Sumber Kekuasan dan Kewenangan Pemimpin Adat

Oleh : Subhan Agung


Weber dalam Robbins (1996:16) mengungkapkan tentang varian pemimpin dalam kehidupan sosial dilihat dari wewenang dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : wewenang kharismatis, wewenang tradisional dan wewenang rasional (legal). Pertama, pemimpin kharismatis merupakan pemimpin dengan sumber wewenang yang didasarkan pada kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus yang ada pada diri seseorang. Kemampuan khusus ini melekat pada seseorang dan bersifat given, dalam arti pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang-orang di sekitarnya mengakui akan adanya kemampuan tersebut atas dasar kepercayaan dan mitos (taklid), karena pada dasarnya mereka menganggap bahwa sumber dari kemampuan tersebut adalah sesuatu yang berada di atas kemampuan dan kekuasaan manusia pada umumnya.    

Kedua, pemimpin tradisional dapat dimiliki oleh seseorang maupun sekelompok orang. Dengan kata lain, wewenang tersebut dimiliki oleh orang-orang yang menjadi anggota kelompok tertentu yang sudah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam suatu masyarakat. Wewenang tadi dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang bukan karena mereka memiliki kemampuan-kemampuan khusus seperti pada wewenang kharismatis, melainkan kekuasaan dan wewenang tersebut telah melembaga dan bahkan menjiwai masyarakat. Demikian lamanya golongan tersebut memegang tampuk kekuasaan, masyarakat percaya dan mengakui kepemimpinannya. Ketiga, pemimpin rasional atau legal adalah pemimpin dengan sumber wewenang yang disandarkan pada sistem hukum yang berlaku di masyarakat. Sistem hukum disini dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta ditaati masyarakat dan bahkan yang telah diperkuat oleh negara. Pada wewenang yang didasarkan pada sistem hukum harus dilihat juga apakah sistem hukumnya bersandar pada tradisi, agama atau lainnya. 

Jika melihat  pembagian tersebut di atas,  pemimpin adat termasuk dalam model pemimpin dengan sumber wewenang tradisional. Seperti yang dinyatakan dalam batasan di atas bahwa pemimpin tradional mendapatkan kekuasaan dan wewenang dikarenakan telah secara turun temurun melembaga dalam waktu yang sangat lama dan menjiwai masyarakat. Dalam  model kepemimpinan masyarakat adat, pemimpin sangat jarang dipilih langsung oleh masyarakat. Pemimpin biasanya muncul secara turun temurun.

Menurut Kartodirjo, Sartono (1986: vii), status sosial pemimpin informal semisal pemimpin adat didapatkan karena faktor keturunan, kekayaan, taraf pendidikan, pengalaman hidup, kharismatik, maupun jasa-jasanya pada masyarakat.  Jika kita mendalami hal ini maka akan terlihat bagaimana pemimpin adat sebagai pemimpin masyarakat adat  tidak membutuhkan legitimasi yang sifatnya formal, namun yang dijadikan kekuatan mereka adalah faktor historisitas, kharisma, pengalaman hidup dan juga jasa-jasa  pemimpin  tersebut  dalam  masyarakat. Sebagai contoh dalam kehidupan masyarakat adat, pemimpin biasanya adalah tokoh yang bijak, berpengalaman dengan dibuktikan usia yang sudah matang. Jarang ditemui kepala suku atau kuncen dalam masyarakat adat di Indonesia yang berusia sangat muda. Jika pun memiliki hak memimpin biasanya diambil alih sementara oleh tokoh lainnya sambil menunggu yang bersangkutan berusia matang dan dewasa. Batasan matang dan dewasa di setiap masyarakat adat berbeda-beda, tergantung kebiasaan adat mereka.

Model kharismatik seperti yang dijelaskan di atas juga tidak mustahil muncul sebagai sumber kewenangan masyarakat adat. Masyarakat adat merupakan kelompok yang sangat percaya pada tabu-tabu (larangan tertentu) yang datangnya dari pantangan-pantangan tertentu untuk dihindari atau juga percaya melakukan hal-hal tertentu yang dianjurkan oleh leluhur mereka. Adakalanya kewenangan seorang pemimpin adat didapatkan dari sumber-sumber kepercayaan yang dianggap suci sebagai titisan leluhur tersebut. Masyarakat adat  tersebut mentaati pemimpinnya bukan karena alasan karena sudah lama memimpin dan menjiwai seperti pada model tradisional, namun karena alasan kharisma leluhur yang terdapat pada tokoh tersebut, sehingga tokoh tersebut diikuti.

Kuntjaraningrat dalam Budiarjo (1991:130-135) menyimpulkan kekuasaan dan sumber kewenangan dalam kepemimpinan tradisional dibagi dalam tiga bentuk masyarakat, yakni dalam masyarakat kecil, masyarakat sedang dan masyarakat negara-negara kuno. Dalam kehidupan masyarakat kecil, yang anggotanya hanya terdiri dari sepuluh sampai lima belas individu saja, pemimpin kontinyu yang formal sebenarnya tidak ada. Kepemimpinan hanya timbul saat ada pekerjaan atau aktivitas bersama, yang memerlukan seorang koordinator untuk aktivitas tersebut. Syarat untuk tokoh semacam ini adalah kepandaiannya untuk menyelesaikan pekerjaan atau aktivitas tersebut. Pada masa berburu misalnya tokoh tersebut merupakan individu yang paling menguasai tekhnik-tekhnik berburu, di saat selesai berburu dan mereka bergabung dengan kelompok-kelompok kecil lainnya untuk melakukan berbagai upacara, maka timbul pulalah kebutuhan untuk melakukannya secara bersama-sama, sehingga muncul pulalah tokoh yang terampil dalam mengatur dan memimpin upacara-upacara tadi. Model ini banyak ditemui di pulau-pulau sekitar Oceania dan Afrika.

Dalam kehidupan masyarakat sedang biasanya dengan menggunakan sistem kepemimpinan kadang kala saja, yang hanya muncul dalam waktu tertentu. Kelompok-kelompok tersebut biasanya terdapat dalam komunitas-komunitas berburu yang lebih besar semisal  di Pegunungan Irian Jaya, Papua Nugini, dan Melanesia. Dalam model masyarakat ini dibutuhkan pemimpin  yang mantap dan tetap. Untuk memantapkan kepemimpinan tersebut dibutuhkan kekuasaan disamping kewibawaan. Ada sejenis prasyarat seorang individu untuk mendapatkan kekuasaan (power) dan kedudukan yang berwibawa (authority) di mata masyarakatnya. Kemampuan-kemampuan tersebut semisal kepandaian berkebun, kefasihan berpidato, keterampilan dan keberanian dalam berperang, kekayaan, dan kepandaian dalam ilmu gaib, kemampuan dalam mengerahkan kekuatan fisik, kemampuan dalam memimpin upacara-uacara yang diintensifkan di model masyarakat ini. Dalam bentuk masyarakat  negara Kuno, kepemimpinan sudah mulai besar, dengan jumlah penduduk yang sudah mencapai ribuan lebih, di mana wewenang menjadi sangat penting. Kasus di Indonesia, Polinesia, Afrika, kontinuitas kepemimpinan di negara kuno medsarkan wewenang pada sebagian besar keturunan, yang dikuatkan lagi dengan keramat titisan para dewa. Secara tidak langsung titisan para dewa ini masih dibumbui dengan keyakinan bahwa sang raja itu memiliki suatu kekuatan sakti (Ibid :136-137).

Jika memperhatikan pemetaan dari penjelasan di atas, masyarakat adat lebih tepat digolongkan dalam kelompok masyarakat sedang, karena dari pertimbangan kuantitas dan ciri khas kepemimpinan yang berkembang dalam masyarakat adat menyerupai kharakteristik seperti dalam model masyarakat sedang, semisal sumber kewibawaan adalah kecakapan dan kepandaian menguasai hal tertentu, dengan wewenang utama kemampuan melaksanakan upacara, kharisma dianggap memiliki kekuatan sakti dan juga diikuti oleh masyarakatnya. Untuk lebih jelasnya model kekuasaan pemimpin informal di dalam masyarakat adat di gambarkan dalam kerangka di bawah ini :

Tabel Kekuasaan pemimpin tradional dalam masyarakat sedang

Komponen-Komponen Kekuasaan
Sifat-sifat yang menjadi Syarat Pemimpin









Kekuasaan dalam Arti Luas
1. Kewibawaan









2. Wewenang


 3. Kharisma


4. Kekuasaan dalam arti khusus
Kepandaian berburu, berkebun, bertani, keterampilan berpidato, kemahiran berdiplomasi, memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan sebagian besar warga masyarakat (murah hati dan sebagainya)

Kemampuan memimpin, melaksanakan upacara atau ritual adat tertentu

Dianggap memiliki kekuatan sakti

Kemampuan mengerahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang banyak atas dasar suatu sistem sanksi
Sumber : Kuntjaraningrat dalam Budiarjo (1991 :135)

REFERENSI LIST
Budiarjo, Miriam, 1991, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono (ed), 1986, Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta.
Robbins, W, 1996 Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi, PT Prenhalinddo, Jakarta.

Keterangan Gambar Ilustrasi : 
Balai Sawala, tempat para pemimpin adat dan tokoh masyarakat Kampung Kuta, Ciamis, Jawa Barat memusyawarahkan hal atau persolan tertentu.

9 komentar:

  1. salam kenal gan,,,follow sukses nih no. 323

    ReplyDelete
  2. @ Dony, terima kasih kunjungannya sob..

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, dapat ilmu kepemimpinan di sini

    Salam ukhuwah

    ReplyDelete
  4. Salam Kenal....
    Yang terpenting setelah memegang teori seorang pemimpin itu harus pandai mem praktekan...

    ReplyDelete
  5. udah saya folow gan,nice artikel gan.

    ReplyDelete
  6. Ada tiga hal yang perlu dibedakan namun saling berkaitan dan memiliki kesamaan, yakni kekuasaan, wewenang dan legitimasi. Jika kekuasaan merupakan kemampuan menguasai orang atau pihak lain, baik dengan diabsahkan, maupun lewat sumber lainnya, semisal kewibawaan, kharisma, dan kemampuan lainnya, maka wewenang lebih kepada kekuasaan yang diabsahkan dalam mekanisme tertentu, baik informal, maupun formal.

    Satu lagi yaitu legitimasi merupakan pengakuan pihak lain atau masyarakat terhadap kewenangan yang dimiliki oleh seseorang.

    Jadi kesimpulannya kekuasaan didapat tidak harus diabsahkan, sebaliknya wewenang merupakan bagian dari kekuasaan yang membutuhkan pengabsahan dan legitimasi berkaitan dengan pengakuan orang lain atas wewenang tersebut.

    ReplyDelete
  7. wah, bener2 informatif, semua post nya ngasih informasi penting, thanks sob :D

    ReplyDelete
  8. kunjungan perdana mas dan salam kenal.
    wah jadi tambah ilmu tentang kepemimpinan nih mas dari artikel imi
    Thanks mas......

    ReplyDelete