Good Governance, Malaikat ataukah Setan ?

Oleh : Taufik Nurohman

Saya berusaha menulis tulisan singkat ini dengan sexy untuk merangsang pembaca untuk memperdebatkan kembali konsep good governance. Bahwa konsep “good” yang menyertai “governance” masih dapat kita pertanyakan. Terlebih ketika kita arahkan konsep “good” tersebut pada pertanyaan “untuk siapa?” dan bagaimana jika kita melihat kondisi sebaliknya bukan “good” melainkan “bad”.

Seperti yang sering kita dengar bahwasanya berpikir tanpa komparatif adalah sebuah kesalahan yang membawa kita pada kesesatan. Sisi lain dari muncul dan diavokasikannya konsep good governance dilacak dengan memperdebatkan kembali tujuan dan latar belakang munculnya konsep tersebut yang kemudian diterapkan atau dipaksakan untuk diterapkan di negara-negara dunia ketiga. 

Good governance hadir dan dianggap sebagai penjelasan dan sekaligus solusi paling canggih dari semua penyakit buruk birokrasi pemerintahan yang tidak efisien dan tidak demokratis. Mengiringi kehadirannya banyak sekali pakar yang menjelaskan konsep tersebut. Sehingga good governance menjadi “agama baru” bagi kaum intelektual dan  birokrat jika tidak ingin disebut sebagai pendukung proses pemerintahan yang buruk (bad governance)[1]. Dengan begitu di Indonesia dari aparat pemerintahan pusat sampat daerah, dari dosen sampai mahasiswa tingkat satu ramai-ramai membicarakan good governance dan mencari cara bagaimana melaksanakannya. Karena jika tidak demikian maka mereka akan dianggap tidak ”good”, tidak demokratis atau bahkan dianggap sesat.

Sebelum melihat setan yang mungkin hanya terlihat samar dalam tulisan ini mari kita melihat malaikat terlebih dahulu. Banyak yang kesulitan untuk membedakan antara governance dan government. Walaupun dekat tetapi konsep ini berbeda. Governance dapat dipahami sebagai logic bukan sebagai aktor sehingga tidak terjebak dengan selalu mengkaitkan governance dengan pemerintah atau birokrasi pemerintah dalam logic state. Dalam kaitan ini jika governance dipahami sebagai logic maka kita tidak hanya menemukannya dalam pemerintahan melainkan kita juga akan dapat menjumpainya dalam logika pasar, karena governance dipahami sebagai tata kelola. Dengan demikian kita dapat melihatnya di semua organisasi bukan hanya di organisasi yang bernama pemerintah atau birokrasi. Sehingga konsep ini tidah hanya berada pada sektor birokrasi atau pemerintahan tetapi menembus batas sektoral dan dimensional seperti merasuk pada pembicaraan-pembicaraan yang berdimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Ataupun pada sektor pertanian, kemiskinan, bisnis, perusahaan, kelautan, kehutanan. Hal ini menunjukan bahwa good governance tidak hanya dipandang hanya dari government. Artinya untuk melihat good governance kita kidak hanya terpaku pada logic state tetapi kita dapat melihatnya dengan logic lain misalnya market atau bahkan menggunakan logic society.

Kehadiran good governance cukup revolusioner dalam kancah ilmu sosial, seperti yang diungkapkan oleh Fadillah Putra yang mengutip dari P. Rezio dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Good Governance and Poverty Some Reflections Based on UNDP’S Experience in Mozambique”. Good governance telah melakukan revisi total atas term administrasi publik atau pemerintahan yang selama ini terlanjur institusionalistik. Governance sudah bukan lagi secara ekslusif menjadi menu yang disuguhkan pada negara dan sub-sub organisasinya (public sector). Governance adalah sebuah proses berinteraksinya berbagai elemen (negara, masyarakat dan bisnis/pasar) dalam mengelola sektor-sektor yang menjadi hak publik[2]. Good governance kemudian menghasilkan output yang sangat gemilang seperti pilkada/pemilukada langsung, musrenbang, penjaringan aspirasi masyarakat, uji publik dalam setiap kebijakan yang dibuat. Dengan demikian harapan terjalin eratnya hubungan antara rakyat dengan negara semakin terwujud.

Lebih dari itu kita melihat apa yang diadvokasikan oleh lembaga-lembaga multinasional yang terlihat dermawan itu sangat dapat membuat kita berbahagia dengan harapan perbaikan dalam hal urusan publik. Misalnya yang di gaungkan oleh World Bank, governance dimaknai sebagai governance sebagai: the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Oleh karena itu good governance diartikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Untuk menjalankan misi tersebut World Bank kemudian merilis indikator-indikator good governance seperti kebebasan dan akuntabilitas, efektivitas, kualitas regulasi, penegakan hukum, stabilitas politik dan absennya kekerasan (termasuk terorisme), dan kontrol terhadap korupsi.

Sementara itu yang dikembangkan oleh UNDP, governance sebagai: “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Dengan demikian UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan administratif dalam pengelolaan Negara. Aspek politik mengacu pada proses pembuatan kebijakan, aspek ekonomi mengacu pada proses pembuatan keputusan di bidang ekonomi yang berimplikasi pada masalah pemerataan, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup, sedangkan aspek administrasi mengacu pada proses implementasi kebijakan. Sehingga dalam hal ini kemudian UNDP mengeluarkan karakteristik dari good governance yaitu (1) Participation. Ketertiban masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. (2) Rule of Law. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. (3) Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung yang dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan. (4) Responsiveness. Lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder. (5) Consensus orientation. Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. (6) Equity. Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesetaraan dan keadilan. (7) Efficiency and Effectiveness. Pengelola sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). (8) Accountability. Pertanggungjawaban kapada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.

Konsep, prinsip-prinsip atau pun karakteristik-karakteristik good governance yang mereka kembangkan memang terlihat sangat indah sehingga banyak kaum aktivis, maupun akademis memikirkan dan mengembangkan hal yang sama sebagai sesuatu yang indah. Tetapi konsep yang indah tersebut bukannya tanpa cela atau tidak dapat kita kritisi khususnya ketika konsep tersebut diterapkan di negara-negara dunia ketiga dan memang itu tujuannya konsep ini lahir. Misalnya konsep ini hanya berkutat pada analisis yang melacak interaksi antara negara, pasar dan masyarakat yang kemudian menutup mata dari hal-hal yang berkaitan dengan aktor lain di luar ketiga aktor tersebut yakni aktor yang bermain dalam tatanan politik multinasional. Konsep ini tidak banyak menguak bagaimana ternyata pengaruh internasional sangat mempengaruhi apa yang terjadi pada tataran nasional. Bagaimana perusahaan-perusahaan multinasional, WTO, UN dan lembaga-lembaga donor telah senyatanya hadir dan menentukan setiap lini kehidupan masyarakat di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan banyak kalangan yang menyebutkan bahwa aktor-aktor tersebut telah berhasil masuk kedalam kehidupan masyarakat di pedesaan atau bahkan sampai pada komunitas masyarakat yang lebih kecil dari itu.

Kritik lain yang dapat kita lontarkan adalah seperti yang saya singgung pada bagian awal tulisan ini yang mempermasalahkan kata good yang harus selalu ada di depan kata governance. Good yang secara linguistik dapat kita artikan “baik” dapat kita pertanyakan kembali, baik untuk siapa? Banyak kalangan yang percaya bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai atau tidak netral. Kata good yang kita artikan mentah-mentah sebagai baik akan membawa kita menjadi generasi pengekor. Yang menggap baik bagi orang yang mengatakannya juga baik untuk kita sebagai orang yang mendengarnya. Atau mungkin kita tidak pernah berpikir yang mereka inginkan dari konsep yang mereka bawa (paling tidak yang telah saya sedikit bahas pada paragraf-paragraf sebelumnya) untuk diterapkan di negara dunia ketiga adalah strategi mereka untuk menjadikan jaminan bagi mereka bahwa mereka aman menginvestasikan uang mereka di negara dunia ketiga atau bahkan menjadikan jaminan bahwa mereka akan meraup banyak keuntungan dari negara-negara dunia ketiga.

Pada akhir tulisan singkat ini saya mengharapkan respon dari pembaca untuk memperkaya wawasan kita untuk mendiskusikan kembali konsep good governance yang sepertinya dipaksakan di negara-negara dunia ketiga termasuk di Indonesia.




[1] Putra, Fadillah, dalam bukunya “Senjakala Good Governance”, 2009


[2] ibid

Penulis Dosen FISIP Universitas Siliwangi.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Situs Resmi FISIP Universitas Siliwangi

1 komentar: