Review Bab dalam Tulisan Buku


Penjajahan lewat Census, Map, dan Museum :
dari Buku Imagined Communities, Benedict Anderson,1991, Verso : London

Subhan Agung

Menurut Ben Anderson ada tiga lembaga kekuasaan yang diciptakan sebelum pertengahan abab ke-19 yang mengubah bentuk dan fungsinya tatkala negara-negara jajahan memasuki zaman reproduksi mekanistik. Ketiga hal tersebut adalah Cacah Jiwa, Peta dan Museum. Ketiganya beriringan menjadi daya pembentuk jalur pembayangan wilayah-wilayah negara kolonial dari mulai : hakikat manusia yang diperintah, tata letak permukaan bumi dan legitimasi keleluhurannya.
Tentang Cacah Jiwa, Ben Anderson salah satunya mengambil referensi dari Sosiolog Charles Hirscman (1987) yang meneliti mentalitet para pencacah jiwa kolonial Britania di Malaya. Menurutnya ada dua kesimpulan terkait sensus-sensus tersebut : pertama, sesuai proses penjajahan, kategori-kategori cacah jiwa jelas-jelas lebih bersifat rasial, dan menghilangnya jati diri keagamaan. Kedua, secara umum kategori-kategori rasial yang besar masih dilestarikan, malahan tambah dipusatkan lagi setelah kemerdekaan negara-negara jajahan tersebut, hanya saja disusun ulang dan diubah peringkatnya, menjadi kebangsaan Malaysia, Tionghoa, India dan lainya. Ben Anderson juga berkeyakinan bahwa cacah-cacah jiwa seperti di Malaysia lebih dipolitisasi untuk kepentingan penjajahan. Kasus di Malaysia, cacah jiwa lebih merujuk pada tempat-tempat ketimbang mengacu pada apapun yang bisa dikenali sebagai gugus kesukuan dengan bahasa khas tersendiri. Contoh lain juga semisal di Philipina dan Indonesia.
Tentang peta, Ben Anderson mengungkapkan bagaimana peta pada awalnya dikenal hanya sebagai petunjuk yang sifatnya lokal, tidak pernah disituasikan dalam konteks geografis stabil yang lebih besar, bahkan hanya melihat garis lurus di permukaan bumi dan bahwa titik-pandang “mata burung” yang menjadi penggambar peta-peta modern sepenuhnya asing dan tak dikenal seperti yang digambarkan sejarawan Thai Thongchai Winichakul. Kondisi ini kemudian berangsur berubah sejak John Harrison menemukan Kronometer tahun 1761, sehingga perhitungan meridian bisa digambarkan secara persis, seluruh permukaan lengkung dibedah secara geometris, yang akhirnya mengkotak-kotakkan laut kosong dan wilayah-wilayah yang belum terjelajah dalam persegi-persegi terukur. Tugas untuk mengisi petak-petak kosong tersebut bakal diemban oleh para negara super power pada masa itu atau kata lainnya penjajah (Britania, Nederland, Spain, Portugal dan lainnya).
Dari perubahan-perubahan di atas, kemudian lahirlah dua keluaran akhir dari peta –keduanya dilembagakan oleh negara kolonial pada penghujung kiprahnya) yakni : pertama, terjadi rekonstruksi sejarah ‘hak milik’ atas tanah yang baru mereka caplok. Lantaran itulah muncul terutama di akhir abad ke-19, peta-peta historis, dirancang untuk memperagakan, dalam wacana kartografis baru, keantikan unit-unit kewilayahan tertentu, semacam narasi politis-biografis demi kepentingan penjajahan. Kedua, peta sebagai logo, artinya sebagai lambang bagi mereka untuk menandai koloni-koloni mereka di atas peta, berupa warna-warna dari imperium tertentu. Semisal Netherland dicirikan dengan warna kuning-coklat, Britania dengan merah jambon dan sebagainya.
Tentang museum, Ben mengajak pada kita melihat fenomena usaha para arkeologis Negara penjajah yang amat sangat giat-giatnya untuk merestorasi monumen-monumen yang ada di tanah jajahan dan bagaimana situs-situs tersebut mulai diterakan dalam peta untuk disebarkan pada khalayak umum. Menurutnya ada 3 alasan mengapa hal itu menggejala, yakni : pertama, waktu pencurahan energi arkeologis ini bertindihan dengan pergulatan politis pertama yang terkait erat dengan kebijakan-kebijakan pendidikan negara—antara kaum progresif[1] dan kaum konservatif--[2]. Kedua, para rekonstruktor yang nota bene dari negara-negara penjajah selalu menempatkan para pembangun monumen dan penduduk pribumi pada hierarkis tertentu. Misalnya Hindia Belanda sampai dasawarsa 1930-an menyebarkan anggapan bahwa para pembuat monumen kuno tersebut pada kenyataannya bukanlah berasal dari ras yang sama dari orang-orang pribumi. Dengan sendirinya politik ini mengembangkan bayangan bahwa masyarakat pribumi itu tidak bisa apa-apa, yang tidak bisa menyamai prestasi para leluhur mereka yang nota bene bukan ras mereka, yang mampu membangun monumen yang menakjubkan itu. Ketiga, bagaimana rezim-rezim kolonial mulai mengambil strategi pendudukan yang lebih halus, di banding cara-cara yang mereka tempuh sebelumnya yang lebih Machiavellian. Kian hari kian kencang adanya upaya untuk menciptakan pengabsahan-pengabsahan alternatif sebagai gantinya. Semakin banyak mereka yang lahir di Asia Tenggara dan menjadikannya tempat tinggal. Arkeologi monumental, yang kian lama kian terkait dengan pariwisata, memungkinkan negara kolonial untuk tampil sebagai penjaga tradisi yang paling tahu atas penduduk pribumi. Situs-situs tersebut diserap dalam peta koloni.
Dari substansi yang dijelaskan Ben Anderson di atas, keunggulannya adalah mampu menjelaskan secara sinkron bagaimana para bangsa penjajah memainkan peran besar demi kepentingannya mencacah jiwa para koloninya lewat standar-standar pengenal tertentu yang sifatnya politis, kaku tergantung kepentingan mereka dan juga bagaimana peta yang sekarang popular, sebagai upaya memetakan geografis tertentu dari sebuah wilayah atau negara, yang justru pada awalnya lebih digunakan penjajah untuk mempeta-petakan wilayah jajahan mereka dan menandainya. Semisal bagi-bagi wilayah. Dan bagaimana juga hegemoni mereka juga merasuki apa yang disebut arkeologi monumental atau museum. Musium yang kita sekarang banyak manfaatkan sebagai tempat mencari informasi, pengetahuan dan bahkan merekonstruksi sejarah, justru pada masa penjajahan digunakan sebagai identitas superioritas penjajah yang menganggap diri dan bangsanya banyak tahu tentang tradisi pribumi sehingga menjadi penjaga tradisi pribumi.
Kelemahan tulisan ini adalah terlalu banyaknya asosiasi, sehingga tidak mudah untuk dipahami, di sisi lain hal itu dilakukan penulis untuk membuat argumen yang kuat, namun juga menjadi rumit untuk dipahami. Selain itu juga ada hal yang masih debatable terkait dengan museum yang dalam sejarah maraknya di Asia Tenggara, terutama di Indonesia menjadi titik penguat dominasi penjajah dalam mengabsahkan kekuasaaannya, namun dalam pandangan penulis hal itu justru apakah tidak sebaliknya menambah gengsi bangsa penjajah, yang ternyata nenek moyangnya memiliki maha karya yang luar biasa. Dalam kondisi tertentu hal ini justru malah membangkitkan gambaran akan dirinya yang dilahirkan oleh leluhurnya yang ternyata memiliki peradaban tinggi terkait inisiasi museum itu datangnya dari politik mereka?. Hal ini akan menjadi bahan diskusi menarik kita selanjutnya.


[1] Kaum yang berusaha mendesakkan penanaman modal dalam skala besar pada persekolahan
[2] Kaum yang mencemaskan konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari sistem persekolahan semacam itu dan menghendaki agar kaum pribumi tetap pribumi

0 komentar:

Post a Comment