Kawali, Kebesaran Kerajaan Sunda yang Terlupakan
Hal yang akan saya sampaikan dalam tulisan ini boleh jadi sesuatu yang debatible. Maklumlah demikian, karena membahas sesuatu yang telah lewat dengan rentang waktu berabad-abad lamanya, tentunya bukanlah sesuatu yang mudah dicari konklusinya.
Untuk memprediksi kejadian tersebut betul-betul terjadi membutuhkan penelaahan yang berdasar pada bukti-bukti yang dianggap memadai seperti yang menjadi kajian penting dalam ilmu sejarah selama ini. Oleh karena itu, anggaplah tulisan ringan ini hanya menjadi bagian dari bertebarnnya tulisan ilmiah tentang masa lampau. Harapannya menjadi perenungan dalam membaca sejarah lama kita. Tulisan ini bukanlah mencari konklusi, namun mewarnai proses perdebatan intu sendiri.
Untuk memprediksi kejadian tersebut betul-betul terjadi membutuhkan penelaahan yang berdasar pada bukti-bukti yang dianggap memadai seperti yang menjadi kajian penting dalam ilmu sejarah selama ini. Oleh karena itu, anggaplah tulisan ringan ini hanya menjadi bagian dari bertebarnnya tulisan ilmiah tentang masa lampau. Harapannya menjadi perenungan dalam membaca sejarah lama kita. Tulisan ini bukanlah mencari konklusi, namun mewarnai proses perdebatan intu sendiri.
Kawali sebagai Pusat Kekuasaan
Kota Kawali saat ini dikenal sebagai
salah satu kecamatan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Letaknya kurang
lebih 26 Km dari ibu kota kabupaten ke sebelah utara. Kecamatan ini
berdekatan dengan Kecamatan Panjalu di sebelah utara. Kecamatan Panjalu
juga dikenal sebagai salah satu kecamatan di Jawa Barat yang kaya akan
objek-objek kajian tentang sejarah Sunda.
Sebagai sebuah kecamatan, apalagi
letaknya terpencil di sebelah utara Ciamis, Kota Kawali kecenderungannya
tidaklah dianggap spesial di masyarakat Jawa Barat khususnya, Indonesia
umumnya. Apalagi bagi mereka yang tidak mengenal sejarah Kota Kawali
ini di masa lampau. Padahal jika kita menyempatkan melirik naskah-naskah
penting dalam sejarah Indonesia, kota ini di masa lampau dianggap
pernah menggegerkan “panggung” sejarah Indonesia, karena kota ini pernah
menjadi ibu kota (dayoh) Kerajaan Sunda sejak tahun 1333-1484 M (Prabu Linggadewata sampai pemerintahan Prabu Dewa Niskala (Ningrat Kancana)[2].
Kawali menjadi ibukota Kerajaan Sunda,
–atau sebagian sejarawan menyebutnya Sunda Galuh– setelah penguasa Sunda
Linggadewata memindahkan pusat kekuasaan dari Pakuan (Keraton Sri Bima)
ke Kawali (diprasasti Kawali disebut Surawisesa). Namun para sejarawan
sampai saat ini belum bersepakat tentang letak tepatnya Kraton
Surawisesa tersebut). Situs Kawali yang dianggap sebagian sejarawan
sebagai letak kraton sampai saat ini masih diperdebatkan karena sebagian
besar sejarawan menganggap situs tersebut lebih tepatnya disebut
pemujaan raja dan keluarganya saat itu, karena peninggalan-peninggalan
di area tersebut menguatkan hal itu.
Sedangkan Kerajaan Sunda saat itu
disebut sebagai Sunda-Galuh, karena sejak pecahnya Kerajaan Tarumanagara
menjadi Kerajaan Galuh dan Sunda. Kedua kerajaan tersebut asalnya
berpisah mandiri dengan Raja Sunda (Tarusbawa) dan Raja Galuh
(Wretikandayun) dengan sungai Citarum sebagai batasnya. Namun ketika
Sunda berpusat di Kawali, raja Sunda saat itu merangkap sebagai Raja
Galuh karena hubungan perkawinan yang menyebabkan raja saat itu memiliki
dua hak tahta, yakni sebagai raja Sunda dan Galuh. Sehingga pada masa
Prabu Linggadewata, Raja Sunda biasa disebut sebagai raja Sunda-Galuh.
Situs Astana Gede : Situs Sunda Terlengkap
Sumber sejarah yang paling valid dan
dianggap menguatkan bahwa Kawali pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sunda
adalah beberapa prasasti yang terdapat di Kawali, tepatnya di Dusun
Indrayasa, Kecamatan Kawali. Lokasi tempat ditemukannya prasasti
tersebut saat ini dikenal sebagai Situs Astana Gede Kawali. Menurut
petugas guide ketika saya berkunjung ke tempat tersebut, tempat
tersebut disebut Astana Gede dikarenakan terdapat makam yang dianggap
“orang besar” yang pernah berkuasa (memerintah Kawali) yakni Pangeran
Usman dan Adipati Singacala. Keduanya dianggap pernah berkuasa di Kawali
sekitar 1643 M-1718 M. Makam Pangeran Usman sampai saat ini menjadi
salah satu situs makam Kuno di situs tersebut dengan ukuran yang sangat
panjang dan lebar jauh di atas rata-rata manusia biasa.
Situs ini pertama kali ditemukan oleh Gubernur Jenderal Raffles. Dalam bukunya yang sangat fenomenal History of Java,
Raffles mengemukakan bahwa Prasasti Kawali (Astana Gede) merupakan
salah satu bukti otentik kebesaran Sunda yang dilanjutkan Padjadjaran.
Ilmuwan lainnya kemudian yang melanjutkan penelitian dan menerjemahkan
naskah prasasti tersebut yang pertama yakni Friederich (1855).
Terjemahan Friederich tersebut sampai sekarang masih digunakan dengan
beberapa penyempurnaan. Penelitian selanjutnya dilakukan (Veth (1896),
Holle (1867), Nooduyn (1888), Danasasmita (1984) dan Atja (1990)[3].
Sebagian para sejarawan menganggap Situs
Astana Gede merupakan pencampuran antara tiga peradaban, yakni
peradaban pra sejarah, klasik dan Islam. Temuan-temuan di lokasi situs
ini menguatkan hal ini. Misalnya dengan adanya temuan yang menjadi ciri
khas tradisi Megalitikum, seperti Punden Berundak.
Selain itu juga di situs ini terdapat
cukup banyak prasasti. Bahkan dibanding dengan situs lainnya di Jawa
Barat, situs ini menyimpan paling banyak prasasti[4].
Terhitung terdapat 6 prasasti tentang raja yang memerintah Kawali,
nasihat raja, dan pusat kekuasaan yang disebut Keraton Surawisesa. Di
area ini juga terdapat tradisi Islam seperti nisan dan terdapatnya makam
yang dipercaya penyebar agama Islam di Kawali. Punden berundak yang
merupakan peninggalan megalitik pasca Adipati Singacala berkuasa
dijadikan sebagai makamnya. Adipati Singacala adalah penguasa Kawali
penganut Islam yang nantinya dianggap menurunkan penguasa Kawali
selanjutnya. Selain peninggalan tersebut juga di situs ini terdapat yoni
dan menhir. Untuk melihat visualisasi situs, prasasti dan lainnya
silahkan dilihat DI SINI
Peristiwa Bubat : Kebesaran Kawali dalam Sejarah
Satu hal lagi yang membuat Kerajaan
Sunda yang berpusat di Kawali termashur dalam sejarah adalah munculnya
peristiwa Bubat atau beberapa literatur buhun seperti Naskah Wangsakerta menyebutnya Pasundan Bubat. Peristiwa Bubat ini dianggap terjadi pada tahun 1357 M[5]
ketika Kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Prabu Linggabuanawisesa
(Raja Sunda ke-24) yang berkuasa sekitar tahun 1350-1357 M.
Adanya Perang Bubat yang dikenal dalam
sejarah populer saat ini sebenarnya banyak diambil dari naskah-naskah
buhun masa lampau—beberapa sejarawan meragukan keotentikannya—yakni
Kidung Sundayana, Kitab Pararaton dan Naskah Wangsakerta. Dalam versi
ini perang Bubat merupakan perang antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan
Majapahit yang saat itu dianggap sebagai kerajaan besar yang mampu
menaklukan hampir keseluruhan nusantara, kecuali Kerajaan Dompu di Nusa
Tenggara dan Sunda di Jawa sebelah Barat. Menurut versi ini Perang Bubat
terjadi karena adanya keinginan Raja Majapahit, Hayam Wuruk untuk
mempersunting putri Raja Sunda, Diah Pitaloka Citrasmi. Namun ketika
rombongan Raja Sunda dan calon pengantin tiba di Paseban Bubat,
Mahapatih Gadjah Mada menginginkan menyempurnakan cita-cita yang telah
menjadi sumpahnya –dikenal sumpah palapa–, sehingga tanpa sepengetahuan
rajanya moment tersebut dimanfaatkan Gadjah Mada untuk
menaklukan Sunda. Motivasi inilah yang akhirnya melahirkan perang
tersebut berkecamuk, karena Kerajaan Sunda tidak mau tunduk, termasuk
tidak menerima jika putrinya dijadikan persembahan negara bawahan kepada
negara atasan.
Versi tersebut adalah versi resmi yang
selalu diajarkan di sekolah-sekolah sejak tingkat dasar. Versi lain
misalnya seperti yang diulas dalam Situs Kawali[6]
bahwa Peristiwa Bubat sebenarnya upaya penjajah yang membesar-besarkan
Perang tersebut untuk memecah belah Sunda dan Jawa. Menurut pendapat
yang mendasarkan cerita tutur ini bahwa Bubat sebenarnya memang ada,
yang terjadi karena kesahpahaman anatara pasukan Sunda yang menngantar
calon mempelai saat itu. Para penyambut dari Majapahit secara tidak
sengaja meletakkan barang bawaan Sunda di Paseban, yang biasa menyimpan
barang bawaan dari negara bawahan. Pihak Sunda tidak terima, sehingga
terjadilah perselisihan dan berakhir dengan perang yang tidak
terkendali. Peristiwa berlangsung secara cepat diluar kendali Mahapatih
Gadjah Mada sendiri yang saat itu berada di Keraton Wilwatikta –sebutan
untuk Majapahit– untuk mempersiapkan penyambutan. Cerita ini berbeda
dengan versi di atas dan cenderung membela Mahapatih Gadja Mada.
Versi lainnya misalnya dalam cerita dan Novel Sejarah Gadjah Mada[7] dan Perang Bubat[8]
yang melakukan perjalanan di tempat-tempat yang selama ini mengenal
cerita tersebut. Versi-versi tersebut misalnya peristiwa Bubat karena
latar belakang cinta segi tiga antara Hayam Wuruk, Gadjah Mada dan Diah
Pitaloka, ada juga yang mengatakan latar belakang dendam Gadjah Mada
terhadap Sunda yang pernah melecehkannya, ataupun versi-versi lainnya
yang banyak tersimpan rapi dalam cerita tutur masyarakat. Hal ini perlu
dikaji ulang secara objektif untuk pengembangan pengetahuan tentang
perang ini sebenarnya.
Kawali yang saat itu disebut-sebut
sebagai pusat kekuasaan Sunda, jika memang demikianlah keadaannya
seperti versi-versi tersebut, maka Kawali dapat dipastikan merupakan
sebuah kota besar (sejenis metropolitan dalam bahasa saat ini). Kota ini
saat itu dianggap sebagai satu-satunya kota yang berkembang pesat
sebagai pusat kekuasaan disamping Majapahit. Kita ketahui dalam sejarah
selama ini bahwa kota paling ramai dan metropolitannya nusantara adalah
Wilwatikta (dayo) Kerajaan Majapahit yang kemungkinan di
sekitar Mojokerto saat ini. Saat itu selain Sunda, Nusantara katanya
dikuasai oleh Majapahit. Kawali memiliki nilai sejarah tersendiri dalam
sejarah Indonesia. Tercatat dalam masa kerajaan awal Indonesia,
khususnya di Jawa Barat dikenal kota-kota semisal Pakuan, tempat Keraton
Sunda sebelum pindah ke Kawali, kemudian Karangkamulyan di Ciamis Jawa
Barat yang dianggap sebagai pusat kekuasaan Kerajaan Galuh.
Penutup
Akhirnya semua yang tersaji dalam
tulisan ini adalah hal yang sangat debatibel. Saya menyadari hal itu
seperti yang sudah sampaikan di awal. Dalam konteks itu saya hanya bisa
mengucap wallohua’lam bishowwab hanya Tuhan yang tahu. Namun,
sebagai manusia yang sadar akan pentingnya pelurusan sejarah,
kajian-kajian baru, baik yang sifatnya hanya wacana, perenungan pribadi,
maupun kajian serius yang lebih ilmiah dan objektif harus terus
dilakukan. Untuk mengetahui kejadian yang sebanarnya dan tokoh yang
patut ditiru, perjuangan yang patut dihargai, kenistaan yang patut
dijadikan pelajaran supaya kita tidak terperosok dalam “lubang” yang
sama. Semoga tulisan ringan ini menjadi “penyulut” untuk lebih
mengembangkan kultur diskusi dalam mengembangkan dan meluruskan sejarah
yang selama ini didominasi tafsir rezim. Amin
Sumber Bacaan
Adeng, dkk, 1995, Situs Astana Gede Kawali, BKSNT Jawa Barat, Bandung.
Ayatrohaedi, Atja, 1986, Negara Kertabumi 1,5, Kelompok Kerja Pangeran Wangsakerta, PPPK Dikbud, Jakarta.
Danasasmita, Saleh, Tanpa Tahun, Babad Pakuan, Bandung.
Hariadi, Langit Kresna, 2008, Gadjah Mada : Perang Bubat, Tiga Serangkai, Surakarta.
Permana, Aan Merdeka, 2009, Perang Bubat : Tragedi di Balik Kisah Cinta Gadjah Mada dan Dyah Pitaloka, Mizan Media Utama, Bandung
Sukardja, Djadja, 2007, Situs Kawali, Babad Sunda, Ciamis.
Sumber Gambar dan Data Lapangan
: Dokumentasi Pribadi, berkunjung ke Situs Astana Gede Kawali dan
Karangkamulyan di awal tahun 2010 silam. Melakukan wawancara dengan
guide, kuncen dan masyarakat sekitar yang dianggap paham (purposive) tentang Kawali.
[1]
Pemerhati Kebudayaan Sunda, tinggal di Kaki Gunung Galunggung. Pengajar
Antropologi Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
[2] Lihat Sukardja, (2007).
[3] Lihat Ayatrohaedi (1986)
[4]
Kita tahu bahwa terdapat prasasti lainnya yang menjadi sumber
keterangan Kerajaan Sunda dan penerusnya Padjadjaran semisal Ciaruten di
Ciampea,
[5] Adeng, dkk (1995)
[6] Sukardja (2007)
[7] Karya Langit Kresna Hariadi (2009)
[8] Aan Merdeka Permana (2010
0 komentar:
Post a Comment