Dinamika Perilaku Pemilih NU: Pasang Surut Suara NU Pada Pemilu Paska Orde Baru

Oleh : Ahmad Rofik[1]


ABSTRACT
This paper will discuss the dynamics of voter behavior in elections NU post-new order which have ups and downs. But the post elections throughout the new order, the behavior of voters NU showed a trend of change. This paper discusses the dynamics of voter behavior in addition to NU in the new order post-election, also explains how the future of NU voter behavior in the era of liberal democracy. Before discussing the subject matter dynamics of voter behavior on election NU post-new order, will be given NU historical and political perspective on the new order.

Keywords: NU, Voter Behavior, Dynamics

ABSTRAKSI

Tulisan ini akan membahas dinamika perilaku pemilih NU pada pemilu-pemilu paska orde baru yang mengalami pasang surut. Namun sepanjang pemilu-pemilu paska orde baru, perilaku pemilih NU menunjukkan kecenderungan perubahan. Tulisan ini selain membahas dinamika perilaku pemilih NU pada pemilu paska orde baru, juga menjelaskan bagaimana masa depan perilaku pemilih NU pada era demokrasi liberal. Sebelum membahas pokok persoalan dinamika perilaku pemilih NU pada pemilu paska orde baru, akan diberikan perspektif historis NU dan politik pada masa orde baru.

Kata Kunci : NU, Perilaku Pemilih, Dinamika


Pendahuluan
            Tulisan ini akan membahas dinamika perilaku pemilih NU pada pemilu-pemilu paska orede baru yang mengalami pasang surut. Studi perilaku pemilih NU ini dilakukan setidaknya karena dua alasan. Pertama, sepanjang sejarah politik nasional, NU menjadi salah satu kekuatan politik yang mempunyai peran penting baik pada masa kemerdekaan dan pada masa rezim orde lama menjadi mitra politik penting Soekarno. Meski NU pada awal kekuasaan rezim orde baru tidak mempunyai peran politik penting, tetapi pada era akhir 1980-an dan sepanjang 1990-an, ketika NU menyatakan diri kembali ke khittah 1926 keluar dari politik formal “politik panggung” orde baru, NU tampil sebagai kekuatan politik penyeimbang kekuasaan otoriter Soeharto. Kedua, terbukanya kesempatan politik yang luas bagi seluruh rakyat Indonesia paska tumbangnya kekuasaan Soeharto menandai era reformasi 1998, NU ikut terlibat kembali ke dalam panggung politik nasional ditandai dengan lahirnya PKB sebagai partai politik yang secara formal didirikan oleh PBNU. Selain PKB juga berdiri beberapa partai politik yang berlatar belakang NU, didirikan oleh para aktivis, politisi, ulama NU seperti PKU, Partai SUNNI, dan PNU.
Namun sepanjang pemilu-pemilu paska orde baru, perilaku pemilih NU menunjukkan kecenderungan perubahan. Dinamika perilaku pemilih NU inilah yang akan menjadi fokus kajian tulisan ini dengan menggunakan beberapa perspektif teoritik perilaku politik dan perilaku pemilih. Tulisan ini selain membahas dinamika perilaku pemilih NU pada pemilu paska orde baru, juga menjelaskan bagaimana masa depan perilaku pemilih NU pada era demokrasi liberal. Sebelum membahas pokok persoalan dinamika perilaku pemilih NU pada pemilu paska orde baru, akan diberikan perspektif historis NU dan politik pada masa orde baru.

Perspektif Teoritik Perilaku Pemilih
            Studi tentang perilaku pemilih (electoral behavior) merupakan bagian dari studi perilaku politik (political behavior). Studi perilaku politik itu sendiri merupakan reaksi terhadap pendekatan kelembagaan (institusionalism) yang dianggap tidak memuaskan dalam memberikan penjelasan terhadap fenomena politik, pemerintahan dan demokrasi. Fenomena politik tidak hanya dapat dijelaskan dengan pendekatan kelembagaan, melihat bagaimana bangunan struktur kelembagaan pemerintahan, birokrasi dan demokrasi itu ada. Tetapi fenemona politik itu perlu dijelaskan dengan mempertimbangan pendekatan perilaku politik yang melihat bagaimana individu mempunyai peran sangat penting mempengaruhi jalannya struktur politik pemerintahan, birokrasi dan lembaga demokrasi. Pada kenyataannya perkembangan kelembagaan politik sangat dipengaruhi oleh perilaku politik pemilih, perilaku pemilih (electoral behavioral) individu. (David E. Apter, 1988: 109) Studi perilaku politik ini diantaranya dipengaruhi oleh disiplin psikologi dan ekonomi-politik.
            Menurut Ramlan Surbakti ada empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik individu sebagai aktor politik. Pertama, lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem sosial, sistem budaya dan media massa. Kedua, lingkungan sosial politik langsung yang membentuk kepribadian aktor seperti agama, sekolah, keluarga dan kelompok pergaulan, dinama didalamnya adanya sosialisasi dan internalisasi nilai, norma. Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu, dimana terdapat tiga basis fungsional sikap yaitu kepentingan, penyesuaian diri, eksternalisasi dan pertahanan diri. Keempat, lingkungan sosial politik langsung berupa situasi atau keadaan yang mempengaruhi secara langsung ketika hendak melakukan kegiatan seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan ancaman dengan segala bentuknya. (Ramlan Surbakti, 2007: 132-133)
         Menurut Dennis Kavanagh, perilaku pemilih (voting behahior) merupakan salah satu aspek invidual dalam perilaku politik. Untuk melihat bagaimana perilaku pemilih, menurut Kavanagh ada lima pendekatan yaitu pendekatan struktural, sosiologis, ekologis, sosio-psikologis dan pendekatan pilihan rasional. (Dennis Kavanagh, 1983: 83-87).
Secara umum dikenal ada tiga model pendekatan dalam studi perilaku politik yaitu model sosiologis, model psikologis dan model ekonomi-politik atau pilihan rasional (rational choice). Model sosiologis menekankan pentingnya beberapa aspek yang mempunyai kaitan dengan perilaku pemilih yaitu status sosio-ekonomi, agama, etnik, wilayah dan demografi. Model psikologis memberikan penilaian bahwa tingkah laku politik, perilaku pemilih dipengaruhi oleh aspek identitikasi diri terhadap suatu kelompok dan personalitas elit kelompok, aspek sosialisasi mempengaruhi seseorang dalam memberikan penilain dan keputusan untuk bertindak memilih. Sementara itu menurut model ekonomi politik atau pilihan rasional (rational choice), perilaku pemilih sangat dipengaruhi oleh aspek penilaian dirinya apakah pilihan politiknya tersebut akan mendatangkan keuntungan, kemanfaatan bagi dirinya atau tidak. Sehingga sebelum menentukan pilihan politiknya ada semacam kalkulasi politik yang bersifat rasional-ekonomis. 

NU dan Politik: Dari Orde Lama Sampai Orde Baru
            Keterlibatan NU dalam kancah politik praktis sepanjang sejarah politik nasional pada pada orde lama dapat dilacak melalui studi Deliar Noer (1987, 1996) dan A Syafii Maarif (1987, 1988). Menurut Deliar Noer dan A Syafii Maarif, NU merupakan kekuatan politik Islam tradisionalis yang seringkali mengambil posisi “oportunis” pada masa kekuasaan rezim Soekarno, orde lama. Kesimpulan Noer dan Maarif tidak sepenuhnya benar, karena menurut M Ali Haidar (1994), sikap politik NU yang zig-zag lebih karena pertimbangan kemaslahatan umat dan bangsa yang didasarkan pada pandangan fikih, merujuk pada kaidah-kaidah ushul-fikih.
Keterlibatan NU dalam politik praktis NU dimulai sejak keterlibatannya dalam Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik umat Islam pada era 1940-an. Namun, kekecewaan terhadap kelompok Islam modernis (Muhammadiyah?) dalam Masyumi berkaitan dengan perebutan jabatan Menteri Agama dan peminggiran peran ulama NU di dalam tubuh Masyumi, memicu NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952. Sejak saat itu NU berdiri sebagai partai politik. Pada pemilu pertama 1955, NU tampil sebagai kekuatan politik utama selain PNI, Masyumi dan PKI.
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR.
No.
Partai
Suara
%
Kursi
1.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
8.434.653
22,32
57
2.
Masyumi
7.903.886
20,92
57
3.
Nahdlatul Ulama (NU)
6.955.141
18,41
45
4.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.179.914
16,36
39
Sumber: data KPU (http://www.syarikat.org/en/trackback/426)
           
NU sebagai kekuatan politik besar, menarik Soekarno (PNI) untuk dijadikan kawan koalisi dalam rangka memperkuat kekuasaan pemerintahan rezim orde lama. Perseteruan politik Soekarno dengan Masyumi dan PSI, berakhir dengan dibubarkannya Masyumi dan PSI dengan tuduhan keterlibatan kedua partai tersebut dalam gerakan subversif, kudeta melawan Soekarno. Sehingga praktis panggung politik nasional tinggal dikuasai PNI, NU dan PKI. Gagasan koalisi besar NASAKOM justru menjadi pintu bagi berakhirnya kekuasaan Soekarno. Serangkaian kekerasan sipil sepanjang tahun 1960-an melibatkan PKI dan munculnya gerakan anti-PKI. Sikap politik para ulama dan politisi NU sendiri terbelah menjadi dua, yaitu kelompok yang turut dalam barisan Nasakom dan kelompok yang menentang Nasakom sekaligus pelopor gerakan anti-PKI. Pada akhirnya NU juga tampil sebagai kekuatan politik radikal melawan PKI dan kekuasaan orde lama.
            Memasuki pemerintahan rezim orde baru, Soeharto merancang serangkaian strategi politik dalam rangka membangun legitimasi kekuasaanya, diantaranya menggelar pemilu 1971. Soeharto merekayasa Golkar menjadi kekuatan politik utama untuk memenangkan pemilu-pemilu sepanjang orde baru dengan dukungan penuh aparat birokrasi dan militer. Soeharto menolak keinginan eksponen politisi Masyumi yang menuntut rehabilitasi politik agar Masyumi kembali menjadi partai politik. Soeharto hanya mengijinkan berdirinya Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) sebagai metamorfosis Masyumi yang berisi para politisi eks-Masyumi yang sudah “dijinakkan” pemerintah.
Pemilu pertama orde baru 1971 hanya diikuti 10 peserta pemilu. NU tampil sebagai satu-satunya kekuatan politik lama yang masih dapat mempertahankan perolehan suaranya. Parmusi yang diharapkan menggantikan Masyumi tidak mendapat dukungan suara yang luas sebagaimana Masyumi pada pemilu 1955. NU merupakan satu-satunya kekuatan politik yang masih bertahan di tengah gerakan “buldozer politik” melumpuhkan seluruh kekuatan politik non-Golkar di bawah kendali Menteri Dalam Negeri Ali Murtopo. Sesuai dengan harapan dan scenario pemerintah, akhirnya Golkar tampil sebagai pemenang dalam pemilu 1971 yang berlangsung penuh dengan intimidasi politik dan tindak kekerasan. (R William Liddle, 1992).
Hasil Pemilu 1971

No.
Partai
Suara
%
Kursi
1.
Golkar
34.348.673
62,82
236
2.
NU
10.213.650
18,68
58
3.
Parmusi
2.930.746
5,36
24
4.
PNI
3.793.266
6,93
20
5.
PSII
1.308.237
2,39
10
6.
Parkindo
733.359
1,34
7
7.
Katolik
603.740
1,10
3
8.
Perti
381.309
0,69
2
9.
IPKI
338.403
0,61
-
10.
Murba
48.126
0,08
-
Jumlah
54.669.509
100,00
360
Sumber: KPU (http://www.syarikat.org/en/trackback/427)
Perilaku pemilih NU menunjukkan konsistensinya dalam memberikan dukungan politiknya kepada partai NU baik pada pemilu 1955 maupun pada pemilu 1971. Faktor teologis-ideologis dan psikologis mendominasi suasana batin warga NU untuk tetap memilih partai NU sebagai satu-satunya wadah politik bagi warga NU. Semangatnya adalah memperjuangkan umat Islam, demokrasi dan demi tegaknya ajaran Islam paham ahlussunnah wal jamaah di bumi Indonesia.
Paska pemilu 1971, rezim orde baru di bawah kekuasaan Soeharto melakukan penyederhanaan partai-partai politik saingan Golkar. Langkah ini dimaksudkan agar pemerintah mudah mengkontrol partai-partai politik non-pemerintah. Atas tekanan pemerintah, sembilan partai politik non-Golkar dipaksa masuk ke dalam salah satu wadah partai politik prakarsa pemerintah yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan yang berbasis massa Islam) atau PDI partai Demokrasi Indonesia berbasis massa nasionalis sekuler dan non-muslim). Selanjutnya sepanjang pemilu orde baru 1977, 1982, 1987, 1992 dan pemilu 1997 hanya diikuti tiga pebaeserta pemilu (Golkar, PPP dan PDI). Langkah penyederhanaan partai politik ini secara efektif melemahkan seluruh kekuatan politik di luar pemerintah.
Partai NU “terpaksa” bergabung dalam wadah PPP sebagai partai Islam bersama dengan Parmusi (selanjutnya berubah menjadi MI, Muslimin Indonesia), Perti dan PSII. NU merupakan penyumbang suara terbesar dalam PPP pada pemilu 1977. PPP sejak kelahirannya --secara sengaja dibuat oleh pemerintah orde baru-- menjadi ruang konflik yang tak berkesudahan antara unsur NU dengan MI. Pemerintah mengelola konflik NU- Masyumi pada masa orde lama tumbuh kembali. Langkah pemerintah yang paling sederhana dalam menciptakan konflik tersebut adalah dengan memenagkan kelompok MI pimpinan HJ Naro dan meminggirkan NU sebagai kekuatan politik besar dari PPP. Konflik di dalam tubuh PPP ini tidak lain sesungguhnya usaha pemerintah untuk melemahkan kekuatan politik Islam.

Perbandingan Perolah Suara
Partai NU, Partai Islam Non-NU dan PPP dalam Pemilu 1955-1997

Tahun
Partai NU
Partai Islam Non-NU
PPP
1955
  6.955.141(18,41%)
Masyumi:  7.903.886 (20,92%)

1971
10.213.650(18,68%)
Parmusi   :   2.930.746(5,36%)
PSII         :   1.308.237 (2,39%)
Perti         :      381.309 (0,69%)

1977
-
-
18.743.491 (29,29%)
1982
-
-
20.871.880 (27,78%)
1987
-
-
13.701.428 (15,97%)
1992
-
-
16.624.647 (17,01%)
1997
-
-
25.340.028 (22,43%)
Sumber: diolah dari berbagai sumber

Hasil pemilu 1977 dan pemilu 1982, menunjukkan adanya kontinuitas dan konsistensi perilaku pemilih Islam dan khususnya perilaku pemilih NU yang memberikan suaranya kepada PPP sebagai hasil fusi dari empat partai Islam; NU, Parmusi, PSII dan Perti. Dukungan suara terbesar PPP adalah dari pemilih NU yang pada pemilu 1955 (18,41% suara) dan 1971 (18,68% suara) masih tetap menunjukkan adanya konsistensi pemilih NU memberikan suara politiknya mengikuti keputusan politik NU.
Parmusi sebagai “reinkarnasi” Masyumi pada kenyataannya gagal mempertahankan perolehan suara Masyumi pada pemilu 1955 yang memperoleh 20,92% suara, pada pemilu 1971 Parmusi hanya memperoleh 5,36% suara. Jika suara pemilih Islam dijumlah yaitu suara pemilih NU dan pemilih non-NU pada pemilu 1971 berjumlah 27,12% suara. Sementara pada pemilu 1977, PPP memperoleh 29,29% suara atau ada peningkatan 2,17% suara saja. Tentu saja peroleh 29,29% suara PPP pada pemilu 1971, tidak lain dukungan NU yang 18% suara pemilih NU.
Unsur NU dikecewakan dalam konflik yang berkepanjangan dengan unsur MI dalam tubuh PPP berkaitan dengan daftar caleg DPR RI pemilu 1982. Sejumlah tokoh politisi NU dan ulama politisi NU masih menahan diri untuk tetap bertahan di bawah tanda gambar Kabah lambing PPP. Beberapa juru kampanye unsur NU dalam kampanye pemilu 1982 sudah tidak menunjukkan antusiasme politik yang menggetarkan lagi seperti dalam pemilu 1977. Bahkan beberapa pimpinan NU dan ulama sepuh NU sudah tidak merasa cocok dengan politisasi NU di dalam PPP. (Mahrus Irsyam, 1984) Sehingga PPP dalam pemilu 1982 memperoleh 27,78% suara, mengalami penuruan 2,17% suara dari hasil pemilu 1977 yang memperoleh 29,29% suara.
Puncak kekesalahan dan kekecewaan pimpinan dan elit NU terhadap PPP diekpresikan dengan memberi dukungan keputusan NU kembali ke khittah 1926 dalam Munas NU 1983 dan Muktamar NU 1984 di Situbondo, Jawa Timur. Keputusan NU kembali ke Khittah 1926 diantaranya berisi tentang penegasan NU sudah tidak lagi melibatkan dari dalam kegiatan politik praktis. Artinya NU sudah tidak terikat dan mengikatkan diri lagi dengan PPP. NU mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik.
Akibat langsung dari keputusan NU tersebut adalah adanya gerakan penggembosan terhadap PPP yang dipelopori oleh sejumlah elit politisi NU yang kecewa terhadap PPP. Sehingga pada pemilu 1987 PPP hanya memperoleh 15,97% suara, mengalami penuruan drastis 11,81% dari hasil pemilu 1982 27,78% suara. Dari data tersebut dapat dimaknai bahwa perilaku pemilih NU mulai mengalami pergeseran, perubahan dalam memberikan pilihan politiknya, seiring dengan adanya keputusan PBNU bahwa NU kembali ke khittah yaitu memberi kebebasan kepada warga NU dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Data tersebut menunjukkan bahwa pemilih NU tidak lagi memberikan pilihannya pada PPP, oleh karena kepatuhannya terhadap keputusan structural organisasi, PBNU. Semantara sebagian lagi pemilih NU yang masih tetap memberikan pilihannya pada PPP, karena kepatuhannya secara kultural kepada beberapa ulama-politisi NU dan ulama kharismatik NU yang masih tetap bertahan di PPP. Setelah NU kembali ke khittah, aspirasi politik warga NU sudah menyebar ke Golkar, PPP, PDI. Sejumlah elit politisi NU menyebarang ke Golkar separti Chalid Mawardi dan Slamet Effendy Yusuf, dan sebagian kecil menyeberang ke PDI. Sejak NU mengambil keputusan kembali ke khittah pada muktamar NU 1984, sesungguhnya PPP tidak sepenuhnya ditinggal oleh para politisi NU. Demikian pula sebagian warga NU masih memberikan pilihan politiknya kepada PPP oleh karena secara ideologis masih meyakini bahwa PPP sebagai satu-satunya partai Islam yang dapat menyuarakan aspirasi umat Islam di atas panggung politik orde baru yang otoriter.
Namun pada akhirnya, PPP dalam pemilu 1992, dan pemilu 1997 tidak dapat mengembalikan peroleh suaranya seperti dalam pemilu 1977 dan pemilu 1982. Sebagian besar warga NU telah mengalami perubahan orientasi perilaku pemilih berkat gagasan kembali ke khittah dan gagasan demokrasi yang dipelopori KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum PBNU sejak 1984-1999. Namun, pasang surut perilaku pemilih warga NU dalam setiap pemilu 1955-1997 menunjukkan pola yang sama yaitu sesuai dengan model sosiologis dan model psikologis, yaitu secara structural mengikuti keputusan jam’iyah/organisasi NU dan secara kultural mengikuti ulama kharismatik panutannya. Perilaku pemilih NU mengidentifikasikan diri (identitas personal) sebagai bagian dari NU yaitu kelompok Islam ahlussunnah wal jamaah.

Perubahan Perilaku Pemilu NU Paska Orde Baru
            Perubahan peta politik nasional paska tumbangnya kekuasaan Soeharto rezim orde baru, membuka harapan politik baru bagi seluruh rakyat dan kekuatan politik Indonesia. Termasuk didalamnya NU sebagai salah satu kekuatan politik Islam yang sepanjang kekuasaan rezim orde baru dipinggirkan secara sosial politik dan ekonomi oleh Soeharto. Harapan politik baru ini membangkitkan gairah politik lama NU seperti pada masa masa orde lama (pemilu 1955) dan pada masa awal orde baru (pemilu 1971).
Di tengah gairah politik tersebut muncul desakan politik warga NU dari arus bawah (grass-root) agar NU kembali tampil sebagai kekuatan politik, menjadi partai politik. Namun PBNU tidak mungkin merubah NU menjadi partai politik, karena keterikatannya dengan keputusan NU kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi sosial keagamaan yang telah ditetapkan pada Muktamar NU 1984 di Situbondo, Muktamar NU 1989 di Krapyak-Yogyakarta, serta Muktamar NU 1994 di Cipasung-Tasikmalaya. Akhirnya PBNU merespons tuntutan warga NU dari arus bawah dengan memfasilitasi berdirinya partai politik yang mewadahi aspirasi politik warga NU (Asmawi, 1999). Lahirlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikan pada tanggal 23 Juli 1998 di rumah kediaman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum PBNU di Ciganjur, Jakarta Selatan. Pimpinan PKB dipercayakan kepada KH Ma’ruf Amin sebagai Ketua Dewan Syuro DPP PKB dan H Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Dewan Tanfidz DPP PKB. (Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, 1999)
Berdirinya PKB sebagai partai politik “resmi” warga NU yang secara structural dan formal difasilitasi PBNU, mengundang reaksi dari beberapa politisi NU dan ulama-politisi NU yang tidak terakomodasi dalam PKB. Secara ideologis mereka juga berbeda dengan pandangan politik Gus Dur. KH Syukron Ma’mun mendirikan Partai Nahdlatul Ummah (PNU), KH Yusuf Hasyim mendirikan Partai Kebangkitan Umat (PKU) dan Abu Hasan mendirikan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (P SUNI). PKB tetap sebagai partai politik yang istimewa bagi warga NU, karena keterlibatan NU secara struktural sampai di tingkat paling bawah memfasilitasi berdirinya PKB, di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan hingga sampai tingkat desa. Ini menggambarkan betapa NU sebagai organisasi sosial keagamaan dengan jaringan kultural ulama dan struktur organisasi yang ada, siap menjadi kekuatan politik yang besar. Pemilih NU dihadapkan pada pilihan beberapa partai politik yang lahir dari basis massa NU dan partai politik non-NU seperti PPP, Golkar, PDI Perjuangan dimana para politisi NU masih aktif di dalam ketiga partai politik tersebut.
Pemilu pertama masa reformasi 1999, diikuti 48 partai politik, diantaranya 4 partai politik berbasis massa NU (PKB, PNU, PKU, P SUNNI). PKB dalam perolehan suara nasional menjadi partai terbesar ketiga setelah PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Menurut Dwight Y King (2003), hasil pemilu 1999 menggambarkan kembalinya kekuatan politik lama seperti pada pemilu 1955 dan pemilu 1971 dilihat dari basis massa dukungan partai-partai politik yang memperoleh suara signifikan dalam pemilu 1999. JIka dilihat dari basis massa dukungan, pemilih PDI Perjuangan mewakili kelompok nasionalis-sekuler, PKB mewakili basis massa Islam tradisionalis (eks-partai NU), sementara PAN, PK, PBB mewakili basis massa Islam modenis (Muhammadiyah, atau eks-Masyumi).

Perolehan Suara Pemilu 1999

No.
Nama Partai
Suara DPR
1.
PDIP
35.689.073
2.
Golkar
23.741.749
3.
PKB
13.336.982
4.
PPP
11.329.905
5.
PAN
7.528.956
6.
PBB
2.049.708
Sumber: diolah dari data KPU.
Pemilu 1999 PKB berhasil mengumpulkan dukungan 12,6% suara, paling terbesar jika dibandingkan dengan perolehan suara partai politik berbasis massa NU; PNU 0,64% suara, PKU 0,28% suara, P SUNI 0,17% suara. Perilaku pemilih NU lebih memberikan kepercayaan pilihannya kepada PKB sebagai partai yang didirikan oleh PBNU. Perolehan suara PKB ini tetap saja tidak dapat mengembalikan perolehan suara Partai NU pada pemilu 1955 memperoleh 18,41% suara atau pemilu 1971 memperoleh 18,86% suara.
Pemilu kedua masa reformasi 2004, diikuti 24 partai politik peserta pemilu, diantaranya 2 partai politik berbasis massa NU yaitu PKB dan PPNUI (metamorfosis dari PNU pimpinan KH Syukron Ma’mun). PKB memperoleh 10,57% suara, sementara PPNU hanya memperoleh 0,79% suara. Jika dibandingkan pemilu 1999, PKB mengalami penuruan perolehan suara. Namun tetap saja bahwa perilaku pemilih NU masih sangat jelas memberikan pilihan politiknya secara mayoritas kepada PKB sebagai partai politik “resmi” warga NU. Pemilu masa Reformasi dan demokratisasi ini menjadi arena terbukanya kesempatan politik, ruang politik (political space) bagi seluruh rakyat, termasuk warga NU memberikan pilihan politiknya secara bebas. Mayoritas perilaku pemilih NU memberikan pilihannya kepada PKB, setidaknya karena dua hal. Pertama, faktor struktural dan kultural NU. Jaringan struktural NU dan jaringan kultural ulama NU sampai ke desa menjadi mesin politik yang efektif bagi PKB, khususnya di pulau Jawa. Para pengurus NU di semua tingkatan berperan sebagai deklarator PKB.
Kedua, faktor Gus Dur. Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU hampir 15 tahun, mengawal khittah dengan gigih dan memperjuangkan kemandirian NU vis a vis kekuasaan rezim orde baru. Gus Dur adalah tokoh politik nasional yang kharismatik dan kontroversi dalam memperjuangkan demokrasi, toleransi dan pluralisme. Legitimasi kultural Gus Dur di kalangan NU sangatlah kokoh, karena kakeknya adalah pendiri NU (KH Hasyim Asy’ari) dan bapaknya (KH Wahid Hasyim) pernah menjadi Ketua PBNU. Bagi warga NU, Gus Dur juga mempunyai kelebihan spiritual (sufisme) yang kharismatik sehingga sering disebut-sebut sebagai wali. Modal sosio-kultural Gus Dur inilah yang (tanpa dikapitalisasi) telah menjadi magnet-politik bagi warga NU sehingga ikut mendukung PKB. Secara teortitik dalam model studi perilaku pemilih, perilaku pemilih NU  mayoritas memberikan pilihannya pada PKB karena faktor sosiologis dan psikologis.

Perolehan Suara Partai Politik Berbasis NU
Pemilu 1999, 2004, 2009

Parpol Berbasis NU
Pemilu 1999
Pemilu 2004
Pemilu 2009
PKB
13.336.982 (12,6%)
11.989.564 (10,57%)
5.145.122 (4,94%)
PNU
679.179 (0,64%)


PKU
300.064 (0,28%)


P SUNI
180.167 (0,17%)


PPNUI

895.610 (0,79%)

PKNU


1.527.593 (1,47%)
Sumber: diolah dari data KPU
            Memasuki pemilu presiden dan wakil presiden langsung pada tahun 2004, terjadi guncangan politik dalam tubuh keluarga besar NU. Guncangan politik itu merupakan konflik kepentingan antara PKB dengan NU. Meski PKB adalah partai yang didirikan oleh PBNU pada tahun 1998, tetapi pada pemilu presiden dan wakil presiden langsung pada tahun 2004 tidak ada titik temu antara PKB dengan PBNU. PKB mencalonkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Wiranto-Solahuddin Wahid dalam koalisi dengan Partai Golkar. Sementara KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU) menjadi pasangan calon wakil presiden dari calon presiden Megawati yang dicalonkan oleh PDI Perjuangan.
            PKB secara politik memenfaatkan jaringan struktur organisasi NU dari tingkat pusat sampai tingkat desa menjadi “mesin politik” pada pemilu 1999 dan pemilu legislatif 2004. Pada pemilu presiden dan wakil presiden 2004 terjadi fragmentasi politik pada level struktur formal NU. Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan calon presiden Megawati, dicalonkan PDI Perjuangan. Ketua PBNU KH Solahuddin Wahid mencalonkan diri sebagai wakil presiden berpasangan dengan calon presien Wiranto yang dicalonkan oleh PKB dan Partai Golkar. Pemilih NU dihadapkan pada dua pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden; Mega-Hasyim dan Wiranto-Solahuddin. Sudah dipastikan suara pemilih NU terbelah. Putaran pertama Mega-Hasyim memperoleh 31.569.104 suara (27%), Wiranto-Solahuddin 26.286.788 suara (22%). Di tengah kegelisahan politik nasional mencari figur alternatif, SBY-JK memperoleh dukungan yang mengejutkan yaitu 39.838.861 suara (33%).
Pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua, PKB tidak memberikan dukungan kepada Mega-Hasyim, tetapi ikut dalam koalisi SBY-JK. Pemilih NU kembali dihadapkan pada dua pilihan pasangan Mega-Hasyim dan SBY-JK. Perpecahan dan konflik kepentingan antara elit PKB dengan elit PBNU menjadi ruang politik yang menguntungkan bagi pasangan SBY-JK. Posisi ini dimanfaatkan SBY-JK dengan baik. SBY-JK pada masa kampanye gemar mengunjungi pesantren sebagai basis massa NU-PKB. Akhirnya pasangan SBY-JK memenangkan pemilu presiden dan wakil presiden.
Perilaku pemilih NU mengalami pasang surut, dari pemilu legislatif 2004 ke pemilu presiden dan wakil presiden 2004, tidak secara konsisten memberikan pilihan politiknya kepada PKB. Perpecahan politik pada tingkat elit PKB dan elit NU menjadi ruang politik bagi sebagian pemilih NU menggunakan pendekatan pilihan rasional dalam menentukan pilihannya, yaitu apa yang menguntungkan bagi dirinya.

Pemilu Presiden 2004


Calon Presiden & Wakil Presiden
Tahap I
Tahap II
Megawati-Hasyim Muzadi
31.569.104 (27%)
44.990.704 (39%)
Wiranto-Solahuddin Wahid
26.286.788 (22%)
-
Amien Rais-Siswono Yudho Husodo
17.392.931 (15%)
-
SBY-JK
39.838.861 (33%
69.266.350 (61%)
Hamzah Haz-Agum Gumelar
3.569.861 (3%)
-
Total
118.656.868
114.217.054
Sumber: diolah dari data KPU.
PKB sebagai partai yang dibentuk PBNU terus mengalami konflik internal sejak 2002. Puncak konflik PKB terjadi pada Muktamar II PKB 2005 di Semarang hingga menjelang pemilu 2009. Konflik internal PKB ini mendorong lahirnya partai baru, PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama) dipelopori sejumlah ulama dan politisi yang sebelumnya menjadi bagian penting dari PKB tetapi kalah dalam proses hukun dengan PKB Gus Dur-Muhaimin. Pada akhirnya PKB sendiri akhirnya tanpa Gus Dur oleh karena konflik antara Dur Dur (Ketua Umum Dewan Syuro) dengan Muhaimin Iskandar (Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB). Pemilu legislatif 2009 diikuti PKNU dan PKB tanpa Gus Dur, karena PKB kubu Muhaimin dianggap sah sebagai peserta pemilu sesuai dengan ketentuan UU Pemilu.
Perpecahan politik PKB pada pemilu 2009 ini menjadi jalan bagi surutnya suara PKB hanya memperoleh 5.145.122 suara (4,94%), merosot drastis 5,63% dari hasil pemilu 2004 yang memperoleh 10,57% suara. Sementara suara PKNU sendiri hanya memperoleh 1.527.593 suara atau 1,47%. Jika pun suara PKB dan PKNU digabungkan hanya mencapai angka 6,41%, jauh dari angka perolehan suara PKB pada pemilu 2004, 10,57% suara. Artinya, secara keseluruhan PKB dan PKNU kehilangan suara pemilih NU 6,41%. Bisa jadi 6,41% suara yang hilang itu adalah pendukung setia Gus Dur yang memberikan pilihan pada partai politik lain atau golput.
Dari data tersebut dapat dijelaskan bahwa perilaku pemilih NU semakin menunjukkan kecenderungan kepada model pilihan rasional. Rasionalisasinya bahwa konflik elit politik PKB dan perpecahan politik keluarga besar partai politik berbasis massa NU, sesungguhnya tidak akan memberi manfaat, dampak positif dan menguntungkan bagi kepentingan pemilih NU. Pemilih NU semakin terbuka secara politik dan rasional dalam menggunakan pilihannya.
Kecenderungan perilaku pemilih NU model rasional ini sudah dimulai sejak PKB-NU tidak sejalan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 2004. Pilkada langsung 2004 hingga 2008 di beberapa basis NU sering terjadi perseteruan politik antara elit PKB dengan elit struktural NU. Misalnya, seperti yang terjadi di dalam pilkada gubernur dan wakil gubernur di Jawa Tengah dan Jawa Timur 2008. Pilkada Jawa Tengah tahun 2008, PKB mencalonkan pasangan gubernur dan wakil gubernur Agus Suyitna-Kholiq Arief. Ketua PWNU Jawa Tengah, HM Adnan, MA menjadi calon wakil gubernur berpasangan dengan calon gubernur Bambang Sadono yang dicalonkan oleh Partai Golkar. Suara pemilih NU terbelah. Akhirnya pilkada gubernur dan wakil gubernur Jateng dimenangkan oleh pasangan Bibit-Rustri yang dicalonkan PDI Perjuangan.
Demikian pula dengan kasus pilkada gubernur dan wakil gubernur Jatim, Ketua Umum GP Ansor, Saifullah Yusuf menjadi calon wakil gubernur berpasangan dengan calon gubernur Soekarwo dicalonkan P Demokrat, PAN dan PKS. Ketua Umum Muslimat NU, Khofifah Indar Parawangsa menjadi calon gubernur berpasangan dengan Mudjiono yang dicalonkan oleh PPP, PDI Perjuangan. Sementara Ketua PWNU Jawa Timur, Ali Maschan Moesa juga menjadi calon wakil gubernur yang dicalonkan oleh Partai Golkar. Sementara PKB sendiri mencalonkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sendiri. Pilkada gubernur dan wakil gubernur Jatim akhirnya dimenangkan oleh pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf yang sebelumnya melalui proses sengketa pilkada dengan pasangan Khofifah-Mudjiono yang sangat panjang dan melelahkan melalui Mahkamah Konstitusi.
Perilaku pemilih NU yang disungguhi konflik antar elit PKB-NU dalam pilkada Jateng dan Jatim tahun 2008, akhirnya pemilu 2009 menjadi ruang bagi perilaku pemilih NU untuk menggunakan cara pendekatannya sendiri dalam memutuskan pilihannya yang lebih bersifat rasional. Konflik dan perpecahan politik di dalam tubuh politisi NU yang terus terjadi dan cenderung tidak dapat ditata dengan baik, pada akhirnya membuka ruang politik bagi para pemilih NU tidak lagi terus menggunakan pendekatan sosiologis. Perilaku pemilih NU melakukan upaya pendekatan baru yang lebih bersifat rasional dan sedikit menginggalkan pendekatan psikologis. Fragmentasi politik elit NU, politisi NU dan ulama yang terjun ke dalam politik mengakibatkan terjadinya fragmentasi pada tingkat basis massa warga NU pula. Sehingga perilaku pemilih NU yang mengandalkan kepatuhan organisasi dan terhadap ulama mengalami penyempitan, kalau bukan malah secara perlahan mulai meninggalkan. Hal ini menjadi bagian yang sangat penting untuk kembali dipikirkan oleh para ulama, elit NU.

Masa Depan Perilaku Pemilih NU
            Melihat kecenderungan pasang-surut perilaku pemilih NU dalam memberikan suara pada pemilu-pemilu paska orde baru, dapat diartikan adanya dinamika perilaku pemilih NU. Dinamika perilaku pemilih NU ini diantaranya dipicu oleh semakin terbukanya ruang politik bagi rakyat, sosialisasi politik, demokrasi dan dinamika perilaku elit kader-kader politisi NU itu sendiri. Kader-kader politisi NU itu telah tersebar ke dalam berbagai partai politik yang berbasis massa-historis NU maupun non-NU seperti PPP, P Golkar, PDI Perjuangan, Partai Demokrat dan lainnya. Dinamika elit kader politisi NU di dalam wadah partai berbasis massa NU yang terus berkonflik juga menjadi ruang belajar bagi pemilih NU untuk melakukan koreksi terhadap perilaku politik partai berbasis massa NU. Sehingga pemilih NU memutuskan memberikan dukungan atau tidak memberikan dukungan suara kepada partai-partai politik berbasis massa NU dalam pemilu, kepada elit politisi kader NU yang turut dalam pilkada.
    Jika pada pemilu legislatif 1999 dan pemilu legislatif 2004 masih menunjukkan kecenderungan umum bahwa perilaku pemilih NU masih menggunakan pendekatan sosiologis dan psikologis. Seiring dengan dinamika perilaku politik elit PKB, konflik elit PKB-NU, perpecahan PKB, maka perilaku pemilih NU beralih kepada pendekatan yang bersifat rasional. Kemerosotan perolehan suara PKB, dan minimnya dukungan kepada PKNU pada pemilu 2009 menjadi bukti adanya kecenderungan tersebut. Selain itu karena juga karena adanya pertumbuhan kader-kader politisi NU yang telah berkarir politik secara luas di berbagai partai politik non-NU, utamanya PPP, Partai Golkar dan Partai Demokrat. 
            Dinamika perilaku pemilih NU ini pada akhirnya dapat mendorong terjadinya perubahan pada sistem kelembagan partai politik menuju sistem kepartaian yang lebih modern dan demokratis. Sebab hanya dengan jalan itulah partai politik akan kembali mendapat kepercayaan publik, pemilih. Dengan demikian pula akan terbentuk perilaku pemilih yang tidak semata-mata mengandalkan pendekatan sosilogis dan psikologis, tetapi juga pendekatan pilihan rasional. Runtuhnya pendekatan psikologis dan pendekatan sosilogis pada perilaku pemilih NU menjadi tanda bahwa perilaku pemilih dalam berbagai hal bersifat dinamis dan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat psikologis dan rasional.

Penutup
            Tulisan ini dapat memberikan sumbangan bagi studi perilaku politik, khususnya studi perilaku pemilih. Dengan studi kasus pada perilaku pemilih NU yang selama ini dinilai sebagai pemilih tradisional, pada akhirnya mengalami perubahan orientasi pilihan. Perubahan perilaku pemilih sendiri menjadi watak dasar dari studi perilaku pemilih yang bersifat dinamis.
            Dinamika perilaku pemilih NU yang mengalami pergeseran dari pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis ke pendekatan pilihan rasional merupakan suatu kecenderungan positif bagi demokrasi. Perilaku pemilih yang rasional akan memberikan kritik terhadap perilaku politik elit dan partai politik, sejauhmana mereka benar-benar berpijak pada kepentingan rakyat, kepentingan pemilih. Oleh karena sifatnya yang dinamis, maka kecenderungan pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis dan pendekatan pilihan rasional pada suatu saat dapat muncul silih berganti dalam ruang politik yang terbuka di jagad NU. Wallahu a’lam
 


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafii Maarif, 1987, Islam Dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, LP3ES, Jakarta.
Ahmad Syafii Maarif, 1988, Islam dan Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta
Asmawi, 1999, PKB Jendela Politik Gus Dur, Titian Ilahi Press, Yogyakarta.
David E.Apter, 1988, Pengantar Analisa Politik, LP3ES, Jakarta.
Deliar Noer, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta.
Deliar Noer, 1997, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Grafiti Pers, Jakarta.
Dennis Kavanagh, 1983, Political Science and Political Behavior,
Dwight Y King, 2003, Half-Hearted Reform, Eelectoral Institutions and the Strunggle for Democracy in Indonesia, Praeger, London.
M Ali Haidar, 1994, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, Gramedia, Jakarta.
Mahrus Irsyam, 1984, Ulama dan Partai Politik; Upaya Mengatasi Krisis, Yayasan Perkhidmatan, Jakarta.
Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, 1999, 5 Partai Dalam Timbangan; Analisis dan Prospek, Pustaka Hidayah, Bandung.
R. William Liddle, 1992, Pemilu-pemilu Orde Baru; Pasang Surut Kekuasaan Politik, LP3ES, Jakarta.
Ramlan Surbakti, 2007, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta.
Kuskridho Ambardi, Ratnawati, 2009, Bahan Kuliah Perilaku Politik, S2 Ilmu Politik UGM, Yogyakarta.



[1] Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

0 komentar:

Post a Comment