Munculnya Politik Kartel di Indonesia : Berakhirnya Ideologi Kepartaian di Indonesia?
Oleh : Ahmad Rofik
Studi tentang sistem kepartaian di Indonesia era Reformasi paling mutakhir dilakukan oleh Kuskridho Ambardi, dalam disertasinya The Making of Indonesian Multy Party System; A Cartelized Party System and Its Origin, dari The Ohio State University tahun 2008. Disertasi tersebut telah diterjemahkan dan dipublikasikan dalam buku berjudul Mengungkap Politik Kartel, Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi.
Ambardi dalam studinya tersebut melakukan pemotretan terhadap dinamika partai politik, khususnya sistem kepartaian di Indonesia dalam konteks politik era reformasi yaitu pemilu legislatif 1999 dan 2004 dalam rangka memperebutkan kursi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan keterlibatan partai politik di kancah pemilu Presiden 1999 oleh DPR dan Pemilu Presiden langsung oleh rakyat tahun 2004.
Pemotretan terhadap dinamika politik kepartaian itu tidak hanya berhenti dalam kontestasi politik pemilu legislatif dan pemilu presiden saja, tetapi jauh memasuki bagian terdalam dari ranah kekuasaan, dimana disetiap sudut kekuasaan (DPR juga Pemerintah) partai politik memainkan peran penting dalam rangka memperebutkan sumberdaya politik dan ekonomi. Keterlibatan partai politik dalam setiap sudut ruang kekuasaan tersebut sebagai bagian yang sangat penting bagi mereka untuk menjaga kelangsungan hidup partai, sekaligus menjaga keseimbangan kekuasaan.
Temuan dalam disertasi Ambardi adalah bahwa di era
reformasi terjadi perubahan perilaku partai politik yang secara
signifikan pada akhirnya merubah sistem kepartaian di Indonesia. Perubahan
perilaku partai politik tersebut berkaitan dengan faktor-faktor
kepentingan setiap partai berkaitan dengan sumber daya kekuasaan dan
ekonomi yang menarik perhatian seluruh partai politik untuk terlibat dan
saling berinteraksi untuk mendapatkan bagian dari proses bagi-bagi
kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam setiap keputusan politik
pemerintah maupun lembaga legislatif. Hal tersebut pada akhirnya
melahirkan sikap-sikap dari partai politik itu sudah tidak lagi
memperbincangkan sesuatu yang bersifat ideologis kepartaian. Isu-isu
ideologis hanya bersifat pinggiran dalam struktur kekuasaan, tergeser
oleh perbincangan politik yang lebih konkrit berkaitan dengan
kepentingan pembagian kekuasaan dan sumber daya ekonomi. Ideologi
kepartaian hanya menjadi isu menonjol dalam arena pertarungan politik
memperebutkan suara pemilih pada saat pemilu saja. Setelah pesta pemilu,
partai politik segera melakukan penyesuaian diri di dalam lingkungan
struktur politik yang mengakomodasi berbagai kepentingan partai untuk
masuk ke dalam pusat-pusat kekuasaan.
Analisis terhadap sistem kepartaian (system party) adalah bagaimana menjelaskan perilaku partai politik yang menjadi bagian dari suatu sistem dan berinteraksi satu sama lain dan berinteraksi dengan unsur-unsur lain yang ada di dalam sistem itu (Budiardjo, 2008: 415). Kiranya perlu dilakukan kajian kritis (review) terhadap hasil dari temuan studi sistem kepartaian ini, oleh karena ada beberapa hal yang masih perlu dilakukan klarifikasi dan pengujian ulang terhadap temuan-temuan tersebut. Utamanya berkaitan dengan apa yang disebut dengan analisa sistem kepartaian tersebut. Pertama, pada level interaksi antar partai, mengandaikan adanya aktor atau agen-agen partai politik yang berperan menjadi wakil partai, mewakili sebuah struktur partai. Artinya perlu dibicarakan bagaimana dengan peran agen dalam kontek sistem itu.
Kedua, pada level partai politik, adanya agen politik dan struktur politik dalam partai politik, memiliki dinamikanya sendiri interaksi antar agen dan agen dengan struktur partai. Diskusi di dalam partai mencakup nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai ideologi menjadi landasan terbentuknya partai dan berfungsi sebagai “jantung” hidup-matinya partai itu. Sebagaimana para sarjana ilmu politik mendefiniskan tentang partai politik bahwa pentingnya nilai-nilai (ideologi) itu sebagai daya gerak partai. Ideologi juga menjadi kajian tersendiri dalam ilmu politik. Tumbuhnya politik kartel menandai berakhirnya ideologi partai. Sebagimana Daniel Bell mempunyai kesimpulan bahwa kemenangan kapitalisme menandai berakhirnya ideologi (the end of ideology) dan Fukuyama menambahkan bahwa pada tahap berikutnya menjadi kemenangan demokrasi liberal menandai berakhirnya sejarah (the end of history).
Analisis terhadap sistem kepartaian (system party) adalah bagaimana menjelaskan perilaku partai politik yang menjadi bagian dari suatu sistem dan berinteraksi satu sama lain dan berinteraksi dengan unsur-unsur lain yang ada di dalam sistem itu (Budiardjo, 2008: 415). Kiranya perlu dilakukan kajian kritis (review) terhadap hasil dari temuan studi sistem kepartaian ini, oleh karena ada beberapa hal yang masih perlu dilakukan klarifikasi dan pengujian ulang terhadap temuan-temuan tersebut. Utamanya berkaitan dengan apa yang disebut dengan analisa sistem kepartaian tersebut. Pertama, pada level interaksi antar partai, mengandaikan adanya aktor atau agen-agen partai politik yang berperan menjadi wakil partai, mewakili sebuah struktur partai. Artinya perlu dibicarakan bagaimana dengan peran agen dalam kontek sistem itu.
Kedua, pada level partai politik, adanya agen politik dan struktur politik dalam partai politik, memiliki dinamikanya sendiri interaksi antar agen dan agen dengan struktur partai. Diskusi di dalam partai mencakup nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai ideologi menjadi landasan terbentuknya partai dan berfungsi sebagai “jantung” hidup-matinya partai itu. Sebagaimana para sarjana ilmu politik mendefiniskan tentang partai politik bahwa pentingnya nilai-nilai (ideologi) itu sebagai daya gerak partai. Ideologi juga menjadi kajian tersendiri dalam ilmu politik. Tumbuhnya politik kartel menandai berakhirnya ideologi partai. Sebagimana Daniel Bell mempunyai kesimpulan bahwa kemenangan kapitalisme menandai berakhirnya ideologi (the end of ideology) dan Fukuyama menambahkan bahwa pada tahap berikutnya menjadi kemenangan demokrasi liberal menandai berakhirnya sejarah (the end of history).
Perubahan perilaku partai politik pada akhirnya akan
bersentuhan dengan ideologi yang dapat menimbulkan konflik dan
kontradiksi. Konflik dan kontradiksi dalam pengertian Marxian atau pun
neo-Marxian menjadi bagian pentinguntuk dikaji lebih lanjut. Temuan
adanya perubahan sistem kepartaian itu mengesampingkan kemungkinan
adanya konflik dan kontradiksi dalam partai. Kajian terhadap Konflik dan
kontradiksi (Gidden, 2009) mestinya mendapt perhatian dari kajian
tentang sistem kepartaian ini. Sehingga secara keseluruhan ini berkait
dengan fokus kajian Anthony Gidden berkaitan dengan teori strukturasi. Ketiga,
perbincangan sistem, sebagaimana dipahami dalam teori-terori sosial,
dalam temuan sistem kepartaian ini kurang lebih mengesampingkan
kemungkinan terjadinya krisis legitimasi (Habermas, 2004) dalam kontek
sistem politik itu. Studi tentang perubahan sistem kepartaian ini
menjadi kebutuhan bagi upaya penyempurnaan teoritis dan upaya perbaikan
kepartaian secara praktis. Dengan demikian ketiga hal tersebut mempunyai
signifikansi dalam upaya review ini.
Tumbuhnya Politik Kartel, Matinya Ideologi Partai?
Potret kepartaian di Indonesia dalam persaingan
politik di arena pemilu maupun persaingan dalam kekuasaan pada era
1950-an (orde lama) di dominasi oleh isu-isu kegamaan dan kedaerahan.
Memang pada masa itu yang tumbuh adalah cleavage keagamaan (Islam versus
sekuler) dan kedaerahan (nasional versus regional). Persaingan antara
kelompok Islam dengan kelompok sekuler terbukti dengan adanya perdebatan
tentang Negara Islam dan Negara Sekuler. Demikain pula politik
kedaerahan menjadi bagian yang menggairahkan, seperti lahirnya gerakan
perjuangan politik yang berbasis kedaerahan. Baru kemudian pada sejak
1970-an (orde baru) dengan dimulasinya modernisasi, industrialisasi
mendorong munculnya cleavage kelas. Sebagai akibat dari industrialisasi
lahir kelas kapitalis dan kelas buruh. Dengan demikian pada masa orde
bari struktur cleavage sosial lebih kompleks, sebagaimana ada di
beberapa negera-negara demokrasi maju. Namun demikian karena watak dasar
kepolitikan orde baru yang otoriter, saluran kepentingan yang
berbasisikan ketiga cleavage tersebut tidak mendapat saluran politik
yang memadai karena tekanan dan kekangan politik rezim orde baru yang
sangat kuat. Berkahirnya kekuasaan rezim orde baru (1998) menandai
terbukanya kebebasan politik dan saluran-saluran politik, serta partai
politik untuk memobilisasi semua cleavage tersebut. Era demokratisasi
itu membawa dampak bagi terbentuknya sistem kepartaian baru dengan dasar
persaingan politik dengan memobilisasi ketiga cleavage tersebut.
(Ambardi, 2008: 91-92).
Paska lengsernya kekuasaan Soeharto (1998), maka
kebutuhan berikutnya adalah menata aturan main untuk membangun sistem
politik baru melalui pemilu yang adil dan demokratis. Akhirnya
disusunlah beberapa kebutuhan-politik sebagai aturan main dalam pemilu,
meliputi penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan keterlibatan warga
dalam pemilu. Netralitas militer dan korps pegawai negeri sipil menjadi
bagian yang dituntaskan. Demikian pula adanya jaminan kebebasan ideologi
sebagai basis kepentingan kolektif digunakan sebagai asas partai
diakomodasi dengan baik. Hal lain yang menempati porsi besar adalah
diakomodasinya kepentingan daerah. Dengan diakomodasinya kepentingan
daerah, maka partai-partai politik ideologis mengalami kesulitan untuk
melakukan mobilisasi cleavage kedaerahan. (Ambardi, 2008: 123).
Arena politik dalam pemilu 1999 diwarnai persaingan
antara dua kubu ideologis: Islam dan sekuler. Terjadi pertarungan yang
sangat keras antara golongan Islam dan sekuler tersebut. Meski kedua
kubu mengangkat isu kelas dan kedaerahan, tetapi pada kenyataannya
isu-isu itu tidak memberikan perbedaan yang signifikan secara ideologis.
(Ambardi, 2008: 234) Menurut Ambardi sistem kepartaian di Indonesia
bergerak kearah system kepartaian yang terkartelisasi dengan beberapa
bukti.
Pertama, beberapa partai politik membentuk koalisi turah
yang tidak lagi dibatasi oleh pandangan yang bersifat ideologis
kepartaian tetapi hanya berorientasi pada kepentingan kekuasaan yaitu
dalam pembentukan kabinet selama dua kali kabinet pemerintahan Gus
Dur-Mega dan pemerintahan Mega-Hamzah sepanjang tahun 1999-2004.
Dinamika politik paska pemilu diwarnai adanya pergeseran makna
persaingan politik, dari persaingan politik yang bersifat ideologis pada
saat pemilu bergerak kearah kerjasama antar partai dalam rangka meraih
sumber daya politik kekuasaan dan sumber daya ekonomi demi keuntungan
pragmatis masing-masing partai politik.
Kedua, adanya migrasi ideologis
yang dilakukan secara kolektif oleh partai-partai politik, dimana
mereka bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok dan secara
kolektif meninggalkan program-program partai mereka, terjadi perubahan
komitmen politik dari komitmen populis ke komitmen pro-pasar. Sistem
kepartaian yang terkartelisasi ini juga menemukan bentuknya kembali
dalam medan politik pemilu 2004. Meski masih tetap muncul adanya isu
ideologis dalam pemilu legislatif, hingga tahap pertama pilres 2004,
namun ketika masuk pilpres tahap kedua dan dalam arena politik
penyusunan kabinet, semua partai secara berkelompok pula memperjuangkan
kepentingan politik, posisinya masing-masing untuk memperoleh jabatan
dalam kabinet. Upaya kolektif partai-partai ini terus berhasil dan
semakin menemukan bentuknya dalam sebuah system politik kartel dan
terabaikannya program-program ideologis partai. (Ambardi, 2008: 235,
281).
Temuan studi Ambardi ini dapat disarikan, pertama
selepas gerakan reformasi 1998 dengan turunnya Presiden Soeharto,
dimaknai oleh banyak kalangan aktifis politik sebagai era keterbukaan
politik dan kebebasan politik, ditandai dengan apa yang disebut euphoria reformasi pada
tahap awal reformasi dengan tumbuhnya berbagai partai politik berbasis
ideologi (agama, nasional, sekuler, Marxian), berbasis kepentingan
daerah dan berbasis kepentingan kelas (buruh). Kedua, arena
pertarungan politik pemilu legislatif 1999 lebih di dominasi oleh
persaingan ideologis dan sedikit bersifat kedaerahan dan kelas. Tetapi
menjelang pemilihan presiden oleh DPR terjadi persaingan yang bersifat
ideologis dan secara cepat bergerak kearah kerjasama antar partai
politik tanpa persaingan ideologis dengan mengemukanya faktor
kepentingan yang bersifat pragmatis, kekuasaan. Fenomena ini terulang
kembali pada pemilu 2004, dimana pertatungan dalam arena politik pemilu
legislatif masih ditemui faktor-faktor persaingan ideologis sampai
pilpres langsung tahap pertama. Tetapi pada pilpres tahap kedua dan
tahap penyusunan kabinet partai politik segera mengakhiri persaingan
ideologis beralih ke dalam bentuk kerjasama politik untuk masuk ke dalam
kabinet. Hal ini sekaligus dalam sistem kepartaian di Indonesia tidak
terjadi oposisi yang bermakna. Ketiga, partai-partai politik
secara meyakinkan dalam beberapa hal mengabaikan “ideologi kepartaian”
yang telah digembor-gemborkan menjadi lansdasan perjuangan, namun dalam
tataran praktik politik partai-partai politik “mengakhianati” ideologi
partainya oleh karena kepentingan yang bersifat politik dan ekonomi.
Berkaitan dengan kepentingan ekonomi, seluruh partai politik
berkepentingan terlibat dalam proses politik dalam DPR maupun
pemerintahan untuk memperoleh sumber daya ekonomi sebagai “amunisi” bagi
mesin partai politik tersebut. Hal ini sekaligus dapat dikatakan
menandai berakhirnya ideologi kepartaian menuju kerjasama.
Strukturasi Giddens dan Sistem Kepartaian Terkartelisasi
Berkaitan dengan studi Ambardi ini, saya akan mebedah
dengan kerangka teori strukturasi Giddens. Kaitan teoritiknya, dalam
memperbincangkan sistem kepartaian dalam konteks struktur politik era
reformasi, maka tidak terelakkan pentingnya memperbincangkan kaitan
aktor (agensi), sistem dan struktur. Giddens memberikan penjelasan
perbedaan antara struktur, sistem dan strukturasi sebagai terma yang
sangat diperlukan dalam teori sosial, sekaligus untuk membedakan dengan
teori strukturalisme-fungsionalisme Parsons. Struktur sebuah organisme
hadir secara terpisah dari fungsinya dalam pengertian khusus tertentu:
bagian-bagian tubuh dapat diteliti ketika organismenya mati, ketika
tubuh berhenti berfungsi. Namun sebaliknya dalam sistem sosial, tidak
lagi hadir ketika berfungsi di dalam sistem itu berhenti: pola-pola
hubungan sosial hanya hadir sepanjang hubungan sosial terorganisasi
sebagai sistem , dan direproduksi sepanjang perjalanan waktu. (Giddens,
2009: 106).
Struktur sosial cenderung mencakup dua unsur yaitu pemolaan interakasi (patterning of interaction)
yang menyiratkan hubungan antara aktor dengan kelompok; dan kontinuitas
interaksi di dalam waktu. Singkatnya Giddens member batasan, struktur meliputi aturan dan sumber yang disusun sebagai sifat-sifat sistem sosial yang hanya hadir sebagai sifat-sifat struktural. Sistem adalah relasi yang direproduksi di antara aktor atau anggota kolektif, yang disusun sebagai praktik sosial yang teratur. Strukturasi sebagai
aneka kondisi yang memengaruhi kontinuitas atau transformasi struktur,
dan karenanya reproduksi sistem. (Giddens, 2009: 115)
Studi Ambardi mengabaikan adanya kemungkinan dinamika
antara aktor, sistem dan struktuk. Pengabaian itu dapat dilihat dari
pandangan yang memperlakukan perilaku partai politik hanya dalam konteks
institusional kepartaian, partai sebagai institusi. Sementara dinamika
internal partai yang kemungkinan besar juga terjadi tidak menjadi
sasaran pengamatannya. Padahal dinamika proses antar aktor dalam
internal partai yang ada kesan “menggadaikan ideologi” mestinya menjadi
sangat menarik. Sesungguhnya cara pandangn Ambardi masih bersifat elitis
dalam melihat perilaku partai.
Timbangan teoritiknya adalah apa yang dikatakan
Giddens adanya dinamika (proses) yang terbuka antara aktor (agen) dengan
struktur dalam mereproduksi sistem. Sementara itu ada tiga tingkat
reproduksi sistem. Pertama, bagaimana penetrasi para aktor
terhadap institusi yang direproduksinya di dalam dan melalui praktik
mereka memungkinkan reproduksi praktik-praktik itu sendiri. Semua aktor
sosial banyak mengetahui apa yang sedang mereka lakukan di dalam proses
interaksi; dan pada saat yang sama terdapat banyak hal yang tidak mereka
ketahui tentang kondisi dan konsekuensi aktivitas mereka dan diakui
mempengaruhi perbuatan mereka. Kedua, mengkaji dampak-dampak
lolosnya aktivitas dari maksud para penggagasnya terhadap reproduksi
praktik, melalui aneka proses yang menghubungkan praktik yang
bersangkutan dengan cirri-ciri lain sistem sosial yang lebih luas yang
menjadi induknya. Ketiga, regulasi-diri refleksif, berhubungan
kembali secara langsung dengan rasionalisasi perilaku dalam praktik.
Perilaku dipandu oleh kesadaran akan kinerja dengan prinsip umpan-balik.
(Giddens, 2009: 410)
Studi Pergeseran Ideologi Kepartaian
Studi Ambardi secara tidak tegas menyebut arah
ideologi seperti apa sesungguhnya dengan adanya pengabaian-pengabaian
ideologi partai demi kepentingan yang bersifat pragmatis. Apakah ini
menandai berkahirnya ideologi kepartaian di Indonesia? Dalam konteks ini
saya kembali akan memberikan penilaian lain berkaitan pergeseran
ideologi kepartaian di Indonesia saya kaitkan dengan sejarah pergeseran
ideologi kepartaian di negara-negara Barat.
Berkaitan dengan sejarah partai politik di Barat, Miriam Budiardjo membedakan beberapa jenis partai politik, diantaranya partai massa dan partai kader/partai ideologi (Budiardjo,
2008: 398-399). Partai politik di Barat (Inggris dan Perancis) dekade
18-an pada awalnya bersifat elitis dan aristokratis dalam rangka
mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan
raja. Seiring meluasnya hak politik warga, maka dilakukan upaya
perluasan dukungan politik warga dan pada abad ke-19 mengambil bentuk
organisasi massa politik menandai lahirnya partai politik yang pada
perkembangannya berperan menjadi penghubung (intermediary) antara rakyat dan pemerintah.
Pada tahap awal partai politik hanya mengutamakan
kemenangan dalam pemilu, sementara paska pemilu kurang aktif, ini yang
disebut dengan patronage party (partai lindungan yang dilihat hanya dalam rangka patron-client relationship) yang juga bertindak sebagai broker. Kemudian berkembang lahirnya partai massa
yaitu partai yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan
kelebihan jumlah anggota, terdiri atas pendukung dari berbagai aliran
politik yang ada dalam masyarakat. Mereka sepakat bernaung di bawah
partai tersebut untuk memperjuangkan suatu program tertentu dalam
parlemen. Partai politik tersebut menjadi agak kabur ketika harus
memperjuangkan banyaknya kepentingan dari berbagai aliran politik yang
ada di dalam partai. Contoh dari jenis partai ini adalah Partai Demokrat
dan Partai Republik di Amerika Serikat. Perkembangan selanjutnya di
Barat muncul partai yang bersandar pada suatu ideologi (weltanschauung)
tertentu seperti Sosialisme, Fasisme, Komunisme, Kristen Demokrat, dan
sebagainya. Dalam beberapa hal partai jenis ini lebih disiplin,
sentralistis dalam rangka menjaga kemurnian doktrin politik, ikatan
ideologi yang sangat kuat.
Menjelang Perang Dunia I timbul klasifikasi partai berdasarkan ideologi dan ekonomi
yaitu partai “kiri” dan partai “kanan”. Partai yang berideologi “kiri”
berpandangan perlunya campur tangan negara dalam kehidupan sosial dan
ekonomi, pro-perubahan, memperjuangkan hak-hak warga dan kesetaraan (equality) untuk lapisan bawah. Partai yang berpandangan “kanan” berpandangan pasar bebas, status quo
atau konservatif dan menekankan kewajiban-kewajiban kepada warga.
Menjelang Perang Dunia II di Barat terjadi perkembangan baru dalam
konstelasi kepartaian yaitu adanya kecenderungan meninggalkan tradisi
pembedaan jenis partai patronage vs weltanschauung/ideologi, massa vs kader, dan “kiri” vs “kanan”. (Budiardjo, 2008: 400).
Hal tersebut terjadi karena adanya partai-partai
kecil yang ingin menjadi partai besar dan menang dalam pemilihan umum,
maka perlu adanya perluasan dukungan pemilih (electoral) dengan merangkul pemilih tengah (median voter atau floating voter).
Beberapa partai kecil tersebut ternyata berhasil menang dalam pemilu,
membentuk pemerintahan baru dan memperjuangkan program partainya.
Kemenangan ini dapat di raih karena adanya upaya mengendorkan sikap
doktriner partai, kaku dan eksklusif menjadi fleksibel dan inklusif.
Sehingga di negara Barat yang sudah mapan ada kecenderungan pergeseran
ideologi partai secara sentripetal yaitu dari “exterem kiri” ke tengah (trend to the center),
demikian pula dari “extreme kanan” ke tengah. Fenomena konvergensi
ideologi kepartaian antara “kiri” dan “kanan” ini oleh Otto Kircheimer
dikatakan sebagai gejala de-idelogisasi partai-partai. (Axford, 2002: 361).
Athony Downs menjelaskan bahwa konvergensi ideologi
partai tersebut terjadi secara berbeda, yaitu dalam masyarakat mapan
terjadi konvergensi (titik temu) ideologi partai “kiri/kanan” menjadi
partai tengah, sementara dalam masyarakat yang terpolarisasi tidak
terjadi konvergensi ideologi partai “kiri/kanan” tetap dalam posisi
extreme partai “kiri/kanan”. (Budiardjo, 2008: 401) Berkaitan dengan
perkembangan ini, menurut Otto Kircheimer timbul jenis partai politik
modern yang disebut catch-all party yaitu partai politik hendak
menghimpun semaksimal mungkin dukungan warga dari berbagai macam
kelompok masyarakat dan dengan sendirinya menjadi partai yang inklusif.
(Axford, 2002: 361) Partai jenis ini terorganisir secara profesional,
memperjuangkan kepentingan umum secara luas daripada kepentingan satu
kelompok saja. Lahirnya catch-all party ini terkait dengan
perubahan sosial dan politik, serta kemajuan teknologi (informasi)
dimana publik dengan mudah dapat mengakses perkembangan sosial dan
politik.
Berkaitan dengan konvergensi ideologi kepartaian,
maka menurut saya terlalu tergesa-gesa untuk menyimpulkan bahwa sistem
kepartaian yang terkartelisasi dengan mengendornya ideologi kepartaian
menuju kea rah konvergensi ideologi. Oleh karena secara kultural dan
sosial politik kelahiran partai politik di Indonesia dengan
negara-negara Barat sangat berbeda. Arah kovergensi sebagai rangkaian
dari gerak kapitalisme global, barangkali hal ini dapat dipertimbangkan.
Tetapi tidak ada hal yang meyakinkan bahwa langkah-langkah pragmatis
politis partai-partai politik itu didasarkan atas pemikiran
kapitalisme-liberal. Kecuali, sebuah arus besar yang tidak menjadi
sebuah agenda setting partai politik itu dalam menikmati akibat
tidak langsung dari masuknya praktik ekonomi-kapitalistik ke dalam
mesin politik-administratif.
Terkait gejala de-ideologi partai politik, di dunia Barat terjadi debat The End of Ideology Debate, dipicu jatuhnya fasisme sesudah Perang Dunia II dan mundurnya komunisme. Sarjana Amerika, Daniel Bell dalam bukunya The End of Ideology: On the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties mengatakan:
Di Barat, ada konsensus di antara para intelektual tentang masalah politik, yaitu: diterimanya negara kesejahteraan (welfare statei); diidamkannya desentralisasi kekuasaan; sebuah sistem ekonomi campuran (mixed economy) dan pluralisme politik (political pluralism). Dengan demikian masa ideologi telah berakhir. (Budiardjo, 2008: 402).
Konsensus yang dimotori kaum sosial-demokrat dimaksud menyangkut perlunya dilaksanakan welafer economics melalui konsep welfare state¸
dimana sumber daya Negara didistribusikan dengan lebih adil sehingga
mengurangi kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya. Sarjana Amerika
yang lainnya, Francis Fukuyama melalui bukunya The End of History and the Last Man
mengatakan bahwa globalisasi sebagai sebuah kecenderungan umum akan
melanda seluruh dunia, majunya ekonomi pasar akan diikuti dengan
diterimanya prinsip-prinsip demokrasi liberal secara universal. Samuel
Huntington termasuk sarjana Amerika lainnya yang menentang pandangan
kedua sarjana Amerika tersebut. Menurut Huntington, dirinya menyaksikan
bahwa gerak gelombang demokratisasi di negara-negara dunia ketiga masih
melibatkan ideologi-ideologi (agama) sebagai bagian penting dalam
dinamika politik. Pandangan kedua sarjana tersebut terlihat sangat
ambisius dengan menegasikan segi-segi negatif dari globalisasi dan
meremehkan fakta-fakta lain di belahan dunia lain bahwa sesungguhnya
perkembangan di negara-negara Barat tidak secara otomatis menjadi sebuah
gejala universal yang pasti akan diikuti seluruh dunia. (Budiardjo,
2008: 403).
Pembahasan tentang ideologi sejak Marx hingga pemikir-pemikir sosial berikutnya seperti Habermas dan Althusser, mensyiratkan adanya pembeda antara ideologi mengacu sebagai wacana dan ideologi mengacu pada keterlibatan kepercayaan di dalam pola-pola kehidupan/eksistensi yang dijalani. Bekaitan dengan debat The End of Ideology, menurut para kritikus Marxisme menyatakan bahwa Marxisme adalah ideology yang menonjol, namun mengalami kemerosotan. Jadi The End of Ideology mewakili tamatnya Marxisme (sekaligus tamatnya radikal sayap-kanan) sebagai kekuatan politik yang signifikan. (Giddens, 2009: 347-349) Menurut Giddens, menganalisis aspek-aspek ideologis aturan simbolik, berarti mengkaji bagaimana struktur makna digerakkan untuk mengabsahkan kepentingan golongan dari kelompok dominan. Mengetahui bekerjanya ideologi secara aktual di dalam masyarakat adalah bagaimana mencari pola-pola disembunyikannya dominasi sebagai dominasin (pada level institusional) dan mencari cara-cara kekuasaan dikendalikan untuk menyembunyikan berbagai kepentingan golongan di tingkat perilaku strategis.
Pembahasan tentang ideologi sejak Marx hingga pemikir-pemikir sosial berikutnya seperti Habermas dan Althusser, mensyiratkan adanya pembeda antara ideologi mengacu sebagai wacana dan ideologi mengacu pada keterlibatan kepercayaan di dalam pola-pola kehidupan/eksistensi yang dijalani. Bekaitan dengan debat The End of Ideology, menurut para kritikus Marxisme menyatakan bahwa Marxisme adalah ideology yang menonjol, namun mengalami kemerosotan. Jadi The End of Ideology mewakili tamatnya Marxisme (sekaligus tamatnya radikal sayap-kanan) sebagai kekuatan politik yang signifikan. (Giddens, 2009: 347-349) Menurut Giddens, menganalisis aspek-aspek ideologis aturan simbolik, berarti mengkaji bagaimana struktur makna digerakkan untuk mengabsahkan kepentingan golongan dari kelompok dominan. Mengetahui bekerjanya ideologi secara aktual di dalam masyarakat adalah bagaimana mencari pola-pola disembunyikannya dominasi sebagai dominasin (pada level institusional) dan mencari cara-cara kekuasaan dikendalikan untuk menyembunyikan berbagai kepentingan golongan di tingkat perilaku strategis.
Bentuk-bentuk utama ideologis itu meliputi: (1)
representasi kepentingan golongan sebagai kepentingan universal. Konteks
utama kritik ideology dalam politik modern di dalam masyarakat
kapitalis, berupa analisis dominasi kelas, yaitu memandang adanya
perahasiaan versus penyingkapan dominasi kelas sebagai asal usul proses
akumulasi modal. (2) penolakan atau tranmutasi kontradiksi. Salah satu
ciri utama ideologi politik yang berfungsi menyamarkan lokasi
kontradiksi ini berkaitan dengan pembedaan wilayah urusan “politik”
dengan urusan “ekonomi”. (3) naturalisasi masa kini, pengarcaan (reification), dimana kepentingan kelompok dominan erat berkaitan dengan pelestarian status quo
melalui menaturalisasikan kondisi yang sudah ada sekaligus menghambat
pengakuan akan sifat masyarakat manusia yang dapat berubah dan berciri
historis. (Giddens, 2009: 365-368).
Studi Ambardi dengan menunjukkan adanya fenomena
migrasi ideologi dan dikesampingkannya ideologi partai, seolah-olah
bergerak ke arah pemahaman Giddens tersebut. Jika ideologi menurut
Daniel Bell merupakan seperangkat kepercayaan yang diwarnai gairah yang
berupaya untuk mengubah seluruh cara hidup, jadi semacam agama sekuler,
maka apakah sistem kepartaian Indonesia sedang bergerak menuju ke arah
itu? Hal ini masih dapat diperdebatkan, oleh karena sesuatu yang
bersifat ideologis kepartaian di Indonesia akan menjadi kekuatan baik
yang bersifat manifest atau pun laten. Jadi pengingkaran ideologis hanya
bersifat temporal, oleh karena sejarah kepartaian Indonesia berbeda
dengan sejarah kepartaian di negara-negara Barat. Beberapa ilmuwan lain
diantaranya C Wright Mills, menyatakan bahwa proklamasi tamatnya
ideologi merupakan ideologi itu sendiri. Sehingga menurut Giddens,
tamatnya ideologi dimaknai sebagai sesuatu untuk membantu melegitimasi
relasi dominasi yang sudah ada. (Giddens, 2009: 372)
Krisis Legitimasi Sistem Kepartaian
Selanjutnya saya akan memberikan timbangan teoritik
terhadap studi Ambardi dengan pendekatan teori krisis legitimasi Jurgen
Habermas. Secara ilmiah konsep krisis legitimasi ini mengacu pada
pandangan Jurgen Habermas (2004) yang menyatakan bahwa dalam masyarakat
kapitalisme liberal, kapitalisme lanjut, (termasuk demokrasi liberal)
mengalami krisis yang mendalam meliputi krisis sistem ekonomi, krisis
politik dan krisis sistem sosial-budaya, ketiga krisis tersebut saling
terkait yang berakhir dengan krisis legitimasi sebagai bagian penting
dari krisis rasionalitas dalam konteks masyarakat tersebut. Tiga
perkembangan yang menjadi ciri utama dalam relasi produksi pada
kapitalisme-lanjut; (a) bentuk produksi nilai-lebih yang sudah berubah,
berdampak pada prinsip-organisasi sosial; (b) struktur upah
kuasi-politis, yang mencerminkan kompromi kelas; dan (c) meningkatnya
kebutuhan terhadap legitimasi sistem politik yang menggunakan
tuntutan-tuntutan berorientasi nilai-guna (tuntutan yang dalam kondisi
tertentu bersaing dengan kebutuhan untuk merealisasikan modal). Menurut
Habermas, pada akhirnya pelbagai hubungan produksi itu berubah karena
penggantian hubungan-hubungan pertukaran dengan kuasa administratif
berhubungan dengan kondisi yang didalamnya kekuasaan legitimate harus
ada untuk membuat perencanaan administratif. (Habermas, 2004: 201).
Menurut saya sistem kepartaian di Indonesia dalam
posisi krisis legitimasi, terkait dengan adanya kartelisasi partai
politik yang sesungguhnya tidak mempunyai akar rasional, akar
sosial-kultural dan akar politik ideologis yang jelas. Teorema krisis
legitimasi Jurgen Habermas berasumsi dari pandangannya bahwa kontradiksi
yang terdapat dalam imperative-imperatif pengendalian tidak menegaskan
diri melalui tindakan-tindakan rasional bertujuan yang tidak dilakukan
partisipan-pasar, melainkan oleh anggota-anggota administratif; ia
muncul dalam bentuk kontradiksi-kontradiksi yang langsung mengancam
integrasi sistem, karenanya membahayakan integrasi sosial. (Habermas,
2004: 223) Sementara itu krisis ini legitimasi meliputi krisis motivasi,
oleh Habermas dikatakab bersumber dari dua pola motivasi yaitu
sindrom-sindrom privatisme sipil (civil privatism) dan privatisme kerja yang bersifat kekeluargaan (familiad-vocational privatism).
Kedua pola motivasi tersebut sangat mempengaruhi sistem politik dan
sistem ekonomi. Pola motivasi privat ini dapat diselaraskan dengan
pola-pola kebudayaan yang menampilkan campuran khas antara elemen-elemen
tradisi pra-kapitalis dan elemen tradisi bourjuis. Masyarakat kapitalis
selalu bergantung pada kondisi batas kebudayaan yang tidak bisa mereka
reproduksi sendiri; mereka tak ubahnya seperti parasit yang hidup dari
sisa-sisa tradisi. Dalam ranah politik terjadi mentalitas partikularisme
dan mentalitas subordinasi. Habermas mengutip Almond dan Verba (The Civic Culture) yang berkehendak menyatukan budaya politik borjuasi dengan budaya politik tradisional dan budaya politik kekeluargaan:
Kalau elit kekkuasaan ingin menjadi begitu kuat dan sanggup membuat keputusan yang otoritatif, maka keterlibatan, aktivitas dan pengaruh masyarakat awam harus dibatasi. Khalayak umum harus menyerahkan kedaulatan kepada para elit dan membiarkan mereka memerintah. Kebutuhan terhadap munculnya elit kekuasaan mensyaratkan bahwa masyarakat awam bersikap pasif, tidak terlibat dan mengambil jarak dari para elit. Karena itulah warga Negara yang demokratis diminta untuk mengejar tujuan-tujuan yang kontradiktif; ia harus ektif sekaligus pasif; terlibat naum tidak terlibat, berpengaruh namun mengambil jarak. (Habermas, 2004: 240).
Kontradiksi dalam Sistem Kepartaian
Akhirnya saya mencoba mereview atas studi Ambardi
dengan cara pandangn yang lazim digunakan oleh Marxian yaitu melalui
konsep kontradiksi. Menurut saya, kemungkinan adanya
kontradiksi-kontradiksi dalam internal partai politik dan proses
persaingan ideologis antar partai dan kemudian berbalik menuju kerjasama
politik untuk meraih keuntungan ekonomi dan kekuasaan. Kontradiksi
merupakan salah satu kajian Marx dan Hegel (Habermas, 2004: 144) dalam
sistem ekonomi kapitalis menjadi hal yang sangat penting karena pada
akhirnya akan mempengaruhi sistem dan struktur politik. Kontradiksi
kekuasaan (Giddens, 2009: 248) menjadi bagian dalam kajian teori
strukturasi Giddens. Konsep kontradiksi menurut Giddens haruslah
diletakkan dalam konteks hubungannya dengan komponen struktural sistem
sosial, tetapi dibedakan dengan setiap bentuk ‘ketidaksesuaian
fungsional’. Kontradiksi sosial dalam pengertian Giddens sebagai oposisi
atau keterputusan prinsip-prinsip struktural sistem sosial, ketika
prinsip-prinsip tersebut bekerja di dalam istilah istilah satu sama
lain, namun pada saat yang sama bertentangan satu sama lain. (Giddens,
2009: 267).
Sementara itu dalam pengertian Jurgen Habermas,
kontradiksi mendasar dalam sebuah formasi sosial terjadi ketika prinsip
organisasi (dalam sistem sosial, sistem politik) meniscayakan individu
dan kelompok selalu berhadapan satu sama lain dengan klaim dan intensi
yang lama kelamaan menjadi tidak berkesesuaian. (Habermas, 2004: 145)
Studi Ambardi tentang sistem kepartaian di Indonesia era reformasi,
menurut saya mengabaikan terjadinya kontradiksi-kontradiksi (aktor,
sistem dan struktur). Kontradiksi-kontradiksi itu sesungguhnya masih
menyimpan kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan sistem kepartaian
lebih lanjut. Sehingga terbentuknya sistem kepartaian yang bersifat
kartelisasi masih mempunyai kesempatan untuk berubah, meski tidak mesti
bersifat linier dengan sejarah sistem kepartain di negara-negara Barat.
Penutup
Kelebihan dari studi Ambardi adalah kekuatan data dan
analisanya dalam membongkar selubung kepentingan partai politik dalam
relasi antar partai dan relasi partai dengan kekuasaan. Dari studi
itulah kita dapat gambaran bahwa terjadi pengabaian konstituen
partai oleh para elit partai. Ambardi juga membongkar topeng selubung
ideologi partai dengan baik, dimana partai-partai politik itu
sesungguhnya tidak bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan ideologi dan
program partai sebagai turunan dari ideologi partai itu. Dalam kaitan
inilah saya memberikan timbangan teoritik lain dengan cara pandang
teorema Giddens dan Habermas untuk melihat dinamika sistem kepartaian di
Indonesia era reformasi. Oleh karena studi Ambardi masih menyimpan
upaya universalisasi kajian politik Barat ke dalam studi politik
Indonesia bahwa seolah-olah rangkaian kartelisasi politik kepartaian di
Indonesia ini adalah bagian dari rangkaian panjang kapitalisme global
yang merangsek bangsa Indonesia.
Disinilah menurut saya perlu studi kritis tentang
sistem kepartaian dengan melibatkan analisis dinamika dan proses antara
aktor dan sistem, aktor dan struktur di dalam internal partai. Menurut
saya hal itu karena adanya kealpaan dari studi Ambardi, sehingga
kontradiksi-kontradiksi di dalam internal partai dan persaingan
ideologis yang masih tetap ada di dalam “alam bawah sadar” para elit dan
masyarakat Indonesia. Kesadaran kelas baru (borjuasi dan buruh) sebagai
hasil dari proses kapitalisme global di Indonesia untuk menjadi
kekuatan politik baru, menurut saya masih perlu mendapat perhatian.
Barangkali yang terjadi adalah tersebarnya modal kapitalisme global ke
dalam sistem administrasi institusi politik yang sama sekali tidak
berdampak kepada masyarakat secara umum, konstituen partai. Satu tahap dari pengingkaran partai terhadap konstituen dan dosa politisasi ideologi partai sebagai bentuk kemunafikan secara telanjang, sekelas dengan politisasi agama. Wallahua’lam
Daftar Pustaka
Andrew Heywood, Politics, 2002, Palgrave, New York.
Anthony Giddens, Problematika Utama dalam Teori Sosial; Akar, Struktur dan Kontradiksi
dalam Analisa Sosial, 2009, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Anthony Giddens, Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan, Masa Depan Politik Radikal, 2009,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Barrie Axford, Gary K. Browning, Richard Huggins, Ben Rosamond, Politics; An
Introduction, 2002, Routledge, New York.
Jurgen Habermas, Krisis Legitimasi, 2004, Qalam, Yogyakarta.
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, Studi tentang Sistem Kepartaian di
Indonesia Era Reformasi, 2009, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan LSI
(Lembaga Survei Jakarta), Jakarta.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 2008, Gramedia, Jakarta
Ahmad Rofik adalah Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Unsoed
Wakil Sekretaris PCNU Kabupaten Banyumas. Tulisan ini dimuat atas seizin penulis sendiri.
wah ada politik kartel juga ya ?? :bingung
ReplyDeleteWah bagus nih bener-bener baru wacananya..Gue baru tahu ada politik model kartel ini..
ReplyDeleteAnda Berada di jalan yang tepat menuju kesuksesan bersama. Jangan sia-siakan waktu anda serta kesempatan baik ini. Buang jauh-jauh pikiran negatif kita. Telah tiba saatnya anda menerapkan sistem win-win sulution bersama team
ReplyDeletehttp://www.profitreload.com
guru ku bilang politik itu sifatnya rumit dan gak akan ada habisnya contoh nya gayus sampai saat ini apa sudah kelar? gak kan dan muncul kasus baru m nazarudin weww ketambahan terus
ReplyDeleteKetika semua partai bermasalah, akankah harapan itu masih ada ?
ReplyDeleteyap bener banget
ReplyDeleteWah bagus tw tapi apa tw politik kartel??
ReplyDeletePolitik semuanya cuma OMONG KOSONG
ReplyDeleteParpol sekarang ga ada bedanya satu sama lain. Mereka tak perjuangkan ideologi dengan sungguh2. Ideologi mereka juga sama, yakni uang dan kuasa.
ReplyDelete