Pilkada dan Ancaman Golput

Oleh : Mohammad Ali Andrias, S.IP, M.Si

A. Pendahuluan
Setelah melewati masa-masa sulit untuk mengembangkan diri, kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta melakukan partisipasi politik pada era Orde Baru, kedewasaan politik rakyat Indonesia kembali diuji melalui pemilu. Setelah pemilu 1999, yang dianggap sejajar kualitasnya dengan pemilu 1955, kembali di beri pelajaran untuk berdemokrasi lewat model pemilu legislatif dan pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004, dan pemilu 2oo9 yang baru  digelar pada setahun yang lalu. Serentetan peristiwa tersebut secara de facto and de jure telah memberi pelajaran penting untuk pengembangan demokratisasi di Indonesia.

Masih hangat dalam ingatan kita, rakyat di pelosok negeri telah menggelar hajatan politik yang tidak kalah meriahnya di banding hajatan sebelumnya, yakni guna memilih dan menentukkan pasangan kepala daerah. Dalam Undang-Undang (UU) tentang Pemerintah Daerah No 32 tahun 2004, pelaksanaan model pemilihan langsung guna jabatan kepala daerah, telah diamanatkan.

Dengan model pemilihan langsung, rakyat dapat “merdeka” menentukan siapa pemimpun daerahnya dan memiliki kedaulatan penuh untuk mengekspresikan hak-hak politiknya. Kekuasaan rakyat tidak lagi dimanipulasi oleh para anggota DPRD seperti model pemilihan sebelumnya. Esensinya adalah untuk membuat masyarakat dapat lebih mengenal figur, visi dan misinya ke depan untuk kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, para calon pemimpin di daerah haruslah muncul dari orang yang sudah sangat mengenal daerahnya dan masyarakatnya, serta mempunyai integritas tinggi. Dari 224 daerah yang sudah menggelar pemilu, ada 11 provinsi yang sudah menggelar pemilihan gubernur dan wakilnya, 178 kabupaten yang sudah memilih bupati dan wakilnya, dan ada 35 kota yang sudah memilih walikota dan wakilnya. Karena itulah sepanjang tahun 2005 hingga 2010 ini, bisa dihitung rata-rata dalam selang tiga hari ada dua pemilihan kepala daerah (Bambang Purwoko,2005:4).

Paradigma pilkada langsung yang menempatkan rakyat sebagai “raja” dalam prosesnya telah menghadirkan analisis yang menarik tentang prospek demokratisasi di tingkat lokal. Di satu sisi diharapkan aspek-aspek positif muncul, seperti  partisipasi masyarakat, kebebasan memilih, akuntabilitas pemerintahan, dan lain-lain. Namun di sisi lain ada aspek negatif yang sangat sulit dihindarkan seperti permainan politik uang, konflik dan kekerasan politik, peran elit yang terlalu dominan untuk mempengaruhi pilihan masyarakat.

Dalam hal ini, kembali rakyat menjadi titik sentral, di samping aturan dan elit lokal yang bermain. Ada kekhawatiran bahwa hanya demi kepentingan politik suatu kelompok untuk menguasai posisi-posisi kepala daerah, rakyat yang seharusnya berdaulat untuk memilih kepala daerahnya lalu menjadi korban demokrasi. Selain tidak menghargai suara rakyat, hal itu juga mengancam keselamatan masyarakat dari kampanye politik hitam. Akhirnya bukannya partisipasi politik, namun mobilisasi politik.

Namun demikian jangan mengabaikan kehidupan politik masyarakat Indonesia selama 10 tahun terakhir ini begitu dinamis, sulit diprediksi dan menjadi tantangan sendiri bagi politisi partai politik untuk mendapatkan dukungan dari pemilih yang semakin rasional dan cerdas terhadap pilihan politiknya. Kemunculan golongan putih (golput) pasca reformasi justru semakin tidak terkendali dan sulit ditekan menjelang perhelatan pesta demokrasi (Pemilu).Apa alasannya, hingga cara untuk menekan angka golput, selalu menarik untuk diperbincangkan.

Golput lagi…! inilah alarm politik yang perlu diseriusi bersama khususnya bagi penyelenggara Pemilu dan kontestan. Pasalnya kehadiran golput seakan ada dan tiada. Ada karena riset-riset  politik menunjukan peningkatan jumlah secara siginifikan dan tiada karena golput belum mendapatkan perhatian serius dari para kandidat, tim sukses dan manajer kampanye. Jika demikian halnya akankan golput akan menganggu ‘stabilitas’ perpolitikan ditanah air dimasa-masa mendatang, seperti apa postur dan eksistensi mereka.? Tulisan ini mencoba menelaah sisi keunikan golput dengan dinamikanya.

Golput dalam terminologi ilmu politik seringkali disebut dengan non-voter. Terminologi ini menunjukan besaran angka yang dihasilkan dari event pemilu diluar voter turn out. Louis Desipio, Natalie Masuoka dan Christopher Stout (2007) mengkategorikan Non–Voter tersebut  menjadi tiga ketegori yakni ; (a) Registered Not Voted ; yaitu kalangan warga negara yang memiliki hak pilih dan telah terdaftar namun tidak menggunakan hak pilih, (b) Citizen not Registered ; yaitu kalangan warga negara yang memiliki hak pilih namun tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak pilih dan (c) Non Citizen ; mereka yang dianggap bukan warga negara (penduduk suatu daerah) sehingga  tidak memiliki hak pilih. Arbi Sanit (1992)  mengidentifikasi bahwa golput adalah mereka secara sadar yang tidak puas dengan keadaan sekarang, karena aturan main demokrasi diinjak-injak partai politik dan juga tidak berfungsinya lembaga demokrasi (parpol) sebagaimana kehendak rakyat dalam sistem demokrasi.

Golput muncul dalam pemilu 1971. Pada era Presiden Soeharto, golput menyatakan protes terhadap tirani kekuasaan dan Pemilu yang  selalu dimanipulasi. Bagi Rezim Orde baru golput adalah virus ganas yang harus dihadang. Golput bahkan dikategorikan sebagai bagian dari tindakan makar, padahal tidak ada aturan konstitusi atau undang-undang (UU) yang menyatakan memilih  sebagai kewajiban. Gerakan perjuangan golput dimasa pemilu 1971 disimbolkan dengan gerakan segi lima kekosongan yang diusung oleh Arif Budiman cs.

Di era demokrasi yang semakin terbuka (pemilu 1999 dan 2004) golput mengalami pergeseran dan orientasi yang semakin terbuka pula. Sikap golput pada periode ini misalnya ditunjukan oleh Gusdur ketika di ‘zhalimi’ oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena alasan kesehatan tidak dapat mencalonkan menjadi Presiden RI atau sikap yang dilontarkan oleh sejumlah ormas Islam yang tergabung dalam Ukhuwah (Hidayatullah, Persis, Dewan Mesjid Indonesia, Al Irsyad, Wanita Islam, Persatuan Pelajar Islam, Kahmi, dan Majelis Dakwah) yang tidak akan ikut Pemilihan Presiden putaran ke-2. Saat ini golput  sudah merambah pada suksesi politik lokal (pilkada). Golput telah terdesentralisasi seiring dengan desentralisasi politik yang digulirkan awal tahun 2005.

Di era pemerintahan orde baru kehadiran golput dianggap sebagai ancaman. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah mobilisasi pemilih untuk mendatangi TPS, tak jarang intimidasi dan kekerasan mewarnai setiap pemilu ke pemilu. Dibawah kekuasaan yang otoriter, sikap golput sangat dihindari karena itu sebuah pembangkangan politik dan subversif. Sejak Pemilu 1955 hingga ke Pemilu 1999 presentase golput tidak pernah menyentuh angka sepuluh persen.  Melorotnya persentase pemilih yang menggunakan hak suaranya terjadi pada pemilu 2004 dan Pilpres.  Ironisnya titik penurunan itu terjadi saat demokrasi dan kebebasan sangat terbuka lebar. Pada Pemilu 1999, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput, naik menjadi 7,2 persen dibandingkan Pemilu 1997 yang hanya 6,4 persen saja. Puncak penurunan partisipasi itu terjadi saat Pemilu 2004 lalu. Dalam tiga rangakaian pemilu yang diselenggarakan secara berurutan kala itu, sebanyak 16 persen dari pemilih terdaftar tidak menyumbangkan suaranya untuk pemilu legislatif. Kemudian, angka ini mengalami kenaikan menjadi 21,77 persen pada saat pilpres putaran pertama. Pada akhirnya, angka ini kembali mengalami kenaikan pada saat pilpres putaran kedua menjadi 23,37 persen.

Lalu mengapa orang tidak memilih.? Secara teoretis yang dapat menjelaskan hal ini yaitu melalui pendekatan teori-teori perilaku pemilih (voter behavior) dan pemahaman sistem kepartaian yang berlaku. Jika penelusuran kita menelisik pada sudut pandang perilaku pemilih maka terdapat beberapa teori besar yang membantu kita mendapatkan jawaban mengapa orang tidak memilih. Teori tersebut  diantaranya teori sosiologis, teori psikologik,  teori ekonomi-politik dan teori struktur. Teori sosial memberi gambaran bagi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dari status sosial, teori psikologik memberi penjelasan bahwa kedekatan seseorang dengan partai dan kandidat akan mempengaruhi pilihan-pilihan politiknya sedangkan teori ekonomi politik memberi penjelas bahwa golput dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan secara rasional. Adapun teori struktur merupakan  bagian di luar perilaku pemilih yang berhubungan dengan struktur dan sistem politik yang berlaku. Teori-teori ini cukup memberikan informasi secara ilmiah tentang tipologi dan karakteristik Golput.

Satu grup terdaftar di Facebook, jejaring sosial populer itu, dengan nama “Pemilu Hanya Mengotori Jarimu dengan Tinta yang tak Hilang Seminggu”. Di bagian deskripsi grup, tercantum tulisan yang menyatakan bahwa, “Pemilu juga mengotori pohon, tiang listrik, jembatan, dinding dan tempat lain, dengan gambar wajah mereka yang menjajah ruang pandang. Poster dan banner yang dari Aceh sampai Papua desainnya sama, seperti sama pula isi kepala mereka tentang kekuasaan”. Grup yang telah menghimpun anggota, mengkritisi juga bagaimana para calon pemimpin yang ada nampak berusaha keras menggaet konstituen. Lebih lanjut, di badan pesan tertulis, “Ada yang tiba-tiba bersimpati pada petani, nelayan, kaum minoritas, padahal kapan mereka mencelupkan kaki ke sawah.

Masih di jejaring Facebook, ada pula grup bertajuk “Ayo Golput di Pemilu 2009″. Grup yang berlogo kotak surat suara disilang tinta merah bertuliskan “Pemilu 2009: Jangan Pilih Stok Lama”, itu pun telah diikuti oleh puluhan anggota. Di sana terpapar pesan bahwa golput merupakan hak setiap warga negara.

Adapula sebuah situs yang beralamat di www.janganbikinmalu2009.com, mengklaim sudah dikunjungi lebih dari 10.000 pengunjung, dan lebih dari 2.000 orang ikut bergabung dan mengomentari poster ataupun topik pemilu di grup Facebook-nya. Situs ini menyebut dirinya sebagai “Curahan hati dari kami yang frustrasi dengan partai yang kurang berkualitas”. Selain berdiskusi secara serius, beberapa topik tampil dengan cara humoris, misalnya, ramai-ramai memilih poster caleg yang paling memalukan.

Aroma kampanye golput semakin menyengat di mailing list (milis) lokal, salah satunya lewat posting-an berjudul “Anak Muda, Ayo Golput!”. Belum lagi jika menengok sejumlah blog, tidak sedikit para blogger yang berasal dari kalangan muda, secara terbuka menunjukkan sikapnya untuk golput. Judul-judul tulisannya pun terbilang provokatif, misalnya, “Alasan Mengapa Saya Golput“. Dalam blog yang diketahui milik seorang mahasiswa itu tercantum pernyataan di antaranya, “Saya bukan penjudi, dan saya tidak mau berjudi dengan memberikan suara kepada orang yang tidak saya kenal”. Baginya, golput bisa dianggap sebagai tamparan bagi praktik demokrasi di negara ini yang sudah berupaya keras menjalankan demokratisasi yang substansial, sebelumnya perpolitikan di Indonesia dinodai oleh sikap kepemimpinan yang otoriter di bawah bayang Soeharto selama 32 tahun.

Dari hal itu, terlihat kenyataan bahwa kampanye golput tidak akan pernah surut, namun sebaliknya cenderung semakin terbuka dan menjadi momok yang mengkhawatirkan bagi politisi untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi politik masyarakat. Pernyataan sikap golput diiringi kritik pedas terhadap karut-marutnya praktik demokrasi, diungkapkan secara gamblang oleh sejumlah kalangan, tak terkecuali mereka yang berusia muda. Kini, ajakan golput tidak hanya melalui aksi jalanan, namun juga dirayakan di dunia maya yang aksesnya lintas ruang dan waktu.

Golput sendiri merupakan fenomena jamak ketika pemilu berlangsung di negara mana pun di dunia. Mungkin sebuah kemustahilan untuk meningkatkan partisipasi politik rakyat dalam pemilu mencapai 100 persen. Bahkan di Amerika Serikat, negara yang disebut-sebut sebagai kiblat demokrasi itu, golput hampir mencapai 40 persen tiap gelaran pemilu, bahkan sejak George W Bush Junior mencalonkan diri menjadi presiden kedua kalinya, Golput di negara adidaya tersebut hampir mencapai 50%.

Meski sejatinya golput ialah fenomena alamiah, namun demikian keberadaannya kerap dianggap mengganggu, bahkan perlu dibatasi jumlahnya. Belum lama ini, MUI misalnya, sampai-sampai menyatakan fatwa haram terhadap perilaku golput. Sejumlah pihak menganggap putusan kontroversial itu tidak memiliki relevansi, namun ada juga yang mengapreasiasi hal itu sebagai upaya meningkatkan partisipasi pemilih. Kenyataannya, golput merupakan sebuah realitas politik yang harus diakui dalam praktik demokrasi di Indonesia. Penyebab golput sendiri ditengarai berkat degradasi kepercayaan terhadap partai peserta pemilu. Sebagian besar masyarakat sudah apatis karena jenuh dengan janji-janji yang minim realisasi. Tidak sedikit pula yang memandang skeptis terhadap kampanye para caleg, di mana mereka terkesan hanya pandai memajang poster, yang justru kerap merusak lingkungan.

Dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Aktivis Bandung (FAB) berjudul “Memahami Perilaku Calon Pemilih”, menelaah berbagai perilaku pemilih, termasuk di dalamnya golput. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat Ferry, mengungkapkan belum banyak referensi penelitian yang membahas non voting behaviour atau perilaku tidak memilih tersebut. Mengutip hasil survei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) atas Pilkada Jakarta lalu, yang membagi alasan golput ke dalam 3 hal. Pertama, alasan teknis, misalnya, orang itu sakit atau memiliki keperluan, sehingga tidak bisa datang ke bilik suara pada hari H sekitar 39%. Kedua, alasan administratif, yakni, orang tersebut tidak terdata sebanyak 38%. Ketiga, alasan politis, sebut saja, tidak percaya pemilu, tidak ada calon favorit, sebagai bentuk protes atas ketidakberesan birokrasi ternyata hanya sekitar 16%. Sehingga tidak munculnya pemilih ke TPS adalah lebih pada alasan administratif dan teknis, daripada politis. Selain itu, ada catatan menarik soal partisipasi pemilu dari waktu ke waktu. Ferry mengungkapkan, dibandingkan masa lalu, masa reformasi kini justru dihiasi golput lebih tinggi, dan itu menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Menurut Ketua KPU Jabar, memilih atau tidak memilih itu adalah hak. “Walau itu hak, tapi ada sedikit kewajiban juga bagi kita untuk turut memilih pemimpin bangsa ini, yang nantinya akan membuat kebijakan publik yang berdampak bagi kita semua,”.Ke depan, pemilih bisa semakin menjadi rational voters, yang berarti mempertimbangkan secara rasional tentang apa untungnya jika memilih seseorang, apa saja program kerjanya. Di sinilah letak penting pencerdasan politik bagi masyarakat, yang juga tidak terlepas dari tanggungjawab parpol. “Jangan ada parpol yang tidak menjalankan fungsi agregasinya, rekrutmennya tidak jelas sehingga menghasilkan orang yang asal, bahkan ada caleg yang tidak tahu nomor urutnya berapa,” kata Ferry.

Sementara itu, Dede Mariana, pengamat politik asal FISIP Universitas Padjajaran, mengungkapkan bahwa paling tidak ada 8 preferensi perilaku pemilih di Indonesia, yakni, primordialisme, ideologi, program, transaksional, peer group, referensi, ikatan emosional, dan pilihan rasional. Menurutnya, kecenderungan perilaku pemilih di Indonesia masih cenderung primordialisme, sedangkan pilihan rasional belum begitu berperan,” kata Dede, yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Publik Lemlit Unpad. Menurut Dede, sosialisasi pemilu terbilang masih kurang dilakukan politisi parpol. Dengan jumlah parpol sebanyak 34 partai, maka kecenderungannya publik menjadi bingung dan tidak mengenal partai baru, sehingga hal inipun yang memunculkan sikap golput di Tanah Air. Ia meyakini, praktik demokrasi akan berjalan benar jika sebagian besar masyarakatnya mendapatkan pendidikan politik yang benar pula. Menurutnya, perlu pendidikan politik yang meluas, demi penguatan civil society dan mengasah kritisisme masyarakat. “Sebaiknya day to day politik, jangan sosialisasi hanya dilakukan ketika seremonialnya saja” ujarnya.

Sementara pengamat politik lain dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, keberadaan golput di kalangan muda bisa dilihat sebagai aksi aktif dan juga aksi pasif. Aksi aktif berarti, golput sebagai sebuah sikap politik untuk memberi protes bagi bobroknya birokrasi dan wakil-wakil rakyat yang tidak berintegritas. Sementara aksi pasif berarti, golput hanya sekadar ikut-ikutan atau tidak disertai alasan rasionalnya. Namun amat disayangkan jika kalangan golput melihat pemilu hanya dari sudut pandang apatisme. Padahal, yang kini dibutuhkan bagi perkembangan demokrasi dan masyarakat yang kritis.

Bagaimanapun sikap partisipatif tidak melakukan golput berperan dalam menentukan arah nasib bangsa. Salah satunya, dengan penentuan pemimpin yang tepat, yang akan membuat kebijakan publik bagi semua orang. Mereka yang menggunakan hak pilih sebenarnya memiliki sebuah keuntungan, yakni, punya legitimasi untuk menuntut secara hukum, moral, dan politis, pada pemimpin terpilih jika mereka terbukti melanggar janji. Sebaliknya, mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya bisa dibilang tidak punya privilege itu.

Perilaku pemilih yang unik sewajarnya mendorong partai politik melakukan kampanye dengan penanganan yang berbeda pula. Kuncinya adalah bagaimana tokoh partai menawarkan sesuatu yang baru,yang dapat meyakinkan pemilih yang semakin rasional, dibandingkan dengan pemilih yang cenderung primodialisme, ideologi, program, transaksional, peer group, referensi, ikatan emosional.

B. Perumusan Masalah
Menelaah kasus di atas mengenai golput baik pada pemilu-pemilu Presiden, Legislatif maupun di tingkat lokal Pilkada, terbagi pada beberapa alasan mengapa masyarakat memilih golput, dan ada membagi preferensi perilaku pemilih di Indonesia. Sementara pemilih yang bersikap rasional (rational choice) masih dikatakan amat sedikit jika dibandingkan dengan perilaku pemilih primodialisme, ideologi atau ikatan emosional. Pertanyaan menarik dalam konteks ini mengenai golput dalam pemilu pilkada, apakah kondisi ini bisa mewujudkan proses demokratisasi atau memunculkan ketidakpercayaan rakyat secara permanen bahwa politik hanya menghambur-hamburkan uang dan menjauhkan dari kesejahteraan rakyat?

C. Pembahasan
     1.  Golput Pilihan Rasional dari Proses Demokrasi atau Ancaman Politik
Memilih adalah hak, dan tidak memilih juga merupakan hak. Kalimat tersebut memang cukup sederhana, namun mempunyai muatan substansi nilai demokrasi yang sangat urgen. Menggunakan hak pilih memang diatur oleh undang-undang, tetapi tidak menggunakan hak pilih tidak secara eksplisit dijelaskan. Tidak menggunakan hak pilih / mencoblos, atau biasa disebut golput. Memang masih banyak diperdebatkan pada tataran konsep. Namun pengakuan terhadap fenomena tersebut seakan mengeliminir perdebatan tentang apa yang disebut dengan golput.

Pembicaraan mengenai golput nyaris tidak pernah lepas dari setiap penyelenggaraan pemilu di Indonesia maupun di negara yang sudah maju demokrasinya. Sejak pertama kali dideklarasikan oleh Arief Budiman menjelang pemilu 1971, golput menjadi istilah ngepop yang selalu muncul saat berlangsungnya pemilu. Munculnya golput sebagai reaksi dan sikap kritis dari kebijakan politik penguasa Orde Baru tentang penyelenggaraan pemilu. Kelompok golput menilai, pemilu yang pertama kali dilaksanakan di era Orde Baru tersebut sudah  direkayasa oleh Golkar dan ABRI sebagai pendukung utamanya, guna memenangkan pertarungan politik selama mungkin di Indonesia.

Golput dalam penyelenggaraan pemilu adalah hal yang wajar. Asumsi golput yang paling gampang adalah diambil dari jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya. Dengan prediksi itu, maka pemilu eksekutif pada 5 juli lalu memang telah menorehkan catatan tersendiri. Untuk pertama kalinya, sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, jumlah golput mencapai lebih dari 20 persen. Padahal, sejak pemilu 1971 hingga rezim otoriter Orde Baru berakhir, jumlah golput hanya berkisar sekitar 10 persen saja.

Menurut Ramlan Surbakti, asumsi tersebut masih bisa diperdebatkan, yang menegaskan bahwa pemilih terdaftar yang tidak menggunakan haknya tidak bisa serta merta dikelompokkan sebagai golput. Golput hanyalah mereka yang memang sengaja tidak mau menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara atau sengaja merusak suaranya. Golput harus dilakukan sebagai sebuah kesadaran politik. Dengan pengkategorian seperti ini, tentu lebih sulit menelaah seberapa banyak pemilih yang secara sadar memilih menjadi golput. Dengan demikian, penghitungan mengenai jumlah golput riil pun akan semakin sulit dilakukan (Kompas, 10 Mei 2004).

Banyak hal yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi. Dalam konteks pilkada di beberapa daerah, kemungkinan golput disebabkan oleh :
  1. Banyaknya perantau yang tidak bisa pulang di berbagai daerah ketika ada jadwal pemilu dilakukan, sehingga banyak dari warga yang bekerja di luar kota malas untuk meninggalkan pekerjaannya.
  2. Kejenuhan dari rutinitas mencoblos dalam pemilu, kecenderungan terjadinya penggelembungan pemilih golput bisa terkondisikan mengingat rangkaian acara politik terlalu padat sepanjang tahun. Situasi ini membuat publik jenuh dan memilih melakukan aktivitas rutinnya.
  3. Tidak mau menggunakan hak pilihnya, warga yang secara sadar tidak mau menggunakan hak pilihnya memang tidak bisa dikaji secara kualitatif, namun secara riil mereka tidak menggunakan haknya (Suara Merdeka, 16 Juni 2005).
Faktor lokal lain seperti mobilitas masyarakat di kota besar dan buruknya cuaca pada sejumlah tempat, juga sempat disebut sebagai penyebab penurunan tingkat partisipasi itu. Di samping itu, ketidakpedulian masyarakat terhadap keberlangsungan pemilu ditenggarai sebagai salah satu faktor signifikan dalam pilkada. Bisa juga disebabkan oleh sosialisasi yang tidak tuntas atau mengenai sasaran. Sementara Koordinator Bidang Pengawasan Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) Didik Supriyanto bersikukuh bahwa salah satu penyebab naiknya golput adalah daftar pemilih yang tidak “bersih”. Artinya masih ada pemilih yang tidak dikenal atau yang semestinya tidak berhak memilih, tetapi tercantum dalam daftar pemilih. Pertambahan jumlah penduduk pemilih pun, menurut Didik, pantas diragukan. (Kompas, 10 Mei 2004).

Pada saat pengumuman penetapan hasil pemilu legislatif pada 5 Mei 2004 lalu, KPU sudah menyebutkan mengenai sejumlah faktor yang menyebabkan tingginya jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan haknya (www.kpu.co.id) faktor-faktor itu adalah :
  1. Adanya pemilih yang terdaftar lebih dari sekali di tempat yang berbeda, terdaftar lebih dari sekali di tempat yang sama,
  2. Adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena pemiliknya tidak dikenali
  3. Adanya warga yang belum berhak memilih tetapi diberi kartu pemilih
  4. Adanya pemilih yang meninggal dunia
  5. Adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih
  6. Tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS)
  7. Serta pemilih yang memang sengaja tidak menggunakan haknya.
Faktor-faktor tersebut merupakan sebab-sebab yang ada dalam setiap penyelenggaraan pemilu di Indonesia, tidak terkecuali dalam pilkada. Tidak ada pembedahan secara rinci dan kuantitatif atas ke tujuh faktor yang mempengaruhi penurunan tingkat partisipasi pemilih itu.

Namun, selain beberapa hal  di atas, banyak ahli yang melihat fenomen golput sebagai model hubungan elit-massa yang tidak harmonis. Ada yang melihat golput terjadi karena rakyat merasa kurang dihargai oleh parpol, yang mengusung calon pemimpin dalam pilkada. Ini didasari oleh anggapan bahwa penyelenggaraan pilkada hanya bersifat prosedural. Demokrasi yang terjadipun, demokrasi prosedural. Secara substansial bukan untuk pemberdayaan dan pendidikan politik rakyat, tetapi hanya dimanfaatkan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, dimana orientasinya hanyalah status sosial, ekonomi dan politik.

Sedangkan Riswandha Imawan menilai, golput adalah keputusan rasional untuk memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara preferensi kelompok elit politik dengan publiknya di bawah. Kelompok elit tidak perlu alergi dengan kelompok ini, fenomena golput semestinya dianggap sebagai bagian dari koreksi sosial. Pilihan untuk menekan golput berada di tangan para elit dengan kesadaran mereka untuk mendeteksi dan mengakomodasikan keinginan yang tumbuh di lapisan sebab dasar dalam politik adalah trust (kepercayaan) (dalam Kompas, 19 Juni 2005).

Riswandha juga mengutip sebagian kalangan yang berpijak pada etika dan moralitas politik yang berpandangan bahwa pilihan untuk mencoblos seperti kepemilikan saham. Bagi kelompok ini, ibaratnya pemilik modal, mereka yang tidak terlibat dalam proses tentunya tidak punya hak untuk ikut mengubah proses yang tengah berlangsung. Hanya saja, Riswandha menyayangkan jika menjadi golput menjadi pilihan emosional, apalagi jika langkah itu justru dilakukan kelompok masyarakat yang berpendidikan. Politik tidak bisa dilihat sekedar sebagai proses membagi-bagi kursi kekuasaan.

Sementara menurut Komaruddin Hidayat, fenomena golput harus dilihat sebagai bagian ketika ada sekelompok orang ingin member catatan bahwa mereka yang sedang berkompetisi saat ini not fully ok. Secara moral, peringatan seperti itu wajar saja dilakukan. Yang dilarang dalam undang-undang hanya mereka yang secara sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan menggunakan hak pilihnya (dalam Kompas, 19 Juni 2005).

      2. Golput dan Partisipasi Politik dalam Pilkada
Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu pada masa rezim Soeharto di atas 85%, bahkan pernah menembus angka 90%, sedangkan angka yang tidak melakukan partisipasi  hanya berkisar 15% saja. Dalam ranah demokrasi, angka kisaran tersebut masuk dalam kategori partisipasi yang tinggi. Namun secara riil politik, di masa Orde Baru, yang terjadi bukanlah partisipasi politik dengan ‘kesadaran’, tetapi adanya mobilisasi politik. Sedangkan dalam pilkada langsung tahun 2005, jumlah pemilih yang menggunakan haknya mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan pemilu di masa Orde Baru.

Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi), orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinnya adalah orang itu sendiri. Karena keputusan dan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat, maka masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya (Ramlan Surbakti, 1992:40).

Miriam Budiardji mengemukakan definisi umum dari partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yakni dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (Miriam Budiardjo, 1998:2). Aktivitas ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, sehingga partisipasi memilih merupakan salah satu bentuk partisipasi politik yang paling sering dan mudah untuk dilihat terutama dalam negara-negara demokratis.

Hal yang mendasari partisipasi politik adalah kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan, serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk kepemimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejewantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang abash oleh rakyat. Masyarakat berpartisipasi dalam proses politik melalui pemberian suara karena terdorong oleh keyakinan bahwa dengan berpartisipasi kepentingan mereka akan tersalurkan atau sekurang-kurangnya diperhatikan, dan bahwa mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa kegiatan mereka mempunyai implikasi (Miriam Budiardjo, 1998:2).

Dalam konteks demokrasi umumnya dianggap bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi politik masyarakat, menunjukkan warga negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik tersebut. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena diartikan bahwa banyak warga negara tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan, kemudian dianggap pemimpin terpilih akan kurang tanggap atas aspirasi masyarakat dan pemimpin yang terpilih akan mengalami krisis legitimasi dalam menjalankan pemerintahnya nanti, sehingga cenderung untuk melayani kepentingan beberapa kelompok saja.

Partisipasi sebagai kegiatan dapat dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Masuk dalam kategori partisipasi ialah mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berlainan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakam, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan. Sebaliknya, kegiatan yang masuk dalam kategori partisipasi pasif berupa kegiatan yang mentaati pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah (Ramlan Surbakti, 1992:142). Dengan kata lain, partisipasi aktif berarti kegiatan yang berorientasi pada proses input dan output politik, sedangkan partisipasi aktif merupakan kegiatan yang berorientasi pada proses output.

Di samping itu, terdapat sejumlah anggota masyarakat yang tidak termasuk dalam kategori aktif maupun pasif karena mereka menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang mereka cita-citakan. Kelompok ini disebut apatis atau golongan putih (golput). Dalam bahasa Milbarth dan Goel dikategorikan sebagai berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Dalam bahasa Jeffri M. Paige, partisipasi pasif tertekan, kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah. (dalam Ramlan Surbakti, 1992:143-144).

Tidak semua warga negara ikut dalam proses politik, walaupun di dalam sistem politik demokrasi, partisipasi politik merupakan hak warga negara. Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa seseorang berpartisipasi atau kurang berpartisipasi dalam proses politik? Secara garis besar ada dua hal yakni kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah, yang dimaksud dengan kesadaran politik ialah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Hal ini menyangkut pengetahuan seseorang mengenai lingkungan masyarakat dan politik dan menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat dia hidup. Yang dimaksud dengan sikap dan kepercayaan kepada pemerintah ialah penilaian seseorang terhadap pemerintah, apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak ? (Ramlan Surbakti, 1992:144).

Dalam konteks inilah, rendahnya partisipasi politik rakyat dalam pemily selalu menarik dikaji, karena hal tersebut terkait dengan legitimasi “penguasa” baru sebagai pemimpin dan penyelenggara pemerintahan. Pada pemilu 1999, presentase voter turn out (pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya) menurun dari 92% pada pemilu 1999 menjadi 84% pada  pemilu legislatif 2004. Kecenderungan sama juga terjadi pada pemilu presiden yang lalu, bahwa voter turn out hanya berkisar pada angka 76%.

Dalam pilkada, rata-rata angka partisipasi rakyat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 20-30%. Misalnya hasil dari Kabupaten Kukar 29,3%, Pekalongan 32%, Kebumen 28,2%, Cilegon 23,7%, Bangka Tengah 41%, Bangka Selatan 30%, dan Bangka Barat 32%, Purbalingga 27,5%, bahkan di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau, sekitar 50% pemilih yang tercatat dalam daftar pemilih tetap tidak melaksanakan haknya. Angka-angka tersebut menyisakan pertanyaan. Mengapa angka warga yang tidak menggunakan hak pilihnya tinggi.

D. Penutup
Memang harus diakui bahwa kita belum bisa mengindentifikan secara jelas, apakah golput dilakukan secara sadar maupun tidak. Dari data-data kasus diberbagai momen pemilu hingga pilkada, data golput didapat bersamaan dengan kesalahan pendataan pemilih, yang bersifat teknis administratif. Namun angka-angka tersebut menyadarkan kita bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan, bahwa pemimpun dalam menjalankan pemerintahan haruslah mendapat legitimasi dari yang dipimpin.

Kita tidak bisa mengkategorikan golput yang terjadi dalam rentetan pilkada di Indonesia mutlak dalam asumsi Paige, Milbarth dan Goel. Dalam konteks perilaku memilih di Indonesia angka golput dapat bersumber dari kesalahan teknis adminstratif dan kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang rendah.

Diakui atau tidak masih diperdebatkan atau tidak, dan dilakukan secara sadar atau tidak, angka-angka warga yang tidak menggunakan hak pilih maupun suara tidak sah adalah bentuk partisipasi politik. Dalam konteks tersebut, mereka yang “masuk” dalam golput masih mempunyai hak yang sama untuk mempengaruhi dan berpartisipasi terhadap jalannya proses pemerintahan di daerah masing-masing hingga ada pilkada kembali.


DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 1998. Edisi revisi, Partisipasi dan Partai Politik. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Khoiruddin, 2004, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi (Menakar Kinerja Partai Politik Era Transisi di Indonesia). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Maliki, Zainuddin (editor), 2001. Demokrasi Tersandera. Yogyakarta :Galang Press.
Surbakti, Ramlan.1992. Memahami Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Purwoko, Bambang.2005. Isu-isu Strategis Pilkada Langsung : Ekspresi Kedaulatan untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Dalam Jurnal Swara Politika, Laboratorium Ilmu Politik FISIP Unsoed.
Putra, Fadillah. 2001, Devolusi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
____________. 2003. Partai Politik dan Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Aveross Press.

Sumber lain :
Kompas, 10 Mei 2004
Kompas, 19 Juni2005
Kompas, 28 Juli 2008
Suara Merdeka, 16 Juni 2005
www.kpu.co.id
www.kompas.com
“Hasil PEMILU 2009: Partai Golput Menjadi Pemenang”, dalam Nusantaraku.Com. 10 April 2009.

Sumber Gambar :
saynotogolputindonesia.blogspot.com

22 komentar:

  1. Dalam kondisi ketidakpastian golput boeh jadi menjadi alternatif pilihan..Hidup Golput

    ReplyDelete
  2. bener banget tw dalam keadaan yang sangat mendesak ga apa2 lah golput meskipun terkadang merugikan juga si,,, ehhheheheeh :)

    ReplyDelete
  3. hedeh2 ,, ane g ikut2 an dah kalo masalah politik...xixixi

    ReplyDelete
  4. bubarkan aja PILKADA ganti dengan PIL KB..hehehe

    ReplyDelete
  5. Monggo sambung lagi diskusinya kawan-kawan..

    ReplyDelete
  6. PILKADA di daerah gw masih tetep kaga JURDIL....

    ReplyDelete
  7. saya mah lebih baik golput,,,,
    karena mereka semua sama aja,,,,
    sama2 mau memperkaya diri sendiri,,,,

    ReplyDelete
  8. Menurutku sekarang pilkada sangat berpihak kepada siapa yang berkuasa dan berduit sob, kebanyakan tidak menurut hati nurani si Pemilih, dan maka dari itu akibatn itu pun sangat banyak sob,

    Makasi Atas komentarnya, Blog Sobat bgus jdi Inspirasi Anak Muda Zaman sekarang :D

    ReplyDelete
  9. Teman-teman terima kasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat...Mari lanjut diskusinya...

    ReplyDelete
  10. follow dan klik adsense sudah dilaksanakan, semoga berbalas ya

    ReplyDelete
  11. kalau sy sich tetap akan memilih golput,,,
    abiznya sy tdk percaya akan politik,,,
    karena politik adalah lingkungan setan

    ReplyDelete
  12. waduh politik dunia penuh sandiwara krn rakyat hanya untk atas nama para politiker

    ReplyDelete
  13. hmmm >_< tak terlalu mengerti.. tapi jangan golput! nanti golongan yang tidak berhak menang malah menang (-_-")

    ReplyDelete
  14. golput memang pilihan :)
    mereka hanya mengincar harta bukan kesejahtraan rakyaat

    ReplyDelete
  15. karena sama aja.... milih gk milih ttp aja sama,,,,Pemilu jmn skrg duit mulu

    ReplyDelete
  16. Kalaupun kita harus golput, hal tersebut merupakan pilihan sadar untuk kebaikan negara..Karena memang menurut kita tidak ada yang harus dipilih, bukan apatisme semata..Semoga hal ini menjadi pembelajaran politik..Lanjut diskusinya..

    ReplyDelete