Kawali, Kebesaran Kerajaan Sunda yang Terlupakan

Oleh : Subhan Agung[1]
 
Pengantar
Hal yang akan saya sampaikan dalam tulisan ini boleh jadi sesuatu yang debatible. Maklumlah demikian, karena membahas sesuatu yang telah lewat dengan rentang waktu berabad-abad lamanya, tentunya bukanlah sesuatu yang mudah dicari konklusinya.

Untuk memprediksi kejadian tersebut betul-betul terjadi membutuhkan penelaahan yang berdasar pada bukti-bukti yang dianggap memadai seperti yang menjadi kajian penting dalam ilmu sejarah selama ini. Oleh karena itu, anggaplah tulisan ringan ini hanya menjadi bagian dari bertebarnnya tulisan ilmiah tentang masa lampau. Harapannya menjadi perenungan dalam membaca sejarah lama kita. Tulisan ini bukanlah mencari konklusi, namun mewarnai proses perdebatan intu sendiri.

Kawali sebagai Pusat Kekuasaan
Kota Kawali saat ini dikenal sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Letaknya kurang lebih 26 Km dari ibu kota kabupaten ke sebelah utara. Kecamatan ini berdekatan dengan Kecamatan Panjalu di sebelah utara. Kecamatan Panjalu juga dikenal sebagai salah satu kecamatan di Jawa Barat yang kaya akan objek-objek kajian tentang sejarah Sunda.

Sebagai sebuah kecamatan, apalagi letaknya terpencil di sebelah utara Ciamis, Kota Kawali kecenderungannya tidaklah dianggap spesial di masyarakat Jawa Barat khususnya, Indonesia umumnya. Apalagi bagi mereka yang tidak mengenal sejarah Kota Kawali ini di masa lampau. Padahal jika kita menyempatkan melirik naskah-naskah penting dalam sejarah Indonesia, kota ini di masa lampau dianggap pernah menggegerkan “panggung” sejarah Indonesia, karena kota ini pernah menjadi ibu kota (dayoh) Kerajaan Sunda sejak tahun 1333-1484 M (Prabu Linggadewata sampai pemerintahan Prabu Dewa Niskala (Ningrat Kancana)[2].

Kawali menjadi ibukota Kerajaan Sunda, –atau sebagian sejarawan menyebutnya Sunda Galuh– setelah penguasa Sunda Linggadewata memindahkan pusat kekuasaan dari Pakuan (Keraton Sri Bima) ke Kawali (diprasasti Kawali disebut Surawisesa). Namun para sejarawan sampai saat ini belum bersepakat tentang letak tepatnya Kraton Surawisesa tersebut). Situs Kawali yang dianggap sebagian sejarawan sebagai letak kraton sampai saat ini masih diperdebatkan karena sebagian besar sejarawan menganggap situs tersebut lebih tepatnya disebut pemujaan raja dan keluarganya saat itu, karena peninggalan-peninggalan di area tersebut menguatkan hal itu.

Sedangkan Kerajaan Sunda saat itu disebut sebagai Sunda-Galuh, karena sejak pecahnya Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Galuh dan Sunda. Kedua kerajaan tersebut asalnya berpisah mandiri dengan Raja Sunda (Tarusbawa) dan Raja Galuh (Wretikandayun) dengan sungai Citarum sebagai batasnya. Namun ketika Sunda berpusat di Kawali, raja Sunda saat itu merangkap sebagai Raja Galuh karena hubungan perkawinan yang menyebabkan raja saat itu memiliki dua hak tahta, yakni sebagai raja Sunda dan Galuh. Sehingga pada masa Prabu Linggadewata, Raja Sunda biasa disebut sebagai raja Sunda-Galuh.

Situs Astana Gede : Situs Sunda Terlengkap
Sumber sejarah yang paling valid dan dianggap menguatkan bahwa Kawali pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda adalah beberapa prasasti yang terdapat di Kawali, tepatnya di Dusun Indrayasa, Kecamatan Kawali. Lokasi tempat ditemukannya prasasti tersebut saat ini dikenal sebagai Situs Astana Gede Kawali. Menurut petugas guide ketika saya berkunjung ke tempat tersebut, tempat tersebut disebut Astana Gede dikarenakan terdapat makam yang dianggap “orang besar” yang pernah berkuasa (memerintah Kawali) yakni Pangeran Usman dan Adipati Singacala. Keduanya dianggap pernah berkuasa di Kawali sekitar 1643 M-1718 M. Makam Pangeran Usman sampai saat ini menjadi salah satu situs makam Kuno di situs tersebut dengan ukuran yang sangat panjang dan lebar jauh  di atas rata-rata manusia biasa.

Situs ini pertama kali ditemukan oleh Gubernur Jenderal Raffles. Dalam bukunya yang sangat fenomenal History of Java, Raffles mengemukakan bahwa Prasasti Kawali (Astana Gede) merupakan salah satu bukti otentik kebesaran Sunda yang dilanjutkan Padjadjaran. Ilmuwan lainnya kemudian yang melanjutkan penelitian dan menerjemahkan naskah prasasti tersebut yang pertama yakni Friederich (1855). Terjemahan Friederich tersebut sampai sekarang masih digunakan dengan beberapa penyempurnaan. Penelitian selanjutnya dilakukan (Veth (1896), Holle (1867), Nooduyn (1888), Danasasmita (1984) dan Atja (1990)[3].

Sebagian para sejarawan menganggap Situs Astana Gede merupakan pencampuran antara tiga peradaban, yakni peradaban pra sejarah, klasik dan Islam. Temuan-temuan di lokasi situs ini menguatkan hal ini. Misalnya dengan adanya temuan yang menjadi ciri khas tradisi Megalitikum, seperti Punden Berundak.

Selain itu juga di situs ini terdapat cukup banyak prasasti. Bahkan dibanding dengan situs lainnya di Jawa Barat, situs ini menyimpan paling banyak prasasti[4]. Terhitung terdapat 6 prasasti tentang raja yang memerintah Kawali, nasihat raja, dan pusat kekuasaan yang disebut Keraton Surawisesa. Di area ini juga terdapat tradisi Islam seperti nisan dan terdapatnya makam yang dipercaya penyebar agama Islam di Kawali. Punden berundak yang merupakan peninggalan megalitik pasca Adipati Singacala berkuasa dijadikan sebagai makamnya. Adipati Singacala adalah penguasa Kawali penganut Islam yang nantinya dianggap menurunkan penguasa Kawali selanjutnya. Selain peninggalan tersebut juga di situs ini terdapat yoni dan menhir. Untuk melihat visualisasi situs, prasasti dan lainnya silahkan dilihat DI SINI

Peristiwa Bubat : Kebesaran Kawali dalam Sejarah
Satu hal lagi yang membuat Kerajaan Sunda yang berpusat di Kawali termashur dalam sejarah adalah munculnya peristiwa Bubat atau beberapa literatur buhun seperti Naskah Wangsakerta menyebutnya Pasundan Bubat. Peristiwa Bubat ini dianggap terjadi pada tahun 1357 M[5] ketika Kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Prabu Linggabuanawisesa (Raja Sunda ke-24) yang berkuasa sekitar tahun 1350-1357 M.

Adanya Perang Bubat yang dikenal dalam sejarah populer saat ini sebenarnya banyak diambil dari naskah-naskah buhun masa lampau—beberapa sejarawan meragukan keotentikannya—yakni Kidung Sundayana, Kitab Pararaton dan Naskah Wangsakerta. Dalam versi ini perang Bubat merupakan perang antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Majapahit yang saat itu dianggap sebagai kerajaan besar yang mampu menaklukan hampir keseluruhan nusantara, kecuali Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara dan Sunda di Jawa sebelah Barat. Menurut versi ini Perang Bubat terjadi karena adanya keinginan Raja Majapahit, Hayam Wuruk untuk mempersunting putri Raja Sunda, Diah Pitaloka Citrasmi. Namun ketika rombongan Raja Sunda dan calon pengantin tiba di Paseban Bubat, Mahapatih Gadjah Mada menginginkan menyempurnakan cita-cita yang telah menjadi sumpahnya –dikenal sumpah palapa–, sehingga tanpa sepengetahuan rajanya moment tersebut dimanfaatkan Gadjah Mada untuk menaklukan Sunda. Motivasi inilah yang akhirnya melahirkan perang tersebut berkecamuk, karena Kerajaan Sunda tidak mau tunduk, termasuk tidak menerima jika putrinya dijadikan persembahan negara bawahan kepada negara atasan.

Versi tersebut adalah versi resmi yang selalu diajarkan di sekolah-sekolah sejak tingkat dasar. Versi lain misalnya seperti yang diulas dalam Situs Kawali[6] bahwa Peristiwa Bubat sebenarnya upaya penjajah yang membesar-besarkan Perang tersebut untuk memecah belah Sunda dan Jawa. Menurut pendapat yang mendasarkan cerita tutur ini bahwa Bubat sebenarnya memang ada, yang terjadi karena kesahpahaman anatara pasukan Sunda yang menngantar calon mempelai saat itu. Para penyambut dari Majapahit secara tidak sengaja meletakkan barang bawaan Sunda di Paseban, yang biasa menyimpan barang bawaan dari negara bawahan. Pihak Sunda tidak terima, sehingga terjadilah perselisihan dan berakhir dengan perang yang tidak terkendali. Peristiwa berlangsung secara cepat diluar kendali Mahapatih Gadjah Mada sendiri yang saat itu berada di Keraton Wilwatikta –sebutan untuk Majapahit–  untuk mempersiapkan penyambutan. Cerita ini berbeda dengan versi di atas dan cenderung membela Mahapatih Gadja Mada.

Versi lainnya misalnya dalam cerita dan Novel Sejarah Gadjah Mada[7] dan Perang Bubat[8] yang melakukan perjalanan di tempat-tempat yang selama ini mengenal cerita tersebut. Versi-versi tersebut misalnya peristiwa Bubat karena latar belakang cinta segi tiga antara Hayam Wuruk, Gadjah Mada dan Diah Pitaloka, ada juga yang mengatakan latar belakang dendam Gadjah Mada terhadap Sunda yang pernah melecehkannya, ataupun versi-versi lainnya yang banyak tersimpan rapi dalam cerita tutur masyarakat. Hal ini perlu dikaji ulang secara objektif untuk pengembangan pengetahuan tentang perang ini sebenarnya.

Kawali yang saat itu disebut-sebut sebagai pusat kekuasaan Sunda, jika memang demikianlah keadaannya seperti versi-versi tersebut, maka Kawali dapat dipastikan merupakan sebuah kota besar (sejenis metropolitan dalam bahasa saat ini). Kota ini saat itu dianggap sebagai satu-satunya kota yang berkembang pesat sebagai pusat kekuasaan disamping Majapahit. Kita ketahui dalam sejarah selama ini bahwa kota paling ramai dan metropolitannya nusantara adalah Wilwatikta (dayo) Kerajaan Majapahit yang kemungkinan di sekitar Mojokerto saat ini. Saat itu selain Sunda, Nusantara katanya dikuasai oleh Majapahit. Kawali memiliki nilai sejarah tersendiri dalam sejarah Indonesia. Tercatat dalam masa kerajaan awal Indonesia, khususnya di Jawa Barat dikenal kota-kota semisal Pakuan, tempat Keraton Sunda sebelum pindah ke Kawali, kemudian Karangkamulyan di Ciamis Jawa Barat yang dianggap sebagai pusat kekuasaan Kerajaan Galuh.

Penutup
Akhirnya semua yang tersaji dalam tulisan ini adalah hal yang sangat debatibel. Saya menyadari hal itu seperti yang sudah sampaikan di awal. Dalam konteks itu saya hanya bisa mengucap wallohua’lam bishowwab hanya Tuhan yang tahu. Namun, sebagai manusia yang sadar akan pentingnya pelurusan sejarah, kajian-kajian baru, baik yang sifatnya hanya wacana, perenungan pribadi, maupun kajian serius yang lebih ilmiah dan objektif harus terus dilakukan. Untuk mengetahui kejadian yang sebanarnya dan tokoh yang patut ditiru, perjuangan yang patut dihargai, kenistaan yang patut dijadikan pelajaran supaya kita tidak terperosok dalam “lubang” yang sama. Semoga tulisan ringan ini menjadi “penyulut” untuk lebih mengembangkan kultur diskusi dalam mengembangkan dan meluruskan sejarah yang selama ini didominasi tafsir rezim. Amin

Sumber Bacaan
Adeng, dkk, 1995, Situs Astana Gede Kawali, BKSNT Jawa Barat, Bandung.
Ayatrohaedi, Atja, 1986, Negara Kertabumi 1,5, Kelompok Kerja Pangeran Wangsakerta, PPPK Dikbud, Jakarta.
Danasasmita, Saleh, Tanpa Tahun, Babad Pakuan, Bandung.
Hariadi, Langit Kresna, 2008, Gadjah Mada : Perang Bubat, Tiga Serangkai, Surakarta.
Permana, Aan Merdeka, 2009, Perang Bubat : Tragedi di Balik Kisah Cinta Gadjah Mada dan Dyah Pitaloka, Mizan Media Utama, Bandung
Sukardja, Djadja, 2007, Situs Kawali, Babad Sunda, Ciamis.
Sumber Gambar dan Data Lapangan : Dokumentasi Pribadi, berkunjung ke Situs Astana Gede Kawali dan Karangkamulyan di awal tahun 2010 silam. Melakukan wawancara dengan guide, kuncen dan masyarakat sekitar yang dianggap paham (purposive) tentang Kawali.

[1] Pemerhati Kebudayaan Sunda, tinggal di Kaki Gunung Galunggung. Pengajar Antropologi Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
[2] Lihat Sukardja, (2007).
[3] Lihat Ayatrohaedi (1986)
[4] Kita tahu bahwa terdapat prasasti lainnya yang menjadi sumber keterangan Kerajaan Sunda dan penerusnya Padjadjaran semisal Ciaruten di Ciampea,
[5] Adeng, dkk (1995)
[6] Sukardja (2007)
[7] Karya Langit Kresna Hariadi (2009)
[8] Aan Merdeka Permana (2010

0 komentar:

Post a Comment