Masyarakat Adat yang Masih Terpinggirkan (2)

Oleh : Subhan Agung


Masyarakat adat merupakan kelompok yang memiliki asal usul leluhur (secara turun-temurun), menempati wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri (Loka Karya Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat, 1993). Lebih lanjut masyarakat adat juga dipahami sebagai masyarakat asli (indigeneous people) yang menandakan bahwa mereka merupakan kelompok masyarakat asli yang telah membangun kehidupannya dengan memiliki pemerintahan sendiri (self-governing community) jauh sebelum hadirnya negara dan pasar. Pemerintahan sendiri dimaksudkan sebagai pemerintahan komunitas mandiri dan tidak menjadi bagian dari penyelenggaraan negara (Hudayana, 2005:1).

Kajian-kajian terdahulu seputar masyarakat adat membuktikan bahwa keberadaan mereka di Indonesia sudah sangat lama, bahkan sudah eksis sebelum penjajahan Belanda, namun keberadaan mereka selalu disubordinasikan dalam banyak hal. Sejarah Indonesia menunjukkan secara gamblang bahwa masyarakat adat merupakan komunitas yang sangat rentan menjadi objek diskriminasi pihak-pihak lain di luar komunitasnya, khususnya negara. Diskriminasi tersebut bahkan sudah muncul di masa penjajahan Hindia Belanda. Di masa Hindia Belanda mereka dikelompokkan sebagai masyarakat tradisional dan terisolasi. Kalaupun dilibatkan dalam mode produksi pasar, mereka didesain menjadi kelas buruh kasar. Sebagai masyarakat tradisional mereka juga dibatasi wilayah teritorialnya sehingga mereka terdesak memasuki tanah dan sumber daya alam yang marjinal yang mengantarkannya pada jaring kemiskinan, tanah-tanah dijadikan ranch, lahan perkebunan dan instalasi industri. Mereka juga diposisikan sebagai masyarakat yang belum beradab (savage), yang harus dipisahkan dengan kelompok masyarakat yang sudah beradab (civilised). Lebih parah lagi sebagai masyarakat yang dianggap mengancam masyarakat modern mereka boleh dimusnahkan atas nama arogansi hukum dan arogansi rasialis. Walaupun Belanda mengakui eksistensi masyarakat adat dalam bentuk satuan masyarakat hukum yang memiliki tata pemerintahan sendiri, namun Belanda selalu mengintervensi pemerintahan adat agar dapat berfungsi sebagai kepanjangan tangan birokrasi penjajah. Bentuk intervensi tersebut melalui penjinakkan para pemimpin adat agar kooperatif dan korporatis dengan kepentingan penjajah dan mengubah lembaga-lembaga adat agar dapat bekerja efektif untuk melayani penjajah. Penjinakkan terhadap pemimpin adat dilakukan dengan rekruitmen pemimpin yang dipantau dan harus mendapat restu dari 
Belanda (Ibid : 4-7).

Diskriminasi dan pelemahan masyarakat adat juga mewarnai perjalanan pemerintahan Rezim Orde Baru. Di masa rezim ini, masyarakat adat merupakan pihak yang tersubordinasi baik secara politik, kultural maupun ekonomi. Dengan berbagai kebijakan dan sikap negara yang tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal-usul, hak wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi, adat istiadat, hak ekonomi dan hak politik masyarakat adat. Di bidang ekonomi misalnya berbagai perundang-undangan sektoral, khususnya yang dikeluarkan selama Orde Baru seperti UU Pokok Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, UU Transmigrasi dan UU Penataan Ruang telah menjadi instrumen utama dalam pengambilalihan sumber-sumber ekonomi masyarakat adat secara kolusif dan nepotis kepada perusahaan-perusahaan swasta tertentu. Di samping secara langsung mengambilalih sumber daya ekonomi berupa tanah dan sumber daya alam di dalamnya. Pemerintah juga secara sistematis mengendalikan kegiatan ekonomi masyarakat adat lewat kebijakan perdagangan hasil bumi dan perkoperasian. Koperasi Unit Desa (KUD) tidak lagi menjadi lembaga ekonomi yang dilahirkan, ditumbuhkembangkan dan dikontrol oleh anggotanya, namun koperasi dijadikan sebagai alat pengontrol dan pengendali ekonomi pedesaan agar tetap berada di bawah kendali elit politik dan pemilik modal (Moniaga, 2005 :vii-viii).

Satu hal yang sangat penting terkait terpinggirkannya masyarakat adat adalah lemahnya kepemimpinan adat dalam mempertahankan hak-hak identitas, ekonomi dan politik masyarakatnya. Lemahnya kepemimpinan tersebut sebagian besar disebabkan adanya upaya pelemahan secara sistematis peran-peran pemimpin adat, terutama dalam mengelola keaslian identitas local-contain masyarakatnya, pembatasan ruang gerak dan upaya penggeseran peran dari yang sebelumnya sudah berjalan sebagai sistem dalam kepemimpinan adat mereka. Sistem kepemimpinan adat yang berlangsung saat ini pada kenyataannya sebagian besar sudah dirombak oleh Belanda. Sebagai buktinya adalah sistem yang berlaku di Nagari, kabupaten Agam. Menurut Hudayana (2005:71-75) model kepemimpinan Nagari saat ini sebenarnya telah dirombak, di mana para datuk yang menjadi wali Nagari menjadi bawahan Hindia Belanda untuk menjalankan kebijakan yang ditetapkannya. Setelah Indonesia merdeka, Wali Nagari sebagai penguasa tunggal berfungsi sebagai eksekutif di Nagari, ninik mamak berfungsi sebagai lembaga legislatif untuk kelestarian adat, cadiak pandai menjadi dewan pertimbangan. Kebijakan pemerintah pusat menempatkan Wali Nagari sebagai wakil pemerintah seperti di zaman Hindia berlanjut sampai Nagari ditiadakan karena dampak dari berlakunya UU No.5 tahun 1979. Seperti yang sudah dijelaskan dalam paparan di atas, posisi mereka hanya dijadikan alat para penjajah untuk memudahkan akses Hindia Belanda.

Tragedi terbesar dalam upaya pelemahan sistem kepemimpinan adalah ketika terjadi “pengebirian” peran dan fungsi pemerintahan adat di masa Orde Baru dengan lahirnya UU No.5 tahun 1979 tentang Desa. Monaga (1999:viii) menyebutkan bahwa lahirnya UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dengan segala perangkatnya secara langsung menutup akses pemerintahan dan peran pemimpin masyarakat adat untuk mengurus dan mengatur kehidupan masyarakat adat. Secara nyata penguasa adat tidak memiliki kewenangan besar, karena desa sudah memback up fungsi dan peran yang selama ini dijalankannya. Konsep desa ini secara langsung membatasi atau kalau tidak dikatakan mematikan peran-peran institusi-institusi dan pemimpin-pemimpin adat yang di masa Belanda memiliki kebebasan dalam melakukan tata pemerintahan mandiri (self government community). Dengan adanya UU tersebut secara legal-formal pemimpin adat tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan di wilayah desa tertentu, karena kepala desa dan perangkatnyalah yang memiliki kewenangan tersebut. 

Dampak lainnya adalah pengaruh pemimpin adat semakin menyempit di wilayah-wilayah pegunungan atau hutan yang miskin sumber daya alam saja. Posisinya pun di mata negara dianggap antara “ada dan tiada” yang cenderung disepelekan. Sebagai bukti di era Reformasi kebijakan-kebijakan negara masih tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat yang seharusnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan terancamnya identitas dan hak-hak ekonomis mereka (hak ulayat) mereka. Sejumlah kasus membuktikan pemerintah kurang menganggap eksistensi pemerintahan adat ini semisal kebijakan pembangunan Taman Nasional Bukit Dua Belas yang secara langsung merenggut hak identitas dan hak ekonomi Orang Rimba yang sudah sangat lama mendiami wilayah itu sehingga mengharuskan mereka melakukan perlawanan atas kebijakan tersebut (Senjaya, 2011 :5-6). Kasus lainnya adalah kebijakan konversi dari minyak ke gas di tahun 1999 yang tanpa mempertimbahkan suku-suku adat yang sudah terbiasa menggunakan minyak tanah, sehingga berdampak pada sulitnya mereka mendapatkan akses minyak tanah seperti yang terjadi pada kasus Kampung Naga di Tasikmalaya. Mereka kemudian memprotes kebijakan tersebut lewat kuncennya untuk menuntut akses kemudahan dalam mendapatkan minyak tanah dengan menutup diri dari semua tamu yang datang ke Kampung Naga (Satori, 2010:73).

Harapan Besar 
Dari berbagai persoalan yang terkait problem pelemahan kepemimpinan masyarakat adat yang berakibat fatal pada tergerusnya identitas dan kesejahteraan (hak ekonomi) masyarakat adat, berbagai upaya pun terus dilakukan oleh pihak-pihak yang concern dengan persoalan ini. Mereka meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, dan juga pihak lainnya yang membantu secara eksternal. Bahkan revitalisasi juga semakin gencar dilakukan dengan bantuan dari berbagai gabungan LSM semisal Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat untuk Isu Otonomi Daerah, Jaringan Tambang, Walhi Institute for Research and Empowerment (IRE) dan jajaran LSM lainnya. Beberapa di anataranya memfasilitasi lahirnya Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang kemudian melahirkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Terbentuknya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini merupakan suatu perkembangan penting dalam gerakan masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka secara kolektif (Moniaga dalam Kartika dan Candra Gautama, 1999 : xii).

Dengan munculnya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) seperti yang dijelaskan di atas, desakan-desakan perbaikan terus disuarakan. Desakan-desakan tersebut terakumulasi pada hak dan kebebasan masyarakat adat untuk menjalankan berbagai kebiasaan kehidupan sosial-budaya yang sudah berjalan lama atau penulis sebut sebagai perjuangan menegakkan identitas tanpa ada yang menghalang-halangi, hak mendapatkan kesejahteraan dengan kebebasan mengolah hutan dan lahan dalam wilayah adat mereka atau hak ekonomi, dan juga hak-hak mereka lainnya sebagai warga negara yang perlu disamakan seperti pelayanan negara terhadap masyarakat lainnya di Indonesia. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara cukup gencar dalam upaya merevitamisasi kearifan-kearifan lokal masyarakat adat. Agenda-agenda yang dikedepankannya pun banyak menyentuh upaya empowering dan advokasi di bidang hak-hak politik, hak ekonomi, hak sosial budaya, perempuan adat dan isu-isu lainnya yang menjadi keluhan masyarakat adat yang tergabung dalam aliansi ini (Ibid, xiii). 

Harapan besar dengan mulai berkembangnya dukungan dari luar masyarakat adat, semisal kampus, LSM dan munculnya organisasi-organisasi yang menjadi kekuatan masyarakat adat, maka revitalisasi masyarakat adat perlahan, namun pasti menemui titik terang. Revitalisasi tersebut seperti mulai terlihat di masyarakat-masyarakat adat terpencil yang jarang tersentuh seperti misalnya Kampung adat Kuta di Ciamis, Jawa Barat. Kampung Kuta sebagai salah satu komunitas masyarakat adat yang diakui dan termasuk sebagai anggota dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara tentunya memiliki problem yang hampir sama seperti masyarakat adat lainnya dalam persoalan pemerintahan adatnya. Sebagai komunitas yang berada di sebuah desa, anggapan penulis bahwa sistem kepemimpinan adat menjadi sangat terbatas dalam menjalankan peran dan fungsi kepemimpinannya. Namun ada sesuatu yang khusus dan menarik untuk pengkajian selanjutnya, di mana dalam kondisi keterbatasan tersebut, Kampung Kuta memiliki keunikan dalam dominasi yang besar peran pemimpin adat secara de facto dibandingkan pemimpin formal. Dalam studinya Kusmayadi, dkk (2009:62-63) menemukan bahwa peran kepemimpinan adat di Kampung Kuta sangatlah dominan dalam memainkan peranan. Pemerintah formal terkesan tidak memiliki kewibawaan dan berperan dalam ranah yang sangat terbatas, seperti pendataan penduduk dan lain sebagainya. Sedangkan peranan pemimpin adat meliputi manajemen konflik dan penciptaan kedamaian kampung, identitas dan ritual adat, pemanfaatan alam dan pembatasannya, bahkan distribusi sumber daya juga menjadi peranan tokoh-tokoh adat.Namun studi ini masih sangat terbatas karena tidak fokus mengkaji bentuk-bentuk peran pemimpin adat secara detail. 

Hal inilah yang kemudian menjadi menarik, ketika semua masyarakat adat mengalami dilema dengan adanya dualisme kepemimpinan yang mengkebiri kepemimpinan adat, namun dalam kasus di Kampung Kuta ini kepemimpinan adat justru dominan bahkan mampu mendikte pemimpin formal. Hal ini tentu saja dengan mempertimbangkan kelemahan yang tidak bisa dihilangkan sebagai dampak UU No.5 tahun 1979 seperti yang dipaparkan di atas. Selain itu juga, walaupun secara de facto pemimpin adat menguasai hutan adat, tapi secara yuridis, negara bisa kapan saja merampasnya dengan perangkat undang-undang yang ada. Namun paling tidak jika hal ini diangkat sebagai bahan kajian ilmiah akan memberikan sumbangsih akademik bahwa terdapat model kepemimpinan yang eksis dengan kearifan lokalnya yang unik di balik keterbatasan yang umum berlaku di semua masyarakat adat di Indonesia. Semoga ke depan bermunculan penelitian-penelitian yang mampu mengangkat kehebatan-kehebatan lokal yang dapat menjadi contoh bahwa masyarakat adat sebenarnya masyarakat yang beradab dan berperadaban tinggi yang patut dibanggakan setara dengan lapisan masyarakat lainnya di negeri ini. Amin.


Yogyakarta, 21 Juli 2011.


Rerefensi List

Hudayana, Bambang, 2005, Masyarakat Adat di Indonesia : Meniti Jalan Keluar dari Jebakan Ketidakberdayaan, IRE Press, Yogyakarta.

Kartika, Sandra dan Gautama, 1999, Menggugat Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Kusmayadi, Edi, Satori, A, Nurohman, Yuliawati, Widiastuti, Andrias, Ali,  2009, Kajian Sosial, Budaya dan Politik Masyarakat Adat Kampung Kuta, LPPM Unsil, Tasikmalaya

Satori, Akhmad dan Agung, Subhan, 2011, Budaya Politik Kampung Adat Naga, LPPM Universitas Siliwangi, Tasikmalaya




0 komentar:

Post a Comment