“Kota Santri” dan Pemilukada
(Respon Masyarakat Kota Tasikmalaya terhadap Pelaksanaan Pemilukada Tahun 2012)
Oleh : Edi Kusmayadi, Subhan Agung dan Rino Sundawa
Proses demokrasi pada prinsipnya menggunakan tingkat partisipasi masyarakat sebagai
tolok ukur apakah sebuah kontestasi politik baik ditingkat nasional
maupun lokal bisa menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan bisa
diterima oleh mayoritas masyarakat. Walaupun indikator tingkat
partisipasi masyarakat ini masih bisa diperdebatkan dan diperbandingkan,
karena indikator berhasil tidaknya sebuah pemilihan kepala daerah tidak
hanya menggunakan pendekatan kuantitatif tapi pendekatan kualitatif
sebagai faktor yang berpengaruh yang menentukan apakah sebuah pemilihan
kepala daerah berkualitas atau tidak.
Seperti diketahui Kota Tasikmalaya yang
dikenal dengan julukan Kota Santri Bulan Juli 2012 besok akan menggelar
Pemilukada. Salah satu pendekatan tersebut akan digunakan untuk melihat
respon masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilukada di kota mereka.
Prosedur Kajian
Pendekatan yang digunakan dalam kajian
ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini menitikberatkan pada
berbagai faktor yang saling terkait, seperti sejauh mana kualitas calon
kepala daerah yang akan bertarung, kompetensinya dalam hal kepemimpinan,
kredibilitas partai politik lokal, tingkat pendidikan/kecerdasan
politik masyarakat dan satu hal yang tidak kalah penting adalah tingkat
kecurangan yang terjadi.
Berdasarkan asumsi tersebut, kajian ini
mencoba ingin mengetahui sejauh mana respon masyarakat Kota Tasikmalaya
dalam menyikapi pemilihan Wali Kota pada 2012. Pengertian respon pada
penelitian adalah sebagai asumsi dasar yang akan menjadi dasar untuk
menjawab dua pertanyaan sekaligus, yaitu tingkat partisipasi dan tingkat
kualitas pelaksanaan Pemilukada. Dalam mencari jawaban sejauh mana
tingkat partisipasi masyarakat, pencarian terhadap respon masyarakat ini
sangat penting, karena logikanya tingkat partisipasi yang tinggi tidak
akan terjadi bilamana tidak ada respon yang baik dari masyarakat,
begitupun sebaliknya. Begitu juga dengan tingkat kualitas pelaksanaan
Pemilukada Kota Tasikmalaya, dimana respon masyarakat ini terkait erat
dengan tingkat kecerdasan politik masyarakat kota Tasikmalaya dalam
menyikapi Pemilukada, hal tersebut menjadi jawaban dasar berkualitas
atau tidaknya pelaksanaan Pemilukada.
Guna mencari data sehingga dicapai sebuah kesimpulan, peneliti menggunakan informan yang ditentukan (purposive sampling)[2],
yaitu dari beberapa kelompok masyarakat yang dianggap relevan dalam
mewarnai proses Pemilukada, diantaranya Ulama, etnis Tionghoa, dan
masyarakat yang diwakili oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah
yakni pedagang, supir angkutan dan tukang becak.
Respon Etnis Tionghoa
Sama halnya dibeberapa daerah, etnis
Tionghoa di Kota Tasikmalaya merupakan etnis minoritas, tetapi dibidang
ekonomi menjadi salah satu roda penggerak perekonomian besar yang
menggerakan sektor perdagangan dan jasa. Dari sisi jumlah, tentunya
etnis Tionghoa tidak bisa menjadi sumber daya politik yang bisa digiring
suaranya untuk mendukung salah satu calon, tetapi sumber daya politik
yang menyangkut finansial politik, tentunya dapat diperhitungkan untuk
mempengaruhi dinamika politik lokal di kota Tasikmalaya, mengingat
beberapa individu/kelompok pengusaha besar di kota Tasikmalaya dimiliki
oleh beberapa orang keturunan Tionghoa yang melebarkan sayap bisnisnya
dibeberapa proyek, yakni pusat perbelanjaan (Mall), pusat hiburan, perumahan dan grosir.
Isu-isu yang berkembang seputar adanya
dukungan keuangan dari beberapa pengusaha Tionghoa kepada beberapa
politisi atau calon kepala daerah di Kota Tasikmalaya memang sudah
menjadi rahasia umum bagi sebagaian masyarakat, hal tersebut juga
dibenarkan oleh Heriyanto salah satu pengusaha perumahan dari etnis
Tionghoa di Kota Tasikmalaya.
Adanya dukungan keuangan ini dalam
konteks politik, jelas menggambarkan bahwa adanya jalinan kepentingan
tertentu, kepentingan tersebut bisa kepentingan beberapa individu
dikalangan Tiongoa, atau kepentingan secara umum yang diinginkan oleh
seluruh etnis Tionghoa yang ada di kota Tasikmalaya. yang jelas etnis
tionghoa memiliki peranan politik yan sangat relevan untuk penelitian
dalam mencari jawaban atas respon masyarakat terhadap pelaksanaan
Pemilukada kota Tasikmalaya.
Menurut Heriyanto, kalangan Tionghoa
sebagian besar sudah tidak bisa apatis lagi terhadap kegiatan-kegiatan
Politik, apalagi diera otonomi daerah, karena mau tidak mau dalam era
ini mereka harus bisa mewarnai dinamika politik lokal karena disitulah
kepentingan mereka diakomodasikan ditingkat lokal, berbeda dengan pada
saat Orde baru. Bahkan menurutnya seringkali diadakan seminar yang
dipelopori oleh kalangan mereka sendiri, seminar tersebut menekankan
pentingnya partisipasi politik dan arahan untuk tidak Golput, Heriyanto
menjamin persentasenya 50% dari semua warga Tionghoa di kota Tasikmalaya
sudah mempunyai kesadaran politik yang tinggi dibanding pada saat Orde
Baru. Tetapi ada batasan-batasan tertentu dimana kalangan Tionghoa tidak
terlalu menonjolkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik, hanya sebatas
melaksanakan hak mereka untuk menentukan pilihan di TPS, termasuk pada
pemilihan Walikota Tasikmalaya sebelumnya tahun 2007. Kalaupun ada
kontak-kontak dengan elite-elite politik lokal itu dilakukan secara
sembunyi-sembunyi dan tidak terorganisir, artinya hanya beberapa
gelintir orang Tionghoa (individu) yang melakukan lobi dan dukungan
finansial untuk kepentingan ekonomi politik (jangka pendek), tetapi dia
menjamin bahwa hanya dengan segelintir orang yang melakukan lobi-lobi
politik, mereka bisa mewakili kepentingan warga Tionghoa secara
keseluruhan dan tidak hanya terfokus pada kepentingan ekonomi semata.
Menurut pandangannya, hal serupa juga
akan terjadi menjelang Pemilukada kota Tasikmalaya 2012 ini, yaitu hanya
segelintir orang Tionghoa yang akan melakukan kontak-kontak dengan
beberapa calon Walikota. Mereka kebanyakan pengusaha yang mewakili
kepentingan ekonomi, tetapi dia menjamin walaupun itu dilakukan oleh
beberapa orang, kepentingan warga Tionghoa secara keseluruhan bisa
tersampaikan.
Dari beberapa calon Walikota yang sudah
muncul dan populer, syarif, Budi Budiman dan Dede, Beberapa calon yang
memang intens membangun jaringan dengan warga Tionghoa ini adalah Syarif
dan Budi. Tetapi secara umum berkaca dari pelaksanaan Pemilukada kota
Tasikmalaya tahun 2007, tidak pernah ada satu calon pun yang datang
menyampaikan secara umum mengenai visi dan misinya kepada warga Tionghoa
ditingkat akar rumput, artinya pendekatan yang dilakukan oleh salah
calon hanya secara individu ditingkat elit.
Menurutnya, kehati-hatian warga tionghoa
di kota Tasikmalaya dalam melakukan aktifitas politik lebih didasarkan
pada stigma yang berbasis rasial, dimana masih ada jurang pembatas
berbasis etnis yang membenturkan antara masyarakat pribumi dan Tionghoa,
apalagi setelah terjadinya kerusuhan yang berujung pada permusuhan
etnis yakni pembakaran properti milik warga Tionghoa oleh masyarakat
pribumi pada tahun 1996 di kota Tasikmalaya. Ini artinya, ada ketakutan
bilamana mereka secara teranga-terangan melakukan aktifitas politik,
akan kembali menyulut stigma-stigma negatif terhadap warga Tionghoa dan
menyulut api permusushan, mengingat politik praktis yang tidak bisa
diprediksi, karena bukan tidak mungkin bilamana terlalu aktif dalam
politik, politisasi negatif terhadap warga Tionghoa akan terjadi sebagai
akibat manuver politik. Bahkan menurutnya, warga Tionghoa di kota
Tasikmalaya cenderung menghindari politik praktis secara langsung,
tetapi tidak lantas tidak memperjuangkan kepentingan mereka, kesadaran
politik tidak diartikan dengan sejauh mana terlibat dalam politik
praktis, tetapi sejauh mana mengakomodasikan kepentingan mereka dengan
berbagai pendekatan yang halus.
Dari beberapa pengumpulan data dan hasil
wawancara dengan beberapa kalangan Tionghoa, peneliti menyimpulkan
bahwa respon masyarakat Tionghoa terhadap pelaksanaan Pemilukada di Kota
Tasikmalaya terbagi menjadi tiga pertama apatis, sadar akan hak
politiknya dan yang terakhir adalah motivasi kepentingan ekonomi.
Apatis ditandai dengan menghindari
pembicaraan politik seputar Pemilukada dan tidak datang ke TPS pada
pelaksanaan Pemilukada. Yang kedua sadar akan hak politiknya, yaitu
ditandai dengan respek terhadap pembicaraan politik menjelang
Pemilukada, mengikuti perkembangan politik menjelang Pemilukada dan
datang ke TPS untuk menentukan pilihannya. Dan yang ketiga adalah
motivasi ekonomi, yaitu kalangan Tionghoa yang mempunyai kepentingan
ekonomi jangka pendek atau jangka panjang sehingga aktif melakukan
lobi-lobi bahkan mengucurkan pendanaan terhadap salah satu calon, dan
secara tidak langsung terlibat dalam mengkampanyelan calon tersebut
dikalangan Tionghoa lainnya. Tetapi jumlah masyarakat Tionghoa yang
apatis dan didominasi oleh kalangan remaja/muda sangat besar dibanding
dengan warga Tionghoa yang mempunyai harapan,( sadar politik) apalagi
dengan kalangan Tionghoa yang aktif melakukan lobi-lobi politik.
Menurut Heriyanto, sikap apatis ini
karena rasa minder sebagai warga minoritas, apalagi stigma negatif yang
memang tumbuh subur di kota Tasikmalaya ini terhadap warga keturunan,
menyebabkan hampir sebagian besar warga Tionghoa bersikap acuh tak acuh
menyikapi momen-momen politik. Karena menurut pendapat mereka siapapun
pemimpinnya, mereka tidak bisa menghilangkan stigma negatif kaum
minoritas dan sikap penuh diskriminatif ketika harus berhadapan dengan
birokrasi. Stigma bahwa orang Tionghoa adalah kaum berduit, menyebabkan
warga Tionghoa dijadikan sapi perah ketika harus berhadapan dengan
birokrasi, apalagi menyangkut masalah izin usaha.
Kemudian yang kedua sikap sadar politik.
sikap ini diakibatkan adanya rasa pengharapan akan nasib warga Tionghoa
ke depan. Ada sebagian warga Tionghoa yang masih menggantungkan
harapannya pada pemimpin masa depan. Tolok ukur perubahan itu adalah
mengenai calon pemimpin yang akan dekat dengan warga Tionghoa, tidak
dekat secara elit bermotif ekonomi politik, tapi dekat secara komunitas
yang mampu menghilangkan sekat atau stigma antara Tionghoa dan Pribumi,
mampu menghapuskan diskriminasi pelayanan birokrasi dan menghilangkan
bibit-bibit konflik Sara antara Tionghoa dan pribumi yang memang sangat
sensitif di kota Tasikmalaya ini.
Dan yang terakhir adalah motif ekonomi.
Dimana kelancaran menjalankan usaha dengan cara melakukan investasi
politik dan lobi terhadap calon yang akan bertarung pada Pemilukada kota
Tasikmalaya 2012. Kelancaran ini bisa diterjemahkan dengan mudahnya
mendapat izin, akses, bahkan kerjasama dan tender-tender atau
proyek-proyek tertentu.
Respon Ulama
Predikat Kota Tasikmalaya sebagai kota
santri dengan karakter religiusnya yang melekat dan ditandai dengan
berdirinya ribuan pesantren dengan tokoh-tokoh ulama kharismatik
merupakan kearifan lokal. Kearifan lokal ini menjadikan sosok ulama
sangat diperhitungkan dijagad politik kota Tasikmalaya. hampir setiap
perhelatan politik, termasuk pada Pemilukada 2007, setiap calon yang
akan bertarung beramai-ramai mendekati salah satu ulama kharismatik
untuk mencapatkan dukungan. Bahkan salah satu pondasi kuat kemenangan
Syarif Hidayat pada Pemilukada 2007 adalah para ulama. Beberapa pengamat
lokal pun seragam mengatakan bahwa setiap calon yang tidak bisa
menjalin jaringan dengan ulama pada Pemilukada 2012 mendatang akan
dipastikan tersingkir kalah.
Begitu kuatnya peran politik ulama
dalam ranah politik kota Tasikmalaya disebabkan karena isu-isu populis
yang paling diterima oleh sebagian besar pemilih rasional adalah isu-isu
seputar religiusitas dan nilai-nilai Islam, disamping itu jaringan
ketokohan ulama sangat kuat dan menguasai simpul-simpul massa sampai ke
pelosok-pelosok.
Ulama oleh para politisi yang akan
bertarung pada Pemilukada Kota Tasikmalaya 2007 dan 2012 mendatang
dijadikan sebuah simbol pencitraan kepada masyarakat. Citra diri yang
ingin dibentuk manakala calon tersebut menggandeng ulama adalah citra
yang religius dengan komitmen mengangkat nilai-nilai religius Islam.
Bahkan ada analisa yang berkembang dikalangan intelektual lokal kota
Tasikmalaya, kemenangan H. Syarif pada Pemilukada 2007 lalu adalah
janjinya bersama-sama dengan ulama akan membuat Peraturan Daerah
berbasis syariah, maka pada 2009 lalu lahirlah Peraturan Daerah nomor 12
tentang Tata Nilai. Bahkan ada ulama mengatakan bahwa Peraturan Daerah
tersebut hampir semuanya mengadopsi peraturan hukum kanun di Aceh.
Pemetaan peran ulama dan respon ulama
pada Pemilukada kota Tasikmalaya 2012 mendatang disampaikan oleh KH.
Mufti, dia adalah Sekretaris Eksekutif Majelis Ulama Indonesia Kota
Tasikmalaya. Dia mengatakan bahwa setiap kontestasi politik termasuk
Pemilukada, ulama akan selalu melibatkan diri dengan cara memberikan
dukungan kepada salah satu calon yang akan bertarung. Dari sisi
idealitas, komitmen ulama ketika melibatkan diri pada politik praktis
adalah dalam rangka memperjuangkan atau mengakomodasikan nilai-nilai
Islam ke dalam tataran kebijakan.
Pemetaan ulama yang disampaikan oleh
KH.Mufti, pertama, ulama kharismatik yang tidak memiliki jabatan
struktural di partai politik atau di organisasi politik yang memiliki
afiliasi pada kekuatan politik tertentu, kedua ulama kharismatik yang
memiliki jabatan struktural di partai politik atau di organisasi politik
yang memiliki afiliasi pada kekuatan politik tertentu, ketiga ulama
ditingkat akar rumput yang tidak memiliki jabatan struktural di partai
politik atau di organisasi politik yang memiliki afiliasi pada kekuatan
politik tertentu dan yang keempat adalah ulama akar rumput yang memiliki
jabatan struktural di partai politik atau di organisasi politik yang
memiliki afiliasi pada kekuatan politik tertentu.
Kelompok ulama pertama merupakan
kelompok ulama yang tergolong independen, tapi kemudian pada saat
menjelang Pemilukada akan menentukan dukungannya kepada salah satu calon
yang dipicu oleh faktor kedekatan, ideologi, komitmen. Dua cara
keterlibatan ulama adalah didekati atau mendekati.
Kelompok ulama yang kedua merupakan
kelompok ulama yang memang telah memiliki afiliasi politik tertentu,
jadi modal politiknya telah dibangun berdasarkan jaringan yang telah
terbentuk, entah di partai politik atau organisasi politik tertentu.
Walaupun pada kenyataannya berkaca pada Pemilukada 2007 berdasarkan
konstelasi politik yang terus berkembang dukungan ulama kelompok ini
tidak melulu berdasarkan jaringan partai politik atau organisasi politik
yang sudah dibangun, tapi dukungan itu berdasarkan pendekatan ketokohan
calon yang akan bertarung.
Kelompok ulama yang ketiga, sama halnya
dengan kelompok ulama yang pertama, mereka cenderung independen, tetapi
karena hirarkis jaringan ulama dari atas hingga ke akar rumput, akhirnya
ulama ditingkat akar rumput ini akan melibatkan diri untuk dukung
mendukung kepada salah satu calon. Tapi sebagian besar ulama akar rumput
ini tidak pernah melibatkan diri secara aktif dalam mendukung salah
satu calon, sifatnya hanya sekedar memfasilitasi calon dengan masyarakat
ketika calon tersebut melakukan safari politik ke daerahnya, karena
seperti biasanya bila salah satu calon ingin bersafari politik ke
pelosok daerah, orang pertama yang dikunjungi atau diminta memfasilitasi
adalah ulama.
Dan terakhir adalah kelompok ulama
keempat. Kelompok ulama ini sama halnya dengan kelompok ulama yang
kedua, mereka sudah memiliki afiliasi politik tertentu sehingga akan
mudah ditebak kepada siapa ulama itu memberikan dukungan. Tapi lagi-lagi
karena adanya perubahan dinamika politik yang ada, ulama ditingkat akar
rumput ini memberikan dukungan dengan bebas tanpa adanya keterikatan
dengan partai atau organiasai politik yang mempunyai afiliasi dengan
calon tertentu.
Dari pemetaan diatas, bisa disimpulkan
bahwa respon ulama menjelang Pemilukada 2012 sama halnya respon ulama
pada Pemilukada 2007, bahwa dalam seiap kontelasi politik dalam tataran
idealitas para ulama ingin memperjuangkan nilai-nilai religius, Tetapi
karena berbagai dinamika dan kepentingan-kepentingan politik tertentu,
tidak ada batasan yang jelas antara perjuangan mengakomodasikan
nilai-nilai religius dengan perjuangan mendapatkan kekuasaan.
Bahkan yang terjadi adalah pemanfaaan
instan kekuatan ulama. Sebagai indikasinya merujuk pada Pemilukada 2007,
ketika H. Syarif menang seolah komunikasi antara H. syarif sebagai
Walikota dengan ulama terputus, hal ini ditandai dengan menjamurnya
karaoke yang mendapat izin dari pemerintah yang menjadi kontroversi,
Dalam kasus ini kita bisa melihat bagaimana terputusnya komunikasi
politik dengan ulama.
Respon Sopir Angkutan Kota
Dalam penelitian ini, respon masyarakat
ditingkat akar rumput diwakili oleh sopir angkutan dan pedagang pasar.
untuk sopir angkot, peneliti memilih angkutan kota jurusan 09, karena
jurusan 09 ini miliki dua jalur Trayek, yaitu Trayek Kota dan Trayek
pasar. Secara sosial baik sopir angkot maupun pedagang pasar memiliki
keaktifan sosial yang tinggi karena setiap hari mereka berhubungan
dengan berbagai macam orang sebagai pengguna jasa angkutan dan pembeli.
Selain itu, sopir angkot dan pedagang pasar memiliki organisasi formal
seperti Organda dan Himpunan Pedagang Pasar. organisasi-organisasi
profesi ini secara formal tidak memiliki afiliasi politik tertentu,
tetapi merujuk pada Pemilukada Kota Tasikmalaya tahun 2007, organisasi
profesi sopir angkot dan pedagang pasar terlibat dalam hal dukung dukung
mendukung calon.
Ketua Jurusan Angkutan Kota 09 Ahdi
mengatakan, keterlibatan organisasi angkutan dalam Pemilukada Kota
Tasikmalaya 2007 khususnya jalur 09 ada dua cara. Pertama, ketika tokoh kunci atau orang yang dianggap tokoh, sesepuh jalur didekati oleh orang dari tim sukses pasangan calon. Kedua,
ada beberapa pengurus, tokoh, sesepuh atau bahkan sopir memang sudah
sejak lama menjadi simpatisan partai tertentu kemudian masing-masing
memberi pengaruh kepada sopir yang lain. Pengaruh bisa secara lisan atau
dengan pemberian yang sifatnya materi seperti kaos, jaket dan amplop.
Bahkan dalam dukung mendukung ini sering kali terjadi konflik dalam satu
jurusan angkutan, karena dalam satu jurusan terdapat beberapa tokoh
atau sopir yang berbeda dalam memberikan dukungan, tidak terpaku pada
salah satu calon saja. Menurut prediksinya, pada Pemilukada Kota
Tasikmalaya 2012 mendatang, cara-cara seperti ini pasti akan terjadi.
Dari hasil pengamatannya, organisasi
angkutan yang mewakili seluruh sopir tidak pernah memiliki agenda
politik yang jelas dalam kaitannya dukung mendukung calon, yang ada
hanyalah kepentingan pragmatis yang sifatnya jangka pendek. Mereka
rata-rata tidak mengetahui apa makna dan esensi yang bisa dijadikan alat
perjuangan dalam rangka mengakomodasikan kepentingan mereka yang
berprofesi sebagai sopir. Bagi kebanyakan sopir, yang penting mereka
mendapatkan kaos, jaket, kalender dan amplop, mereka akan mudah
memberikan dukungan. Termasuk dalam menyikapi Pemilukada Kota
Tasikmalaya tahun 2012.
Gambaran akan nasib mereka kedepan agar
lebih baik rata-rata dapat dipahami oleh para sopir Angkutan Umum, dan
mereka sangat menyadari bagaimana pentingnya memilih pemimpin yang baik
yang erat kaitannya dengan harapan akan masa depan mereka. Artinya
secara ekonomi mereka mempunyai harapan agar hasil Pemilukada ini bisa
merubah nasib mereka dengan menghasilkan pemimpin yang baik. Tetapi
keyakinan ini tidak bisa bertahan manakala mereka diiming-imingi oleh
kaos, jaket, kalender dan amplop, karena para sopir Angkot ini merasa
pesimis bahkan apatis bahwa Pemilukada Kota Tasikmalaya 2012 bisa
menghasilkan pemimpin yang berkualitas yang bisa memberikan perubahan
ekonomi dan berpihak pada sopir angkot, sehingga prinsip mereka dalam
memilih adalah “Kahartos, karaos”. Istilah dalam bahasa Sunda
ini menggambarkan bahwa begitu pragmatisnya pendekatan mereka dalam
menentukan dukungan atau pilihan. Dukungan mereka hanya dinilai dengan
hal yang sifatnya materi-kebendaaan yang sifatnya jangka pendek.
Disamping itu juga kenapa para sopir
Angkot ini menggunakan pendekatan pragmatis disamping rasa pesimis dan
apatis, yaitu keterbatasan mereka dalam mengakses informasi seputar
profil calon, Parti Politik yang mengusungnya, landasan ideologinya
termasuk Visi-Misi masing-masing calon, sehingga mereka tidak bisa
memetakan secara rasional kemana mereka akan mendukung atau menentukan
pilihan. Mereka selama ini mengenal calon yang memang sudah familiar,
seperti tokoh atau orang yang dianggap sebagai orang terpandang yang
memang selama ini sudah banyak diekspos oleh media lokal seperti H. Budi
Budiman dan H. Dede sudrajat. Ditambah secara visualisasi mereka bisa
melihat baligho-baligho calon yang sudah terpasang.
Respon Pedagang Pasar
Sama halnya dengan
sopir Angkot, pedagang pasar juga memiliki organisasi, Himpunan Pedagang
Pasar, dan kecenderungannya juga sama organisasi tersebut akan
melibatkan diri dengan mendukung salah satu calon. Peneliti mewawancari 3
pedagang pasar yang mewakili pedagang pasar Pancasila, Pasar Rel dan
Pasar Cikurubuk. Dari hasil wawancara dengan keempat pedagang tersebut,
para pedagang pasar masih menanggapi dingin, disamping belum ada
sosialiasai yang memadai tentang pelaksanaan Pemilukada, mereka juga
cenderung tidak memiliki informasi yang memadai seputar Pemilukada Kota,
hampir semua pedagang pasar tidak mengetahui kapan Pemilukada akan
dilaksanakan, dan dari semua bakal calon yang ada, rata-rata mereka
hanya tahu tiga tokoh yang akan bertarung yang memang tokoh-tokoh lama,
yaitu H. Budi Budiman, H. Dede Sudrajat dan H. Syarif Hidayat.
Hampir semua pedagang pasar memiliki
rasa pesimistis, bahwa Pemilukada Kota Tasikmalaya 2012, sama halnya
dengan Pemilukada Kota Tasikmalaya 2007 tidak akan memberikan pengaruh
apa-apa bagi kehidupan para pedagang pasar. menutrut istilah mereka,
mereka seperti mendorong mobil mogok, setelah mobil itu melaju, yang
mendorong malah ditinggalkan.
Dari wawancara mendalam, peneliti
menyimpulkan bahwa kesadaran politik cukup tinggi. Indikatornya adalah
mereka mengetahui esensi dari pada proses pergantian pemimpin politik
lewat Pemilukada, yakni Pemilukada adalah proses mecari pemimpin yang
ideal dimana eksesnya bisa merubah kondisi masyarakat kedalam kehidupan
yang lebih baik. Tapi kesadaran tersebut diikuti dengan perasaan
pesimistis.
Penutup
Respon masyarakat yang diwakili oleh
masyarakat Tonghoa, Ulama, sopir Angkot dan pedagang pasar, dalam
penelitian mengindikasikan beberapa klasifikasi dan deskripsi yang
berbeda. Namun demikian, hasil penelitian ini, semua deskripsi dan
klasifikasi dapat disatukan sehingga menjadi sebuah deskripsi yang
dapat diterjemahkan menjadi satu kesimpulan.
Untuk masyarakat Tionghoa, dalam
penelitian dimulai dengan keterkaitan beberapa individu dan kelompok
yang melakukan pendekatan di tingkat elit. Relasi ini menunjukan bahwa
pada tingkatan elit (politisi dan Tionghoa), membangun jaringan politik
dengan calon yang akan bertarung pada Pemilukada Kota Tasikmalaya.
jaringan ini terjalin dengan tujuan terciptanya relasi ekonomi politik
yang masing-masing pihak memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Dan
ini bisa merepresentasikan kepentingan-kepentingan seluruh masyarakat
(akar rumput) Tionghoa yang ada di Kota Tasikmalaya, walaupun dari segi
kuantitas tidak begitu diperhatikan sebagai sumber daya politik
(dukungan massa/suara), tapi secara keseluruhan dan sebagai gambaran
respons di tataran akar rumput, responnya 50 persen dari keseluruhan
masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Tasikmalaya sudah memiliki
kesadaran politik. Artinya respons akar rumput masyarakat Tionghoa
cenderung meningkat dalam menyikapi Pemilukada Kota Tasikmalaya 2012.
Ulama memiliki ikatan yang komplek dalam
struktur sosial politik Kota Tasikmalaya. Dalam penelitian ini
terlihat, segelintir elit/tokoh ulama, dari sisi idealitas dijadikan
jalan untuk mengakomodasikan nilai-nilai Islam sebagai legitimasi dalam
membangun jaringan dengan beberapa calon yang akan bersaing pada
Pemilukada Kota Tasikmalaya 2012. Artinya, dukung mendukung yang
dilakukan oleh Ulama selalu dilandasi legitimasi religiusitas, begitu
juga dalam tataran akar rumput. Ulama memiliki ikatan kharismatik dengan
pendukungnya, hal ini dimanfaatkan (relasi Ulama dan politisi/calon)
sebagai jalan meraih dukungan.
Sopir Angkot dan para pedagang pasar
memiliki kesadaran bahwa Pemilukada Kota Tasikmalaya 2012 merupakan
proses memilih calon pemimpin yang betul-betul bisa berjuang untuk
kepentingan masyarakat. Tapi keyakinan ini ditutupi dengan perasaan
pesimis dan apatis. Mereka berkaca pada perhelatan-perhelatan politik
termasuk Pemilukada Tahun 2007, bahwa setiap pergantian pemimpin tidak
memberikan perubahan yang baik, khususunya bagi kehidupan mereka.
Walapun komunitas-komunitas mereka sering dimanfaatkan sebagai sumber
daya dalam melakukan dukung mendukung lewat organisasi-organisasi
profesi yang mereka miliki, mereka tidak pernah memiliki tujuan politik
yang jelas, atau tidak memiliki kontrak politik yang jelas yang bisa
mengakomodasikan kepentingan mereka, tapi hanya pendekatan jangka pendek
yang sifatnya pragmatis.
Penelitian purposive ini dilakukan di Kota Tasikmalaya, dari bulan November s.d. Maret 2012.
Sumber Gambar :
[1] Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
[2] metode purposive sampling,
yaitu peneliti memilih secara hati-hati unsur yang dianggap khusus
(informan) dari suatu populasi tempat mencari informasi. Informan yang
dipilih adalah yang mengetahui masalah secara mendalam dan dapat
dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap (Moleong, Lexi J, 1989).
Salam Kenal sobat...
ReplyDeletePilkada Kota Tasikmalaya sudah riuh rendah oleh tawar-menawar politik antar elit yang bertarung
ReplyDeleteHoree tasik akan memulai langkah menjadi semakin baik..
ReplyDelete