Belajar dari Kearifan Kampung Naga (Bagian Kedua)

Oleh: Rino Sundawa Putra

Setelah penulis tercerahkan oleh pandangan masyarakat Kampung Naga mengenai apa itu alam dan apa itu budaya, pelajaran kedua yang penulis dapatkan dari Kampung Naga adalah tentang modernisasi. Apa itu modernisasi dan bagaimana masyarakat Naga memandang modernisasi dalam konteks pengaruhnya terhadap kearifan lokal setempat?. Karena modernisasi membawa sebuah tatanan, pola hidup dan budaya baru, jelas mau tidak mau, suka atau tidak suka pengaruh modernisasi perlahan-lahan akan merubah budaya lama, termasuk budaya yang telah berabad-abad silam diwariskan oleh para leluhur Kampung Naga.

Ketika penulis memaparkan pertanyaan tentang pengaruh modernisasi, jawaban awal dari ketua adat adalah “kami lebih bangga ketika kami dikatakan kampungan dan ortodoks”. Sebuah jawaban yang singkat tetapi penuh dengan perenungan, dan memiliki nilai filosofis yang sangat dalam. Bagi masyarakat Kampung Naga, definisi modernisasi harus jelas dulu arahnya, apakah modern dalam pola pikir, modern dalam prilaku, bahasa atau modern dalam penampilan?. Kecenderungan sekarang ketika orang memahami modern itu hanya sebatas gaya hidup dan hidup gaya. Makna modernisasi dipersempit  sekali dengan sebuah tampilan luar yang seolah-olah modern  padahal miskin akan makna dan jati diri.

Dalam menyikapi arus modernisasi, masyarakat Kampung Naga selalu berpegang pada prinsip “kembali pada jati diri” (Back to basic), artinya masyarakat Kampung Naga tidak akan menutup diri terhadap perkembangan zaman yang terus berubah, karena perubahan itu sifatnya adalah fitrah. Akan tetapi dalam menerima modernisasi harus ada filter dan ada semacam aturan teritori yang berlaku untuk menempatkan wilayah mana yang membolehkan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan modernisasi, wilayah mana yang tidak boleh. Ketika Kampung Naga secara teritori memiliki norma-norma adat sebagai upaya memegang teguh warisan budaya, maka norma-norma tersebut tidak boleh dilanggar walaupun dengan klaim pembangunan atau perkembangan zaman yang terkesan rasional, tapi secara norma-norma budaya yang berlaku dalam lingkungan adat masyarakat Naga itu tidak ada artinya, itu akan ditolak. Oleh karena itu prinsip ‘Kembali pada jati diri” adalah upaya sebagai filter dalam menerima modernisasi secara teritori. Sebagai contoh, mayoritas warga Kampung Naga kurang lebih 98 persen tinggal atau berada diluar wilayah adat, menikah dengan orang luar atau menggeluti berbagai macam profesi, tentunya sudah terbiasa dengan pola hidup modern. Tapi ketika mereka yang berada diluar kembali ke Kampung Naga, maka lepas segala atribut, simbol-simbol dan kebiasan-kebiasan diluar, kembali pada jati diri (mulang ka asal), berbaur dan menyatu dengan norma-norma adat yang berlaku sebagaimana dulu. Itulah sebagian upaya masyarakat Naga dalam memegang teguh dan melestarikan warisan leluhurnya dari arus modernisasi.

Pada akhir pembicaraan tentang makna modernisasi dengan ketua adat, penulis kemudian bertanya tentang penolakan masyarakat Naga pada listrik, karena sebelumnya pemerintah telah dua kali menawarkan program listrik gratis untuk masyarakat Naga dengan membangun jaringan listrik Surya Cell, akan tetapi itu ditolak. Sama seperti halnya jawaban yang pertama mengenai pengaruh modernisasi, ketua adat menjawab dengan singkat tetapi masih memiliki makna dan perenungan yang dalam, “bila ada listrik kami tidak bisa menikmati bulan purnama”. Tidak ada penjelasan lanjutan tentang jawaban itu, tapi penulis bisa menterjemahkannya. Mungkin kalimat tersebut mengandung makna bahwa masyarakat adat sudah terbiasa dan merasa sangat nyaman dengan pola hidup yang sangat sederhana yang berbaur dengan alam, dan jati diri atau suasana tersebut tidak boleh “dirusak” dengan hal baru yang bukan tidak mungkin akan merubah pola hidup lama, dan masyarakat Naga tidak ingin ciri khas dan kearifan lokalnya hilang. Masyarakat Naga ingin menghargai alam sebagai anugerah kehidupan, dan dalam hal ini masyarakat adat ingin selamanya menghargai bulan purnama sebagai satu-satunya penerang malam.

Itulah masyarakat adat, yang lahir dari sebuah orisinalitas kehidupan yang menyatu dengan alam, masyarakat adat Kampung Naga tidak boleh dipaksa untuk bisa menerima pembangunan dalam frame modernisasi sekalipun itu dalam pandangan atau program pemerintah sebagai upaya untuk memajukan daerah setempat. Masyarakat adat tumbuh dan berkembang juga berupaya mempertahankan warisan budaya berdasarkan pola hidup yang apa adanya, itulah kearifan lokal yang harus kita hargai dan pelihara sebagai sebuah kekayaan budaya bangsa.

Sayangnya, penulis tidak bisa melacak lebih jauh asal-usul komunitas adat Kampung Naga ini, karena tidak adanya peninggalan berupa prasasti atau bukti-bukti tertulis tentang asal-usul Kampung Naga, karena seperti yang dituturkan oleh ketua adat pada tahun 1956 semua benda sejarah termasuk bukti tertulis yang dibuat dalam daun lontar dibakar oleh gerakan separatis DI/TII, sehingga ketua adat mengatakan bahwa masyarakat adat Kampung Naga “pareumeun obor” ketika harus menjelaskan asal-usul Kampung Naga.

Dalam hal ini, masyarakat adat Kampung Naga akan secara terbuka menerima beberapa versi sejarah tentang asal-usul masyarakat Naga, termasuk salah satu versi yang menuliskan bahwa masyarakat Naga berasal dari prajurit Sultan agung yang kalah perang ketika melawan tentara penjajah di Batavia. Tetapi yang jelas, penulis berkeyakinan bahwa Kampung Naga berdiri sebelum Islam (Abad 14) masuk ke beberapa wilayah di Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan adanya tempat Pangsolatan yang diyakini sebagai tempat sholat pertama bagi masyarakat Naga ketika sudah memeluk Islam. Dari jejak ini bisa disimpulkan bahwa masyarakat Naga sebelumnya adalah masyarakat yang masih memeluk agama kepercayaan leluhur (animisme), sebelum Islam datang pada abad 14, artinya bahwa Kampung Naga jauh lebih tua dari kehadiran Islam di Nusantara dan lebih tua dari bangsa Indonesia.

Itulah pelajaran kedua penulis tentang makna modernisme dan bagaimana kita menyikapi arus modernisasi yang sangat gencar. Romantisme perenungan diri bersama nilai-nilai budaya masyarakat Naga ini, membawa saya pada masa lalu, masa lalu yang tidak terjamah dengan kebudayaan baru berwujud modernisasi yang materialis dan konsumtif. (*/Tamat).

Penulis adalah dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.

1 komentar:

  1. Kampung yang cukup unik untuk di teliti tuh,, nice post :D .. jng lp mampir bang

    ReplyDelete