Studi Media dalam Paradigma Ekonomi Politik di Indonesia
Oleh : Mohammad Ali Andrias[1]
Media Massa, sudah tidak dapat 
dipungkiri dan telah terbukti menjadi faktor yang amat signifikan dan 
determinasinya dalam sejarah panjang perjalanan politik Indonesia dari 
era kolonial hingga era reformasi saat ini. 
Media massa tidak salah jika menempati urutan keempat sebagai kekuatan 
politik yang amat signifikan dalam pergeseran-pergeseran sosial politik 
Indonesia, bahkan keruntuhan Soeharto dan kroni-kroninya tidak terlepas 
dari peran media massa untuk menampilkan kebobrokan pemerintahan Orde 
Baru, yang selama ini dikontrol oleh penguasa. Sehingga apa yang 
diwartakan oleh media massa telah melecutkan semangat masyarakat untuk 
menjatuhkan Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun.
Pasca reformasi yang sudah bergulir 12 tahun ini, media massa seakan mendapat ‘angin segar’ dalam mencitrakan dirinya sebagai watch dog 
 (anjing penjaga) untuk mengiringi kekuasaan pemerintah, serta melakukan
 sosialiasi dan pendidikan bagi rakyat Indonesia agar tidak terbelenggu 
oleh kebodohan elit-elit maupun pengusaha yang mempunyai kepentingan 
ekonomi politik. Era Orde Baru, media massa banyak mendapat tekanan 
politik dari pemerintah Soeharto, ratusan surat kabar banyak dibredel 
oleh penguasa yang dianggap tidak sejalan dengan ide dan keinginan 
penguasa. Sehingga era reformasi ini media massa seakan menunjukkan 
taringnya sebagai penyeimbang kekuatan politik pemerintah, dan 
mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang demokrasi yang substansial.
Meski pada era reformasi ini media massa
 diberikan kebebasan bereksperesi dalam menyiarkan informasi kepada 
khalayak. Namun tentu tidak dimaksud bahwa kebebasan penyiaran yang 
dilakukan oleh media massa tidak mengenal rambu-rambu aturan dan norma 
yang ada. Pemerintah berdasarkan UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran 
terbuka kesempatan bagi siapa saja untuk bergerak di bidang industri 
pertelevisian. Namun tidak menjadikan kawasan usaha ini yang tanpa tapal
 batas. Selain mengandung unsur pendidikan dan hiburan juga mesti 
memperhatikan norma-norma kesusilaan atau hal-hal yang bersinggungan 
dengan SARA (suku, ras, agama dan antar golongan) sebagai isu yang 
sangat sensitif yang akan memicu konflik di Indonesia[2].
Dengan kekuatan dan pengaruh yang amat 
potensial yang dimiliki oleh media massa, pasca reformasi ini banyak 
kalangan pemilik modal besar beramai-ramai untuk menginvestasikan 
modalnya di bidang ini. Meski pada dasarnya bisnis media merupakan 
“bisnis berdarah-darah”, artinya bisnis ini merupakan bisnis yang penuh 
resiko ketimbang mendapat keuntungan besar, seperti halnya bisnis di 
bidang properties,hiburan, jasa, transportasi, atau kuliner. Tentu saja 
investasi di bidang ini, pemilik modal mempunyai pandangan dan alasan 
yang kuat. Namun jika dicermati dengan secara seksama, intinya siapa pun
 mereka yang menekuni bisnis ini adalah selain mengejar keuntungan 
ekonomi, juga secara ideal berusaha menanamkan pengaruh kepada khalayak 
umum.  Dari pendekatan kritis, aspek ekonomi politik selalu dilihat dan 
dimaknai sebagai kontrol. Hubungan pemilik modal dan media massa bukan 
semata-mata dilihat sebagai bentuk kerja dan praktek professional, 
tetapi sebagai intrumen pengontrol, melalui mana kelompok dominan 
memaksakan dominasinya kepada kelompok lain yang tidak dominan.
Mencermati media massa nasional baik 
media cetak maupun elektronik hanya segelintir pemilik modal yang 
berinvestasi di bidang ini. Misalnya dalam 11 televisi nasional, radio, 
dan media cetak yang ada mengerucut pada empat kepemilikan. Mereka 
adalah Grup Media Nusantara Citra (MNC), Grup Para, Surya Citra Media 
(SCM) dan Bakrie Grup. Kita bisa lihat pada tabel di bawah ini siapa 
yang memiliki televisi nasional:
Kepemilikan Stasiun Televisi, Radio dan Media Cetak Nasional
No 
 | 
Nama Grup 
 | 
Nama Stasiun Televisi, Radio dan Media Cetak 
 | 
1 
 | 
Media Nusantara Citra | RCTI, TPI (sekarang MNC TV),Global TV, Okezone.Com, Trijaya FM, Radio Dangdut,Women Radio,Tabloid Realita, Seputar Indonesia, dan Mom&Kiddie | 
2 
 | 
Para Grup | Trans TV dan Trans 7 | 
3 
 | 
Surya Citra Media | SCTV, O Channel, Indosiar (dalam proses akuisisi) | 
4 
 | 
Bakrie Grup | ANTV, TV One, Jak TV, dan Viva News.Com | 
5 
 | 
Lippo Grup | Investor Daily, Kabel Vision, Forbes, Newsweek,dan Suara Pembaruan, | 
6 
 | 
Media Grup/Surya Paloh | Media Indonesia, Metro TV, dan Media Online | 
Sumber : Jurnal Ilmu Komunikasi, 
Gatut Priyowidodo dan Materi Perkuliahan Politik dan Media Massa, Nunik 
Retno Herawati, S.Sos.M.Si
Di luar TVRI dan televisi lokal di 
berbagai daerah, nyaris pemilik modal swasta mampu menguasai seluruh 
media massa di Indonesia. Bahkan dari Artikel yang ditulis Agus Sudibyo 
yang diterbitkan Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik JSP No 2 Tahun 
2000, keluarga Cendana  masih memiliki saham yang cukup besar terhadap 
televisi swasta nasional[3].
 Dengan pendekatan ekonomi politik berpengaruh signifikan terhadap isi 
pemberitaan, meskipun kepemilikan sosial politik berubah, namun 
kepemilikan media ini mempengaruhi independensi dari isi pemberitaan 
televisi terhadap kasus-kasus yang melibatkan orang Cendana dan 
kroni-kroninya secara langsung maupun tidak langsung.
Jika kelompok modal besar ini tidak memiliki sparing partner
 atau kompetitor yang ‘netral’ dalam sumber informasi. Akan bisa 
dibayangkan akan terjadi oligopoli sumber informasi dan kepentingan 
ekonomi politik bagi bisnisnya dan kekuasaan lainnya, sehingga secara 
langsung maupun tidak langsung akan mendominasi dan mengontrol kelompok 
yang tidak memiliki kekuatan tersebut. Jelas rakyat selaku konsumen akan
 memperoleh sedikit dari objektivitas berita yang semestinya dipaparkan 
kepada publik. Terlebih lagi dalam penyiarannya ada agenda besar yang 
terselubung dengan mekanisme pembelian ‘blocking time’ atau 
melakukan sinergi atas nama kepentingan tertentu, jelas adanya 
keberpihakan terhadap kelompok lain yang dianggap menguntungkan pihak 
pemilik media.
Dalam tulisan ini, pandangan ekonomi 
politik studi media akan menelaah dan menganalisis bagaiman kepentingan 
pemilik modal ketika mereka berafiliasi dengan penguasa, dan kepentingan
 ekonomi politik apa yang akan diperoleh, ketika berinvestasi di media 
massa tersebut. Pendekatan alternatif ini untuk melengkapi kompleksitas 
problem media yang sudah tercipta belakangan ini, kita dapat mengatakan 
bahwa ada fenomena atau realitas yang lebih tepat dengan pendekatan 
positivis empiris, namun sebaliknya ada fenomena atau realitas yang 
lebih tepat untuk didekati dengan pendekatan lain.
B. Perumusan Masalah
Tulisan ini akan membahas sebuah 
pendekatan yang selama ini jarang digunakan untuk menganalisis perilaku 
media massa di Indonesia. Yakni pendekatan ekonomi politik kritis 
terhadap media. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, ada banyak realitas 
dan fenomena media yang justru lebih bermakna, jika dijelaskan dengan 
pendekatan ekonomi politik ini. Terutama realitas dan fenomena yang 
menunjukkan modal dengan unsur-unsur di media. Penyebarluasan gagasan 
tentang pendekatan ekonomi politik media ini, tentu saja membutuhkan 
instrumen agar pandangan ini jauh lebih bermakna dan produktif. 
Bagaimana pendekatan ekonomi politik dapat menganalisis dan menelaah 
studi politik media di Indonesia ?
C. Pendekatan Ekonomi Politik Terhadap Studi Media
Dalam kurun waktu yang lama, studi 
ekonomi politik media yang bercorak kritis, selalu absen dalam 
penelitian media di Indonesia. Sebagian besar, atau bahkan hampir semua,
 studi tentang media yang ada sejauh ini didasarkan pada pendekatan yang
 bertipe positivis empiris. Amat jarang pendekatan ekonomi politik 
digunakan dalam studi media, bahkan kritis. Paradigma studi media 
umumnya mengedepankan metode kuantifikasi, menggunakan teknik sampling, 
dan menggunakan generalisasi. Ciri yang lain adalah penelitian empiris 
untuk menjelaskan dan menggambarkan fenomena media. Bentuk penelitian 
ini bermacam-macam, dalam studi analisis isi dikenal pemakaian analisis 
isi kuantifikasi. Dalam studi institusi media dikenal misalnya dikenal 
penelitian deskriptif untuk menggambarkan pola dan struktur organisasi. 
Sementara dalam penelitian efek media, banyak diterapkan studi mengenai 
efek media terhadap khalayak atau publik. Dengan pendekatan empiris, 
studi analisis isi akan mencoba melihat apakah sebuah media telah 
menampilkan liputan objektif, netral, dan dua sisi (both side) 
dan tidak berpihak. Dengan kata lain, pendekatan empiris berasumsi bahwa
 objektivitas, netralitas, ketidakberpihakan adalah suatu keniscayaan[4].
Kritikan pendekatan empiris positivis 
terhadap media massa dipengaruhi oleh gagasan Marxis yang melihat 
masyarakat sebagai suatu sistem kelas. Masyarakat dilihat sebagai suatu 
sistem dominasi, dan media adalah salah satu bagian dari sistem dominan 
tersebut. Jika pendekatan empiris cenderung meyakini bahwa ruang yang 
terbuka, maka pendekatan kritis ini melihat masyarakat didominasi oleh 
elit dan penguasa. Dalam hal ini, media adalah alat kelompok dominan 
untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari percaya bahwa 
profesionalisme, sistem kerja, dan pembagian kerja dalam sebuah media 
dapat menciptakan kebenarannya sendiri, maka pendekatan kritis menolak 
paradigma tersebut. Wartawan yang bekerja dalam suatu sistem produktif 
berita tidaklah otonom, bukan pula dari praktek ketidakseimbangan dan 
dominan, pada titik inilah pendekatan kritis kemudian diperkenalkan 
mengkampanyekan studi ekonomi politik terhadap media untuk menganalisis 
dari sisi lain yang jarang dibahas dari paradigma sebelumnya[5].
Perbedaan lain antara pendekatan empiris
 dan kritis. Dalam pendekatan empiris, individu dipandang saling 
berkaitan dan akan mencapai keseimbangan. Peran penyeimbang ini 
diandaikan dapat diambil oleh media. Sebaliknya dalam penelitian kritis,
 persoalan utamanya adalah media itu sendiri, bukan berada dalam posisi 
penyeimbang, sebab adalah siapa yang mengontrol media dan mengapa? Apa 
keuntungan yang didapat dengan mengontrol media tersebut? Strategi apa 
yang digunakan untuk mengontrol media?. Penelitian kritis sangat peka 
terhadap  praktek dominasi. Tindakan berkomunikasi dan menggunakan media
 dilihat sebagai sesuatu yang bertujuan, dan bukan semata-mata kegiatan 
netral untuk menyampaikan pesan kepada publik. Pendekatan kritis 
senantiasa meniscayakan adanya dua pihak dengan posisi yang tidak 
seimbang. Di satu sisi ada pihak yang kuat yang mendominasi, di sisi 
lain ada pihak yang lemah dan terdominasi. Dominasi ini dapat berdimensi
 politik, ekonomi maupun dimensi yang lain. Sehingga isi dalam berita 
tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral dan bebas nilai (value free).
Studi-studi pendekatan ekonomi politik 
kritis semacam inilah yang jarang dilakukan dalam khasanah studi media 
di Indonesia. Mengapa hal itu terjadi? Ada beragam penyebab kemungkinan 
hal tersebut terjadi. Terutama sekali adalah karena dalam kurun waktu 
lama, pendekatan studi media dalam studi komunikasi di Indonesia memang 
mengarah pada mazhab developmentalisme. Ini tidak bisa dilepaskan oleh 
ideologi politik yang dominan di wacanakan pada era Soeharto. 
Kreativitas peneliti dan ilmuwan komunikasi hanya bergelut pada dunia 
komunikasi terbelenggu ketika ranah komunikasi ternyata hanya 
dimaksudkan sebagai salah satu pelengkap “mesin utama” pembangunan. 
Bidang-bidang komunikasi yang dikembangkan karenanya hanya diambil 
bidang yang dipandang berguna untuk pembangunan Indonesia. Demikian juga
 dengan studi-studi komunikasi yang digalakkan dan didukung secara 
kelembagaan. Dalam hal ini, studi-studi empiris positivistik lebih 
mendapatkan tempat, sebaliknya studi-studi kritis apalagi mengkritisi 
penguasa. Cenderung mempertanyakan kemapanan dan mengkritik kekuasaan, 
bukan hanya tidak mendapatkan dukungan, namun juga dibatasi 
perkembangannya.
Isi media dalam pendekatan ekonomi 
politik ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar 
media. Faktor seperti pemilik media, modal, iklan, regulasi pemerintah 
lebih menentukan bagaimana isi media. Penentuan disini bisa mencakup 
peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam 
pemberitaan, atau ke arah mana kecenderungan pemberitaan itu hendak 
diarahkan. Dalam pendekatan ini mekanisme produksi berita dilihat tidak 
ubahnya seperti relasi ekonomi dalam struktur produksi sebuah perusahaan
 bisnis. Pola dan jenis pemberitaan ditentukan oleh kekuatan–kekuatan 
ekonomi secara dominan menguasai perusahaan media. Mengapa media 
memberitakan dengan cara seperti ini? Mengapa media hanya mewadahi suara
 pihak tertentu?. Jawabannya dicari dengan melihat kepentingan ekonomi, 
kepemilikan media, atau kepentingan politik di balik sebuah media.
D. Pendekatan Ekonomi Politik Berbagai Varian
Sering sekali pendekatan ekonomi politik
 diasumsikan bahwa adanya integrasi antara ilmu ekonomi dan ilmu 
politik. Satu hal jarang diungkapkan adalah ide ekonomi dan politik itu 
sendiri sebenarnya didasarkan pada pemisahan antara ilmu politik dengan 
ilmu ekonomi. Kalau politik dibedakan dari ekonomi, itu tidak berarti 
bahwa keduanya benar-benar terpisah sepenuhnya, terisolasi dari yang 
lain atau tidak peduli terhadap yang lain. Dan juga itu tidak berarti 
bahwa ekonomi dan politik tidak saling mempenagruhi satu sama lain atau 
tidak “terjadi” dalam struktur konkrit yang sama. Sebagai contoh, 
alokasi barang dan jasa bisa terjadi dalam struktur pasar atau struktur 
politik. Sementara organisasi-organisasi yang konkret seperti bank, 
perusahaan, media massa kelompok kepentingan dan serikat pekerja bisa 
bersifat politik atau ekonomis tergantung pada kegiatan yang mereka 
lakukan dan juga tergantung pada kategori analitis yang digunakan 
peneliti. Maka ketika kami mengatakan bahwa ilmu ekonomi dan ilmu 
politik terpisah satu sama lain, yang kami maksud adalah keduanya 
berbeda secara analitis[6].
Jika ekonomi dan politik berbeda satu 
sama lain, maka semestinya membahas berbagai teori dalam ilmu ekonimi 
dan ilmu politik haruslah memperhitungkan perbedaan antara keduanya. 
Tantangan yang dihadapi disini ada dua. Pertama, kita harus 
mengindentifikasi  berbagai pemahaman yang berbeda tentang ekonomi dan 
politik. Apa saja ide-ide utama yang terkait dengan dua konsep ini 
sama-sama akar dari ilmu sosial. Kedua, kita perlu 
mengindentifikasi hubungan teoritis antara ekonomi dengan politik. 
Kadang-kadang hubungan teoritis ini sudah terbentuk dengan sendirinya, 
namun kadang-kadang kita harus membangunnya sendiri. Hubungan antara 
ekonomi dan politik inilah yang kami pahami sebagai ekonomi politik. Ini
 adalah sebuah telaah teoritis.
Dalam sebuah studi media ini pendekatan 
ekonomi politik pada dasarnya mengkaitkan aspek ekonomi (kepemilikan dan
 pengendalian media), keterkaitan dengan kepemimpinan, dan faktor-faktor
 lain yang menyatukan industri media dengan industri lainnya, serta 
dengan elit-elit politik. Atau dalam bahasa Elliot, studi ekonomi dan 
politik media melihat bahwa isi dan maksud-maksud yang terkandung 
pesan-pesan media ditentukan oleh dasar ekonomi dari organisasi media 
yang menghasilkannya. Organisasi media komersial harus memahami 
kebutuhan para pengiklan dan harus menghasilkan produk yang sanggup 
meraih pemirsa terbanyak. Sedangkan institusi-institusi media yang 
dikendalikan institusi politik dominan atau oleh pemerintah, harus 
senantiasa kepada inti dari kesepakatan umum. Menurut Golding dan 
Murdock, pendekatan ekonomi politik mempunyai tiga karakteristik 
penting. Pertama, holistik, dalam arti pendekatan ekonomi 
politik melihat hubungan yang saling berkaitan antara berbagai faktor 
sosial, ekonomi, politik dan budaya di sekitar media dan berusaha 
melihat berbagai pengaruh dari beragam faktor ini. Kedua, 
historis, dalam artian analisis ekonomi politik mengkaitkan posisi media
 dengan lingkungan global dan kapitalistik, dimana proses perubahan dan 
perkembangan konstelasi ekonomi merupakan hal yang terpenting untuk 
diamati. Ketiga, studi ekonomi politik juga berpegang teguh 
pada falsafah materialism, dalam arti mengacu pada hal-hal yang nyata 
dalam realitas kehidupan media.
Pendekatan ekonomi politik media dapat 
dibagi dalam dua bagian yakni pendekatan ekonomi politik liberal dan 
pendekatan ekonomi politik kritis (gagasan ini banyak dipengaruhi oleh 
Marxis dan Neo Marxis). Pendekatan ini secara prinsip terletak pada 
bagaimana aspek ekonomi politik media dilihat. Dalam pendekatan liberal,
 aspek ekonomi politik dilihat sebagai bagian dari kerja dan praktek 
professional. Iklan, pemodal dilihat sebagai instrumen professional 
dalam menerbitkan media massa. Sebaliknya dalam pendekatan kritis aspek 
ekonomi politik selalu dilihat dan dimaknai sebagai kontrol dari pemilik
 modal atau penguasa. Iklan dan pemodal bukan semata-mata dilihat 
sebagai  bentuk kerja dan praktik professional, tetapi iklan dan pemilik
 modal itu adalah instrumen pengontrol melalui mana kelompok dominan 
memaksakan dominasinya kepada kelompok lain yang tidak dominan (yang 
tidak memiliki modal atau kelas bawah).
Struktur ekonomi media dalam pendekatan 
liberal semata-mata dilihat dalam kerangka kerja professional. Bagian 
iklan atau pemilik media adalah salah satu fungsi dari beragam fungsi 
dalam media. Pendekatan kritis beragamnya posisi dan ketidaksamaan 
posisi dalam sebuah organisasi media menyebabkan dominasi satu kelompok 
kepada kelompok lain. Bagian iklan atau pemilik media dapat menjadikan 
kekuasaannya untuk mendominasi pihak lain, misalnya untuk memaksakan 
bagian redaksi agar memberitakan kasus-kasus yang menguntungkan pemilik 
media saja, atau pemilik media yang berafiliasi dengan kekuasaan politik
 lainnya. Klasifikasi perbedaan antara dua varian pendekatan ekonomi 
politik media ini dari aspek epistimilogi, historic, issue dan focus 
serta concern. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut :
Perbedaan Ekonomi Politik Liberal dan Kritis
| Ekonomi Politik Liberal | Ekonomi Politik Kritis | |
| Epistimilogi | Parsial : Ekonomi sebagai bidang yang terpisah dan khusus | Holistik : faktor ekonomi, politik, sosial, dan budaya saling mempengaruhi | 
| Historis | Analisis historis yang objektif, terlepas dari waktu historis yang khusus dan tempat yang penting | Analisis historis khusus terfokus pada investigasi deskripsi terhadap kapitalisme modern | 
| Isu dan Fokus | Mekanisme dan struktur pasar dimana konsumen dipilih oleh dan dengan komoditi yang bersaing pada basis kegunaan dan kepuasan | Kondisi-kondisi di mana aktivitas komubikasi terstruktur oleh realitas distribusi material dan sumber daya simbolik yang tidak seimbang | 
| Concern | Efisiensi kedaulatan individu dalam arti semakin kuat tekanan pasar, semakin besar kekuasaan konsumen untuk memilih | Keseimbangan antara perusahaan swasta dan intervensi (campur tangan) publik, keadilan, keseteraan, dan publik goods | 
Golding dan Murdock dalam Agus Sudibyo hal 74
Apa efek iklan terhadap pemberitaan, 
khususnya iklan yang mempunyai gagasan terselubung (artinya gagasan 
politik untuk mendukung kemapanan kekuasaan atau proses mencari 
kekuasaan politis), bagaimana pertarungan yang terjadi antara divisi 
redaksional dengan iklan sendiri belum banyak dipermasalahkan selama ini
 dan regulasi yang mengaturnya. Pendekatan ekonomi politik kritis 
terbagi atas varian instrumentalisme, strukturalis dan konstruktivisme. 
Perbedaan antara varian satu dengan yang lainnya terletak pada ide-ide 
dasar untuk meninjau permasalahan ekonomi dasar dan keterkaitannya 
dengan lingkungan ekonomi, politik dan budaya.
Instrumentalisme :
 melihat elemen ekonomi sebagai faktor atau variabel yang determinan dan
 menentukan media. Faktor ekonomi itu digambarkan tidak mempunyai kaitan
 atau hubungan dengan faktor lain. Media massa dipandang sebagai 
instrumen dari dominasi kelas, dan kaum kapitalis menggunakan kekuasaan 
ekonomi dalam sistem pasar untuk memastikan arus informasi publik 
melalui media pararel dengan kepentingan dan minatnya. Dominasi itu 
digambarkan bersifat searah dan tanpa perlawanan. Faktor ekonomi 
dianggap menentukkan secara langsung jalannya media. Apa yang tergambar 
dalam media mencerminkan kepentingan dan dominasi dari kelompok dan 
kekuatan ekonomi.
Intrumentalisme berasumsi bahwa negara 
dikontrol oleh dan melayani kepentingan-kepentingan kelas kapitalis. 
Asumsi ini juga ditemukan dalam segenerasi strudi-studi struktur 
kekuasaan komunitas-komunitas Amerika Serikat. Inilah dalil inti karya 
C. Wright Mills dan G. Williams Domhoff, dimana keduanya memperluas 
teori struktur kekuasaan. Kebanyakan teori intrumentalisme 
mengesampingkan dalil-dalil Marxis. Menurut Milibrand, kelas penguasa 
kapitalis menjalankan kekuasaan dengan menggunakan negara sebagai 
intrumennya untuk mendominasi masyarakat. Pandangannya ditarik dari 
Communist Manifesto di mana Marx dan Engels menegaskan bahwa ”negara 
modern tidak lain adalah sebuah komite yang mengelola urusan-urusan umum
 seluruh kaum borjuis.
Karya Miliband The State in Capitalist Society
 (1969) berakar secara kuat dalam Intrumentalisme. Karya ini 
berkontribusi pada teori Marxis tentang negara dan kelas di bawah 
kapitalisme. Negara dipahami dalam pengertian penggunaan intrumen 
kekuasaan oleh orang-orang yang berada pada posisi penting. Dalam 
merujuk pesan terkenal Communist Manifesto, Miliband bersisian 
dengan Marx dan Engels : ”mereka tidak pernah beranjak dari pandangan 
bahwa dalam masyarakat kapitalis, negara berada di atas seluruh intrumen
 pemaksaan kelas penguasa, ia sendiri didefinisikan dalam pengertian 
kepemilikan dan kontrolnya atas cara-cara produksi” (Miliband 1969:5, 
dalam Chilcote 2004 :492). Kelas penguasa masyarakat kapitalis dengan 
demikian memegang kendali kekuasaan ekonomi dan menggunakan negara 
sebagai instrumennya untuk mendominasi masyarakat. Miliband mencatat dua
 kelas di bawah kapitalisme, kelas yang memiliki dan mengontrol serta 
kelas yang bekerja. Di antara kelas-kelas ”kutub” ini orang dapat 
menemukan dua elemen ”kelas menengah” yang satu terdiri dari golongan 
profesional dan yang lain berupa para pelaku bisnis dan para petani yang
 memiliki usaha kecil menengah. Sebagai tambahan, terdapat massa 
profesional yang menjalankan negara.
Asumsi dasar dari pendekatan 
intrumentalisme ini adalah, dalam alam kapitalisme, ekonomi menjadi 
faktor yang krusial. Media tidak bisa hidup tanpa disokong oleh ekonomi.
 Misalnya, dalam kasus pemberitaan buruh petani udang Dipasena di 
Tulangbawang Lampung yang selama ini terus mengalami sengketa antara PT 
Dipasena Grup yang dimiliki oleh Charoen Pokphan dari Thailand dengan 
petani udang vanname sebagai mitra kerjanya jarang menjadi pemberitaan 
yang menghebohkan. Bahkan tidak jarang petani udang disalahkan atas 
kejadian yang banyak menewaskan pekerja dan karyawan tersebut. Ternyata 
Charoen Pokphan Grup merupakan penyokong utama iklan-iklan di beberapa 
media. Mengapa beberapa media tidak memberitakan kasus tersebut, padahal
 beberapa realitas di lapangan ada kecurangan dan manipulasi pihak 
perusahaan untuk menekan harga jual udang yang tidak sesuai dengan harga
 pasar di internasional. Sehingga petani udang merasa dibohongi oleh 
pihak perusahaan, dan menuntut ganti rugi yang dilakukan perusahaan agar
 keuntungan petani udang dikembalikan sesuai harga pasar. Dalam 
pendekatan intrumentalisme, hal ini disebabkan oleh ketergantungan media
 pada pengiklan sebagai penyokong dana iklan bagi media massa.
Media lebih memilih tidak memberitakan 
secara objektif, daripada  memberitakan dan berakibat pada putusnya 
hubungan dengan pengiklan sebagai penyokong dana, yang berarti putusnya 
sumber ekonomi media. Dengan kata lain, keputusan untuk memberitakan 
suatu peristiwa ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Jadi,
 ciri penting dari pendekatan intrumentalisme adalah sifatnya yang 
melihat faktor ekonomi sebagai satu-satunya faktor yang dominan dalam 
menentukkan media. Perilaku dan tindakan media, digerakkan oleh 
kepentingan ekonomi politik yang pengaruhnya bersifat langsung dan 
searah.
Pendekatan ini mengundang beberapa 
kritikan. Pendekatan ini terlalu menekankan pada aspek ekonomi dan 
reduksionis, mengabaikan elemen atau faktor lain di luar ranah ekonomi 
politik yang bisa jadi juga menentukkan perilaku media. Faktor ekonomi 
memang penting dan dominan, namun tidak selalu bersifat determinan dan 
menjadi satu-satunya faktor yang berpengaruh. Kritik lain, dominan 
kekuatan ekonomi atau politik dalam suatu media sebenarnya tidak selalu 
bersifat langsung dan searah. Jika kita menggunakan pendekatan 
instrumentalisme, seakan-akan semua tindakan individu dan media 
betul-betul digerakkan semata oleh determinan ekonomi. Media 
sesungguhnya beroperasi dalam lingkup yang lebih rumit dan kompleks. 
Kritik terhadap pendekatan intrumentalis dating dari pendekatan 
konstruktivisme.
Konstruktivisme :
  dalam pendekatan ini melihat faktor ekonomi sebagai sistem yang belum 
sempurna, sehingga media tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi 
saja, namun juga oleh faktor lain seperti faktor budaya dan individu. 
Dalam pendekatan konstruktivisme, negara dan kapital dipandang tidak 
selalu akan menggunakan media sebagai instrumen untuk mewujudkan 
kepentingan-kepentingan mereka. Sebab kepentingan ini beroperasi dalam 
struktur yang mengandung sejumlah fasilitas sekaligus pembatas, serta 
struktur yang mengandung sejumlah benturan kepentingan antar berbagai 
unsur yag saling bertarung. Pendekatan ini melihat dominasi kekuatan 
ekonomi atau politik tidak bersifat langsung, namun melalui proses yang 
rumit, dan melibatkan mekanisme pembenar dan hegemoni.
Misalnya tentang sengketa antara petani 
udang di Lampung dengan PT Dipasena di atas, mengapa media tidak 
memberitakan kasus ini, ataupun kalau ada untuk memberitakannya dengan 
nada yang tidak objective dengan membela pihak perusahaan. Menurut 
kepentingan konstruktivisme bukan semata-mata karena PT Dipasena adalah 
pengiklan terbesar bagi media. Proses yang terjadi dalam internal media 
tidak sesederhana itu. Proses ini melibatkan politik pemaknaan, 
penandaan dan pemberitaan yang rumit. Ada proses hegemoni yang 
berlangsung lama yang mensugestikan PT Dipasena Grup sebagai perusahaan 
yang berjasa dalam menyerap tenaga kerja dan membantu perekonomian 
masyarakat di Lampung.. PT Dipasena sebelum ada sengketa merupakan 
perusahaan yang menyumbang devisa negara dan pajak untuk pembangunan 
pemerintah daerah. Penentangan petani udang dalam konstruksi ini adalah 
tindakan yang tidak tahu diri dan tidak berterima kasih atas hasil kerja
 panjang PT Dipasena. Sebab dengan adanya penentangan tersebut, praktis 
bisa membuat perusahaan mengalami kerugian dan perekonomian bisa hancur 
karena pemerintah akan kehilangan sumber pendapatan berupa pajak dan 
retribusi. Pekerja lain yang tidak bisa bekerja juga dirugikan oleh 
sekelompok orang yang memiliki kepentingan ekonomi politik juga dengan 
pihak PT Dipasena.
Disini terlihat bahwa pemberitaan yang 
positif terhadap PT Dipasena melibatkan proses yang rumit, sebuah 
jalinan hegemoni yang berlangsung panjang dan lama. Pengaruh kekuatan 
ekonomi yang dipresentasikan oleh perusahaan besar semacam PT Dipasena, 
beroperasi dalam media tidak melulu lewat jalinan iklan, tetapi lewat 
proses pendefinisian yang hegemonik. Sebuah prose situ berlangsung lama,
 berkelanjutan dan tidak disadari, yang menegaskan betapa penting dan 
pengaruhnya PT Dipasena bagi perekonomian rakyat, terutama di tingkat 
lokal. Konstruksi yang mencul dengan demikian adalah peenentangan petani
 udang bukan hanya mengganggu proses produksi udang nasional dan 
internasional, namun juga mengganggu seluruh perekonomian rakyat dan 
daerah yang menggantungkan hidupnya terhadap proses produksi di PT 
Dipasena. Meskipun dalam pendekatan konstruktivisme prosesnya berbeda, 
namun perhatiannya sesungguhnya sama dengan pendekatan instrumentalisme,
 bagaimana media masih cenderung memberitakan dengan nada yang lebih 
positif kepada kekuatan ekonomi politik yang memiliki dominasi.
Baik pendekatan konstruktivisme dan 
intrumentalisme melihat faktor eksternal di luar media lebih menentukkan
 perilaku media. Ternyata hal ini pada perkembangannya juga menimbulkan 
kritikan tersendiri. Sebagaimana pandangan Marx adanya tesis, anti 
thesis, sintesis. Ternyata faktor internal, struktur dalam diri media 
adalah suatu mekanisme yang rumit dan bergerak dinamis. Pemahaman ini 
kemudian melahirkan pendekatan strukturalis yang mencoba mengkritisi dua
 pendekatan terdahulu.
Strukturalis :
 pendekatan ini lebih memfokuskan perhatiannya pada relasi dan 
pergulatan unsur-unsur dalam struktur internal media dengan 
faktor–faktor eksternal. Namun berbeda dengan pendekatan 
instrumentalisme yang melihat struktur sebagai bentuk dinamis yang 
secara tetap direproduksi dan diubah melalui tindakan-tindakan praktis, 
pendekatan strukturalis lebih melihat struktur bersifat solid, permanen 
dan tidak dapat dipindahkan. Dalam pendekatan strukturalis, ekonomi 
politik media seharusnya merujuk pada hasil-hasil proses pemberitaan 
yang berkaitan langsung dengan struktur ekonomi sebuah organisasi media.
 Dengan kata lain, pendekatan ekonomi politik media mesti mencakup aspek
 pertumbuhan media, peningkatan jumlah perusahaan, intervensi 
pemerintah, perubahan peran negara serta proses-proses akomodasi.
Menurut Marx, negara adalah bagian dari 
supersturktur, yakni wadah politik dari kapitalisme yang merespons 
perubahan-perubahan dalam faktor-faktor ekonomi. Teori Marxis di masa 
sekarang, terutama aliran strukturalis memandang hubungan antara negara 
dengan kelas kapitalis dalam kerangka yang lebih rumit lagi. Ide utama  
dari Marxisme struktural menyatakan bahwa negara bisa “bertindak atas 
nama kelas kapitalis”, tapi belum tentu negara akan “bertindak atas 
perintah” dari kelas itu. Maka dalam pendekatan ini yang membedakan 
antara pandangan tentang negara sebagai alat kekuasaan dengan 
kepentingan pemilik modal atau kapitalisme itu sendiri.
Harus diakui bahwa penjelasan-penjelasan
 tentang bagaimana dalam sebuah masyarakat bisa ada politisi-politisi 
yang memiliki keinginan untuk mempertahankan dan mengembangkan 
kapitalisme padahal para kapitalisnya sendiri tidak memiliki keinginan 
yang sama (tidak memiliki kesadaran kelas) masih tetap mengandung banyak
 masalah. Namun disini kami mengajukan pendapat bahwa paradox ini timbul
 karena adanya konflik antara kapital jangka panjang dengan kapital 
jangka pendek, antara individu-individu kapitalis dengan kapitalis 
sebagai sebuah kelas atau antara tujuan-tujuan proximal (yaitu laba dan 
pangsa pasar) dengan kepentingan sistematis (perlindungan terhadap 
hak-hak kepemilikan, lingkungan persaingan). Marxis struktural dengan 
Marxis analis sama-sama membahas masalah ini, meskipun dengan cara yang 
berbeda[7].
E. Media Massa Pasca Reformasi 
Pendekatan kritis ekonomi politik dalam 
studi media dianalisis pasca reformasi sudah dipaparkan sebelumnya untuk
 melihat dinamika media massa (pers) di Indonesia pasca reformasi ini. 
Penggunaan pendekatan kritis studi media mengandung konsekuensi bahwa 
kajian terhadap pers dan perubahan yang terjadi pada dirinya mesti 
dilakukan secara holistik (utuh). Pers harus dilihat sebagai entitas 
yang hidup dan berkembang dalam suatu multilayered structure 
(struktur yang bertingkat dan saling mempengaruhi). Struktur organisasi 
media, struktur industri media, struktur ekonomi politik Orde Baru, dan 
struktur kapitalisme global secara berkaitan mempengaruhi eksistensi 
pers beserta produk-produk dan berbagai kecenderungan yang 
ditunjukkannya.
Pada titik ini, pers pertama-pertama 
harus diletakkan dalam totalitas sosial yang lebih luas, sebagai bagian 
integral dari proses-proses ekonomi, sosial dan politik yang berlangsung
 dalam masyarakat. Ini didasarkan asumsi bahwa teks isi media dan 
tindakan jurnalis dalam memproduksinya tidak terlepas dari konteks 
proses-proses sosial memproduksi dan mengkonsumsi teks, baik pada 
jenjang organisasi industri dan masyarakat.
Jika menggunakan analisis 
intrumentalisme, maka yang didapatkan adalah gambaran pers yang menjadi 
instrumen dominasi penguasa dan pemilik modal yang ternyata belum banyak
 mengalami perubahan dari era Orde Baru. Analisis semacam ini memang 
mampu mengungkapkan berbagai sisi kebenaran relalitas pers dalam era 
Orde Baru, namun tidak akan pernah komprehensif. Selain itu, akan sulit 
pula menjelaskan bagaimana dinamika atau perubahan yang berlangsung 
dalam tubuh pers era Orde Baru ke era berikutnya.
Rezim Orde Baru mendominasi akses media,
 memiliki legalitas mengontrol media serta monopoli pemberian lisensi, 
dan disisi lain para pemilik modal di sektor media memiliki kekuasaan 
terhadap para pekerjanya. Namun penguasa atau pemilik modal, seperti 
halnya di Industri media kapitalis pada umumnya, tidak selalu mampu 
sepenuhnya menggunakan media sebagai instrumen kekuasaan mereka, karena 
struktur tempat mereka berada memuat sejumlah kontradiksi. Walaupun 
penguasa memiliki sumber daya rekayasa informasi untuk menciptakan citra
 tertentu bagi suatu kelompok, semuat itu dilakukan dalam struktur yang 
memuat kendala-kendala bagi optimalisasi efektivitas komunikasi.
Jika analisis instrumentalis semata 
kurang komprehensif untuk menganalisis dinamika media massa selama 
pemerintahan Orde Baru, bagaimana dengan analisis strtukturalis dan 
konstruktivisme? Dinamika media massa Orde Baru dan sesudahnya memang 
perlu pula dipahami sebagai bagian dari proses yang berlangsung dalam 
struktur politik otoritarian dan ekonomi kapitalis yang secara spesifik 
tercipta selama era Orde Baru. Struktur ekonomi politik Orde Baru itu 
sendiri juga perlu diamati sebagai suatu entitas yang telah terintegrasi
 dalam jalinan struktur yang lebih luas (makro) antara lain struktur 
finansial kapitalisme global.
Terjadinya perubahan situasi politik di 
Indonesia pada krisis ekonomi 1997-1998 yang pada akhirnya berujung pada
 Reformasi Mei 1998 menunjukkan struktur finansial kapitalisme global 
itu dalam berbagai segi tidak terjangkau oleh intervensi agen pelaku 
sosial tanah air, termasuk kalangan media. Tak pelak, teks pemberitaan 
media yang berkembang setelah itu, khususnya dalam proses-proses politik
 menjelang berakhirnya rezim Soeharto, juga tidak terlepas dari konteks 
ekpansi kapitalisme global, yang menghendaki liberalisasi ekonomi di 
negara-negara berkembang. Sebuah tuntutan yang membuat perekonomian 
Indonesia tidak bisa menghindari campur tangan lembaga internasional 
macam IMF dan World Bank, yang saat itu bisa disebut sebagai bangunan 
mekanisme sistemik liberalisasi ekonomi yang melawan konsep sosialisme 
dan kapitalisme domestik, untuk mewujudkan perkembangan progresif 
kekuatan pasar internasional.
Namun bukan berarti dengan demikian 
dapat disimpulkan bahwa kapitalisme yang berkembang di Indonesia dan 
yang mempengaruhi kehidupan pers adalah  struktur monolistik. Pada titik
 ini, mungkin kita perlu memperdebatkan hubungan antara struktur dan 
agensi. Perdebatan bisa dimulai dengan sebuah pertanyaan, diantara 
tindakan agen-agen sosial seperti negara, pekerja pers dan pemilik modal
 disisi lain, manakah yang lebih menentukkan perkembangan dramatis dari 
pers Orde Baru menuju pers setelah runtuhnya pemerintahan tersebut.
Menjelang dan sesudahnya pergeseran 
politik di Indonesia Mei 1998, perubahan signifikan struktur ekonomi 
politik pers Indonesia lebih merupakan hasil dari tindakan-tindakan para
 pekerja media massa, atau lebih luas lagi produk interaksi antara 
penguasa, pemilik modal, dan pekerja pers. Perubahan ekonomi politik 
yang terjadi membuat para pekerja pers memiliki kapasitas yang relatif 
lebih besar untuk melakukan tindakan-tindakan signifikan, sehingga teks 
isi media secara umum mengalami perubahan dramatis. Dan perubahan muatan
 pemberitaan media ini tidak pelak turut memberikan kontribusi pada 
ekskalasi atau akumulasi tekanan-tekanan terhadap stabilitas hegemoni 
penguasa dan kemapanan struktur politik otoritarianisme Soeharto dan 
kroni-kroninya.
Kapasitas agen pelaku sosial untuk 
mengubah struktur ekonomi politik pers pada waktu itu diperoleh dalam 
kondisi di mana struktur politik otoritarian Orde Baru telah berubah 
signifikan, akibat dari tindakan, gerakan, dan tekanan para agen pelaku 
sosial di lapis struktur lain. Pada titik ini, kita tak dapat 
mengesampingkan peran gerakan politik kelompok oposisi yang telah 
dimulai sejak jauh sebelum berlangsungnya krisis ekonomi yang 
menjatuhkan Soeharto dari kursi kekuasaannya. Gerakan mahasiswa dan LSM,
 kepanikan pemegang saham dan spekulan valuta asing saat krisis ekonomi 
terjadi, tekanan-tekanan lembaga internasional, serta gelombang 
kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat di Tanah Air. Lebih jauh lagi,
 struktur ekonomi politik pers Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh 
krisis ekonomi yang gagal ditanggulangi oleh rezim yang berkuasa saat 
itu. Krisis dalam skala dan intensitas seperti itu merupakan suatu 
resiko struktural dalam kapitalisme global, yang pada titik historis 
spesifik masa itu telah mencapai tahap elaborasi struktural tertentu, 
khususnya dari segi mobilitas dana internasional.
Bobot relatif dalam analisis hubungan 
kausal antara struktur dan agensi ditentukan oleh kondisi historis 
spesifik yang ada. Pemberian bobot relatif ini juga ditentukan oleh 
lapis struktur di mana kajian hubungan kausal antara struktur dan agensi
 tersebut dilakukan. Untuk konteks historis spesifik menjelang 
berakhirnya rezim Soeharto, perubahan struktur industri pers dan 
struktur politik Orde Baru dapat diamati sebagai produk tindakan dan 
gerakan para agen pelaku sosial yang ada. Tetapi pergeseran itu tak 
pelak juga ditentukkan faktor-faktor struktural yang lebih makro, yang 
berkaitan dengan posisi struktural kapitalisme Orde Baru pada titik 
sejarah tertentu.
Pada titik kulminasi ini, terlihat bahwa
 kita tidak bisa secara ceroboh menyatakan bahwa pergeseran politik 
menjelang reformasi dan implikasi-implikasinya terhadap kehidupan pers 
lebih ditentukan oleh kondisi-kondisi struktural ekonomi kapitalis. 
Bobot relatif dari peranan struktur maupun agensi dalam hubungan kausal 
di antara keduanya ditentukan oleh kondisi historis spesifik yang 
melingkupinya. Dalam konteks historis tertentu struktur mungkin lebih 
menentukan agensi, sementara dalam konteks historis yang lain justru 
agensi yang akan menentukkan perubahan struktur. Dengan adanya fakta 
yang demikian ini, pers Orde Baru dan pasca Orde Baru sulit untuk 
dipahami hanya sekedar sebagai instrumen dominasi kelompok tertentu, 
atau sekedar representasi suatu struktur yang monolitik. Pers Orde Baru 
dan sesudahnya perlu diamati sebagai suatu arena pergulatan ideologis, 
di mana proses-proses hegemonik dan kontra hegemoni, legitimasi dan 
delegitimasi berlangsung secara bersamaan.
F. Penutup
Kekuatan media massa memang telah 
terbukti menjadi faktor yang amat signifikan dalam proses politik 
Indonesia. Pasca reformasi yang sudah bergulir 12 tahun ini, media massa
 seakan mendapat ‘angin segar’ dalam mencitrakan dirinya sebagai watch dog 
 untuk mengiringi kekuasaan pemerintah, serta melakukan sosialiasi dan 
pendidikan bagi rakyat Indonesia agar tidak terbelenggu oleh kebodohan 
elit-elit maupun pengusaha yang mempunyai kepentingan ekonomi politik. 
Meski pada era reformasi ini media massa diberikan kebebasan 
bereksperesi dalam menyiarkan informasi kepada khalayak. Namun tentu 
tidak dimaksud bahwa kebebasan penyiaran yang dilakukan oleh media massa
 tidak mengenal rambu-rambu aturan dan norma yang ada. Pemerintah 
berdasarkan UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran terbuka kesempatan 
bagi siapa saja untuk bergerak di bidang industri pertelevisian. Namun 
tidak menjadikan kawasan usaha ini yang tanpa tapal batas.
Dengan kekuatan dan pengaruh yang amat 
potensial yang dimiliki oleh media massa, pasca reformasi ini banyak 
kalangan pemilik modal besar beramai-ramai untuk menginvestasikan 
modalnya di bidang ini. Namun jika dicermati dengan secara seksama, 
intinya siapa pun mereka yang menekuni bisnis ini adalah selain mengejar
 keuntungan ekonomi, juga secara ideal berusaha menanamkan pengaruh 
kepada khalayak umum.  Dari pendekatan kritis, aspek ekonomi politik 
selalu dilihat dan dimaknai sebagai kontrol. Hubungan pemilik modal dan 
media massa bukan semata-mata dilihat sebagai bentuk kerja dan praktek 
professional, tetapi sebagai intrumen pengontrol, melalui mana kelompok 
dominan memaksakan dominasinya kepada kelompok lain yang tidak dominan.
Jika kelompok modal besar ini tidak memiliki sparing partner
 atau kompetitor yang ‘netral’ dalam sumber informasi. Akan bisa 
dibayangkan akan terjadi oligopoli sumber informasi dan kepentingan 
ekonomi politik bagi bisnisnya dan kekuasaan lainnya, sehingga secara 
langsung maupun tidak langsung akan mendominasi dan mengontrol kelompok 
yang tidak memiliki kekuatan tersebut.
Paradigma ekonomi politik studi media 
berupaya menganalisis bagaimana kepentingan pemilik modal ketika mereka 
berafiliasi dengan penguasa, dan kepentingan ekonomi politik apa yang 
akan diperoleh, ketika berinvestasi di media massa tersebut. Pendekatan 
alternatif ini untuk melengkapi kompleksitas problem media yang sudah 
tercipta belakangan ini, kita dapat mengatakan bahwa ada fenomena atau 
realitas yang lebih tepat dengan pendekatan positivis empiris, namun 
sebaliknya ada fenomena atau realitas yang lebih tepat untuk didekati 
dengan pendekatan lain..
Dalam kurun waktu yang lama, studi 
ekonomi politik media yang bercorak kritis, selalu absen dalam 
penelitian media di Indonesia. Kritikan pendekatan empiris positivis 
terhadap media massa dipengaruhi oleh gagasan Marxis yang melihat 
masyarakat sebagai suatu sistem kelas. Masyarakat dilihat sebagai suatu 
sistem dominasi, dan media adalah salah satu bagian dari sistem dominan 
tersebut. Jika pendekatan empiris cenderung meyakini bahwa ruang yang 
terbuka, maka pendekatan kritis ini melihat masyarakat didominasi oleh 
elit dan penguasa. Dalam hal ini, media adalah alat kelompok dominan 
untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari percaya bahwa 
profesionalisme, sistem kerja, dan pembagian kerja dalam sebuah media 
dapat menciptakan kebenarannya sendiri, maka pendekatan kritis menolak 
paradigma tersebut.
Studi-studi pendekatan ekonomi politik 
kritis semacam inilah yang jarang dilakukan dalam khasanah studi media 
di Indonesia. Mengapa hal itu terjadi? Ada beragam penyebab kemungkinan 
hal tersebut terjadi. Terutama sekali adalah karena dalam kurun waktu 
lama, pendekatan studi media dalam studi komunikasi di Indonesia memang 
mengarah pada mazhab developmentalisme. Ini tidak bisa dilepaskan oleh 
ideologi politik yang dominan di wacanakan pada era Soeharto. 
Kreativitas peneliti dan ilmuwan komunikasi hanya bergelut pada dunia 
komunikasi terbelenggu ketika ranah komunikasi ternyata hanya 
dimaksudkan sebagai salah satu pelengkap “mesin utama” pembangunan. Isi 
media dalam pendekatan ekonomi politik ditentukan oleh kekuatan-kekuatan
 ekonomi dan politik di luar media. Faktor seperti pemilik media, modal,
 iklan, regulasi pemerintah lebih menentukan bagaimana isi media. 
Penentuan disini bisa mencakup peristiwa apa saja yang bisa atau tidak 
bisa ditampilkan dalam pemberitaan, atau ke arah mana kecenderungan 
pemberitaan itu hendak diarahkan. Dalam pendekatan ini mekanisme 
produksi berita dilihat tidak ubahnya seperti relasi ekonomi dalam 
struktur produksi sebuah perusahaan bisnis. Pola dan jenis pemberitaan 
ditentukan oleh kekuatan–kekuatan ekonomi secara dominan menguasai 
perusahaan media. Mengapa media memberitakan dengan cara seperti ini? 
Mengapa media hanya mewadahi suara pihak tertentu?. Jawabannya dicari 
dengan melihat kepentingan ekonomi, kepemilikan media, atau kepentingan 
politik di balik sebuah media.
Referensi
Arifin, Bustanul dan Didik J Rachbini. 2001. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. PT Gramedia Widiasarana Indonesia : Jakarta.
Caporaso. James dan David P Lavine. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Deliarnov.1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Hadiz, Vedi R. 1997. “ Ekonomi Politik Kepentingan Nasional’. Prisma Edisi 5, Mei-Juni 1997.
Hidayat. N.Dedy. 2000. “Jurnalis, Kepentingan Modal dan Perubahan Sosial dalam Dedy. N. Hidayat. et.al, Pers dalam “Revolusi Mei”, Runtuhnya Sebuah Hegemoni, PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. 1991. Pendekatan Politik-Ekonomi (Political-Economy) ; Jembatan Diantara Ilmu Ekonomi dan Ilmu Poltik.
 Jurnal Politik 8. Kerjasama Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan 
Lembaga Ilmu Politik Indonesia (LIPI) dengan PT Gramedia Pustaka Utama ;
 Jakarta.
Sudibyo, Agus. 2004. Absennya 
Pendekatan Ekonomi Politik Untuk Studi Media. dalam Seri Kajian 
Sosial-Politik Kontemporer Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 
Universitas Gadjah Mada.
Prajarto, Nunung (ed). 2004. Komunikasi,
 Negara dan Masyarakat. Seri Kajian Sosial Politik Kontemporer. Fakultas
 Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM : Yogyakarta.
Priyowidodo. Gatut, 2008, Menakar Kekuatan dan Keunggulan Industri Televisi Lokal di Era Otonomi, Jurnal Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Univeristas Kristen Petra. Hal 3 (dalam Materi Perkuliahan Politik dan Media Massa, Nunik Retno Herawati, S.Sos.M.Si)
Rachbini. J. Didik.1996. Perspektif Ekonomi Politik Baru. CIDES : Jakarta.
[1] Mahasiswa Magister Ilmu Politik UNDIP dan Staf Pengajar Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya
[2] Priyowidodo. Gatut, 2008, Menakar Kekuatan dan Keunggulan Industri Televisi Lokal di Era Otonomi, Jurnal Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Univeristas Kristen Petra. Hal 3
[3]
 Contoh kasus mengenai sengketa kepemilikan TPI sebelum berganti nama 
menjadi MNC TV, kepemilikan sahamnya dikuasai oleh Mbak Tutut Soeharto.
[4] Agus Sudibyo,2004 halaman 67-68
[5] Sudibyo.op.cit. Hal 68
[6] Lihat Caporaso. James dan David P Lavine. Teori-Teori Ekonomi Politik. Pustaka Pelajar: Yogayakarta.
[7] Caporaso. A James dan David P Lavine. Teori-Teori Ekonomi Politik. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Hal 181-182

waw niece post sob... http://adaisinya.com
ReplyDeletehmmm menarik sekali
ReplyDeletebagus artieklnya,, :)
ReplyDeletenice artikelnya,,, :)
ReplyDeleteTerima kasih kunjungannya kawan..
ReplyDeletejoin to hajarabis
ReplyDeletePenuh dengan PARADIGMA ... ^_^
ReplyDeleteUdah lama gak mampir ketempat sobat ini. Udah banyak yang beda rupanya.
ReplyDeletepusing gan kl dah urusan politik,heheh
ReplyDelete