Golput harus Dihindarikah?

Oleh : Subhan Agung

Salah satu Ormas terkemuka di Tasikmalaya yakni KAMMI Daerah Tasikmalaya, Kamis, 14 Juni 2012 mengundang saya untuk memberikan materi dan berdiskusi tentang Golput. Diskusi bertempat di Sekretariat KAMMI Daerah, Jalan Siliwangi Gg. Macan II Tasikmalaya. Bagi saya undangan ini merupakan satu kehormatan, karena dapat berdiskusi dengan salah satu organ gerakan mahasiswa yang katanya banyak berkiprah dalam politik dan dakwah di kampus-kampus ini.

Topik yang dikedepankan adalah Hindari Golput dalam Pemilukada Tasikmalaya 2012. Tentu saja bagi saya undangan untuk membahas wacana ini sesuatu yang agak ironi—saya tidak tahu pertimbangan mereka memilih saya untuk bicara topik ini–, karena saya sendiri bukanlah seorang partisipan pemilih yang ideologis. Walaupun saya sendiri bukanlah penganjur Golput, namun juga saya sangat menghargai para penganut Golput, tercatat banyak guru Ilmu Politik saya yang sering melakukan Golput dengan berbagai alasan. Namun dalam kesempatan tersebut saya diminta untuk menjelaskan dan menguatkan ide bahwa ber-Golput harus dihindari. Sebagai orang yang pernah bergelut dan sedang bergelut dengan kajian politik dan demokrasi, saya tentunya  memberikan sedikit pemahaman bahwa dalam konteks demokasi –yang membutuhkan suara terbanyak dan suara signifikan dalam elektoral (Pemilu)– tentunya Golput dapat saja membahayakan, bahkan contoh di beberapa negara, Pemilu diulang atau dinyatakan gagal, karena lemahnya partisipasi memilih.

Kalau melihat hal itu, Golput memang kurang efektif, namun lagi-lagi problem lain muncul yakni calon yang diajukan oleh partai-partai politik ternyata bukanlah calon yang  diidam-idamkan oleh masyarakat. Calon-calon tersebut merupakan hasil dari tarik-ulur kepentingan dan nafsu berkuasa elit politik partai dan pemodal. Walaupun saat ini muncul calon independen (perseorangan), karena terjegal aturan yang sangat ketat, tetap saja mereka yang berpotensi memimpin Tasikmalaya dan memiliki kualifikasi pemimpin sulit untuk berkompetisi.

Informasi profil dan visi misi calon perseorangan pun sangat sulit didapatkan oleh masyarakat. Banner, iklan, dan profil calon di koran-koran daerah pun sangat minim, –kalau tidak dikatakan tidak ada–. Wilayah itu dikuasai oleh calon-calon dari partai berkuasa seperti dalam konteks Tasikmalaya, ada  Budi-Dede dan Syarif-Cecep. Bahkan dalam profil salah satu koran daerah, tidak dimunculkan gambar pasangan calon  no.2 (perseorangan) tersebut. Tidak tahu hal ini alasan teknis atau alasan keuangan (tidak membayar) ke koran yang bersangkutan. Sebagai lembaga civil society, koran-koran atau majalah sebagai perwujudan dari pers harusnya tidak memihak dengan cara apapun atau netral terhadap pasangan manapun.

Golput atau Pemilih Cerdas?
Kembali ke Golput, saya termasuk tidak sepakat jika Golput dikait-kaitkan dengan agama (Islam tentunya). Ingat Pemilu adalah produk demokrasi, dan demokrasi bukanlah ide yang berasal dari Islam. Selain ada persamaan, demokrasi juga memiliki perbedaan prinsipil dengan Islam. Oleh karena itu, jika Golput dilarang dengan alasan haram menurut Islam, berarti secara tidak langsung sudah membenarkan secara absolut demokrasi sesuai Islam dan lebih bahaya lagi, menggunakan Islam untuk kepentingan partai atau kelompok politik semata. Ini yang berbahaya.

Golput memang bukanlah pilihan ideal, hal tersebut hanya menjadi kritik, protes, kekecewaan, ketidakpercayaan, dan aksi politik yang keberadaannya juga diakui oleh undang-undang, bahwa memilih di Indonesia adalah hak. Oleh karena hak, boleh diambil, boleh juga tidak. Hal ini tentunya berbeda dengan Negara Australia yang mengharuskan semua warga negara yang memiliki suara untuk datang ke tempat pemungutan suara. Kalau tidak datang ada sanksi dapat berupa denda dan kurungan, namun uniknya negara ini tidak melarang warganya ber-Golput dengan mencoblos asal-asalan, sehingga tidak sah. Negara juga tidak melarang warganya mengkampanyekan Golput, asalkan tidak mengancam dan melakukan tindakan lainnya yang terdapat unsur paksaan.

Dalam konteks sosial sebagai negara Demokratis, Golput di Indonesia bukanlah sesuatu yang haram. Namun kembali kepada kepercayaan dan pemahaman masing-masing, manakah yang lebih baik menurut pertimbangan masing-masing orang, itulah yang diambil. Salah satu alternatif, –walaupun sampai saat ini belum menemukan bentuknya—adalah pemilih cerdas. Yakni pemilih yang mampu memberikan pilihannya terhadap orang-orang yang dianggap mampu memimpin dan mengurusi negara dengan adil, bijak dan progresif. Namun lagi-lagi pendidikan politik yang dijalankan partai nihil, KPU sebagai penyelenggara, tentu saja melempar kewajiban tersebut kepada partai, LSM dan Ormas juga setengah-setengah dalam membentuk wacana ini. Sehingga pemilih cerdas ini saat ini masih menjadi wacana. Hasil Pemilu tentu saja masih jauh dari harapan.

Pemilih cerdas harusnya dibentuk sejak dari masyarakat yang paling bawah, bahwa ending dari Pemilu adalah kesejahteraan. Kesejahteraan bersama didapatkan dari pemimpin-pemimpin populis yang mampu mengelola negara dengan bijak dan futuristik. Pemilu jangan hanya dipahami sebagai “pesta demokrasi” untuk mengulang kesalahan kedua, ketiga, keempat dan selanjutnya dengan cara larut kepada kenikmatan sesaat, semisal iming-iming perbaikan sarana jalan, penerangan, “serangan fajar”, “serangan ba’da Isya” yang mampu mengubah pilihan dengan sekejap mata.

Hanya dengan iming-iming yang tidak seberapa, calon-calon yang potensial dan memiliki niat lurus, ikhlas dalam memimpin harus tumbang, karena tidak memiliki dana lebih dalam berkompetisi. Money centris mechanism,  itulah istilah yang kira-kita mendekati untuk menyebut kondisi politik kita saat ini. Ongkos politik sangat mahal, karena semua sudah terlanjur menganggap politik adalah uang, bagi-bagi kekuasaan, ritual 5 tahunan, menghambur-hamburkan uang, dan sejenisnya yang akhirnya melupakan apa sesungguhnya substansi Pemilu itu sendiri. (Semoga ada perbaikan ke depannya).

Subhan Agung, 18 Juni 2012

2 komentar: