Model Kehidupan Masyarakat Majemuk (Studi di Dusun Susuru, Ciamis)

Oleh : Akhmad Satori, M.Si


Gerakan reformasi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia dewasa ini menjadi isu sentral akhir-akhir ini, penyebabnya karena berbagai kalangan birokrat yang ada di lembaga-lembaga tinggi negara, kalangan politisi, aktivis pemuda, LSM serta pemuka agama atau masyarakat. Proses glo­balisasi di Indonesia membawa serta masuknya nilai-nilai universal seperti demokrasi dan hak asasi manusia yang kemudian menguasai opini publik da­lam atmosfir politik nasional. Wacana publik tentang demokrasi dan hak asasi manusia itu menjadi menonjol dan menenggelamkan wacana tentang Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

Lenyapnya Pancasila dari dunia tuturan sejak reformasi menimbulkan keprihatinan yang cukup dalam, baik dalam ka­langan elite politik maupun masyarakat luas. Keprihatinan itu ditunjukkan melalui berbagai pernyataan di media massa maupun kegiatan-kegiatan lainnya seperti seminar, simposium, dan sarasehan mengenai Pancasila dan eksistensinya setelah reformasi. Bahkan Lembaga Ketahaman Nasional (Lem­hanas) telah membentuk deputi khusus untuk menangani masalah “makin menipisnya kesadaran dan penghayatan akan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa”.

Nilai-nilai Pancasila telah tergerus oleh globalisasi yang selalu membawa karakter individualistik dan liberal. Kita sebagai bangsa tidak lagi mampu menjadikan Pancasila sebagai benteng untuk menahan arus globalisasi yang membawa dampak pada kehidupan yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Di sisi lain kondisi Bangsa Indonesia saat ini ialah lemahnya nasionalisme; lemahnya SDM (sumber daya manusia); lunturnya disiplin; Pancasila teralineasi atau terasingkan; demokrasi cenderung menjadi tujuan; ambiguitas atau kedwiartian dalam pengaturan ekonomi yang menyimpang dari kepentingan nasional, moral dan budaya bangsa yang sedang sakit; postur kekuatan hankam yang memprihatinkan; hujatan terhadap TNI sebagai bagian dari Orde Baru, dll.

Sebuah kenyataan yang memilukan ketika terdapat pemboman dan gerakan separatis di negeri ini. Pancasila sebagai falsafah negara ternyata tidak mampu menjadi sebuah jawaban dari penyelesaian permasalahan yang dibutuhkan. Pancasila tidak lagi berada di dada burung garuda yang gagah, melainkan burung merpati yang lemah.

Persoalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seperti diuraikan di atas, tidak demikian halnya bagi masyarakat Dusun Susuru Desa Kertayasa Kecamatan Panawangan Kabupaten Ciamis. Nilai-nilai yang terkristalisasi dalam Pancasila adalah merupakan manifestasi nilai-nilai kehidupan masyarakat Dusun Susuru. Kebiasaan berinteraksi, bersikap, berpola tingkah laku, berpikir masyarakat menjadi modal sosial yang paling berharga dalam kehidupan masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga menjelma menjadi bentuk kehidupan yang mengakar di masyarakat yang kita kenal dengan nilai kerjasama atau gotong royong tanpa pamrih, tanpa instruksi dan terbebas dari segala kepentingan, baik dalam kehidupan untuk membangunan tempat tinggal warga masyarakat, membangun rumah ibadah, jalan kampung dan desa, saluran irigasi dan kegiatan yang menyangkut segala aspek kehidupan.

Kondisi masyarakat yang demikian sudah jarang kita temukan, kendatipun demikian masih ada warga masyarakat yang mampu mempertahankan nilai-nilai luhur tradisi, adat-istiadat dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama. Kemajemukan dalam agama dan kepercayaan masyarakat Dusun Susuru memberi inspirasi kepada kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia untuk dijadikan tauladan, model kehidupan masyarakat dan nilai-nilai sosial (modal sosial) lainnya bagi masyarakat luas di Indonesia. 

PERUMUSAN MASALAH 
Berdasarkan permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, untuk memudahkan dalam pembahasan, permasalahannya diidentifikasi dan dibatasi sebagai berikut : (1) Latar belakang kehidupan sosial budaya masyarakat Dusun Susuru sebagai warisan kehidupan masyarakat leluhurnya; (2) Latar belakang kehidupan sosial keagamaan masyarakat Dusun Susuru; (3) Proses akulturasi yang terjadi pada masyarakat Dusun Susuru; dan, (4) Proses sosial budaya masyarakat Dusun Susuru.

Dari identifikasi masalah di atas, maka dirumuskan masalahnya sebagai berikut; (1) Bagaimana proses terjadi sistem sosial dan sistem budaya, dan sistem keagamaan majemuk yang berlaku sekarang di Dusun Susuru?; (2) Bagaimana proses transisi masyarakat Susuru dalam memahami kemajemukan?.

MODEL MASYARAKAT MAJEMUK YANG PANCASILAIS 
Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) menurut Furnivall (1940) adalah orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik. Sebagai seorang sarjana yang untuk pertama kali menemukan istilah ini, Furnivall menunjuk masyarakat Indonesia di zaman kolonial sebagai contoh yang klasik. Masyarakat Hindia Belanda waktu itu terpisah-pisah, tidak saja antara kelompok yang memerintah dan yang diperintah dipisahkan oleh ras yang berbeda, tetapi secara fungsional masyarakatnya terbelah dalam unit-unit ekonomi, antara pedagang Cina, Arab, dan India (Foreign Asiatic) dengan kelompok petani Bumi Putera. Menurut Furnivall masyarakat dalam unit-unit ekonomi ini hidup menyendiri (exclusive) pada lokasi-lokasi pemukiman tertentu dengan sistem sosialnya masing-masing. (Nasikun: 2001).

Pemisahan kelompok-kelompok masyarakat ini dapat juga disebabkan karena perbedaan agama (seperti di Irlandia), dan kasta (di India). Sebab utama dari pemisahan ini, ialah kepentingan untuk monopoli sumber-sumber ekonomi (economic resources). Dengan kata lain, kepentingan ekonomi dilanggengkan oleh ras, agama, suku, bangsa, hukum, politik, bahkan nasionalisme.

Setidaknya, dewasa ini ada dua konsep masyarakat majemuk yang muncul dari berbagai hasil penelitian di atas: (1) konsep “kancah pembauran” (melting pot), dan (2) konsep “pluralisme kebudayaan” (cultural pluralism). Teori kancah pembauran pada dasarnya, mempunyai asumsi bahwa integrasi (kesatuan) akan terjadi dengan sendirinya pada suatu waktu apabila orang berkumpul pada suatu tempat yang berbaur, seperti di sebuah kota atau pemukiman industri. Sebaliknya konsep pluralisme kebudayaan justru menentang konsep kancah pembauran di atas. Menurut Horace Kallen, salah seorang pelopor konsep pluralisme kebudayaan tersebut, menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnis atau ras yang berbeda tersebut malah harus didorong untuk mengembangkan sistem mereka sendiri dalam kebersamaan, memperkaya kehidupan masyarakat majemuk mereka. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsep kancah pembauran hanyalah suatu mitos. Mitos yang tidak pernah menjadi kenyataan, sedang pluralisme kebudayaan menurut berbagai ahli telah mengangkat Amerika Serikat, Cina, Rusia, Kanada, dan India menjadi negara yang kuat.

Urbanisasi dan industrialisasi Indonesia, seperti dibuktikan dalam sejarah, tidak dengan sendirinya mengikis unsur-unsur kemajemukan masyarakatnya, malah dalam berbagai studi menunjukkan kecenderungan penguatan aspek-aspek primordialisme (suku, agama, dan sistem simbolik lainnya) dalam kehidupan masyarakat kota. Ironisnya, kemajemukan primordialisme ini berkembang bersama proses transformasi masyarakat kota itu sendiri dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, sehingga kemajemukan dalam aspek kehidupan tersebut menjadi berganda.

Masyarakat majemuk Indonesia lebih sesuai didekati dari konsep pluralisme kebudayaan, sebab integrasi nasional yang hendak diciptakan tidak berkeinginan untuk melebur identitas ratusan kelompok etnis bangsa kita, bahkan di samping hal itu dijamin oleh UUD 45, tetapi juga memerlukan pluralisme itu dalam pembangunan nasional. Masalahnya ialah bagaimana mengelola pluralisme itu dan menjauhkan dampak negatifnya dalam “National Building”.

Kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas atau diversitas) masyarakat dan kebudayaan di Indonesia merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan. Ini harus harus kita akui secara jujur, terima dengan lapang dada, kelola dengan cermat, dan jaga dengan penuh rasa syukur; bukan harus kita tolak, abaikan, sesalkan, biarkan, dan diingkari hanya karena kemajemukan dan keanekaragaman itu menimbulkan berbagai ekses negatif, antara lain benturan masyarakat dan kebudayaan lokal di pelbagai tempat di Indonesia.

Pidato Presiden Soekarno dalam memperingati Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1954 mengingatkan pentingnya memahami kemajemukan budaya yang menjadi ciri bangsa Indonesia. 

“Ingat kita ini bukan dari satu adat istiadat. Ingat, kita ini bukan dari satu agama. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tapi satu, demikianlah tertulis di lambang negara kita, dan tekanan kataku sekarang ini kuletakkan kepada kata bhinna, yaitu berbeda-beda. Ingat kita ini bhinna, kita ini berbeda-beda …” (dikutip dari Kompas, Maret 2001, hal. 31).

Pancasila lahir dari ideologi keagamaan, politik dan sosial. Para pendiri bangsa mampu melihat ke depan, ketika kemajemukan, perbedaan, pluralitas harus dilihat sebagai kekuatan perekat bukan unsur pemecah belah. Dalam kandungan Pancasila, perbedaan dan pluralitas adalah kekuatan yang menyatukan.

Karena itulah, sebagai komunitas bangsa yang inklusif, rakyat membutuhkan Pancasila sebagai ideologi humanitas semesta, yang mampu menjadi filter atas berbagai pengaruh negatif fenomena modernitas. Sekaligus menjadi pendamping bagi masyarakat yang mulai mengalami alienasi diri. Atau mengisi kembali ruang-ruang kosong kejiwaan manusia Indonesia dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal seperti cinta kasih, ketulusan, kejujuran, pengabdian, dan pelayanan terhadap sesama, bekerja sama untuk membangun kembali kehidupan bersama yang damai, harmonis, dan sejahtera. (Mujiran, 2001).

Sehingga, Masyarakat Pancasilais sebagai Masyarakat Kreatif (Creative Society) akan terbangun dari bawah melalui para pemimpin-pemimpin yang akan selalu menambah ilmu pengetahuannya dari tingkat lokal hingga tingkat nasional. Maknanya, penegakan kedaulatan rakyat akan benar-benar terjadi dan terealisasi selaras dengan budaya bangsa.

Dalam konteks lokal, masyarakat pancasila dicerminkan dalam tata nilai dan budaya yang dijalankannya.  Di tengah masyarakat yang majemuk, baik secara etnis, budaya dan agama tentunya harus dilandasi nilai-nilai filosofis pancasila.  Pancasila harus terus hidup dalam kehidupan masyarakat, lebih optimal sebagai kekuatan pemersatu bangsa. Pancasila harus menjadi perekat perbedaan kultur yang terbangun dalam masyarakat plural. Menjadi ideologi bersama oleh semua kelompok masyarakat, bisa juga dimaknai sebagai identitas nasional yang bisa menjadi media dalam menjembatani perbedaan yang muncul. 

METODE PENELITIAN 
Penelitian ini menggunakan metode etnografi. Pendekatan ini memungkinkan fokus riset berubah selama jalannya pengumpulan data, karena itu cenderung induktif. Penentuan informan dengan model seleksi komprehensif. Metode pengumpulan data yang digunakan wawancara etnografis adalah tujuan yang eksplisit, penjelasan, dan pertanyaannya yang bersifat etnografis. Analisis data dilakukan untuk menyajikan data-data dari hasil penelitian dalam bentuk deskriptif yang dimodifikasi dengan ekplorasi kasus secara sistematis berdasarkan sifat data yang ada. 

KERAGAMAN DALAM KEBERAGAMAAN DI DUSUN SUSURU 
Desa Kertajaya adalah merupakan desa hasil pemekaran dari Desa Kertayasa, pemerintahannya secara resmi baru berdiri sejak awal tahun 2011. Aparatur pemerintahan desa secara struktural belum lengkap karena keterbatasan sumberdaya manusia. Secara struktural pemerintahan Desa Kertajaya  terdiri dari kepala desa dan dibantu oleh beberapa kepala urusan, kepala seksi, sementara sekretaris desa belum terisi, kepala urusan umum, kepala urusan keuangan, kepala seksi kesra dan pemberdayaan masyarakat, kepala seksi pemerintahan, keamanan dan ketertiban, kasi perekonomian dan pembangunan. Kepala Dusun Susuru, Kepala Dusun Dayeuh Landeuh dan Kepala Dusun Cirukem.

Dusun Susuru semula masuk dalam wilayah pemerintahan Desa Kertayasa, setelah terjadi pemekaran Dusun Susuru masuk ke dalam wilayah Desa Kertajaya. Luas wilayah Desa Kertajaya  436,497 ha terdiri dari  tiga kedusunan,  8  RW dan  20 RT Jumlah penduduk Desa Kertajaya sebanyak 693 kk  atau 1860  jiwa.  Kepadatan penduduk  234,4 jiwa/ km².  Orbitasi Desa Kertajaya sebagai berikut, jarak dari desa ke ibukota kecamatan Panawangan 5 km, jarak dari desa ke Ibukota Kabupaten Ciamis 45 km.

Agama sebagai pedoman hidup yang memiliki tata nilai yang lebih agung, tidaklah cukup untuk memberikan dominasi pembinaan mental, fisik dan jasmani bagi masyarakat Indonesia. Karena tatarannya lebih dominan pada aspek rohani, yang terkadang pada kelompok masyarakat tertentu atau komunitas tertentu di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, masih banyak yang terjebak fanatisme berlebihan terhadap satu faham saja dari agama dan keyakinan yang dianutnya, sehingga berimplikasi pada bentuk-bentuk penyimpangan yang secara tegas  terlarang menurut aturan agama dan negara.

Dari sekian banyak kelompok masyarakat/komunitas masyarakat yang tersebar di tanah air, yang memiliki ikatan primordial, budaya dan ideologi tertentu, memberikan gambaran bahwa masyarakat Indonesia sangat beragam, baik budaya, pandangan hidup, agama dan kepercayaan, adat-istiadat, bahasa, simbol-simbol ikatan, atribut dan lain sebagainya. Dari sekian banyak multikultur  tersebut, terdapat komunitas masyarakat di Desa Kertajaya Kecamatan Panawangan Kabupaten Ciamis Jawa Barat, tepatnya di Dusun Susuru yang memiliki sistem kehidupan sosial budaya yang mencerminkan kebhinekaan agama/kepercayaan dalam sebuah wilayah kedusunan.

Kehidupan masyarakat Dusun Susuru dalam bidang keagamaan sangat sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.  Bagi mereka, ada hal yang penting untuk dipertahankan yaitu kebersamaan. Menjaga nilai-nilai kebersamaan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat kental dalam setiap pribadi warga masyarakat Dusun Susuru. Masyarakat Dusun Susuru lebih mengedepankan hidup berdampingan tanpa melihat perbedaan latar belakang agama dan kepercayaan masing-masing. Oleh karena itu, tidak heran jika ada seorang Muslim di Dusun Susuru yang mengikuti perayaan Natal di gereja.

Meskipun, sebagaimana dikatakan oleh tokoh kalangan Muslim di Dusun Susuru, perilaku semacam itu dalam kitab-kitab piqih agama Islam bentuk seperti tersebut dianggap sebagai bentuk penyimpangan, akan tetapi bagi masyarakat setempat nilai-nilai kemanusian lebih penting daripada formalitas ritual. Hal tersebut dapat dilihat ketika umat Islam merayakan Hari Raya Iedul fitri atau Iedul adha, warga masyarakat penganut agama lain berbaur bersama mereka untuk merayakannya dan mengucapkan selamat kepada warga masyarakat yang sedang merayakan hari raya yang dimaksud. Jika dibandingkan dengan fenomena yang terjadi pada masyarakat kota yang struktur masyarakatnya heterogen dan multikultural, adalah hal yang dianggap biasa, namun bagi warga masyarakat pada tingkat kedusunan, fenomena seperti itu menjadi suatu hal yang amat luar biasa dan jarang ditemukan di tempat lain khususnya di daerah Ciamis.

Realita kehidupan sosial budaya masyarakat Dusun Susuru seperti diutarakan di atas, menjadi suatu hal yang dianggap unik bagi warga masyarakat sekitar Dusun Susuru. Kebersamaan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Susuru dalam keberagaman agama dan kepercayaan menjadi fenomena yang sering mengundang berbagai pihak untuk mengetahui secara mendalam tentang kehidupan masyarakat ini.

Menurut beberapa sumber, pemuka agama dan pemuka Penghayat, pada awalnya, semua penduduk Dusun Susuru beragama Islam. Akan tetapi pada paruh pertama abad ke-20, salah seorang penduduk Susuru yaitu Ki Sumarta berangkat ke Cigugur untuk mencari ilmu di Gedung Paseban Tri Panca Tunggal (Padepokan Madrais), Ki Sumarta bertemu dengan Pangeran Madrais yang berasal dari Keraton Ciawi Gebang, disanalah Ki Sumarta menemukan ilmu yang selama ini dia cari.

Setelah tamat belajar mencari ilmu di Cigugur, ia kembali ke Susuru dan menjadi penyebar utama ajaran Madrais yang dikenal dengan sebutan Agama Djawa Sunda (ADS). Pada perkembangan berikutnya, kurang lebih tahun 1960-an,pemerintah melarang perkembangan ADS dan pemimpinnya ketika itu, Pangeran Tejabuana (putra dari Madrais), memerintahkan para pengikutnya untuk memasuki agama apapun sesuai pilihan mereka. Dia sendiri kemudian menganut agama Katholik. Oleh karena itu, tak aneh jika banyak pengikutnya juga menganut agama Katholik, demikian pula yang terjadi di Dusun Susuru, warga masyarakat pada waktu itu yang semula sebagai penganut ADS, berpindah ke Katholik dan Islam.

Namun demikian, beberapa pemuka masyarakat/agama, mengemukakan bahwa masuknya warga masyarakat ADS ke Katholik bukan didasarkan oleh kesadaran dan keyakinan akan kebenaran ajaran Katholik, melainkan mereka mengikuti ketua/pemimpin/tokoh ADS mereka. Dari beberapa orang yang beralih ke agama Katholik terdapat warga yang tidak merasa puas dengan ajaran Katholik berdasarkan keyakinan mereka. Oleh karena itu, mereka kembali mendirikan ajaran semula yaitu ADS dengan nama Penghayat Kepercayaan. Beberapa warga yang masih bertahan di agama Katholik kemudian berpindah ke agama lain, dengan alasan tidak cocok dengan keyakinan mereka, perpindahan mereka tidak secara masal seperti ketika mereka pindah dari ADS ke Katholik, mereka pindah karena alasan mengikuti suami atau isteri, karena di Dusun Susuru perkawinan dengan berbeda agama cukup banyak. .Diantara mereka terdapat warga masyarakat yang masuk Kristen Protestan. Data dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Panawangan menunjukan tingginya tingkat konversi agama di Desa Kertajaya khususnya di Dusun Susuru, sebanyak  10 orang  yang semula berasal dari Penghayat pindah ke agama Islam, dari Katholik ke agama Islam sebanyak 14 orang dan sebanyak 1 orang dari agama Islam ke Penghayat, alasan kepindahannya karena pernikahan.

Keadaan seperti itulah yang membuat beberapa pengikut kepercayaan merasa gamang sehingga memutuskan untuk tetap di Katholik atau mencoba mendalami agama Islam atau Protestan. Situasi itu semakin berat karena selama ini sebagai kelompok minoritas para penghayat kepercayaan menyimpan trauma akibat tekanan oleh penguasa tempo dulu terhadap kelangsungan ajaran yang dianut oleh kelompok tersebut.

Menurut Pak Kemo tokoh Penghayat dan seorang sesepuh Penghayat di Susuru menyatakan bahwa sejak lama, penguasa senantiasa meminggirkan mereka dengan mencapnya sebagai aliran sesat. Karena kebijakan politik penguasa seperti inilah sepanjang sejarahnya kelompok ini pernah mengalami pencekalan dan pelarangan berkali-kali. mungkin akibat hal ini pula sehingga para Penghayat Kepercayaan bersikap apatis dalam kegiatan politik, beberapa di antara mereka bahkan merasa tidak nyaman untuk mendengar atau membicarakan politik.

Kegamangan dan kelabilan dalam menentukan pegangan/keyakinan dalam kehidupan beragama tidak hanya terjadi dikalangan umat Katholik dan para Penghayat Kepercayaan. Di kalangan Muslim juga muncul kebimbangan untuk menentukan identitas secara tegas, misalnya seorang warga pemeluk agama Islam menikah dengan warga yang bukan Muslim, diantara mereka ada yang tetap bertahan sebagai Muslim, namun ada pula warga muslim yang pindah ke agama lain atau ke Penghayat. Misalnya; keluarga Pa Kemo seorang tokoh Penghayat memiliki 8 saudara, dari 8 saudara terdapat 2 orang saudaranya sebagai Penghayat, 5 orang sebagai Muslim dan 1 orang sebagai Katholik. Demikian pula yang terjadi di keluarga Kepala Desa Kertajaya, saudaranya ada yang Katholik.

Tokoh agama/pemuka agama/ustadz di Dusun Susuru, selama ini yang dijadikan rujukan oleh kalangan masyarakat muslim, baik dalam hubungannya dengan masalah ibadah maupun dalam aktivitas keagamaan umat Islam adalah Pak Kurdi Sopandi, saat ini ia menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Panawangan. Masyarakat Muslim Dusun Susuru menjadikannya Pak Kurdi sebagai rujukan karena kapasitasnya sebagai pejabat resmi pemerintah dalam bidang keagamaan di daerahnya. Aktivitas keagamaan yang rutin dijalani oleh umat Islam, selain ibadah sholat, di Susuru adalah pengajian rutin yang diselenggarakan tiga kali seminggu. Kesadaran untuk berzakat selain zakat fitrah, juga belum muncul. Mungkin, icon keislaman yang paling  tampak jelas adalah tiga masjid jami, satu pesantren  dan satu madrasah tsanawiyah. 

BUDAYA SEBAGAI PEMERSATU KEMAJEMUKAN 
Dalam tataran empiris terdapat hubungan timbal balik antara agama, keberagamaan dan masyarakat. Pertama pengaruh agama terhadap masyarakat, seperti yang terlihat dalam pembentukan, pengembangan dan penentuan kelompok keagamaan spesifik yang baru. Kedua, pengaruh masyarakat terhadap agama. Dalam hal ini para ahli memusatkan perhatiannya pada faktor-faktor sosial budaya yang memberikan keragaman perasaan dan sifat keagamaan yang terdapat dalam suatu lingkungan atau kelompok sosial tertentu.

Istilah kebudayaan Sunda pada hakikatnya untuk menyebut masyarakat yang mendiami wilayah Jawa Barat dan Banten, walaupun secara antropologis masyarakat Sunda juga merupakan masyarakat Jawa, yang menjadi bagian dari wilayah pulau Jawa. Kebudayaan Sunda menarik untuk disimak, karena seperti budaya etnis lainnya di nusantara ini, budaya Sunda juga telah mengalami pengaruh yang signifikan dari luar. Walaupun tidak sekuat budaya asli, perubahan itu terjadi melalui kontak budaya yang menghasilkan proses akulturasi.  Namun, dalam tatanan masyarakat Sunda, pengaruh budaya sangat berdampak terhadap keyakinan yang dianut, terlihat dalam beberapa komunitas adat seperti Kampung Naga, Kampung Kuta, Dusun Susuru dan masih banyak lagi hanya sedikit mendapat pengaruh dari budaya luar.

Budaya Sunda dalam kontek kehidupan beragama bagi masyarakat Dusun Susuru dikolaborasikan dengan kebudayaan fisik maupun non-fisik.  budaya fisik dan non-fisik seperti seperangkat kesenian Sunda dengan tembang Sunda menjadi pengantar dalam acara ritual Penghayat atau Katholik, sementara di kalangan masyarakat Muslim menggunakan seperangkat kesenian Tagoni/Rebana.

Mitologis dan tradisi dikalangan masyarakat penganut kepercayaan/penghayat masih tetap berlaku dalam acara ritual mereka seperti konsep Pikukuh Tilu yang intinya mengajarkan setiap manusia untuk berbuat baik kepada manusia lain serta untuk mengenal diri sendiri didasarkan atas keyakinan sebagai orang Sunda yaitu : aspek teologis dengan sebutan Gusti Nu Maha Agung, Gusti Nu Maha Nangtayungan (Tuhan Yang Maha Besar, Tuhan Yang Maha Melindungi),  Keyakinan orang Sunda didasarkan pada ciri anu mandiri (tanda yang mandiri), ciri anu ngajadi (rupa, basa, adat sareng budaya) artinya (tanda yang menjadikan rupa, bahasa dan budaya).

Ajaran Pikukuh Tilu menurut Pak Kemo terdiri dari : (1) Ngaji badan : ngaji titis tulis urang; (2) Iman kana tanah adegan (3) Ngiblat ka ratu raja : ratu = rata, hartosna ngaratakeun raga. Sedangkan Pikukuh Tilu menurut Pak Adli (alm) antara lain; (1) Ciri-ciri salaku manusa; (2) Ciri-ciri salaku bangsa; (3) Ciri-ciri salaku urang Sunda.

Pikukuh Tilu diartikan sebagai pedoman/ajaran/rujukan bagi komunitas Penghayat dalam acara ritual yang dilakukan setiap hari Kamis di tempat ibadah kaum Penghayat yang disebut tempat saresehan, lokasinya tepat berada di depan Mesjid Jami Desa Kertajaya yang jaraknya lebih kurang 20 meter. Ajaran Pikukuh Tilu, menurut Pak Kemo mengandung makna filosofi bagi masyarakat Penghayat yaitu; (1) Tilu (tiga) terdiri dari Sir, rasa sareng piker; (2) Dua : papasangan (istri pameget, sian wengi); (3) Opat (empat), kulon, kaler, wetan sareng kidul; (4) Lima : pancaindra, irung kanggo ngambeu, soca kanggo ningali, cepil kanggo pangdenge. 

TOLERANSI  BERAGAMA WARGA MASYARAKAT SUSURU

Dari sudut pandang pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang membedakan dalam perwujudannya. Pertama, kondisi kejiwaan (psychological state), yaitu kondisi subjektif atau kondisi dalam jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama. Kondisi ini yang disebut sebagai kondisi agama, yaitu kondisi patuh dan taat kepada yang disembah. Emosi agama seperti itu merupakan gejala individual yang dimiliki oleh setiap penganut agama yang membuat dirinya merasa sebagai makhluk Tuhan. Dimensi religiositas merupakan inti dari keberagamaan. Inilah yang membangkitkan solidaritas seagama, menumbuhkan kesadaran beragama dan menjadikan orang shalih dan taqwa. Segi psikologis ini sangat sulit diukur dan susah untuk diamati karena merupakan milik pribadi pemeluk agama.  Pengungkapan keberagamaan segi psikologis ini baru bisa dipahami ketika menjadi sesuatu yang diucapkan atau dinyatakan dalam perilaku orang yang beragama tersebut. 

Kedua, kondisi objektif (objective state), yaitu kondisi luar yang disebut juga kejadian objektif, dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama dinhatakan oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual maupun persekutuan. Segi objektif inilah yang bisa dipelajari dengan menggunakan metode ilmu sosial. Segi kedua ini mencakup adat upacara keagamaan, bangunan, tempat-tempat peribadatan, mitologi, kepercayaan dan prinsip-prinsip yang dianut masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam telihat bahwa masyarakat Dusun Susuru dalam berkehidupan beragama tidak terlepas dari dua hal tersebut diatas. Masyarakat Dusun Susuru memandang agama dari segi kondisi kejiwaan bahwasanya mereka selaku umat beragama merasa memiliki kewajiban untuk taat pada ajaran-ajaran agamanya masing masing. Masyarakat Dusun Susuru yang beragama Islam berkeyakinan bahwa mereka wajib untuk bertakwa kepada Allah SWT dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Misalnya, mereka sangat yakin bahwa mereka wajib untuk melaksanakan Rukun Islam yakni sahadat, shalat, puasa, zakat dan naik haji. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa jika melaksanakan itu semua akan membawa kebaikan bagi diri mereka. Mereka yang beragama Islam juga mempunyai keyakinan pada diri mereka bahwa jika mereka melanggar apa yang dilarang oleh Allah SWT, maka mereka akan mendapat dosa dan akan mendapat siksaan pada kehidupan selanjutnya kelak. Untuk melaksanakan semua apa yang menjadi keyakinan masyarakat Susuru yang beragama Islam mendirikan sebuah masjid sebagai tempat melaksanakan peribadatannya. Selain itu, masjid juga dibangun untuk memperkuat persaudaraan sesama muslim. Di dalam masjid itu mereka selalu melakukan ibadah berjamaah atau bersama sama sehingga hal ini akan semakim memperkuat persaudaraan mereka.

Sebagaimana masyarakat Dusun Susuru yang beragama Islam, masyarakat Dusun Susuru yang beragama Katholik juga memiliki keyakinan dalam dirinya bahwa mereka adalah makhluk Tuhan dan mereka merasa memiliki kewajiban untuk melaksanakan ajaran-ajaran Tuhan yang terdapat dalam Kitab Injil. Meraka juga meyakini bahwa jika ajaran-ajaran Tuhan tersebut dilaksanakan maka akan membawa kebaikan pada diri mereka dan sebaliknya jika tidak dilaksanakan maka akan berdosa dan membawa mereka pada kesengsaraan. Sebagimana umat Islam yang membangun Masjid sebagai tempat mereka beribadah. Masyarakat Susuru yang beragama Katholik pun membangun sebuah Gereja sebagai tempat mereka beribadah.

Begitupun masyarakat Dusun Susuru yang menganut aliran kepercayaan atau yang disebut sebagai Penghayat memiliki keyakinan akan nilai-nilai kebenaran yang diberikan oleh Tuhan atau Gusti Nu Maha Suci. Nilai-nilai kebenaran tersebut harus mereka laksanakan dalam menjalani kehidupan mereka. Mereka juga memiliki keyakinan bahwa jika nilai-nilai kebenaran dari Tuhan tersebut tidak mereka laksanakan maka mereka yakini akan membawa kesengsaraan dalam menjalani kehidupan ini.  Sebagaimana masyarakat Dusun Susuru yang beragama Islam dan Katholik masyarakat Dusun Susuru yang berkeyakinan sebagai Penghayat pun memiliki tempat untuk beribadah. Hanya saja tempat ini tidak dibangun secara khusus melainkan berupa rumah dari salah satu Penghayat yang dihibahkan untuk dijadikan sebagai tempat untuk beribadah.

Toleransi adalah suatu sikap yang timbul dalam diri individu atau suatu kelompok masyarakat untuk menghormati dan menghargai individu atau kelompok lain yang memiliki perbedaan dengannya. Dari konsep ini maka toleransi beragama dapat diartikan sebagai sikap menghormati dan menghargai individu atau kelompok masyarakat lain yang berbeda agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian ketika kita dihadapkan pada suatu kondisi dimana terdapat beberapa kelompok masyarakat yang berbeda agama pada suatu komunitas masyarakat tertentu maka yang terlihat adalah sikap saling menghargai dan menghormati dalam masyarakat yang berbeda-beda agama dan kepercayaan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara mendalam terlihat bahwa nilai-nilai toleransi beragama sangat dipelihara oleh masyarakat Susuru. Ini terlihat dari tidak terlihatnya sikap saling mengekslusifkan diri dari masing-masing kelompok masyarakat yang berbeda agama kepercayaan masyarakat Dusun Susuru. Mereka bergaul satu sama lain dan bermasyarakat seperti biasanya, seperti masyarakat yang tidak memiliki perbedaan. Jika ada suatu pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga masyarakat, mereka bergotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. Selain itu sikap toleransi yang dimiliki masyarakat Dusun Susuru terlihat ketika ada upacara-upacara keagamaan semua masyarakat Dusun Susuru diundang untuk menghadirinya tanpa melihat dari golongan agama mana yang mereka undang. Juga ketika ada salah satu dari masyarakat Dusun Susuru yang meninggal dunia, sore hari atau malam harinya sampai malam ke tujuh masyarakat Dusun Susuru melaksanakan “tahlilan” untuk mendoakan orang yang meninggal tersebut tanpa melihat dari golongan agama mana orang yang meninggal tersebut.

Toleransi beragama pada masyarakat Dusun Susuru juga dapat terlihat dari keberadaan tempat ibadah dari masing-masing agama dan kepercayaan yang terdapat di Dusun Susuru. Berdasarkan hasil penelitian dengan teknik pengumpulan data yang menggunakan observasi langsung terlihat bahwa letak dari masing-masing tempat ibadah terletak pada lokasi yang tidak berjauhan dan tidak terpisah-pisah secara ekslusif. Misalnya saja Gereja Santo Simon yang merupakan tempat beribada warga Susuru yang beragama Katholik letaknya bersebrangan dengan Pesantren Al-Hikmah yang merupakan pusat pengkajian ajaran Agama Islam yang didalamnya terdapat masjid sebagai tempat beribadah masyarakat Susuru yang beragama Islam. Letak kedua tersebut hanya dipisahkan oleh jalan desa yang lebarnya tidak mencapai 3 meter.

Walaupun tempat ibadah masyarakat Dusun Susuru yang beragama Islam dan masyarakat Dusun Susuru yang beragama Katholik tetapi mereka sama sekali tidak merasa berkeberatan ataupun merasa risih beribadah di tempat ibadah yang letaknya berdekatan dengan tempat ibadah dari masyarakat Dusun Susuru yang berbeda agama.

Berdasarkan hasil observasi diatas terlihat bahwa masyarakat Dusun Susuru memiliki rasa toleransi beragama yang sangat kuat. Mereka menjalani kehidupan bermasyarakat dengan saling menghargai dan menghormati antara satu sama lain walaupun mereka menganut agama berbeda, cara beribadah yang berbeda dan tempat ibadah yang berbeda. 

NILAI-NILAI BUDAYA DAN FILOSOFI HIDUP 
Budaya merupakan suatu hal yang melekat dalam kehidupan manusia dalam menjalani kehidupannya bermasyarakat. Budaya berkaitan dengan kebiasaan, adat atau cara hidup masyarakat. Kebudayaan menurut Marvin Harris merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam tingkah laku dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara hidup masyarakat. sedangkan kebudayaan menurut Spreadley merujuk pada pengetahuan yang diperoleh dan dugunakan manusia untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial tertentu.

Berdasarkan hasil penelitian, di Dusun Susuru Desa Kertayasa masyarakat hidup dengan melaksanakan nilai-nilai budaya Sunda. Dalam budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjujung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat sunda, ramah tamah (someah), murah senyum, lemah lembut, dan sangat menghormati orangtua. Itulah cermin budaya dan kultur masyarakat Sunda. Di dalam Bahasa Sunda diajarkan bagaimana menggunakan bahasa halus untuk orang tua.

Kebudayaan Sunda termasuk kebudayaan tertua. Kebudayaan Sunda berasal kebudayaan raja-raja Sunda pada . Ada beberapa nilai-nilai dalam budaya Sunda tentang satu jalan menuju keutamaan hidup. Etos dan watak Sunda itu adalah cageur, bageur, singer jeung pinter. Kebudayaan sunda juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan. Hampir semua masyarakat Sunda beragama Islam namun ada beberapa yang bukan beragama Islam, walaupun berebeda namun pada dasarnya seluruh kehidupan ditujukan untuk alam semesta. Hal ini seperti yang terjadi pada masyarakat Dusun Susuru Desa Kertajaya Kabupaten Ciamis.

Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat Dusun Susuru hidup dengan memegang teguh budaya Sunda walaupun tidak semua masyarakat Susuru beragama Islam. Di Dusun Susuru terdapat beberapa kelompok masyarakat yang menganut agama dan kepercayaan yang berbeda. Sebagian menganut Agama Islam, sebagian lagi menganut Agama Katholik dan sisanya menganut kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang biasa disebut dengan Penghayat. Walaupun mereka berbeda agama dan kepercayaan tetapi masing-masing dari mereka tetap memegang teguh budaya Sunda. Hal ini terlihat dari adanya sinkritisme atau adanya perpaduan antara nilai-nilai budaya Sunda dengan nilai-nilai ajaran Agama Islam, Agama Katolik dan Penghayat yang dianut oleh masyarakat Susuru. Misalnya pada saat masyarakat Dusun Susuru yang menganut Agama Katolik melakukan ritual ibadahnya, mereka menggunakan gamelan dan lagu-lagu yang berbahasa sunda. Begitu pula masyarakat Dusun Susuru yang beragama Islam. Mereka memasukan beberapa budaya Sunda dalam Ritual peribadatannya. Hal ini tidak berbeda dengan masyarakat Dusun susuru yang berkeyakinan sebagai Penghayat, mereka melakukan ritual peribadatan berdasarkan nilai-nilai budaya Sunda seperti menghayati makna yang terkandung dalam pupuh atau cara berpakaian mereka menunjukan bahwa mereka sangat memelihara budaya Sunda dalam bentuk peribadatannya. Budaya Sunda pada masyarakat Dusun Susuru menjadi sebuah nilai yang menyatukan mereka walaupun jika dilihat dari agama dan kepercayaan mereka berbeda.

Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo “silih asih, silih asah dan silih asuh” (saling mengasihi, saling mempertajam diri dan saling melindungi). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan magis dipertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat sunda melakukan gotong royong untuk mempertahankannya.

Nilai-nilai budaya Sunda seperti kesopanan, rendah hati, saling menghormati antar sesama dan menyayangi kepada yang lebih muda yang dipelihara oleh masyarakat Dusun Susuru yang menjadikan masyarakat hidup dengan damai, tentram dan jauh dari konflik yang bernuansa sara. 

NILAI-NILAI KEBANGSAAN 
Masyarakat Dusun Susuru merupakan suatu kelompok masyarakat yang majemuk jika dilihat dari kepercayaan yang mereka anut. Jika melihat kondisi seperti ini, masyarakat Dusun Susuru mencerminkan masyarakat Indonesia secara umum yang majemuk. Dalam masyarakat majemuk sangat rentan terjadinya konflik terlebih kemajemukannya itu karena perbedaan Agama karena ini berawal dari keyakinan seseorang akan kebenaran. Sebuah masyarakat majemuk sangat memerlukan sebuah nilai yang dapat menyatukan mereka dan menjauhkan mereka dari konflik yang akan berakhir pada perpecahan yang dapat merugikan masyarakat itu sendiri.

Perasaan se-bangsa dan se-negara merupakan salah satu nilai yang dapat mempersatukan masyarakat majemuk dalam suatu negara. Apapun latar belakang agama, kebudayaan, bahasa, suku bangsa maupun adat-istiadatnya akan merasa sebagai bagian dari sebuah kelompok masyarakat suatu negara jika diantara mereka mempunyai perasan se-bangsa dan se-negara. Di negara Indonesia yang masyarakatnya majemuk terdapat sebuah falsafah yakni Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu dalam kesatuan Republik Indonesia. Falsafah tersebut harus terus terpelihara untuk membangun masyarakat Indonesia yang majemuk namun dapat bersatu.

Selain nilai-nilai yang terkandung dalam “Bhineka Tunggal Ika” pada masyarakat Indonesia yang majemuk juga terdapat ideologi Pancasila yang menjadi pemersatu masyarakat Indonesia yang majemuk tersebut. Ideologi Pancasila lahir dari ideologi keagamaan, politik dan sosial. Dalam ideologi Pancasila perbedaan dan pluralitas merupakan kekuatan untuk menyatukan masyarakat. kemajemukan, perbedaan dan pluralitas dilihat sebagai kekuatan perekat bukan unsur pemecah belah. Hal inilah yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat di Indonesia.

Dalam ideologi Pancasila juga tercermin tata nilai dan budaya yang dijalankannya. Nilai-nilai filosofis Pancasila dapat dijadikan dasar untuk menjalani kehidupan di tengah masyarakat yang majemuk baik secara budaya, bahasa, adat-istiadat maupun agama. Pancasila dapat dijadikan suatu kekuatan untuk berperan sebagai pemersatu bangsa.

Berdasarkan hasil penelitian melalui teknik observasi dan wawancara mendalam dengan beberapa informan terlihat bahwa masyarakat Dusun Susuru memelihara falsafah “Bhineka Tunggal Ika” dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila walaupun secara teoritis mereka tidak memahaminya. Masyarakat Dusun Susuru merasa bahwa walaupun mereka berbeda-beda agama dan keyakinan namun meraka tetap merasa bahwa satu-sama lain adalah saudara se-bangsa dan se-tanah air. Sehingga mereka dalam kehidupan bermasyarakat memperlihatkan sikap saling menghormati, menghargai dan menyayangi. Masyarakat Dusun Susuru tidak menganggap mayarakat Dusun Susuru yang berkeyakinan berbeda sebagai musuh yang perlu dijauhi. Nilai-nilai kebangsaan seperti itulah yang menjadikan salah satu yang memelihara kehidupan masyarakat Dusun Susuru yang aman, damai dan tentram tanpa adanya konflik yang dapat memecah-belahkan mereka.

Hal tersebut diatas dapat telihat ketika dari salah satu agama dan kepercayaan yang ada di Dusun Susuru melaksanakan peringatan-peringatan hari besar keagamaannya. Misalnya saja ketika Masyarakat Dusun Susuru yang beragama Katholik dan akan merayakan hari Natal. Pada malam harinya yang berjaga di Gereja adalah masyarakat Dusun Susuru yang beragama Islam dan Penghayat. Sementara mereka yang beragama Katholik melaksanakan Misa malam Natal masyarakat Susuru yang lainya berjaga-jaga diluar untuk menjaga keamannya dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Fenomena eratnya persaudaraan masyarakat Dusun Susuru juga terlihat ketika masyarakat Dusun Susuru yang beragama Islam membangun masjid. Dalam pelaksanaan pembangunannya masyarakat Dusun Susuru yang beragama Katholik dan Penghayat ikut bergotong royong membantunya. Begitu pula ketika Gereja Santo Simon dibangun. Tidak ada masyarakat Dusun Susuru yang beragama Islam maupun Penghayat yang menolak pembangunannya. Namun, yang terjadi adalah masyarakat Dusun Susuru yang beragama Islam dan Penghayat tersebut ikut bergotong royong membantu pembangunan Gereja tersebut. 

KESIMPULAN 
Dusun Susuru sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bagi mereka, ada hal yang penting untuk dipertahankan yaitu kebersamaan. Menjaga nilai-nilai kebersamaan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat, bersikap toleran terhadap sesama masyarakat berbangsa dan bernegara sangat kental dalam setiap pribadi warga masyarakat Dusun Susuru. Masyarakat Dusun Susuru lebih mengedepankan hidup berdampingan tanpa melihat perbedaan latar belakang agama dan kepercayaan masing-masing.

Nilai-nilai budaya Sunda dalam konteks kehidupan beragama bagi masyarakat Dusun Susuru dikolaborasikan dengan kebudayaan fisik maupun non-fisik.  budaya fisik dan non-fisik seperti seperangkat kesenian Sunda dengan tembang Sunda menjadi pengantar dalam acara ritual Penghayat atau Katholik, sementara di kalangan masyarakat muslim menggunakan seperangkat kesenian Tagoni/Rebana.

Nilai-nilai Kebangsaan dan Nilai-nilai luhur Pancasila pada prinsipnya sudah diterapkan dalam kehidupan masyarakat Dusun Susuru, dilihat dari. masyarakat Dusun Susuru yang memelihara falsafah “Bhineka Tunggal Ika” dan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila walaupun secara teoritis mereka tidak memahaminya. 

REFERENSI



Endraswara, Suwardi. 2008. Studi Etnografi dan Folklore. UGM Press,.Yogyakarta
Harrison, Lissa. 2007. Metodologi Penelitian Politik (terj.). Cet I. Kencana Prenada. Jakarta

Keesing, Roger M1999. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta

Koentjaraningrat, 1997 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta

Marsh, David and Stoker. 2002,Theory and Methode in Political Science : Second Edition.Palgrave. Macmillan

Makasim, Luthfi, 2007. Agama dan Budaya Politik, Sufisme dan Habitus Politik Masyarakat Banyumas. Jurnal Swara Politika. Unsoed. Purwokerto

Moleong, Lexi. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. PT Erlangga. Jakarta

Muhadjir, Nung. 1998. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi III.  Penerbit Rake Sarakan. Jakarta

Mulyana, Deddy 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. PT Remaja Rosdakarya. Bandung

Priyatno dan Trubus. 2004. Etika Kemajemukan : Solusi Strategis Merenda Kebersamaan dalam Bingkai masyarakat Majemuk, Penerbit Univ. Trisakti. Jakarta

Shadilly, Hassan. 1984. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta

Spradley, James 1979. The Ethnographic Interview. Holt, Rinehart and Winston. New York


Sumber Gambar : Desa Kertajaya

0 komentar:

Post a Comment