Studi Media dalam Paradigma Ekonomi Politik di Indonesia

Oleh : Mohammad Ali Andrias[1]

A. Pengantar
Media Massa, sudah tidak dapat dipungkiri dan telah terbukti menjadi faktor yang amat signifikan dan determinasinya dalam sejarah panjang perjalanan politik Indonesia dari era kolonial hingga era reformasi saat ini. Media massa tidak salah jika menempati urutan keempat sebagai kekuatan politik yang amat signifikan dalam pergeseran-pergeseran sosial politik Indonesia, bahkan keruntuhan Soeharto dan kroni-kroninya tidak terlepas dari peran media massa untuk menampilkan kebobrokan pemerintahan Orde Baru, yang selama ini dikontrol oleh penguasa. Sehingga apa yang diwartakan oleh media massa telah melecutkan semangat masyarakat untuk menjatuhkan Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun.

Pasca reformasi yang sudah bergulir 12 tahun ini, media massa seakan mendapat ‘angin segar’ dalam mencitrakan dirinya sebagai watch dog  (anjing penjaga) untuk mengiringi kekuasaan pemerintah, serta melakukan sosialiasi dan pendidikan bagi rakyat Indonesia agar tidak terbelenggu oleh kebodohan elit-elit maupun pengusaha yang mempunyai kepentingan ekonomi politik. Era Orde Baru, media massa banyak mendapat tekanan politik dari pemerintah Soeharto, ratusan surat kabar banyak dibredel oleh penguasa yang dianggap tidak sejalan dengan ide dan keinginan penguasa. Sehingga era reformasi ini media massa seakan menunjukkan taringnya sebagai penyeimbang kekuatan politik pemerintah, dan mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang demokrasi yang substansial.

Meski pada era reformasi ini media massa diberikan kebebasan bereksperesi dalam menyiarkan informasi kepada khalayak. Namun tentu tidak dimaksud bahwa kebebasan penyiaran yang dilakukan oleh media massa tidak mengenal rambu-rambu aturan dan norma yang ada. Pemerintah berdasarkan UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran terbuka kesempatan bagi siapa saja untuk bergerak di bidang industri pertelevisian. Namun tidak menjadikan kawasan usaha ini yang tanpa tapal batas. Selain mengandung unsur pendidikan dan hiburan juga mesti memperhatikan norma-norma kesusilaan atau hal-hal yang bersinggungan dengan SARA (suku, ras, agama dan antar golongan) sebagai isu yang sangat sensitif yang akan memicu konflik di Indonesia[2].

Dengan kekuatan dan pengaruh yang amat potensial yang dimiliki oleh media massa, pasca reformasi ini banyak kalangan pemilik modal besar beramai-ramai untuk menginvestasikan modalnya di bidang ini. Meski pada dasarnya bisnis media merupakan “bisnis berdarah-darah”, artinya bisnis ini merupakan bisnis yang penuh resiko ketimbang mendapat keuntungan besar, seperti halnya bisnis di bidang properties,hiburan, jasa, transportasi, atau kuliner. Tentu saja investasi di bidang ini, pemilik modal mempunyai pandangan dan alasan yang kuat. Namun jika dicermati dengan secara seksama, intinya siapa pun mereka yang menekuni bisnis ini adalah selain mengejar keuntungan ekonomi, juga secara ideal berusaha menanamkan pengaruh kepada khalayak umum.  Dari pendekatan kritis, aspek ekonomi politik selalu dilihat dan dimaknai sebagai kontrol. Hubungan pemilik modal dan media massa bukan semata-mata dilihat sebagai bentuk kerja dan praktek professional, tetapi sebagai intrumen pengontrol, melalui mana kelompok dominan memaksakan dominasinya kepada kelompok lain yang tidak dominan.

Mencermati media massa nasional baik media cetak maupun elektronik hanya segelintir pemilik modal yang berinvestasi di bidang ini. Misalnya dalam 11 televisi nasional, radio, dan media cetak yang ada mengerucut pada empat kepemilikan. Mereka adalah Grup Media Nusantara Citra (MNC), Grup Para, Surya Citra Media (SCM) dan Bakrie Grup. Kita bisa lihat pada tabel di bawah ini siapa yang memiliki televisi nasional:

Kepemilikan Stasiun Televisi, Radio dan Media Cetak Nasional
No
Nama Grup
Nama Stasiun Televisi, Radio dan Media Cetak
1
Media Nusantara Citra RCTI, TPI (sekarang MNC TV),Global TV, Okezone.Com, Trijaya FM, Radio Dangdut,Women Radio,Tabloid Realita, Seputar Indonesia, dan Mom&Kiddie
2
Para Grup Trans TV dan Trans 7
3
Surya Citra Media SCTV, O Channel, Indosiar (dalam proses akuisisi)
4
Bakrie Grup ANTV, TV One, Jak TV, dan Viva News.Com
5
Lippo Grup Investor Daily, Kabel Vision, Forbes, Newsweek,dan Suara Pembaruan,
6
Media Grup/Surya Paloh Media Indonesia, Metro TV, dan Media Online
Sumber : Jurnal Ilmu Komunikasi, Gatut Priyowidodo dan Materi Perkuliahan Politik dan Media Massa, Nunik Retno Herawati, S.Sos.M.Si

Di luar TVRI dan televisi lokal di berbagai daerah, nyaris pemilik modal swasta mampu menguasai seluruh media massa di Indonesia. Bahkan dari Artikel yang ditulis Agus Sudibyo yang diterbitkan Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik JSP No 2 Tahun 2000, keluarga Cendana  masih memiliki saham yang cukup besar terhadap televisi swasta nasional[3]. Dengan pendekatan ekonomi politik berpengaruh signifikan terhadap isi pemberitaan, meskipun kepemilikan sosial politik berubah, namun kepemilikan media ini mempengaruhi independensi dari isi pemberitaan televisi terhadap kasus-kasus yang melibatkan orang Cendana dan kroni-kroninya secara langsung maupun tidak langsung.

Jika kelompok modal besar ini tidak memiliki sparing partner atau kompetitor yang ‘netral’ dalam sumber informasi. Akan bisa dibayangkan akan terjadi oligopoli sumber informasi dan kepentingan ekonomi politik bagi bisnisnya dan kekuasaan lainnya, sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan mendominasi dan mengontrol kelompok yang tidak memiliki kekuatan tersebut. Jelas rakyat selaku konsumen akan memperoleh sedikit dari objektivitas berita yang semestinya dipaparkan kepada publik. Terlebih lagi dalam penyiarannya ada agenda besar yang terselubung dengan mekanisme pembelian ‘blocking time’ atau melakukan sinergi atas nama kepentingan tertentu, jelas adanya keberpihakan terhadap kelompok lain yang dianggap menguntungkan pihak pemilik media.

Dalam tulisan ini, pandangan ekonomi politik studi media akan menelaah dan menganalisis bagaiman kepentingan pemilik modal ketika mereka berafiliasi dengan penguasa, dan kepentingan ekonomi politik apa yang akan diperoleh, ketika berinvestasi di media massa tersebut. Pendekatan alternatif ini untuk melengkapi kompleksitas problem media yang sudah tercipta belakangan ini, kita dapat mengatakan bahwa ada fenomena atau realitas yang lebih tepat dengan pendekatan positivis empiris, namun sebaliknya ada fenomena atau realitas yang lebih tepat untuk didekati dengan pendekatan lain.

B. Perumusan Masalah
Tulisan ini akan membahas sebuah pendekatan yang selama ini jarang digunakan untuk menganalisis perilaku media massa di Indonesia. Yakni pendekatan ekonomi politik kritis terhadap media. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, ada banyak realitas dan fenomena media yang justru lebih bermakna, jika dijelaskan dengan pendekatan ekonomi politik ini. Terutama realitas dan fenomena yang menunjukkan modal dengan unsur-unsur di media. Penyebarluasan gagasan tentang pendekatan ekonomi politik media ini, tentu saja membutuhkan instrumen agar pandangan ini jauh lebih bermakna dan produktif. Bagaimana pendekatan ekonomi politik dapat menganalisis dan menelaah studi politik media di Indonesia ?

C. Pendekatan Ekonomi Politik Terhadap Studi Media
Dalam kurun waktu yang lama, studi ekonomi politik media yang bercorak kritis, selalu absen dalam penelitian media di Indonesia. Sebagian besar, atau bahkan hampir semua, studi tentang media yang ada sejauh ini didasarkan pada pendekatan yang bertipe positivis empiris. Amat jarang pendekatan ekonomi politik digunakan dalam studi media, bahkan kritis. Paradigma studi media umumnya mengedepankan metode kuantifikasi, menggunakan teknik sampling, dan menggunakan generalisasi. Ciri yang lain adalah penelitian empiris untuk menjelaskan dan menggambarkan fenomena media. Bentuk penelitian ini bermacam-macam, dalam studi analisis isi dikenal pemakaian analisis isi kuantifikasi. Dalam studi institusi media dikenal misalnya dikenal penelitian deskriptif untuk menggambarkan pola dan struktur organisasi. Sementara dalam penelitian efek media, banyak diterapkan studi mengenai efek media terhadap khalayak atau publik. Dengan pendekatan empiris, studi analisis isi akan mencoba melihat apakah sebuah media telah menampilkan liputan objektif, netral, dan dua sisi (both side) dan tidak berpihak. Dengan kata lain, pendekatan empiris berasumsi bahwa objektivitas, netralitas, ketidakberpihakan adalah suatu keniscayaan[4].

Kritikan pendekatan empiris positivis terhadap media massa dipengaruhi oleh gagasan Marxis yang melihat masyarakat sebagai suatu sistem kelas. Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem dominasi, dan media adalah salah satu bagian dari sistem dominan tersebut. Jika pendekatan empiris cenderung meyakini bahwa ruang yang terbuka, maka pendekatan kritis ini melihat masyarakat didominasi oleh elit dan penguasa. Dalam hal ini, media adalah alat kelompok dominan untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari percaya bahwa profesionalisme, sistem kerja, dan pembagian kerja dalam sebuah media dapat menciptakan kebenarannya sendiri, maka pendekatan kritis menolak paradigma tersebut. Wartawan yang bekerja dalam suatu sistem produktif berita tidaklah otonom, bukan pula dari praktek ketidakseimbangan dan dominan, pada titik inilah pendekatan kritis kemudian diperkenalkan mengkampanyekan studi ekonomi politik terhadap media untuk menganalisis dari sisi lain yang jarang dibahas dari paradigma sebelumnya[5].

Perbedaan lain antara pendekatan empiris dan kritis. Dalam pendekatan empiris, individu dipandang saling berkaitan dan akan mencapai keseimbangan. Peran penyeimbang ini diandaikan dapat diambil oleh media. Sebaliknya dalam penelitian kritis, persoalan utamanya adalah media itu sendiri, bukan berada dalam posisi penyeimbang, sebab adalah siapa yang mengontrol media dan mengapa? Apa keuntungan yang didapat dengan mengontrol media tersebut? Strategi apa yang digunakan untuk mengontrol media?. Penelitian kritis sangat peka terhadap  praktek dominasi. Tindakan berkomunikasi dan menggunakan media dilihat sebagai sesuatu yang bertujuan, dan bukan semata-mata kegiatan netral untuk menyampaikan pesan kepada publik. Pendekatan kritis senantiasa meniscayakan adanya dua pihak dengan posisi yang tidak seimbang. Di satu sisi ada pihak yang kuat yang mendominasi, di sisi lain ada pihak yang lemah dan terdominasi. Dominasi ini dapat berdimensi politik, ekonomi maupun dimensi yang lain. Sehingga isi dalam berita tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral dan bebas nilai (value free).

Studi-studi pendekatan ekonomi politik kritis semacam inilah yang jarang dilakukan dalam khasanah studi media di Indonesia. Mengapa hal itu terjadi? Ada beragam penyebab kemungkinan hal tersebut terjadi. Terutama sekali adalah karena dalam kurun waktu lama, pendekatan studi media dalam studi komunikasi di Indonesia memang mengarah pada mazhab developmentalisme. Ini tidak bisa dilepaskan oleh ideologi politik yang dominan di wacanakan pada era Soeharto. Kreativitas peneliti dan ilmuwan komunikasi hanya bergelut pada dunia komunikasi terbelenggu ketika ranah komunikasi ternyata hanya dimaksudkan sebagai salah satu pelengkap “mesin utama” pembangunan. Bidang-bidang komunikasi yang dikembangkan karenanya hanya diambil bidang yang dipandang berguna untuk pembangunan Indonesia. Demikian juga dengan studi-studi komunikasi yang digalakkan dan didukung secara kelembagaan. Dalam hal ini, studi-studi empiris positivistik lebih mendapatkan tempat, sebaliknya studi-studi kritis apalagi mengkritisi penguasa. Cenderung mempertanyakan kemapanan dan mengkritik kekuasaan, bukan hanya tidak mendapatkan dukungan, namun juga dibatasi perkembangannya.

Isi media dalam pendekatan ekonomi politik ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar media. Faktor seperti pemilik media, modal, iklan, regulasi pemerintah lebih menentukan bagaimana isi media. Penentuan disini bisa mencakup peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, atau ke arah mana kecenderungan pemberitaan itu hendak diarahkan. Dalam pendekatan ini mekanisme produksi berita dilihat tidak ubahnya seperti relasi ekonomi dalam struktur produksi sebuah perusahaan bisnis. Pola dan jenis pemberitaan ditentukan oleh kekuatan–kekuatan ekonomi secara dominan menguasai perusahaan media. Mengapa media memberitakan dengan cara seperti ini? Mengapa media hanya mewadahi suara pihak tertentu?. Jawabannya dicari dengan melihat kepentingan ekonomi, kepemilikan media, atau kepentingan politik di balik sebuah media.

D. Pendekatan Ekonomi Politik Berbagai Varian
Sering sekali pendekatan ekonomi politik diasumsikan bahwa adanya integrasi antara ilmu ekonomi dan ilmu politik. Satu hal jarang diungkapkan adalah ide ekonomi dan politik itu sendiri sebenarnya didasarkan pada pemisahan antara ilmu politik dengan ilmu ekonomi. Kalau politik dibedakan dari ekonomi, itu tidak berarti bahwa keduanya benar-benar terpisah sepenuhnya, terisolasi dari yang lain atau tidak peduli terhadap yang lain. Dan juga itu tidak berarti bahwa ekonomi dan politik tidak saling mempenagruhi satu sama lain atau tidak “terjadi” dalam struktur konkrit yang sama. Sebagai contoh, alokasi barang dan jasa bisa terjadi dalam struktur pasar atau struktur politik. Sementara organisasi-organisasi yang konkret seperti bank, perusahaan, media massa kelompok kepentingan dan serikat pekerja bisa bersifat politik atau ekonomis tergantung pada kegiatan yang mereka lakukan dan juga tergantung pada kategori analitis yang digunakan peneliti. Maka ketika kami mengatakan bahwa ilmu ekonomi dan ilmu politik terpisah satu sama lain, yang kami maksud adalah keduanya berbeda secara analitis[6].

Jika ekonomi dan politik berbeda satu sama lain, maka semestinya membahas berbagai teori dalam ilmu ekonimi dan ilmu politik haruslah memperhitungkan perbedaan antara keduanya. Tantangan yang dihadapi disini ada dua. Pertama, kita harus mengindentifikasi  berbagai pemahaman yang berbeda tentang ekonomi dan politik. Apa saja ide-ide utama yang terkait dengan dua konsep ini sama-sama akar dari ilmu sosial. Kedua, kita perlu mengindentifikasi hubungan teoritis antara ekonomi dengan politik. Kadang-kadang hubungan teoritis ini sudah terbentuk dengan sendirinya, namun kadang-kadang kita harus membangunnya sendiri. Hubungan antara ekonomi dan politik inilah yang kami pahami sebagai ekonomi politik. Ini adalah sebuah telaah teoritis.

Dalam sebuah studi media ini pendekatan ekonomi politik pada dasarnya mengkaitkan aspek ekonomi (kepemilikan dan pengendalian media), keterkaitan dengan kepemimpinan, dan faktor-faktor lain yang menyatukan industri media dengan industri lainnya, serta dengan elit-elit politik. Atau dalam bahasa Elliot, studi ekonomi dan politik media melihat bahwa isi dan maksud-maksud yang terkandung pesan-pesan media ditentukan oleh dasar ekonomi dari organisasi media yang menghasilkannya. Organisasi media komersial harus memahami kebutuhan para pengiklan dan harus menghasilkan produk yang sanggup meraih pemirsa terbanyak. Sedangkan institusi-institusi media yang dikendalikan institusi politik dominan atau oleh pemerintah, harus senantiasa kepada inti dari kesepakatan umum. Menurut Golding dan Murdock, pendekatan ekonomi politik mempunyai tiga karakteristik penting. Pertama, holistik, dalam arti pendekatan ekonomi politik melihat hubungan yang saling berkaitan antara berbagai faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di sekitar media dan berusaha melihat berbagai pengaruh dari beragam faktor ini. Kedua, historis, dalam artian analisis ekonomi politik mengkaitkan posisi media dengan lingkungan global dan kapitalistik, dimana proses perubahan dan perkembangan konstelasi ekonomi merupakan hal yang terpenting untuk diamati. Ketiga, studi ekonomi politik juga berpegang teguh pada falsafah materialism, dalam arti mengacu pada hal-hal yang nyata dalam realitas kehidupan media.

Pendekatan ekonomi politik media dapat dibagi dalam dua bagian yakni pendekatan ekonomi politik liberal dan pendekatan ekonomi politik kritis (gagasan ini banyak dipengaruhi oleh Marxis dan Neo Marxis). Pendekatan ini secara prinsip terletak pada bagaimana aspek ekonomi politik media dilihat. Dalam pendekatan liberal, aspek ekonomi politik dilihat sebagai bagian dari kerja dan praktek professional. Iklan, pemodal dilihat sebagai instrumen professional dalam menerbitkan media massa. Sebaliknya dalam pendekatan kritis aspek ekonomi politik selalu dilihat dan dimaknai sebagai kontrol dari pemilik modal atau penguasa. Iklan dan pemodal bukan semata-mata dilihat sebagai  bentuk kerja dan praktik professional, tetapi iklan dan pemilik modal itu adalah instrumen pengontrol melalui mana kelompok dominan memaksakan dominasinya kepada kelompok lain yang tidak dominan (yang tidak memiliki modal atau kelas bawah).

Struktur ekonomi media dalam pendekatan liberal semata-mata dilihat dalam kerangka kerja professional. Bagian iklan atau pemilik media adalah salah satu fungsi dari beragam fungsi dalam media. Pendekatan kritis beragamnya posisi dan ketidaksamaan posisi dalam sebuah organisasi media menyebabkan dominasi satu kelompok kepada kelompok lain. Bagian iklan atau pemilik media dapat menjadikan kekuasaannya untuk mendominasi pihak lain, misalnya untuk memaksakan bagian redaksi agar memberitakan kasus-kasus yang menguntungkan pemilik media saja, atau pemilik media yang berafiliasi dengan kekuasaan politik lainnya. Klasifikasi perbedaan antara dua varian pendekatan ekonomi politik media ini dari aspek epistimilogi, historic, issue dan focus serta concern. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut :

Perbedaan Ekonomi Politik Liberal dan Kritis

Ekonomi Politik Liberal Ekonomi Politik Kritis
Epistimilogi Parsial : Ekonomi sebagai bidang yang terpisah dan khusus Holistik : faktor ekonomi, politik, sosial, dan budaya saling mempengaruhi
Historis Analisis historis yang objektif, terlepas dari waktu historis yang khusus dan tempat yang penting Analisis historis khusus terfokus pada investigasi deskripsi terhadap kapitalisme modern
Isu dan Fokus Mekanisme dan struktur pasar dimana konsumen dipilih oleh dan dengan komoditi yang bersaing pada basis kegunaan dan kepuasan Kondisi-kondisi di mana aktivitas komubikasi terstruktur oleh realitas distribusi material dan sumber daya simbolik yang tidak seimbang
Concern Efisiensi kedaulatan individu dalam arti semakin kuat tekanan pasar, semakin besar kekuasaan konsumen untuk memilih Keseimbangan antara perusahaan swasta dan intervensi (campur tangan) publik, keadilan, keseteraan, dan publik goods
Golding dan Murdock dalam Agus Sudibyo hal 74

Apa efek iklan terhadap pemberitaan, khususnya iklan yang mempunyai gagasan terselubung (artinya gagasan politik untuk mendukung kemapanan kekuasaan atau proses mencari kekuasaan politis), bagaimana pertarungan yang terjadi antara divisi redaksional dengan iklan sendiri belum banyak dipermasalahkan selama ini dan regulasi yang mengaturnya. Pendekatan ekonomi politik kritis terbagi atas varian instrumentalisme, strukturalis dan konstruktivisme. Perbedaan antara varian satu dengan yang lainnya terletak pada ide-ide dasar untuk meninjau permasalahan ekonomi dasar dan keterkaitannya dengan lingkungan ekonomi, politik dan budaya.

Instrumentalisme : melihat elemen ekonomi sebagai faktor atau variabel yang determinan dan menentukan media. Faktor ekonomi itu digambarkan tidak mempunyai kaitan atau hubungan dengan faktor lain. Media massa dipandang sebagai instrumen dari dominasi kelas, dan kaum kapitalis menggunakan kekuasaan ekonomi dalam sistem pasar untuk memastikan arus informasi publik melalui media pararel dengan kepentingan dan minatnya. Dominasi itu digambarkan bersifat searah dan tanpa perlawanan. Faktor ekonomi dianggap menentukkan secara langsung jalannya media. Apa yang tergambar dalam media mencerminkan kepentingan dan dominasi dari kelompok dan kekuatan ekonomi.

Intrumentalisme berasumsi bahwa negara dikontrol oleh dan melayani kepentingan-kepentingan kelas kapitalis. Asumsi ini juga ditemukan dalam segenerasi strudi-studi struktur kekuasaan komunitas-komunitas Amerika Serikat. Inilah dalil inti karya C. Wright Mills dan G. Williams Domhoff, dimana keduanya memperluas teori struktur kekuasaan. Kebanyakan teori intrumentalisme mengesampingkan dalil-dalil Marxis. Menurut Milibrand, kelas penguasa kapitalis menjalankan kekuasaan dengan menggunakan negara sebagai intrumennya untuk mendominasi masyarakat. Pandangannya ditarik dari Communist Manifesto di mana Marx dan Engels menegaskan bahwa ”negara modern tidak lain adalah sebuah komite yang mengelola urusan-urusan umum seluruh kaum borjuis.

Karya Miliband The State in Capitalist Society (1969) berakar secara kuat dalam Intrumentalisme. Karya ini berkontribusi pada teori Marxis tentang negara dan kelas di bawah kapitalisme. Negara dipahami dalam pengertian penggunaan intrumen kekuasaan oleh orang-orang yang berada pada posisi penting. Dalam merujuk pesan terkenal Communist Manifesto, Miliband bersisian dengan Marx dan Engels : ”mereka tidak pernah beranjak dari pandangan bahwa dalam masyarakat kapitalis, negara berada di atas seluruh intrumen pemaksaan kelas penguasa, ia sendiri didefinisikan dalam pengertian kepemilikan dan kontrolnya atas cara-cara produksi” (Miliband 1969:5, dalam Chilcote 2004 :492). Kelas penguasa masyarakat kapitalis dengan demikian memegang kendali kekuasaan ekonomi dan menggunakan negara sebagai instrumennya untuk mendominasi masyarakat. Miliband mencatat dua kelas di bawah kapitalisme, kelas yang memiliki dan mengontrol serta kelas yang bekerja. Di antara kelas-kelas ”kutub” ini orang dapat menemukan dua elemen ”kelas menengah” yang satu terdiri dari golongan profesional dan yang lain berupa para pelaku bisnis dan para petani yang memiliki usaha kecil menengah. Sebagai tambahan, terdapat massa profesional yang menjalankan negara.

Asumsi dasar dari pendekatan intrumentalisme ini adalah, dalam alam kapitalisme, ekonomi menjadi faktor yang krusial. Media tidak bisa hidup tanpa disokong oleh ekonomi. Misalnya, dalam kasus pemberitaan buruh petani udang Dipasena di Tulangbawang Lampung yang selama ini terus mengalami sengketa antara PT Dipasena Grup yang dimiliki oleh Charoen Pokphan dari Thailand dengan petani udang vanname sebagai mitra kerjanya jarang menjadi pemberitaan yang menghebohkan. Bahkan tidak jarang petani udang disalahkan atas kejadian yang banyak menewaskan pekerja dan karyawan tersebut. Ternyata Charoen Pokphan Grup merupakan penyokong utama iklan-iklan di beberapa media. Mengapa beberapa media tidak memberitakan kasus tersebut, padahal beberapa realitas di lapangan ada kecurangan dan manipulasi pihak perusahaan untuk menekan harga jual udang yang tidak sesuai dengan harga pasar di internasional. Sehingga petani udang merasa dibohongi oleh pihak perusahaan, dan menuntut ganti rugi yang dilakukan perusahaan agar keuntungan petani udang dikembalikan sesuai harga pasar. Dalam pendekatan intrumentalisme, hal ini disebabkan oleh ketergantungan media pada pengiklan sebagai penyokong dana iklan bagi media massa.

Media lebih memilih tidak memberitakan secara objektif, daripada  memberitakan dan berakibat pada putusnya hubungan dengan pengiklan sebagai penyokong dana, yang berarti putusnya sumber ekonomi media. Dengan kata lain, keputusan untuk memberitakan suatu peristiwa ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Jadi, ciri penting dari pendekatan intrumentalisme adalah sifatnya yang melihat faktor ekonomi sebagai satu-satunya faktor yang dominan dalam menentukkan media. Perilaku dan tindakan media, digerakkan oleh kepentingan ekonomi politik yang pengaruhnya bersifat langsung dan searah.

Pendekatan ini mengundang beberapa kritikan. Pendekatan ini terlalu menekankan pada aspek ekonomi dan reduksionis, mengabaikan elemen atau faktor lain di luar ranah ekonomi politik yang bisa jadi juga menentukkan perilaku media. Faktor ekonomi memang penting dan dominan, namun tidak selalu bersifat determinan dan menjadi satu-satunya faktor yang berpengaruh. Kritik lain, dominan kekuatan ekonomi atau politik dalam suatu media sebenarnya tidak selalu bersifat langsung dan searah. Jika kita menggunakan pendekatan instrumentalisme, seakan-akan semua tindakan individu dan media betul-betul digerakkan semata oleh determinan ekonomi. Media sesungguhnya beroperasi dalam lingkup yang lebih rumit dan kompleks. Kritik terhadap pendekatan intrumentalis dating dari pendekatan konstruktivisme.

Konstruktivisme :  dalam pendekatan ini melihat faktor ekonomi sebagai sistem yang belum sempurna, sehingga media tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi saja, namun juga oleh faktor lain seperti faktor budaya dan individu. Dalam pendekatan konstruktivisme, negara dan kapital dipandang tidak selalu akan menggunakan media sebagai instrumen untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan mereka. Sebab kepentingan ini beroperasi dalam struktur yang mengandung sejumlah fasilitas sekaligus pembatas, serta struktur yang mengandung sejumlah benturan kepentingan antar berbagai unsur yag saling bertarung. Pendekatan ini melihat dominasi kekuatan ekonomi atau politik tidak bersifat langsung, namun melalui proses yang rumit, dan melibatkan mekanisme pembenar dan hegemoni.

Misalnya tentang sengketa antara petani udang di Lampung dengan PT Dipasena di atas, mengapa media tidak memberitakan kasus ini, ataupun kalau ada untuk memberitakannya dengan nada yang tidak objective dengan membela pihak perusahaan. Menurut kepentingan konstruktivisme bukan semata-mata karena PT Dipasena adalah pengiklan terbesar bagi media. Proses yang terjadi dalam internal media tidak sesederhana itu. Proses ini melibatkan politik pemaknaan, penandaan dan pemberitaan yang rumit. Ada proses hegemoni yang berlangsung lama yang mensugestikan PT Dipasena Grup sebagai perusahaan yang berjasa dalam menyerap tenaga kerja dan membantu perekonomian masyarakat di Lampung.. PT Dipasena sebelum ada sengketa merupakan perusahaan yang menyumbang devisa negara dan pajak untuk pembangunan pemerintah daerah. Penentangan petani udang dalam konstruksi ini adalah tindakan yang tidak tahu diri dan tidak berterima kasih atas hasil kerja panjang PT Dipasena. Sebab dengan adanya penentangan tersebut, praktis bisa membuat perusahaan mengalami kerugian dan perekonomian bisa hancur karena pemerintah akan kehilangan sumber pendapatan berupa pajak dan retribusi. Pekerja lain yang tidak bisa bekerja juga dirugikan oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan ekonomi politik juga dengan pihak PT Dipasena.

Disini terlihat bahwa pemberitaan yang positif terhadap PT Dipasena melibatkan proses yang rumit, sebuah jalinan hegemoni yang berlangsung panjang dan lama. Pengaruh kekuatan ekonomi yang dipresentasikan oleh perusahaan besar semacam PT Dipasena, beroperasi dalam media tidak melulu lewat jalinan iklan, tetapi lewat proses pendefinisian yang hegemonik. Sebuah prose situ berlangsung lama, berkelanjutan dan tidak disadari, yang menegaskan betapa penting dan pengaruhnya PT Dipasena bagi perekonomian rakyat, terutama di tingkat lokal. Konstruksi yang mencul dengan demikian adalah peenentangan petani udang bukan hanya mengganggu proses produksi udang nasional dan internasional, namun juga mengganggu seluruh perekonomian rakyat dan daerah yang menggantungkan hidupnya terhadap proses produksi di PT Dipasena. Meskipun dalam pendekatan konstruktivisme prosesnya berbeda, namun perhatiannya sesungguhnya sama dengan pendekatan instrumentalisme, bagaimana media masih cenderung memberitakan dengan nada yang lebih positif kepada kekuatan ekonomi politik yang memiliki dominasi.

Baik pendekatan konstruktivisme dan intrumentalisme melihat faktor eksternal di luar media lebih menentukkan perilaku media. Ternyata hal ini pada perkembangannya juga menimbulkan kritikan tersendiri. Sebagaimana pandangan Marx adanya tesis, anti thesis, sintesis. Ternyata faktor internal, struktur dalam diri media adalah suatu mekanisme yang rumit dan bergerak dinamis. Pemahaman ini kemudian melahirkan pendekatan strukturalis yang mencoba mengkritisi dua pendekatan terdahulu.

Strukturalis : pendekatan ini lebih memfokuskan perhatiannya pada relasi dan pergulatan unsur-unsur dalam struktur internal media dengan faktor–faktor eksternal. Namun berbeda dengan pendekatan instrumentalisme yang melihat struktur sebagai bentuk dinamis yang secara tetap direproduksi dan diubah melalui tindakan-tindakan praktis, pendekatan strukturalis lebih melihat struktur bersifat solid, permanen dan tidak dapat dipindahkan. Dalam pendekatan strukturalis, ekonomi politik media seharusnya merujuk pada hasil-hasil proses pemberitaan yang berkaitan langsung dengan struktur ekonomi sebuah organisasi media. Dengan kata lain, pendekatan ekonomi politik media mesti mencakup aspek pertumbuhan media, peningkatan jumlah perusahaan, intervensi pemerintah, perubahan peran negara serta proses-proses akomodasi.

Menurut Marx, negara adalah bagian dari supersturktur, yakni wadah politik dari kapitalisme yang merespons perubahan-perubahan dalam faktor-faktor ekonomi. Teori Marxis di masa sekarang, terutama aliran strukturalis memandang hubungan antara negara dengan kelas kapitalis dalam kerangka yang lebih rumit lagi. Ide utama  dari Marxisme struktural menyatakan bahwa negara bisa “bertindak atas nama kelas kapitalis”, tapi belum tentu negara akan “bertindak atas perintah” dari kelas itu. Maka dalam pendekatan ini yang membedakan antara pandangan tentang negara sebagai alat kekuasaan dengan kepentingan pemilik modal atau kapitalisme itu sendiri.

Harus diakui bahwa penjelasan-penjelasan tentang bagaimana dalam sebuah masyarakat bisa ada politisi-politisi yang memiliki keinginan untuk mempertahankan dan mengembangkan kapitalisme padahal para kapitalisnya sendiri tidak memiliki keinginan yang sama (tidak memiliki kesadaran kelas) masih tetap mengandung banyak masalah. Namun disini kami mengajukan pendapat bahwa paradox ini timbul karena adanya konflik antara kapital jangka panjang dengan kapital jangka pendek, antara individu-individu kapitalis dengan kapitalis sebagai sebuah kelas atau antara tujuan-tujuan proximal (yaitu laba dan pangsa pasar) dengan kepentingan sistematis (perlindungan terhadap hak-hak kepemilikan, lingkungan persaingan). Marxis struktural dengan Marxis analis sama-sama membahas masalah ini, meskipun dengan cara yang berbeda[7].

E. Media Massa Pasca Reformasi
Pendekatan kritis ekonomi politik dalam studi media dianalisis pasca reformasi sudah dipaparkan sebelumnya untuk melihat dinamika media massa (pers) di Indonesia pasca reformasi ini. Penggunaan pendekatan kritis studi media mengandung konsekuensi bahwa kajian terhadap pers dan perubahan yang terjadi pada dirinya mesti dilakukan secara holistik (utuh). Pers harus dilihat sebagai entitas yang hidup dan berkembang dalam suatu multilayered structure (struktur yang bertingkat dan saling mempengaruhi). Struktur organisasi media, struktur industri media, struktur ekonomi politik Orde Baru, dan struktur kapitalisme global secara berkaitan mempengaruhi eksistensi pers beserta produk-produk dan berbagai kecenderungan yang ditunjukkannya.

Pada titik ini, pers pertama-pertama harus diletakkan dalam totalitas sosial yang lebih luas, sebagai bagian integral dari proses-proses ekonomi, sosial dan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Ini didasarkan asumsi bahwa teks isi media dan tindakan jurnalis dalam memproduksinya tidak terlepas dari konteks proses-proses sosial memproduksi dan mengkonsumsi teks, baik pada jenjang organisasi industri dan masyarakat.

Jika menggunakan analisis intrumentalisme, maka yang didapatkan adalah gambaran pers yang menjadi instrumen dominasi penguasa dan pemilik modal yang ternyata belum banyak mengalami perubahan dari era Orde Baru. Analisis semacam ini memang mampu mengungkapkan berbagai sisi kebenaran relalitas pers dalam era Orde Baru, namun tidak akan pernah komprehensif. Selain itu, akan sulit pula menjelaskan bagaimana dinamika atau perubahan yang berlangsung dalam tubuh pers era Orde Baru ke era berikutnya.

Rezim Orde Baru mendominasi akses media, memiliki legalitas mengontrol media serta monopoli pemberian lisensi, dan disisi lain para pemilik modal di sektor media memiliki kekuasaan terhadap para pekerjanya. Namun penguasa atau pemilik modal, seperti halnya di Industri media kapitalis pada umumnya, tidak selalu mampu sepenuhnya menggunakan media sebagai instrumen kekuasaan mereka, karena struktur tempat mereka berada memuat sejumlah kontradiksi. Walaupun penguasa memiliki sumber daya rekayasa informasi untuk menciptakan citra tertentu bagi suatu kelompok, semuat itu dilakukan dalam struktur yang memuat kendala-kendala bagi optimalisasi efektivitas komunikasi.

Jika analisis instrumentalis semata kurang komprehensif untuk menganalisis dinamika media massa selama pemerintahan Orde Baru, bagaimana dengan analisis strtukturalis dan konstruktivisme? Dinamika media massa Orde Baru dan sesudahnya memang perlu pula dipahami sebagai bagian dari proses yang berlangsung dalam struktur politik otoritarian dan ekonomi kapitalis yang secara spesifik tercipta selama era Orde Baru. Struktur ekonomi politik Orde Baru itu sendiri juga perlu diamati sebagai suatu entitas yang telah terintegrasi dalam jalinan struktur yang lebih luas (makro) antara lain struktur finansial kapitalisme global.

Terjadinya perubahan situasi politik di Indonesia pada krisis ekonomi 1997-1998 yang pada akhirnya berujung pada Reformasi Mei 1998 menunjukkan struktur finansial kapitalisme global itu dalam berbagai segi tidak terjangkau oleh intervensi agen pelaku sosial tanah air, termasuk kalangan media. Tak pelak, teks pemberitaan media yang berkembang setelah itu, khususnya dalam proses-proses politik menjelang berakhirnya rezim Soeharto, juga tidak terlepas dari konteks ekpansi kapitalisme global, yang menghendaki liberalisasi ekonomi di negara-negara berkembang. Sebuah tuntutan yang membuat perekonomian Indonesia tidak bisa menghindari campur tangan lembaga internasional macam IMF dan World Bank, yang saat itu bisa disebut sebagai bangunan mekanisme sistemik liberalisasi ekonomi yang melawan konsep sosialisme dan kapitalisme domestik, untuk mewujudkan perkembangan progresif kekuatan pasar internasional.

Namun bukan berarti dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kapitalisme yang berkembang di Indonesia dan yang mempengaruhi kehidupan pers adalah  struktur monolistik. Pada titik ini, mungkin kita perlu memperdebatkan hubungan antara struktur dan agensi. Perdebatan bisa dimulai dengan sebuah pertanyaan, diantara tindakan agen-agen sosial seperti negara, pekerja pers dan pemilik modal disisi lain, manakah yang lebih menentukkan perkembangan dramatis dari pers Orde Baru menuju pers setelah runtuhnya pemerintahan tersebut.

Menjelang dan sesudahnya pergeseran politik di Indonesia Mei 1998, perubahan signifikan struktur ekonomi politik pers Indonesia lebih merupakan hasil dari tindakan-tindakan para pekerja media massa, atau lebih luas lagi produk interaksi antara penguasa, pemilik modal, dan pekerja pers. Perubahan ekonomi politik yang terjadi membuat para pekerja pers memiliki kapasitas yang relatif lebih besar untuk melakukan tindakan-tindakan signifikan, sehingga teks isi media secara umum mengalami perubahan dramatis. Dan perubahan muatan pemberitaan media ini tidak pelak turut memberikan kontribusi pada ekskalasi atau akumulasi tekanan-tekanan terhadap stabilitas hegemoni penguasa dan kemapanan struktur politik otoritarianisme Soeharto dan kroni-kroninya.

Kapasitas agen pelaku sosial untuk mengubah struktur ekonomi politik pers pada waktu itu diperoleh dalam kondisi di mana struktur politik otoritarian Orde Baru telah berubah signifikan, akibat dari tindakan, gerakan, dan tekanan para agen pelaku sosial di lapis struktur lain. Pada titik ini, kita tak dapat mengesampingkan peran gerakan politik kelompok oposisi yang telah dimulai sejak jauh sebelum berlangsungnya krisis ekonomi yang menjatuhkan Soeharto dari kursi kekuasaannya. Gerakan mahasiswa dan LSM, kepanikan pemegang saham dan spekulan valuta asing saat krisis ekonomi terjadi, tekanan-tekanan lembaga internasional, serta gelombang kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat di Tanah Air. Lebih jauh lagi, struktur ekonomi politik pers Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang gagal ditanggulangi oleh rezim yang berkuasa saat itu. Krisis dalam skala dan intensitas seperti itu merupakan suatu resiko struktural dalam kapitalisme global, yang pada titik historis spesifik masa itu telah mencapai tahap elaborasi struktural tertentu, khususnya dari segi mobilitas dana internasional.

Bobot relatif dalam analisis hubungan kausal antara struktur dan agensi ditentukan oleh kondisi historis spesifik yang ada. Pemberian bobot relatif ini juga ditentukan oleh lapis struktur di mana kajian hubungan kausal antara struktur dan agensi tersebut dilakukan. Untuk konteks historis spesifik menjelang berakhirnya rezim Soeharto, perubahan struktur industri pers dan struktur politik Orde Baru dapat diamati sebagai produk tindakan dan gerakan para agen pelaku sosial yang ada. Tetapi pergeseran itu tak pelak juga ditentukkan faktor-faktor struktural yang lebih makro, yang berkaitan dengan posisi struktural kapitalisme Orde Baru pada titik sejarah tertentu.

Pada titik kulminasi ini, terlihat bahwa kita tidak bisa secara ceroboh menyatakan bahwa pergeseran politik menjelang reformasi dan implikasi-implikasinya terhadap kehidupan pers lebih ditentukan oleh kondisi-kondisi struktural ekonomi kapitalis. Bobot relatif dari peranan struktur maupun agensi dalam hubungan kausal di antara keduanya ditentukan oleh kondisi historis spesifik yang melingkupinya. Dalam konteks historis tertentu struktur mungkin lebih menentukan agensi, sementara dalam konteks historis yang lain justru agensi yang akan menentukkan perubahan struktur. Dengan adanya fakta yang demikian ini, pers Orde Baru dan pasca Orde Baru sulit untuk dipahami hanya sekedar sebagai instrumen dominasi kelompok tertentu, atau sekedar representasi suatu struktur yang monolitik. Pers Orde Baru dan sesudahnya perlu diamati sebagai suatu arena pergulatan ideologis, di mana proses-proses hegemonik dan kontra hegemoni, legitimasi dan delegitimasi berlangsung secara bersamaan.

F. Penutup
Kekuatan media massa memang telah terbukti menjadi faktor yang amat signifikan dalam proses politik Indonesia. Pasca reformasi yang sudah bergulir 12 tahun ini, media massa seakan mendapat ‘angin segar’ dalam mencitrakan dirinya sebagai watch dog  untuk mengiringi kekuasaan pemerintah, serta melakukan sosialiasi dan pendidikan bagi rakyat Indonesia agar tidak terbelenggu oleh kebodohan elit-elit maupun pengusaha yang mempunyai kepentingan ekonomi politik. Meski pada era reformasi ini media massa diberikan kebebasan bereksperesi dalam menyiarkan informasi kepada khalayak. Namun tentu tidak dimaksud bahwa kebebasan penyiaran yang dilakukan oleh media massa tidak mengenal rambu-rambu aturan dan norma yang ada. Pemerintah berdasarkan UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran terbuka kesempatan bagi siapa saja untuk bergerak di bidang industri pertelevisian. Namun tidak menjadikan kawasan usaha ini yang tanpa tapal batas.

Dengan kekuatan dan pengaruh yang amat potensial yang dimiliki oleh media massa, pasca reformasi ini banyak kalangan pemilik modal besar beramai-ramai untuk menginvestasikan modalnya di bidang ini. Namun jika dicermati dengan secara seksama, intinya siapa pun mereka yang menekuni bisnis ini adalah selain mengejar keuntungan ekonomi, juga secara ideal berusaha menanamkan pengaruh kepada khalayak umum.  Dari pendekatan kritis, aspek ekonomi politik selalu dilihat dan dimaknai sebagai kontrol. Hubungan pemilik modal dan media massa bukan semata-mata dilihat sebagai bentuk kerja dan praktek professional, tetapi sebagai intrumen pengontrol, melalui mana kelompok dominan memaksakan dominasinya kepada kelompok lain yang tidak dominan.

Jika kelompok modal besar ini tidak memiliki sparing partner atau kompetitor yang ‘netral’ dalam sumber informasi. Akan bisa dibayangkan akan terjadi oligopoli sumber informasi dan kepentingan ekonomi politik bagi bisnisnya dan kekuasaan lainnya, sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan mendominasi dan mengontrol kelompok yang tidak memiliki kekuatan tersebut.

Paradigma ekonomi politik studi media berupaya menganalisis bagaimana kepentingan pemilik modal ketika mereka berafiliasi dengan penguasa, dan kepentingan ekonomi politik apa yang akan diperoleh, ketika berinvestasi di media massa tersebut. Pendekatan alternatif ini untuk melengkapi kompleksitas problem media yang sudah tercipta belakangan ini, kita dapat mengatakan bahwa ada fenomena atau realitas yang lebih tepat dengan pendekatan positivis empiris, namun sebaliknya ada fenomena atau realitas yang lebih tepat untuk didekati dengan pendekatan lain..

Dalam kurun waktu yang lama, studi ekonomi politik media yang bercorak kritis, selalu absen dalam penelitian media di Indonesia. Kritikan pendekatan empiris positivis terhadap media massa dipengaruhi oleh gagasan Marxis yang melihat masyarakat sebagai suatu sistem kelas. Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem dominasi, dan media adalah salah satu bagian dari sistem dominan tersebut. Jika pendekatan empiris cenderung meyakini bahwa ruang yang terbuka, maka pendekatan kritis ini melihat masyarakat didominasi oleh elit dan penguasa. Dalam hal ini, media adalah alat kelompok dominan untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari percaya bahwa profesionalisme, sistem kerja, dan pembagian kerja dalam sebuah media dapat menciptakan kebenarannya sendiri, maka pendekatan kritis menolak paradigma tersebut.

Studi-studi pendekatan ekonomi politik kritis semacam inilah yang jarang dilakukan dalam khasanah studi media di Indonesia. Mengapa hal itu terjadi? Ada beragam penyebab kemungkinan hal tersebut terjadi. Terutama sekali adalah karena dalam kurun waktu lama, pendekatan studi media dalam studi komunikasi di Indonesia memang mengarah pada mazhab developmentalisme. Ini tidak bisa dilepaskan oleh ideologi politik yang dominan di wacanakan pada era Soeharto. Kreativitas peneliti dan ilmuwan komunikasi hanya bergelut pada dunia komunikasi terbelenggu ketika ranah komunikasi ternyata hanya dimaksudkan sebagai salah satu pelengkap “mesin utama” pembangunan. Isi media dalam pendekatan ekonomi politik ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar media. Faktor seperti pemilik media, modal, iklan, regulasi pemerintah lebih menentukan bagaimana isi media. Penentuan disini bisa mencakup peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, atau ke arah mana kecenderungan pemberitaan itu hendak diarahkan. Dalam pendekatan ini mekanisme produksi berita dilihat tidak ubahnya seperti relasi ekonomi dalam struktur produksi sebuah perusahaan bisnis. Pola dan jenis pemberitaan ditentukan oleh kekuatan–kekuatan ekonomi secara dominan menguasai perusahaan media. Mengapa media memberitakan dengan cara seperti ini? Mengapa media hanya mewadahi suara pihak tertentu?. Jawabannya dicari dengan melihat kepentingan ekonomi, kepemilikan media, atau kepentingan politik di balik sebuah media.

Referensi
Arifin, Bustanul dan Didik J Rachbini. 2001. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. PT Gramedia Widiasarana Indonesia : Jakarta.
Caporaso. James dan David P Lavine. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Deliarnov.1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Hadiz, Vedi R. 1997. “ Ekonomi Politik Kepentingan Nasional’. Prisma Edisi 5, Mei-Juni 1997.
Hidayat. N.Dedy. 2000. “Jurnalis, Kepentingan Modal dan Perubahan Sosial dalam Dedy. N. Hidayat. et.al, Pers dalam “Revolusi Mei”, Runtuhnya Sebuah Hegemoni, PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. 1991. Pendekatan Politik-Ekonomi (Political-Economy) ; Jembatan Diantara Ilmu Ekonomi dan Ilmu Poltik. Jurnal Politik 8. Kerjasama Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Lembaga Ilmu Politik Indonesia (LIPI) dengan PT Gramedia Pustaka Utama ; Jakarta.
Sudibyo, Agus. 2004. Absennya Pendekatan Ekonomi Politik Untuk Studi Media. dalam Seri Kajian Sosial-Politik Kontemporer Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
Prajarto, Nunung (ed). 2004. Komunikasi, Negara dan Masyarakat. Seri Kajian Sosial Politik Kontemporer. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM : Yogyakarta.
Priyowidodo. Gatut, 2008, Menakar Kekuatan dan Keunggulan Industri Televisi Lokal di Era Otonomi, Jurnal Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Univeristas Kristen Petra. Hal 3 (dalam Materi Perkuliahan Politik dan Media Massa, Nunik Retno Herawati, S.Sos.M.Si)
Rachbini. J. Didik.1996. Perspektif Ekonomi Politik Baru. CIDES : Jakarta.

[1] Mahasiswa Magister Ilmu Politik UNDIP dan Staf Pengajar Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya
[2] Priyowidodo. Gatut, 2008, Menakar Kekuatan dan Keunggulan Industri Televisi Lokal di Era Otonomi, Jurnal Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Univeristas Kristen Petra. Hal 3
[3] Contoh kasus mengenai sengketa kepemilikan TPI sebelum berganti nama menjadi MNC TV, kepemilikan sahamnya dikuasai oleh Mbak Tutut Soeharto.
[4] Agus Sudibyo,2004 halaman 67-68
[5] Sudibyo.op.cit. Hal 68
[6] Lihat Caporaso. James dan David P Lavine. Teori-Teori Ekonomi Politik. Pustaka Pelajar: Yogayakarta.
[7] Caporaso. A James dan David P Lavine. Teori-Teori Ekonomi Politik. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Hal 181-182

9 komentar: