun 1980-an atau 1995-an mulai banyak vespa dimodifikasi sesuka hati hingga bentuknya aneh-aneh. Ada yang mengganti setang vespanya dengan setang tinggi menjulang, ada yang menambahi gerobak di samping vespanya, ada pula yang menceperkan dan memanjangkan badan vespa hingga bermeter-meter. Tampilan vespa kian kumuh karena penggemarnya kerap menempelkan aneka ”sampah” di vespa mereka, mulai dari karung goni, gombal, drum bekas, galon air, sandal jepit, CD, selongsong mortir, botol infus, tengkorak sapi, hingga batu nisan.

Komunitas Vespa Gembel masuk ke Tasikmalaya pada tahun 2007, diperkenalkan oleh komunitas Vespa Gembel dari daerah Jawa Tengah. Setelah kunjungan dari komunitas tersebut maka bermunculan orang yang memodifikasi vespa dengan aliran ekstrim dan pada ahkir tahun 2007 baru lah ada komunitas yang mendeklarasikan diri sebagai komunitas Vespa Gembel. namun komunitas yang menjadi obyek dalam kajian ini adalah salah satu komunitas Vespa Gembel independent yang berdiri pada tahun 2009. Adapun latar belakang dari berdirinya komunitas tersebut adalah adanya kesamaan visi dan juga misi dari para pendirinya.

Komunitas “Vespa Gembel” di Kota Tasikmalaya pada saat ini memiliki 24 anggota yang terdaftar. Namun yang masih aktif hanya sekitar 12 anggota.  Komunitas ini biasanya melakukan beberapa kegiatan yang termasuk dalam kategori kegiatan internal dan juga kategori eksternal. Yang termasuk dalam kategori internal adalah kegiatan berkumpulnya anggota komunitas sedangkan yang termasuk dalam kegiatan eksternal adalah kegiatan menghadiri acara komunitas lain. Kegiatan tersebut mereka lakukan di beberapa tempat yang dianggap nyaman dan aman bagi mereka. Komunitas ini juga identik dengan pernak-pernik aneh yang biasa mereka tempelkan di Vespanya, pernak pernik yang mereka tempelkan tersebut adalah barang yang memiliki arti khusus bagi penggunanya.

Dalam komunitas “Vespa Gembel” terdapat sebuah kekuasaan yang mengatur komunitas tersebut. Kekuasaan dalam komunitas ini dimiliki oleh Kokolot dan ketua. Kokolot adalah panggilan dalam komunitas tersebut untuk memanggil senior ataupun para pendiri komunitas. Yang pengaruhi ataupun dikuasai oleh penguasa tersebut adalah asset yang ada dalam komunitas tersebut. Asset tersebut berupa anggota komunitas dan juga Vespa yang menjadi alat tunggangan mereka. Apabila kekuasaan dipergunakan dengan baik, maka komunitas ini pun dapat dikelola dengan baik, karena dalam suatu komunitas, kekuasaan akan dapat menpengaruhi bagaimana kondisi dari komunitas tersebut dan dengan kekuasaan tersebut juga akan menentukan kemana arah dan tujuan dari komunitas tersebut. Berdasarkan 5 sumber kekuasaan yang dijelaskan oleh Surbakti (2010), sumber kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa dalam komunitas ini adalah berasal dari beberapa sumber yaitu legitimate power, expert power, dan reward power. 

Komunitas “Vespa Gembel” mengalami diskriminasi. Diskriminasi yang di alami oleh komunitas tersebut berhubungan dengan adanya stereotype dari masyarakat bahwa komunitas ini dekat dengan hal-hal yang negatif. Diskriminasi dalam komunitas ini terbagi kedalam diskriminasi langsung dan tidak langsung. Diskriminasi langsung yang dirasakan oleh komunitas ini berupa pembatasan bagi komunitas “Vespa Gembel” untuk mengakses wilayah-wilayah tertentu seperti dilarangnya mereka memasuki pusat Kota pada siang hari, kemudian juga dikarenakan penampilan dari anggota komunitas ini yang kurang rapi, mereka juga mendapatkan diskriminasi dalam masalah pekerjaan dan dengan panampilannya yang seperti itu juga mereka mengalami diskriminasi langsung dari masyarakat yaitu berupa pengusiran oleh masyarakat di sekitar tempat biasanya berkumpul. Deskriminasi lain yang dirasakan oleh oleh komunitas ini adalah diskriminasi tidak langsung. Diskriminasi tidak langsung ini terjadi melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang merenggut kebebasan komunitas ini dalam berekspresi. Dan juga kebijakan-kebijakan yang membuat mereka tidak dapat beraktifitas sesuka mereka.

Untuk menghilangkan diskriminasi yang mereka dapatkan, komunitas ini melakukan bebrapa upaya yaitu diantaranya adalah mempererat persaudaraan antar anggota komunitas dan menyelesaikan konflik dalam komunitas sebagai salah satu upaya penguat keberadaannya secara internal. Komunitas ini juga memperkenalkan identitas komunitas sebagai penguat keberadaannya secara eksternal.

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan apabila komunitas Vespa Gembel di Kota Tasikmalaya akan selalu melakukan upaya dan tindakan politis untuk mengedepankan kepentingannya dan mempertahankan keberadaannya di Kota Tasikmalaya. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Lukmantoro, bahwa identitas akan selalu dipertahankan  dengan melakukan tindakan politis.  

Referensi List

Gandhi, Leela, 2006, Teori Post-kolonial, Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, Qalam, Yogyakarta.

Garcia, 2012, Politik Subaltern, tersedia di http://distrodocs.com/14707-politik-subaltern, diunggah 6 Oktober 2012, pukul 20.00 WIB.

Surbakti, Ramlan, 2010, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta. 

Nia Kurniasih merupakan almnus Ilmu Politik Universitas Siliwangi. Tulisan ini merupakan inti sari dari skripsi yang telah lulus ujian  pada Maret 2013.

0 komentar:

Post a Comment