Belajar dari Kampung Naga

Oleh:
Rino Sundawa Putra

Setelah sebelumnya pernah menulis tentang keindahan alamnya, penulis kembali tertarik akan eksotisme komunitas adat Kampung Naga. Ketika beberapa rekan kerja berencana mengunjungi Kampung Naga dalam rangka melakukan penelitian mengenai kepemimpinan adat, tanpa diminta saya menawarkan diri untuk ikut dalam kerja penelitian tersebut. Bila teman-teman saya tertarik dan ingin melakukan penelitian tentang struktur kepemimpinan adat, saya malah tertarik dengan filosofi budaya masyarakat adat Kampung Naga. 

Bagi penulis, sama halnya dengan filosofi budaya masyarakat adat yang lain seperti Kampung Kuta di Ciamis dan Baduy di Banten, filosofi budaya tersebut selalu melahirkan pranta-pranata dan aturan-aturan sosial yang membentuk pola kehidupan masyarakat adat setempat. Tapi yang menjadi perhatian penulis adalah sejauh mana filosofi budaya dan nilai-nilai budaya yang membentuk pola hidup masyarakat adat Kampung Naga untuk bisa bertahan ditengah gempuran budaya modernisasi, dan sejauh mana mereka bisa beradaptasi dengan modernisasi itu?. Akankah generasi selanjutnya bisa memegang teguh warisan budaya dari nenek moyangnya?.

Kampung Naga menjadi berbeda dengan komunitas-komunitas adat yang lain adalah karena letaknya yang tidak jauh dari pusat kota, yakni di Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Kurang lebih 10 Km dari pusat pemerintahan dan daerah perdagangan di Singaparna, itu pun dengan sarana jalan dan sarana transportasi yang cukup memadai. Bila kaitannya dengan pengaruh modernisasi, tentu faktor geografis menjadi kaitan erat, karena menyangkut mobilitas dan kemudahan untuk mengakses segala informasi dan keadaan yang terjadi diluar komunitas adat. Coba kita bandingkan dengan Kampung Kuta di Ciamis atau komunitas adat Baduy yang letaknya sangat jauh terpencil dari pusat keramaian, bahkan untuk komunitas adat Baduy, antara Baduy luar yang sudah terbuka dengan modernisasi dan Baduy dalam yang masih memegang teguh adat-adat dan sangat tertutup untuk menerima hal baru diluar pranata budayanya, jarak yang harus ditempuh dengan berjalan kaki bisa mencapai puluhan kilometer, itupun dengan medan yang tidak mulus. Jelas aspek geografis ini menjadi faktor penting seberapa besar pengaruh modernitas ini bisa menjamah masyarakat adat.

Definisi Budaya Menurut Masyarakat Naga
Cakrawala pengetahuan penulis menjadi lebih luas ketika berbincang dengan ketua adat Kampung Naga Bapak Ade Suherlin tentang filosofi budaya masyarakat Kampung Naga. Sebelum lebih jauh menjelaskan filosofi budaya masyarakat Naga, ketua adat terlebih dahulu menjelaskan tentang peran lembaga adat. Lembaga adat merupakan struktur adat yang tugasnya adalah mempertahankan warisan leluhur tentang pola hidup masyarakat adat Kampung Naga. Untuk mempertahankan warisan budaya tentunya masyarakat Kampung Naga harus bisa hidup dengan makan dan minum. Artinya kebutuhan sandang, pangan dan papan bisa terpenuhi. Untuk bisa hidup masyarakat Naga harus bisa mengolah alam, dalam mengolah alam inilah, diperlukan sebuah prinsip tentang bagaimana mengolahnya.

Masyarakat Kampung Naga memiliki warisan prinsip, warisan prinsip itu adalah bagaimana mengelola alam atau bagaimana hidup bersama alam, bukan hidup di alam. Untuk memulai hidup bersama alam, masyarakat Kampung Naga harus paham betul apa itu alam, alam bukan objek tapi alam adalah subjek yang sama-sama mendiami bumi. Artinya alam bukanlah tersedia untuk di eksploitasi secara besar-besaran, alam ada karena ingin berbagi kehidupan dengan manusia, artinya manusia ingin hidup dari alam, begitupun sebaliknya, alam ingin hidup dari manusia disinilah letak ketergantungan antara satu dengan yang lain (mutualisme). Jika kita ingin mengelola alam, maka bersahabatlah dengan alam, dengan cara ngarawat, ngarumat. Itulah apa yang dikatakan ketua adat tentang filosofi budaya mereka dalam mengelola alam untuk hidup, Karena alam bisa mewarisakan air mata (bencana) bila serampangan dalam mengelolanya dan juga mata air bila bijak dalam mengelolanya. Dari Filosofi ini, maka penulis menjadi tahu jawabannya mengapa alam disekitar kampung Naga bergitu indah, asri, hijau termasuk lahan sawah, kebun garapan dan hutan disekelilingnya tampak begitu hijau. Tidak Nampak longsoran tanah atau tanaman layu.

Ada sebuah legitimasi kata yang tidak tertulis mengenai larangan-larangan di komunitas Kampung Naga yang secara turun temurun dipahami dan dipatuhi sebagai kesadaran sosial yang tulus, tanpa ancaman dan tanpa sanksi tertulis. Legitimasi kata larangan tersebut mengandung makna sebagai sesuatu hal yang punya sifat tabu dan sifat magis yang tidak boleh dipertanyakan. Kata tersebut adalah pamali. Pamali ini mengandung makna kata melarang sekaligus makna sanksi yang tidak bisa diukur batasannya. Kecap (ungkapan) pamali ini menjadi rambu-rambu dalam mengelola alam. Seperti halnya pamali  masuk atau menebang pohon di hutan keramat, pamali menebang pohon-pohon tertentu atau pamali menebang pohon secara sembarangan. Bagi penulis, keyakinan yang lahir dari budaya inilah yang kemudian menjadi cara masyarakat adat Kampung Naga dalam menjaga alam.

Kaitannya dengan definisi adat budaya, ketua adat menjelaskan bahwa telah terjadi kesalahan dalam menafsirkan apa itu budaya baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Sekarang ini makna budaya dipersempit dengan hanya meng-identikannya dengan pariwisata atau dalam arti yang lebih lugas budaya telah dijadikan tontonan (hiburan), padahal budaya adalah sebuah tuntunan dan identik dengan pendidikan, karena budaya mengandung nilai edukasi, falsafah  dan seni tentang semua aspek kehidupan sosial masyarakat dan tatanan hidup. Nilai edukasi itu terletak pada bagaimana budaya bisa melahirkan norma-norma, bagaimana kita berucap, berprilaku, bersikap dan ber-etika baik itu dengan sesama manusia, alam dan Tuhan.

Dari apa yang diuraikan oleh ketua adat, penulis akhirnya bisa menemukan jawaban kenapa dalam Buku Tamu kunjungan yang tersedia didepan ruang pertemuan adat, baik itu Buku Tamu untuk pengunjung domestik maupun asing, dalam kolom Tujuan lebih banyak diisi dengan Holiday, Honey Moon atau Traveling, hanya beberapa saja yang tertulis untuk Penelitian atau Observasi, baik itu untuk keperluan jurnalistik ataupun studi dari lokal ataupun internasional. Sama halnya dengan komunitas-komunitas adat yang lain, Kampung Naga juga hanya sebatas menjadi objek foto-foto para pengunjung, tanpa mau menelisik lebih lanjut atau belajar dari kearifan lokal setempat. Ini yang kemudian dikatakan oleh ketua adat bahwa Budaya kini hanya menjadi tontonan  untuk mendongkrak  pendapat daerah atau pendapatan Negara bukan tuntunan. Budaya telah menjadi komoditas ekonomi bagi sektor pariwisata.

Itulah pelajaran pertama mengenai alam dan definisi budaya dari Kampung Naga yang penulis dapatkan dari kunjungan kedua. Dari kesederhanaannya dan kearifannya penulis belajar banyak tentang kehidupan, tentang nilai-nilai dan falsafah kehidupan. Kampung Naga mengajarkan penulis tentang nilai kesederhanaan yang ternyata membuat hidup kita penuh syukur. Penulis “jatuh cinta” pada Kampung Naga. (*/Bersambung).

Rino Sundawa Putra, dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.

0 komentar:

Post a Comment