RELASI KUASA DALAM KEPEMIMPINAN ADAT : Studi Relasi Kuasa dalam Model Kepemimpinan Adat di Kampung Kuta, Ciamis, Jawa Barat

 
Oleh :
Subhan Agung[1]


A.   LATAR BELAKANG

Penelitian ini akan mengangkat topik tentang Kepemimpinan Adat di kampung Kuta, Ciamis Jawa Barat dengan fokus kajian pada model kepemimpinan adat. Kajian ini sengaja penulis pilih dengan maksud untuk menggali salah satu dari kekayaan adat di Indonesia yang sepertinya sudah banyak terlupakan. Padahal sebenarnya banyak yang bisa kita gali dari kekayaan tersebut dan menjadi kajian yang menarik. Hal ini juga menggambarkan betapa sebenaranya nenek moyang kita memiliki nilai-nilai dan praktek-praktek tertentu yang sudah melembaga menjadi adat istiadat selama ribuan tahun yang lampau yang tentunya jauh sebelum bangsa sekaliber Amerika Serikat mengenal pemerintahan dan demokrasi.
Adat istiadat tersebut di atas masuk dari berbagai lini kehidupan yang salah satunya dalam model kepemimpinan yang muncul di masyarakat adat. “Harta karun” yang tidak terhingga ini seharusnya mampu kita olah lewat kajian keilmuan yang mendalam dalam memotret kearifan lokal tersebut. Lewat pengetahuan tersebut diharapkan secara simultan menjadi masukan, baik bagi masyarakat maupun pemerintah dalam melestarikan, mengembangkan bahkan kalau mungkin mensintesakannya bagi model yang masih kontekstual dalam lingkup negara.
Selain harapan di atas, studi ini juga sebagai salah satu upaya penulis dalam melacak jejak “kekayaan” adat yang sudah mulai terlupakan. Hal ini juga diharapkan menjadi khazanah kajian tersendiri yang menarik dan bermanfaat dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam disiplin Ilmu Politik. Tentu saja kajian ini berdasarkan serangkaian kontemplasi dan terus-menerus diperbaiki sesuai dengan perkembangan data yang diperoleh di lapangan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut diantaranya : pertama, di kampung adat Kuta disinyalir telah berkembang nilai-nilai dan praktek kepemimpinan adat yang mampu mengatur proses sosial-kemasyarakatan ribuan tahun lamanya, bahkan sebelum bangsa Indonesia mengenal kepemimpinan nasional. Hal tersebut semisal terlihat dalam banyak praktek budaya politik di sana, seperti munculnya kepemimpinan sesepuh lembur dan kuncen yang disinyalir sudah ribuan tahun berjalan, kultur syawala (proses pupuhu adat memecahkan persoalan masyarakat dengan berembug saran) yang saat ini kita kenal dengan musyawarah.  
Kedua, adanya prinsip saling menghormati sesama yang sangat ditekankan oleh pemimpin di kampung adat ini. Sikap ini selalu ditampakkan, baik itu terhadap sesama masyarakat asli ataupun orang luar yang masuk ke sana, asalkan mereka mampu menghargai dan melaksanakan aturan adat yang berlaku di masyarakat adat ini. Untuk mengatur proses hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan ada sejenis rule of low tidak tertulis yang mereka sebut amanah karuhun. Amanah karuhun tersebut wajib diikuti oleh semua yang ada di kampung ini dan meliputi aturan adat yang sangat ketat, jika dilanggar ada sanksi tidak langsung dari karuhun yang akibatnya akan dirasakan oleh si pelanggar. Aturan-aturan adat tersebut bagi mereka adalah pedoman mereka dalam bermasyarakat dan bersikaf bahkan jauh lebih dipatuhi disbanding  konstitusi negara ini. Pemimpin menjadi “penjaga gawang” dalam menjaga segala “amanah” karuhun dalam bentuk aturan-aturan tadi.
Ketiga, di kampung adat Kuta adanya keunikan dalam hal kepemimpinan, di mana dikenal cukup banyak pemimpin, dengan peran yang berbeda-beda di masyarakat. Diantara pemimpin-pemimpin tersebut adalah ada sesepuh lembur, kuncen, dewan adat, ustadz atau kiayi di samping juga pemimpin formal yang sudah tidak asing ada di kampung-kampung lainnya. Pembagian peran dan cara mereka bekerja sama dalam mekanisme pembagian peran di antara pemimpin-pemimpin tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini. Misalnya kalau selama ini peran-peran vital seperti menjaga ketertiban kampung, manajemen konflik, pengaturan kepemilikan tanah, harta benda, pengaturan usaha atau mata pencaharian sudah lazim dilakukan oleh pemimpin formal atau aparat negara (desa dan perangkatnya), maka sangat dimungkinkan di kampung adat semisal kampung Kuta justru pemimpin-pemimpin non formal seperti yang disebutkan di atas yang memainkan peran sentral.
 Keempat, kampung adat Kuta merupakan kampung adat percontohan di Jawa Barat yang kaya dengan prestasi di berbagai bidang. Sudah banyak penghargaan yang disandangnya dari mulai tingkat kabupaten sampai nasional. Tercatat kampung ini mendapatkan penghargaan Kalpataru di bidang Pelestarian Lingkungan Hidup di tahun 2002 dari presiden Megawati Soekarnoputri, penghargaan seni Ronggeng terbaik tingkat Jawa Barat tahun 2004, penghargaan di bidang pertanian tingkat Jawa Barat dan penghargaan lainnya. Semua prestasi tersebut tidak mungkin tercapai tanpa peran pemimpin dalam menciptakan kampung adat yang mampu berkompetisi di zaman modern seperti sekarang ini. Pemikiran ini muncul dikarenakan masih minimnya penelitian yang banyak membongkar model dan termasuk didalamnya peran kepemimpinan adat, padahal penelitian tentang kampung Kuta sudah berjubel demikian banyak, baik yang berasal dari Ciamis, Jawa Barat, nasional, bahkan dari luar negeri (peneliti dari Prancis).
Selain alasan spesifik di atas, pilihan utama peneliti tersebut juga mempertimbangkan kontribusi dalam pengembangan Ilmu Politik ke depannya, terutama kajian budaya politik.  Kalau selama ini kajian-kajian tentang kampung Kuta lebih pada kajian dengan disiplin keilmuan Sejarah, Sosiologi dan  Antropologis, maka kajian penulis lebih memfokuskan pada kajian budaya politik yang merupakan sintesa dari dua disiplin keilmuan yakni Antropologi-Politik. Hal tersebut dikarenakan ada potensi dan kearifan lokal yang berharga yang perlu di kaji dalam perspektif Ilmu Politik. Hal tersebut semisal pola dan bagaimana kekuasaan pemimpin terbentuk dalam komunitas tersebut, bagaimana peran pemimpin-pemimpin tersebut dalam distribusi sumber daya dan juga manjemen konflik yang berlaku serta kekuatan-kekuatan pemimpin tersebut sehingga bisa bertahan di zaman modern saat ini.


B.  PERMASALAHAN
Berangkat dari latar belakang penelitian di atas, peneliti tertarik untuk benar-benar mengetahui dan mengkaji sebenarnya tentang kepemimpinan adat yang berlangsung di masyarakat kampung Kuta dengan fokus kajian pada model kepemimpinan yang berjalan di kampung Kuta. Sesuai dengan berbagai penjelasan dan alasan di atas, peneliti akan menderivasikan pengkajian praktek-praktek budaya demokrasi di masyarakat kampung adat Kuta dalam pertanyaan penelitian bagaimanakah pola penunjukkan dan model relasi kuasa dalam pembagian peran antar pemimpin adat?


C.   MEMAHAMI RELASI KUASA DAN KEPEMIMPINAN ADAT
Ketika kita mengkaji kepemimpinan masyarakat adat akan sangat berbeda dengan bayangan praktek-praktek kepemimpinan di masa modern saat ini. Model kepemimpinan masyarakat adat pun variatif, ada yang mensandarkan legitimasinya lewat representasi dukungan ada juga lebih kepada kewibawaan dan kharisma personal pemimpin.
Banyak ilmuwan yang sudah berusaha memetakan tipe-tipe pemimpin, peran pemimpin dan asal mula munculnya pemimpin. Weber (1947) lebih cenderung mengkaji pada kharisma pemimpin melalui sebab hubungan darah, institusi dan keturunan. Kajian tentang model kepemimpinan oleh Fiedler (1967) watak dan pribadi pemimpin oleh Hencley (1973), Stogdill (1974), Hoy dan Miskel mengkaji kinerja kepemimpinan (1987), Hill dan Caroll (1997) lebih melihat dimensi kepemimpinan sebagi direction (mengarahkan) dan menstimulan support (dukungan). Mitzberg lebih melihat tipe-tipe pemimpin dari peran-peran vital yang dimainkan pemimpin. Tipe tersebut meliputi pemimpin sebagai tokoh, pemimpin sebagai pembicara dan pemimpin sebagai pemecah persoalan masyarakat. Sedangkan Weihrich dan Koontz (1994), Hersey dan Blancard lebih concern pada identifikasi dan batasan pemimpin.
Batasan identifikasi pemimpin dari Weihrich dan Koontz (1994:490) sangat sederhana dan kontekstual untuk berbagai zaman. Mereka mendefinisikan pemimpin sebagai kemampuan seseorang dengan cara apapun, agar mampu mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan kehendaknya dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Di indonesia juga ada beberapa ilmuwan yang concern dengan penelitian kepemimpinan semisal Toha (2001) dan Sartono (2001). Menurut Sartono (2001), status sosial pemimpin informal didapatkan karena faktor keturunan, kekayaan, taraf pendidikan, pengalaman hidup, kharismatik, maupun jasa-jasanya pada masyarakat.
Dari berbagai pendapat yang muncul tentang kepemimpinan di atas, mungkin ada yang relefan, mungkin juga tidak dengan konteks model kepemimpinan masyarakat adat Indonesia. Kemungkinan ada yang kurang relevan terjadi dikarenakan banyak model di tempat-tempat terasing yang selamini tidak tersampul dalam kajian-kajian ilmiah para peneliti.
Di kampung adat Naga misalnya kita mengenal model kepemimpinan lemaga  adat yang dipimpin kuncen pemangku. Peran kuncen pemangku ini adalah sebagai pemimpin umum masyarakat adat di segala bidang. Kuncen pemangku ini juga biasa dikenal sebagai pupuhu adat lembur. Selain adanya kuncen pemangku, terdapat jabatan lain yang perannya membantu kuncen dalam institusi lemaga adat yakni punduk dan lebai. Punduk adalah jabatan pemangku adat yang tugasnya mengurus dan mengayomi masyarakat, sedangkan lebai adalah jabatan pemangku adat yang salah satu tugasnya mengkoordininasi masyarakat mengurus jenazah orang meninggal sesuai syariat Islam (http://wira186.multiply.com).


D. POLA PENUNJUKKAN PEMIMPIN
Seperti di kampung adat lainnya yang mengenal sistem kepemimpinan Kuncen dan Ketua Adat, di kampung adat Kuta juga adanya pemimpin yang mengatur pola kehidupan di berbagai bidang. Namun ada yang khas di kampung Adat Kuta dalam hal jenis-jenis pemimpin dan peran yang dimainkan di masyarakat adat. Selain mengenal pemimpin formal, Kuncen dan Ketua Adat (Pupuhu Adat), di kampung Kuta juga dikenal kepemimpinan Sesepuh Lembur dan Pamimpin Agama. Selain sesepuh lembur dan Kuncen, masing-masing pemimpin di kampung Adat Kuta memiliki struktur tersendiri dengan peran dan fungsi tertentu sesuai dengan konteks yang diperlukan.
Pemimpin yang sejak awal berdirinya kampung Kuta yang disinyalir sudah berjalan ribuan tahun yang lampau[2] adalah hanya ada kuncen dan sesepuh lembur. Sejak kepemimpinan Raksa Bumi (Kuncen pertama) sampai Aki Sanusri (kuncen ke-8) posisi kuncen selalu merangkap sesepuh lembur[3]. Sedangkan sejak kepemimpinan Kuncen Aki Madtasari (kuncen Kuta ke-9 ayahnya Aki Maryono) di awal tahun 1970, sesepuh lembur dipegang oleh orang yang berlainan yakni Bapak Arnapi (awal tahun 1970 s.d. 1986) dilanjutkan Bapak Minasri (1986 s.d. 1996) dan Bapak Sanmarno (1996 sampai sekarang). Bapak Sanmarno yang saat ini menjabat sebagai sesepuh lembur juga menjabat rangkap sebagai wakil ketua adat kampung Kuta. Pengaruh kuncen dan sesepuh lembur ini di masyarakat Adat Kuta tidak terbantahkan. Jika membantah mereka tentunya akan mendapatkan Azab dari karuhun (leluhur).
Jadi sejak lahirnya kampung Kuta sampai awal tahun 1970, jenis-jenis pemimpin yang ada dikampung Kuta selain pemimpin formal negara (Kadus, RW dan RT-RT), hanya ada kuncen dan sesepuh lembur. Posisi itupun dalam prakteknya dijabat oleh orang yang sama selama beratus-ratus tahun, dikarenakan orang yang sama merangkap jabatan. Tahun 2000 ketika kampung Adat Kuta diikutsertakan sebagai kandidat penerima anugerah Kalpataru, dibentuklah kepengurusan adat yang lebih lengkap dengan munculnya Dewan Adat yang dipimpin ketua adat dan perangkatnya.
Salah satu hal penting dalam membentuk, mempertahankan dan meningkatkan legitimasi pemimpin adalah representasi dukungan. Namun dalam masyarakat adat, legitimasi tidak terletak pada dukungan formal. Namun pada kewibawaan, keturunan, mampu menjadi teladan dan bijaksana, walaupun model demokratis juga ada pada beberapa model kepemimpinan adat.
Sebagai contoh, fenomena legitimasi Kuncen yang begitu kuat di Kuta. Padahal Kuncen dipilih berdasarkan keturunan dari kuncen-kuncen sebelumnya, yang merupakan keturunan dari kesultanan Cirebon (Aki Raksa Bumi). Mereka yang berhak menjadi kuncen kampung Kuta adalah anak cikal laki-laki dari kuncen sebelumnya. Jika kuncen tidak memiliki anak cikal laki-laki, maka yang berhak menjadi kuncen adalah anak cikal laki-laki dari sanak dan family yang masih keturunan dekat dengan kuncen, jika masih belum ada, adalah anak cikal dari saudara jauh yang masih memiliki garis keturunan dengan kuncen. Proses penentuan dan penetapan (pensahan) kuncen dilakukan dalam sidang musyawarah adat di Balai Pertemuan Adat yang dipimpin oleh sesepuh kampung (setelah adanya pupuhu adat, yang memimpin sidang adalah pupuhu adat).
Kuncen dianggap habis masa jabatannya ketika yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam hal kuncen belum meninggal, tetapi sudah tidak bisa menjalankan peran dan fungsi yang sudah menjadi amanah dari leluhur dan masyarakat, maka segala peran dan fungsi dijalankan oleh orang yang dipercaya dan ditunjuk kuncen sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Untuk selanjutnya ketetapan di atas yang berlaku dalam menentukan siapa yang akan menggantikannya.
Kekuasaan besar kuncen yang sangat nyata terletak pada perannya yang absolut dalam pengaturan hutan keramat. Hutan keramat ini dianggap masyarakat Kuta sebagai tempat ibadah, yakni tempat yang menjadi media komunikasi masyarakat kampung Kuta dengan roh-roh nenek moyang yang dipercayai menguasai hutan keramat Leuweung Gede. Kekuasaan kuncen yang begitu besar dalam penguasaan hutan keramat yang luasnya hampir separuh kampung Kuta ini jelas menimbulkan kecemburuan di pemimpin lainnya, semisal pemimpin formal kepala desa yang mengangaggap hutan tersebut juga asset desa. Secara detail kajian tentang ini akan dibahas dalam pembahasan Relasi Kuasa dan Pembagian Peran antar Pemimpin di sub bab berikutnya.
Pemimpin lainnya yang muncul dan dipanuti di Kuta adalah sesepuh lembur. Pemimpin ini dianggap masyarakat kuta sebagai predikat kewahyuan yang tidak sembarangan orang mampu dan boleh menjabatnya. Sesepuh lembur ada di kampung Kuta sejak ribuan tahun berdirinya kampung adat ini, selama munculnya kampung adat ini sampai tahun 70-an, jabatan ini selalu merangkap dengan jabatan kuncen. Selalu orang yang menjadi sesepuh lembur dianggap bukanlah orang sembarangan, karena terkait erat dengan ilafat atau ilham dari leluhur yang memilihnya.
Ada beberapa mekanisme yang selama ini terjadi dan menjadi tradisi di kampung Adat Kuta seputar terpilihnya sesepuh lembur, yakni: pertama, sesepuh lembur pendahulu sebelum meninggal biasanya sudah memberikan wasiat dari hasil mujasmedinya sampai mendapatkan ilham siapa yang akan menggantikannya. Ilham tersebut biasanya dirahasiakan dan disimpan di orang yang dipercayainya dan harus dibuka ketika sesepuh lembur tersebut meninggal. Kedua, sesepuh lembur ketika dia sudah merasakan sakit-sakitan dan merasakan kondisinya sudah lemah, biasanya mendatangi orang pilihannya yang ia dapatkan dari hasil semedi dan memberikan amanah kewahyuannya kepada orang pilihan tersebut untuk melanjutkan peran dan fungsinya. Ketiga, dalam hal ketika sesepuh lembur tidak memberikan wasiat, baik sebelum meninggal, maupun memilih orang ketika masih hidup, biasanya akan muncul sesepuh lembur baru yang mengaku sudah diberi ilham oleh arwah-arwah karuhun dan hanya satu orang. Setelah melalui proses di atas, pemberitahuan kepada khalayak dan pengesahan sesepuh lembur dilakukan oleh masyarakat dalam sidang syawala adat yang dipimpin oleh pupuhu adat.
Dari ketiga kebiasaan (pola) dalam terpilihnya sesepuh lembur, yang paling sering terjadi adalah kebiasaan pertama, di mana sesepuh lembur biasanya sudah memberikan wasiat semasa hidupnya yang disimpan di orang kepercayaannya dan harus disampaikan kepada orang terpilih ketika ia sudah meninggal. Sedangkan kebiasaan ketiga di atas, baru satu kali terjadi sepanjang sejarah kampung Kuta dan model yang ketiga ini di internal adat juga masih diperdebatkan, dikarenakan sangat rawan melahirkan pengakuan kebohongan dari orang yang memiliki kepentingan dan ambisi pribadi. Padahal sesepuh lembur haruslah orang yang paling sempurna akhlak, tingkah laku dan luas pengetahuannya. Sangat berbahaya jika sesepuh lembur, bukanlah orang yang tepat karena peran dan fungsinya menyangkut kepentingan sosial-kemasyarakatan banyak orang di kampung Adat Kuta.
Tentang legitimasi sesepuh lembur karena dianggap sebagai jabatan kewahyuan, kita bisa membandingkan dengan apa yang Sartono (2001) konsepkan, bahwa status sosial dan legitimasi pemimpin informal didapatkan karena faktor keturunan, kekayaan, taraf pendidikan, pengalaman hidup, kharismatik, maupun jasa-jasanya pada masyarakat. Kalau kita melihat pemahaman ini yang lebih mendekati untuk mengidentifikasi legitimasi sesepuh lembur adalah model kharismatik. Namun persoalannya kemudian adalah kharismatik itu faktornya banyak sehingga kurang bisa menjelaskan fenomena yang muncul semisal di Kuta ini. Artinya sistem legitimasi kewahyuan masih asing dalam sistem kepemimpinan informal di Indonesia dan Kuta menjadi satu model tersendiri yang memiliki kekhasan di bidang ini.
Sistem legitimasi kewahyuan justru di zaman dahulu populer di dunia lewat kepemimpinan di hampir semua agama besar, bahkan pengaruhnya semakin besar di masa sekarang. Kepemimpinan seorang nabi yang juga mengelola negara atau kerajaan sudah banyak contohnya semisal tokoh Sulaiman dan Muhammad dalam Islam. Selain itu juga sistem kepemimpinan model kebataraan yang pernah ada di zaman kerajaan-kerajaan Hindu Budha. Jejaknya di Jawa Barat dapat ditelusuri semisal ada Kebataraan Rahyang Resi Guru Sempakwaja di Galunggung (daerah Tasikmalaya saat ini), Kedatuan di Talaga (daerah Majalengka saat ini) semasa kerajaan Galuh dan Sunda yang pemimpin-pemimpinnya selama ratusan tahun terpilih lewat kewahyuan untuk kemudian sistem ini bertransformasi dan menghilang sesuai perkembangan zaman.
Dari ketiga kebiasaan di atas, dalam model praktek-praktek politik kontemporer jelas sangat asing dan akan sulit diterima dalam banyak hal. Pertama, adanya unsur mistis yang dijadikan penguat (legitimasi) sesepuh lembur dalam meyakinkan masyarakatnya dalam proses penunjukkan pemimpin setelahnya. Hal ini sangat untuk diperifikasi kebenarannya dalam kajian ilmu politik yang membutuhkan pembuktian ilmiah, karena prosesnya lewat mimpi atau ilham. Kedua, dalam sejarahnya sistem kewahyuan yang pernah diperaktekkan para nabi dan rasul dalam agama wahyu, hanya diperuntukkan untuk memperbaiki mental dan perilaku manusia yang mampu menyembah Tuhannya dan berbuat baik kepada sesama manusia yang lebih general, namun dalam kasus kampung Kuta ini justru digunakan sebagai sistem dalam mengatur hubungan sosial kemasyarakatan yang prosedural semisal pemilihan dan penunjukkan pemimpin.
Dari dua kritik mekanisme penunjukkan sesepuh lembur di kampung Kuta di atas, semuanya bermuara pada upaya sesepuh lembur sebagai salah satu pemimpin di kampung Kuta yang sangat disegani selama ini dalam mempertahankan kekuasaan dan kewibawaannya di depan masyarakat dan juga pemimpin lainnya. Mekanisme yang berlaku tersebut kalau dikaji lebih lanjut berlaku karena kebiasaan yang dimungkinkan dahulunya dimaksudkan untuk melanggengkan kekuasaan dan pengaruh sesepuh lembur. Satu-satunya kekuatan yang bisa dijadikan sebagai sumber daya yang efektif dalam membuat masyarakat dan pemimpin lainnya percaya dan mengikuti keinginannya.
Pemimpin lainnya yang ada di kampung adat Kuta adalah pupuhu adat. Sejak dibentuknya di tahun 2001 sampai sekarang, perangkat adat dipimpin oleh pupuhu adat yang saat ini dijabat oleh bapak Karman[4]. Jadi beliau merupakan pupuhu adat pertama sejak tahun 2001. Pupuhu adat dipilih lewat syawala (musyawarah adat) yang dihadiri oleh semua pemimpin, baik formal (kepala dusun, RW dan RT-RT), maupun pemimpin adat (sesepuh lembur, kuncen, ustadz, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya). Selain itu juga dihadiri oleh perwakilan pemerintah daerah kabupaten dan desa yang menyaksikan proses pemilihan sebagai saksi dan peninjau.
Syarat untuk menjadi pupuhu adat  ternyata tidaklah seketat kuncen dan sesepuh lembur, dikarenakan pupuhu adat dibolehkan dijabat oleh orang yang berasal dari luar kampung Kuta. Tidak tercantum syarat-syarat khusus yang rigid bagi seorang calon pupuhu adat, yang penting dianggap cakap, bijaksana, memahami adat istiadat Kuta dan sehat jasmani rohani oleh masyarakat.
Sebagai contoh untuk hal di atas, adalah terpilihnya bapak Karman yang dianggap sebagian masyarakat cukup mampu mewakili aspirasinya. Bapak Karman kalau ditelusuri latar belakangnya bukan merupakan penduduk asli kampung Kuta, melainkan penduduk kampung Cibodas, tetangga kampung Kuta.  Beliau kemudian menikahi putri dari bapak Kuncen Maryono (Kuncen Kuta saat ini). Beliau terpilih di tahun 2000 sebagai pupuhu adat kampung Kuta. Ketika beliau terpilih memang sudah lama bermukim di kampung Kuta dan dianggap terpilih melalui musyarawarah yang cukup demokratis. Selama beliau menjabat, kampung Kuta cukup berkembang hampir di segala lini kehidupan. Bahkan berbagai prestasi di masa kepemimpinannya disandang kampung Kuta, baik penghargaan di bidang lingkungan hidup (tingkat nasional) maupun provinsi (pertanian, peternakan dan kesenian).
Walaupun kepemimpinan pupuhu adat masa sekarang ini cukup ada perkembangan di berbagai bidang kehidupan, bukan berarti tidak menimbulkan riak ketidakpuasan di sebagian masyarakat tentang terpilihnya “orang dari luar kampung Kuta” ini. Dari beberapa informasi informan diketahui bahwa walaupun pupuhu adat  berkeyakinan dirinya terpilih secara demokratis, tapi sebenarnya sebagian besar masyarakat menganggapnya justru tidak. Anggapan sebagian besar masyarakat ini terbentuk, karena fakta saat itu Bapak Karman ditunjuk langsung oleh sang mertua yang tidak lain merupakan kuncen saat ini (Bapak Maryono). Sedangkan pengaruh kuncen di kampung Kuta sangatlah besar, sehingga apa yang menjadi keputusan kuncen kemudian diikuti begitu saja oleh masyarakat, walaupun dalam “hati kecil” mereka tidak sepakat. Kemudian sesepuh lembur  yang saat itu memimpin syawala mensahkan bapak Karman yang direkomendasikan kuncen saat itu sebagai pupuhu adat.
Tentang kekurangpuasan dari sebagian masyarakat yang dijelaskan di atas, informan lain memberikan konfirmasi atas kasus di atas. Informan (Karman) menyatakan bahwa pupuhu adat dipilih lewat musyawarah yang saat itu dipimpin pupuhu lembur. Memang yang saat itu direkomendasikan kuncen adalah bapak Karman sendiri. Pertimbangan ini dilakukan kuncen saat itu dikarenakan pemerintah daerah kabupaten Ciamis mendesak untuk sesegera mungkin membentuk kepengurusan dewan adat sebagai syarat diikutsertakannya kampung ini dalam nominasi penerima Kalpataru. Sehingga mau tidak mau kuncen yang saat itu didesak harus secara cepat memutuskan siapa figur calonnya. Dimungkinkan pengaruh kuncen yang begitu besar, sehingga musyarawarah saat itu tidak membahas pemilihan, malahan langsung menetapkan pupuhu adat yang sudah direkomendasikan kuncen.
Ikut campurnya Kuncen dalam persoalan sosial-kemasyarakatan seperti disebutkan di atas—terlepas langsung atau tidak langsungnya ikut campur tersebut—jelas mendapat reaksi keras dari sesepuh lembur yang kebetulan sudah dijabat oleh orang yang berbeda dengan kuncen karena memainkan peran yang seharusnya dimainkannya. Seperti kita ketahui Kuncen hanya berwenang dalam persoalan ritual di hutan keramat dan tidak berhak di dalam ritual di luar itu. Gejolak ini menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat dengan kesewenang-wenangan yang dilakukan kuncen, apalagi yang dipilihnya adalah menantunya sendiri.
Gejolak kecil yang pernah terjadi di atas—bahkan riak-riaknya sampai sekarang masih ada—sebenarnya sangatlah wajar terjadi dalam kampung Adat semisal Kuta yang baru pertama kali memilih pemimpin yang sebelumnya tidak dikenal. Kampung Adat Kuta tidak mengenal aturan-aturan, tata cara, dan syarat-syarat dalam pemilihan pupuhu adat di saat-saat sebelumnya. Sehingga ketika itu terjadi, menimbulkan penafsiran tersendiri di kalangan tokoh-tokoh kampung adat dalam menafsirkan istiadat leluhurnya dalam konteks ini. Tapi kalau kita lihat sistem tabu yang ada di kampung adat Kuta yang sudah melembaga, ada dua kemungkinan gejolak kecil tersebut muncul, yakni : pertama, pupuhu adat dipilih tidak lewat mekanisme syawala yang menyerap aspirasi berbagai tokoh dan lapisan masyarakat di Kuta. Kedua, pupuhu adat yang ditunjuk kebetulan bukanlah penduduk asli kampung Kuta. Masyarakat menyangsikan kemampuan, pengetahuan keadatan dan loyalitasnya pada kampung Kuta. Kekhawatiran ini sangat beralasan, dikarenakan selama ini masyarakat hanya mempercayai mereka yang menjadi keturunan kuncen atau mereka yang ditunjuk sesepuh lembur. Masyarakat kampung Kuta sendiri pun tidak berhak memimpin kampung Kuta, kalau tidak masuk dalam dua kategori di atas.
Diluar gejolak kecil di atas, proses terbentuknya sistem pemimpin baru memberikan dinamika tersendiri dalam sejarah kepemimpinan adat di kampung Adat Kuta. Sejak saat itulah di kampung Adat Kuta dikenal pupuhu adat  yang menjalankan fungsi dan peran yang selama ini sebagian besar dipegang oleh sesepuh lembur. Peran tersebut meliputi kehidupan sosial kemasyarakatan kampung adat dan pencitraan kampung keluar wilayah dan pihak lain. Dalam menjalankan pera dan fungsinya pupuhu adat dibantu perangkat-perangkatnya yang terdiri dari wakil pupuhu adat, carik adat, banda hara dan wakil bandahara. Posisi pupuhu lembur statusnya dalam struktur keadatan di kampung Kuta sederajat dengan kuncen, sesepuh lembur dan ustadz atau ajengan.
Selain pupuhu adat dan perangkatnya, sejak tahun 1981 muncul pemimpin baru yang realitasnya saat ini tidak kalah berwibawanya dengan pemimpin-pemimpin lainnya di Kuta, yakni kepemimpinan ajengan atau ustadz. Munculnya ustadz ini sangat mempengaruhi model pembagian peran dan koordinasi di antara pemimpin yang ada. Status ajengan atau ustadz ini sederajat dengan kuncen, sesepuh lembur dan pupuhu adat. Peran utamanya menangani kehidupan keagamaan Islam di kampung ini. Ustadz yang memimpin kampung adat Kuta sejak munculnya di tahun 1981 baru ada satu orang yakni adalah bapak Ustadz Baharudin, yang berasal dari kecamatan Cisaga, tetangga sebelah selatan kecamatan Tambaksari.
Sebenarnya ustadz ini sejak muncul di tahun 1981 merupakan pemimpin dari sebuah lembaga formal yang menginduk pada pemerintah formal yakni Dewan Kemakmuran Mesjid dengan perangkatnya[5]. Namun, selain pimpinan DKM, posisinya dalam struktur adat setara dengan pemimpin lainnya dan masuk sebagai lembaga koordinasi pimpinan adat. Artinya ketika ada persoalan-persoalan adat yang dibahas lewat syawala pasti ustadz menjadi prioritas utama yang wajib menghadiri.
Dalam hal mekanisme pemilihan ustadz, karena di Kuta baru satu orang yang menjadi ustadz, maka yang menjadi pedoman adalah saat bapak Baharudin terpilih sebagai ustadz. Berdasarkan informasi dari informan (Udin, 40 tahun) ustadz saat itu ditunjuk langsung oleh sesepuh lembur bapak Arnapi (sesepuh lembur pertama). Pertimbangannya saat itu adalah ustadz Baharudin adalah figur muda yang dianggap sangat paham tentang agama Islam dengan latar belakang pendidikan pesantren hampir puluhan tahun. Selain itu juga dianggap bijaksana dan perilakunya bisa menjadi contoh baik bagi masyarakat. Rekomendasi penunjukkan ustadz kemudian diusulkan ke kepala dusun dan pejabat ini yang menetapkan secara formal dalam struktur Dewan Kemakmuran Mesjid. Sedangkan perangkat-perangkat lainnya ustadz yang langsung memilihnya.
Dengan terpilihnya bapak Bahrudin sebagai “pendatang” yang menikah dengan gadis asli Kuta, bisa menjadi pedoman bahwa sesepuh lembur saat itu membolehkan ustadz sebagai pemimpin agama berasal dari luar kampungnya. Pedoman ini bisa menjadi pegangan dalam pemilihan-pemilihan ustadz lainnya pasca kepemimpinan ustad Bahrudin ke depannya.
Dengan munculnya kepemimpinan ustadz ini, tentunya memberikan pengaruh yang cukup besar, tidak hanya dalam model struktur kepemimpinan adat, tetapi juga terbentuknya akulturasi budaya asli dengan ajaran Islam yang sengaja di masukkan dalam berbagai ritual yang sudah ada. Kepercayaan dan tabu yang bersandar pada kekuatan karuhun mulai sedikit demi sedikit diluruskan bahwa kepercayaan dan tabu karuhun hanya merupakan salah satu media untuk percaya dan tabu pada aturan yang berasal dari Allah SWT. Usaha ini cukup berhasil dengan munculnya berbagai ritual khas Islam semisal mauludan, rajaban, muharaman dan lain sebagainya.

E. RELASI KUASA DALAM PERAN ANTAR PEMIMPIN
Dengan cukup kompleksnya pemimpin yang mengurusi berbagai kehidupan di kampung adat Kuta, maka ada sejenis kesepakatan wilayah garap masing-masing pemimpin (job discription). Dengan adanya batasan “lahan garap” tersebut masing-masing pemimpin merasa tidak berhak mencampuri urusan yang bukan perannya. Namun dikarenakan wilayah garap tersebut antara satu dengan yang lainnya ada keterkaitan, maka mereka berkoordinasi dan bekerja sama dengan pemimpin lainnya, termasuk juga dengan pemerintah formal semisal kepala dusun. Dalam proses tersebutlah relasi kuasa antar pemimpin terbentuk, baik dalam konteks pembentukan bargaining position antar pemimpin, ataupun perebutan pengaruh mereka di mata masyarakat Kuta dalam lingkup peran-peran adat yang dimilikinya.
Pembagian peran yang berlaku di kampung adat Kuta tersebut terkesan sangat dipatuhi sekali. Hal ini dikarenakan ketakutan dari masing-masing pemimpin akan siksa dari karuhun jika memainkan peran yang bukan hak nya dan bukan yang diamanahkan pada dirinya. Sebagai contoh, ketika penulis pertama kali datang ke kampung Kuta, pihak yang pertama kali menerima adalah kepala dusun. Setelah kepala dusun mengetahui maksud dan tujuan kedatangan penulis ke kampung ini, maka tanpa banyak bicara beliau mempertemukan penulis dengan sesepuh lembur dan pupuhu adat, dengan alasan bahwa data-data yang saya perlukan hanya mereka yang bisa memberikan. Pejabat pemerintah formal tidak berhak memberikan keterangan. Begitupun dengan pupuhu adat, ketika penulis bertanya tentang hutan keramat, beliau tidak memberikan penjelasan, karena yang berhak dan tahu hutan keramat adalah kuncen. Begitupun ketika penulis bertanya kepada kuncen tentang ritual-ritual yang biasa dilakukan di kampung Kuta seperti nyuguh, saya disuruh menghadap sesepuh lembur, karena beliaulah yang menangani persoalan itu. Ini menjadi catatan bagi penulis bahwa mereka sangat menjunjung tinggi peran masing-masing yang sudah berjalan di kampung ini. Pembahasan peran masing-masing pemimpin secara lebih terperinci akan dikaji dalam bahasan di bawah ini.

E.1. Sesepuh Lembur dan Predikat Kewahyuan
Berdasarkan adat kampung Kuta, sesepuh lembur memiliki peran mengurusi semua hal yang berkaitan dengan ritual masyarakat adat Kuta, baik ritual yang sudah baku (adat nyuguh, sedekah bumi, babarit) maupun ritual yang terkait dengan kebutuhan hidup, syariat Islam dan hajat masyarakat (sepitan atau khitanan, adat nikah, pemberian nama, penentuan tanggal baik, ritual membangun rumah, bentuk rumah atau polanya, menambah isi rumah selain yang dilarang karuhun). Kesemuanya ritual ini di bawah tanggung jawab sesepuh lembur, kecuali ritual yang berkaitan dengan hutan keramat dibawah tanggung jawab kuncen.
Sedemikian penting dan vitalnya peran sesepuh lembur, sehingga sesepuh lembur haruslah orang yang suci, bijaksana, berperangai dan berakhlak baik yang jauh dari nafsu duniawi. Hal ini penting, dikarenakan jika sesepuh lembur adalah orang yang kurang baik dan tidak bijak, bisa berbahaya, dikarenakan dalam menjalankan fungsinya nafsu dan kehendak pribadi yang berbicara, bukan amanah dari karuhun yang dijunjung tinggi. Oleh karena itu, jabatan ini dalam adat kampung Kuta merupakan jabatan kewahyuan, artinya orang yang dipilih langsung oleh karuhun untuk mengurusi adat istiadat di kampung Kuta. Harewos karuhun[6] itu biasanya datang lewat mimpi sesepuh lembur sebelumnya, ilham lewat semedi atau langsung kepada orang yang dituju menjadi pemimpin selanjutnya (lihat pembahasannya di bag. A di atas).
Seperti yang sudah dijelaskan di sub bab sebelumnya, proses penunjukkan dalam model terbentuknya kepemimpinan sesepuh lembur ini sangat rawan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Model ini sangat jelas didominasi oleh besarnya kekuasaan personalitas dari sesepuh lembur, sehingga apapun yang dilakukan dalam kepemimpinannya diikuti oleh masyarakat. Jelas sekali kalau yang menjadi ukurannya politik prosedural, model ini tidak bisa diterima. Dalam konteks relasi kuasa, setiap perilaku pemimpin jelas tidak bisa dimaknai kosong, namun memiliki makna untuk mempertahankan dan memperluas pengaruhnya kepada pihak lain. Dalam perspektif ini bisa dikatakan bahwa model kewahyuan yang populer dalam sistem penunjukkan pemimpin ini adalah sebagai salah satu upaya sesepuh lembur untuk mencitrakan adanya pemimpin super power yang harus diikuti di Kuta. Tentunya upaya ini dilakukan sejak adanya pemimpin sesepuh lembur ini di kampung Kuta.  
Mengenai tujuan utama dari pembentukan sistem kewahyuan yang menjadi upaya untuk melegitimasi kekuasaan sesepuh lembur ini secara empirik bisa dilihat dari perilaku politik pemimpinnya saat ini. Secara kasat mata dalam berbagai observasi partisipan penulis dilapangan sesepuh lembur adalah pribadi yang supel, sederhana, berwibawa, tidak ambisius. Kesehariannya sangat sederhana, disegani, dan penulis anggap memiliki wawasan yang luas tentang keadatan Kuta.
Dari kualifikasi personal di atas, sangatlah layak tokoh ini menjadi pemimpin kampung Kuta. Namun, pertimbangan di atas, tidak menutup tujuan seperti yang tersirat dalam politik, yakni semua kualitas dan kapasitas tersebut adalah by design dalam upaya menguatkan kekuasaan secara halus. Kekuasaan yang besar secara tidak langsung memiliki akses dalam mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam berbagai kehidupannya, termasuk akses terhadap sumber daya. Sehingga tidak heran jika sesepuh lembur mendapat imbalan seihklasnya dari masyarakat dari peran yang dimainkannya. Dalam pendirian rumahpun secara tidak langsung sesepuh lembur menjadi tukang utama pendirian, yang tentunya mendapat upah yang besar sebagai imbalannya.
Peran vital sesepuh lembur terdapat pada pelaksanaan tiga ritual terpenting yang menjadi ciri khas kampung Kuta yakni upacara nyuguh, babarit dan upacara sedekah bumi. Selain bertanggung jawab menentukan waktu pelaksanaan upacara-upacara di atas, sesepuh lembur juga berkewajiban mengawal dan memimpin keseluruhan rangkaian upacara adat tersebut. Upacara nyuguh biasanya rutin dilakukan setahun sekali di bulan awal bulan Shafar yang penentuan harinya oleh sesepuh lembur, dan prosesnya berjalan selama 24 jam yang dihadiri oleh pejabat-pejabat di Jawa Barat, Ciamis dan masyarakat sekitar.
Peran sesepuh lembur dalam pelaksanaan upacara pernikahan dan khitanan misalnya, sesepuh lembur memiliki tanggung jawab dalam menentukan hari baik sesuatu pekerjaan atau kebutuhan. Hari baik pelaksanaan upacara ditentukan sesepuh lembur lewat serangkaian ritual dan semedi untuk meminta petunjuk atau wangsit dari leluhur untuk keselamatan, kesuksesan dan kebahagian pasangan ke depannya bagi yang menikah dan menjadi anak soleh bagi yang dikhitan. Hari baik yang sudah ditentukan harus diikuti, jika tidak ingin mendatangkan musibah dari leluhur. Sedangkan dalam adat upacara pernikahan dan khitanan prosesnya tidak terlalu beda dengan umumnya masyarakat Jawa Barat. Sesepuh lembur sebelum tahun 1990-an memiliki peran besar dalam memimpin acara seserahan[7]. Baru setelah tahun 1990 peran itu diambil alih oleh ustadz atau ajengan. Selain dalam upacara tersebut, penentuan hari baik juga dilakukan sebelum memulai pekerjaan dan mendirikan rumah.
Dalam mendirikan rumah, sesepuh kampung wajib mengingatkan pada si pendiri bahwa ada amanah karuhun yang harus ditepati yakni rumah harus berupa rumah panggung yang memiliki tatakan (penahan) yang terbuat dari baru berbentuk persegi panjang atau sebagian ada yang segi lima mirip kerucut yang atasnya tumpul. Jadi dibawahnya terdapat kolong, yang biasanya digunakan sebagai tempat penyimpanan, kandang ternak atau bebek. Bentuk keseluruhan rumah harus persegi, tidak boleh pasekon (menyiku) dan atap harus terbuat dari bahan-bahan alami pepohonan semisal rumbia, inyuk (ijuk). Bentuk atap harus rendah berbentuk trapesium dengan dinding terbuat dari bahan-bahan pepohonan semisal bilik (anyaman irisan bambu) atau triplek (terbuat dari olahan kayu). Tiang penyangga dari kayu, boleh juga dari bambu, jendela boleh dari kaca, lebih baik lagi dari kayu keseluruhan (janela gebyong). Di depannya ada golodog (sejenis tempat duduk di depan pintu rumah sebelah depan), namun juga bisa digunakan sebagai tangga masuk ke rumah. Pola rumah harus pintu depan, ruang tamu yang searah dengan kamar tamu, kamar keluarga dan kamar belakang. Langsung ke belakang adalah dapur dan pintu belakang. Semua pola rumah harus seperti itu, dan sesepuh lembur berkewajiban menegakkan aturan adat tersebut dan mengawal proses pendiriannya supaya tidak menyimpang dari aturan.
Dengan peran dan kewenangan yang strategis dalam menangani persoalan kemasyarakatan yang bersangkut paut dengan roh nenek moyang, maka menjadikan sesepuh lembur ini memiliki pengaruh yang besar di masyarakat Kuta, bahkan di samping pemimpin-pemimpin lainnya. Apapun yang menjadi ketetapan, baik tingkah laku maupun ucapan akan senantiasa diikuti oleh masyarakat Kuta. Hal ini dikarenakan sesepuh lembur merupakan penjelmaan atau hidup diutus oleh karuhun untuk menuntut hidup masyarakat ke arah kebaikan dan keselamatan dunia dan setelah kematian. Status tersebutlah yang menjadikan sesepuh lembur paling dominan di kampung Kuta dan sekaligus juga rawan di politisasi oleh kepentingan pribadi. Sebagai contoh peran yang besar tokoh ini dalam penentuan pekerjaan seseorang, di mana seseorang yang sebetulnya memiliki kemampuan lebih (keahlian di bidang pertanian) dengan pengalaman yang matang, namun jika sesepuh lembur tidak mengizinkan maka orang tersebut  harus menghentikan maksudnya tersebut.
Selain memiliki tugas dan tanggung jawab di atas juga, sesepuh lembur memiliki kewajiban untuk menjelaskan filosofi kampung Kuta kepada masyarakat dan generasi baru kampung. Penjelasan ini dianggap penting sebagai pemahaman masyarakat atas kiprah dan tabu yang diamanahkan leluhur pada mereka. Fungsi ini terkait dengan kemampuan sesepuh lembur yang dianggap masyarakat Kuta didapat dari wahyu leluhur mampu memahami filosofi keseluruhan pengetahuan tentang karuhun dan tabu. 
Dalam menjalankan semua peran yang menjadi kewajibannya sesepuh lembur berkoordinasi dengan pemimpin lainnya di kampung Kuta yang memiliki peran beririsan dengan tanggung jawabnya. Salah satunya berkoordinasi dengan pemuka agama (Islam) atau ajengan dalam persoalan pelaksanaan ritual, terutama yang terkait dengan syariat Islam. Seperti yang kita ketahui bahwa sejak tahun 1982 mulai muncul ritual yang sebelumnya tidak pernah dilakukan yakni ritual yang menjadi ciri khas Islam semisal Mauludan, Rajaban, tahlilan, ‘idul fitri, idul adha dan lainnya. Untuk ritual-ritual semacam ini, selain ada peran sesepuh lembur dalam menentukan tanggal baik pelaksanaan dan hitungan kalender jawa, membaca puja-puji kepada roh nenek moyang, juga ada peran ustadz dalam memuja-memuji Allah. Hal ini dilakukan karena sesepuh lembur tidak menguasai bacaan-bacaan yang menjadi kebiasaan Islam tersebut. Koordinasi peran tersebut terlihat kentara dengan adanya pencampuran (akulturasi) antara kebiasaan adat yang memberikan puja-pujinya untuk Ambu, Rama, Bima Kalijaga yang dianggap leluhur mereka dan setelah itu dilanjutkan dengan membaca bacaan-bacaan khas Islam yang dipimpin Ustadz.
Dari uraian di atas, kekuatan sesepuh lembur terletak pada kewenangannya yang dianggap titisan roh-roh leluhur oleh masyarakat. Masyarakat sangat ketakutan jika melanggar dan melawan kehendak dari tokoh ini. Namun, dalam sudut pandang relasi kuasa hal ini merupakan upaya legitimasi sesepuh lembur sebagai institusi untuk melanggengkan kekuasaannya di banding pihak dan pemimpin-pemimpin lainnya yang ada di kampung Kuta. Mekanisme ini sangat efektif dan terbukti diikuti lebih dari apapun, bahkan  dalam model kekuasaan lingkup negara sekalipun. Mereka tidak takut pada hukum negara, yang mereka takuti justru adalah hukuman dari sang leluhur kampung Kuta yang dipercaya memberikan kekuasaannya lewat eksistensi kepemimpinan sesepuh lembur yang sudah berjalan ribuan tahun silam. Pola relasi selanjutnya akan dipertajam dengan melihat pembahasan peran pemimpin lainnya yang tidak kalah berpengaruh yakni kuncen di bawah ini.

E.2. Penguasa Hutan Keramat
Menilik perannya yang dominan dalam menjaga hutan keramat, tidak berlebihan jika penulis menyebut kuncen sebagai penjaga hutan keramat. Kuncen memiliki peran tak terbatas dalam mengurusi ritual masyarakat kampung Kuta dan siapapun di tempat suci (sejenis mesjid dalam Islam) yakni Leuweung Gede yang dikeramatkan. Selain Leuweung Gede, hutan lain yang dikeramatkan dan harus bersama kuncen berziarahnya adalah Leuweung Pandai Domas, Gunung Barang, Gunung Semen, dan Gunung Apu. Namun yang paling utama adalah Leuweung Gede. Kuncen berkewajiban mendampingi masyarakat Kuta dan siapapun yang masuk ingin berziarah di tempat tersebut dan menjadi penghubung dialog antara arwah-arwah leluhur dengan mereka yang berziarah.
Otoritas kuncen dalam bidang ini tidak terbantahkan oleh siapapun, termasuk oleh pemimpin adat lainnya dan juga pemimpin formal yang ada di lingkungan Kuta. Pengunjung yang ingin masuk ke Leuweung Gede wajib ditemani kuncen. Namun jika kuncen berhalangan atau sakit untuk sementara perannya bisa digantikan oleh orang yang ditunjuk langsung oleh kuncen.
Ritual di Leuweung Keramat bagi masyarakat Kuta adalah sejenis ‘ibadah yang diharuskan paling tidak satu bulan dua kali di hari Senin dan Jumat untuk meminta pertolongan dan restu leluhur untuk kebaikan kehidupannya. Proses ritual tersebut pernah penulis ikuti. Prosesnya saat itu pukul 10.00 penulis diantar oleh bapak Raswan (salah seorang tokoh adat kepercayaan kuncen) masuk menuju hutan keramat. Sebelum penulis masuk, ada persyaratan yang harus diikuti yakni melengkapi persyaratan seperti kemenyan (rampe), minyak wangi, amplop, botol air mineral dan uang recehan secukupnya. Setelah siap semuanya penulis dan istri berjalan menuju hutan dan ketika sampai di gerbang hutan diharuskan menanggalkan sandal yang dipakai, bawaan semisal tas, perhiasan. Larangan lainnya tidak boleh memakai pakaian dinas bekerja, baju warna hitam-hitam, tidak boleh mengganggu hewan, tidak boleh mengambil apapun dari hutan. Setelah segala larangan dan syarat diikuti penulis, istri dan bapak Raswan terus berjalan menuju hutan. Ketika melewati sebatang pohon besar saya dan istri diharuskan mengucapkan punten (sejenis ucapan minta izin masuk rumah dalam bahasa Sunda) dengan disertai memperagakan seperti membuka pintu. Hal ini dikarenakan masyarakat Kuta meyakininya bahwa pohon tersebut merupakan pintu pertama masuk hutan keramat. Kami terus berjalan dengan suasana hutan yang gegap gempita oleh pepohonan besar berumur sekitar ratusan tahun dan kami sampai di suatu pohon besar dan diharuskan melakukan isyarat seperti di pohon pintu pertama tadi. Pohon itu di Kuta dianggap sebagai pintu kedua masuk hutan.
Setelah cukup lama berjalan tanpa alas kaki kami dan jalanan hutan yang becek –dikarenakan saat itu musim hujan—kami sampai pada suatu tempat yang berbentuk kolam kecil (babalongan) yang dari hulunya mengalir air jernih yang terlihat dasarnya dikarenakan kolam ini memiliki kedalaman dangkal. Di dasar kolam kecil tersebut terlihat banyak sekali uang recehan dan lamaran rupiah yang sudah mulai lapuk karena ada yang sudah lama di dalam air. Menurut bapak Raswan uang-uang tersebut merupakan uang-uang yang dilemparkan oleh para pengunjung sebagai kewajiban terhadap leluhur. Namun kami tidak langsung disuruh melempar uang di tempat ini, karena tempat ini merupakan tempat kedua melempar uang setelah di danau (kawah) nanti yang letaknya ada diujung sebelah Barat hutan.
Akhirnya kami terus berjalan menyusuri hutan lebat yang terjal dan becek sekali dan akhirnya sampai di sebuah tempat agak luas. Di sana ada beberapa orang yang sedang melakukan ritual dipimpin oleh orang yang duduk paling depan dan berikat kepala (iket barangbang semplak) model Sunda. Orang yang pakai ikat tersebut ternyata adalah kuncen kampung Kuta yang sedang melayani pengunjung untuk ritual. Setelah rutual rombongan tersebut selesai kami disambut hangat oleh kuncen dan sempat berbincang-bincang untuk kemudian beliau menanyakan maksud dan tujuan kami berkunjung di hutan keramat. Setelah diketahui maksud dan tujuan kami, kuncen kemudian membaca mantra-mantra dan sejenis do’a-do’a pada leluhur supaya maksud dan tujuan kami tercapai. Dalam proses ritual ini syarat-syarat yang sebelum masuk hutan kami persiapkan mulai di minta satu persatu, dari mulai kemenyan yang dibakar, kemudian minyak wangi. Proses membaca mantra terus-menerus dilakukannya. Setelah selesai, kemudian kuncen memberikan kemenyan dan minyak wangi yang harus kami bawa ke rumah saat pulang nanti. Kuncen menjelaskan bahwa kemenyan tersebut harus di bakar di rumah dengan menyebutkan berbagai keinginan kita. Sedangkan minyak wangi dipakai setiap akan berangkat bekerja atau aktivitas apapun minimalnya satu kali sehari. Semua itu dilakukan untuk dijauhkan dari marabahaya dan selalu diberi kesuksesan. Setelah selesai ritual tersebut kami disadarkan dengan amplop yang tadi termasuk syarat sebelum masuk. Amplop tersebut kami isi uang alakadarnya dan di simpan di tumpukan ampop berisi –yang bisa dipastikan isinya uang—yang terletak di sisi samping kanan kuncen.
Setelah selesai dan berbincang alakadarnya dengan kuncen, kami melanjutkan perjalanan ditemani bapak Raswan yang merupakan kepercayaan kuncen menuju ujung sebelah Barat hutan di mana terdapat danau atau kawah yang cukup besar. Ditempat ini kami dipandu untuk melakukan ritual membersihkan badan dari berbagai sifat iri, dengki, sirik pidik jail kaniaya (sifat selalu ingin mencelakakan orang lain), dengan simbol mandi di sisi danau atau paling tidaknya membasuh muka, kedua tangan dan rambut. Dikarenakan tidak memungkinkan persediaan pakaian yang kami bawa, maka kami memutuskan hanya membasuh muka, kedua belah tangan dan membasahi rambut saja. Baru setelahnya kami menabur uang recehan dan lembaran ribuan yang sudah dipersiapkan sebelum masuk hutan tadi. Setelah selesai ritual ini kami balik arah ke jalan yang tadi dilewati dan tentunya melewati tempat ritual dengan kuncen tadi. Setelah mengucapkan amit (izin) lewat kepada kuncen kami terus berjalan menyusuri jalan serupa ketika berangkat tadi dan sampai di kolam kecil yang sudah disebutkan tadi. Dikolam ini kami melakukan ritual membasuh muka dan menabur uang (sawer) persis yang kami lakukan di danau tadi. Setelah kami selesai, pemandu pun melakukan seperti yang kami lakukan dan setelah melakukan ritual tersebut beliau memotong sejenis tumbuhan paku berukuran cukup besar dan diberikan pada kami untuk ditempelkan di atas pintu rumah kami dengan fungsi sebagai tolak bala. Dikatakannya tumbuhan paku atau pakis yang sengaja dipetik ini sudah diberi mantra dan tidak semua orang bisa mendapatkannya, hanya orang tertentu saja. Apalagi tumbuhan tersebut didapatkan di hutan keramat yang secara normal tidak boleh mengambil satu benda apapun dari hutan kecuali seizin karuhun.
Setelah itu kami berjalan menuju arah kampung Kuta dengan melakukan hal yang persis seperti masuk tadi ketika melewati dua pohon besar yang dipercaya sebagai pintu pertama dan kedua masuk hutan keramat. Setelah  melewati jalan yang terjal licin yang kiri kanan jalannya dipenuhi pepohonan yang menjulang tinggi sebesar perut kerbau dan melewati pesawahan dan menemukan para petani kampung Kuta sedang bekerja kami akhirnya sampai di posko peristirahatan dan menuju ke pusat kampung.
Cerita kasus di atas menunjukkan peran kuncen yang begitu besar dalam menjembatani masyarakat, baik kampung Kuta ataupun pengunjung lainnya di hutan keramat. Peran yang begitu besar di hutan keramat yang memiliki luas hampir separo kampung Kuta ini (kurang lebih 40 Ha) menjadikannya seolah-olah pemilik hutan keramat itu sendiri. Kesejahteraan ekonominya relatif baik dikarenakan penghasilan dari sumbangan, baik warga Kuta terutama di luar kampung Kuta cukup melimpah, terutama di hari-hari ritual (Senin dan Jum’at). Di hari tersebut tidak kurang dari 50 orang melakukan ritual dengan memberikan sumbangan kepada kuncen. Pengunjung berdatangan tidak hanya di sekitar Ciamis, tetapi Jawa Barat, bahkan dari seluruh Indonesia. Peran kuncen yang tidak terbantahkan sebagai “penjaga” hutan keramat memberikan pengaruh yang besar dalam membentuk pola pikir masyarakat sekitar supaya melestarikan alam. Sampai sekarang masyarakat tidak ada yang berani mengambil hasil hutan apapun, dengan kuantitas berapapun di hutan keramat Leuweung Gede ini dikarenakan mereka takut pada hukuman dari leluhur kampung Kuta yang dipercaya hidup di hutan tersebut.
Pengaruh kuncen juga menahan semua peran pihak lainnya yang seharusnya bertanggung jawab semisal pemerintahan desa. Desa tidak bisa berbuat banyak dengan peran dan pengaruh yang terbentuk dalam kepemimpinan adat ini. Sebagai contoh pemerintahan desa Karangpaningal memasukkan Leweung Gede tersebut masuk sebagai salah satu aset sumber pendapatan desa (APBDes), namun dilematis bagi pemerintahan desa karena aset tersebut sedikitkit pun tidak pernah mereka manfaatkan.
Pemerintah desa pun memaklumi akan pengaruh kuncen yang begitu besar sehingga tidak mempersoalkan hutan larangan di daerahnya tidak dimanfaatkan dikarenakan juga hutan keramat adalah hutan lindung milik adat. Namun secara psikologis tersirat dari informasi mereka adanya ketakutan pengaruh yang berlebihan dari kuncen justru dikhawatirkan kuncen tidak murni lagi menjalankan amanah leluhur, namun lebih banyak menjadikan hutan keramat sebagai aset pribadi untuk mencukupi kepentingan pribadi. Pemerintah desa justru menginginkan tranparansi pemasukan hutan keramat dari pengunjung digunakan untuk kepentingan masyarakat adat secara keseluruhan, tidak hanya masuk ke kantong pribadi kuncen. Memang pungutan dari pihak adat sebenarnya sudah ada, yakni biaya masuk ke kampung adat dan biaya masuk ke hutan keramat. Namun biaya tersebut tidak seberapa jika dibandingkan sumbangan yang diberikan pada kuncen.
Di sisi lain kesulitannya bagi pemerintahan desa adalah karena pendapatan kuncen yang begitu besar sifatnya adalah sumbangan dari pengunjung dan sukarela maka sulit untuk dipersoalkan. Jalan satu-satunya adalah pihak perangkat adat (pupuhu adat dan perangkatnya) harus membuat sistem baru tarif masuk ke hutan larangan dengan aturan bahwa pembayaran hanya dilakukan di posko dan tidak ada pungutan lainnya. Namun hal inipun masih mengalami kesulitan dikarenakan pengelola adat (pupuhu adat dan perangkatnya) harus menaikkan tarif, padahal tidak ada larangan bagi siapapun untuk memberikan sumbangan. Yang dilakukan selama ini oleh pengunjung memberikan sumbangan pada kuncen adalah suka rela. Hal ini disebabkan pengaruh dan kewibawaan kuncen yang begitu besar di kampung adat Kuta ini.

E.3. Pupuhu Adat  dan Peran Eksternal
Pupuhu adat yang membawahi perangkatnya (wakil pupuhu adat, sekretaris dan bendahara) pada dasarnya memiliki peran yang meliputi internal dan ekternal kampung adat. Di wilayah internal fungsinya meliputi menjadi pemimpin tertinggi dan mengkoordinatori dalam penciptaan situasi kampung yang kondusif dan dinamis, memecahkan berbagai persoalan di kampung adat dengan berkoordinasi dengan sesepuh lembur dan pemerintahan desa (kepala dusun, RT/RW) dengan menerapkan prinsip syawala (musyawarah). Pupuhu adat memang tidak berhak mengurusi upacara-upacara adat dan ritual lainnya karena hal itu menjadi wewenang sesepuh lembur, namun jika terjadi masalah semisal konflik yang terjadi, baik tentang ritual ataupun perselisihan lainnya yang kerap muncul di masyarakat menjadi tanggung jawabnya untuk menyelasaikan. Di bidang eksternal pupuhu adat menjadi satu-satunya pemimpin yang berhak dan bertanggung jawab mencitrakan kampung adat Kuta ke publik (reification). Membawa nama baik, keunggulan dan kekhasan kampung Kuta dan menjadi representasi kampung dalam berbagai pertemuan masyarakat adat, baik yang difasilitasi pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga swasta lainnya.
Peran menjadi representasi kampung ke luar ini merupakan peran transformasi dari peran yang dulunya dipegang oleh sesepuh lembur. Namun setelah di tahun 2000 dibentuk pupuhu adat dan perangkatnya, peran itu menjadi salah satu tanggung jawab pupuhu adat. Kepemimipinan bapak Karman salah satunya dianggap berhasil mempromosikan kampung adat Kuta yang memiliki keunggulan dalam melestarikan hutan keramat ke publik. Sehingga di tahun 2001 kampung Kuta mendapat anugerah Kalpataru dari presiden RI dibidang Pelestarian Lingkungan Hidup yang diberikan di Provinsi Bali saat itu. Kalau melihat peran seperti ini bisa juga dikatakan pupuhu adat menjadi juru bicara kampung Kuta pada publik.
Pada kenyataannya saat ini fungsi eksternal seperti yang dijelaskan di atas yang lebih kentara pada peran pupuhu adat di kampung Kuta dibandingkan peran internalnya. Hal ini dimungkinkan karena di bidang internal peran-peran yang berkaitan dengan keadatan didominasi oleh sesepuh lembur. Sedangkan pupuhu adat lebih sibuk bepergian ke luar kota, tidak hanya dalam lingkup provinsi, namun juga ke wilayah lain di Indonesia dengan ragam kegiatan seperti pertemuan antar masyarakat adat, studi banding, dan juga jadi pembicara dalam berbagai diskusi sudah menjadi rutinitas pupuhu adat.
Pengalaman dari peran yang mainkan oleh pupuhu adat tersebut membuatnya mempunyai pemahaman baru tentang dunia lain di luar Kuta dan juga jaringan sosial yang cukup luas. Tidak mengherankan jika kita berbincang dengan tokoh ini jika memiliki wawasan sosial dan pengetahuan yang cukup walaupun tidak mengenal pendidikan formal di sekolah. Pupuhu adat juga mengenal cukup dekat dengan tokoh-tokoh gerakan sosial, lembaga swadaya masyarakat, tokoh Ormas dan bahkan pejabat-pejabat, dari mulai level kabupaten sampai nasional.

E.4. Ustadz dan Upaya Penegakkan Eksistensi
Ustadz atau ajengan di kampung kuta memiliki peran sebagai penjaga religi masyarakat di bidang keagamaan. Kalau kuncen dan sesepuh lembur menjadi fasilitator yang menjembatani masyarakat dalam berkomunikasi dengan roh-roh nenek moyang atau karuhun. Maka ustadz lebih menjadi fasilitator masyarakat dalam berkomunikasi dengan Tuhan (Allah SWT).
Kepemimpinan ustadz muncul dengan mulai mengajarkan pentingnya akidah dan menjalankan syariat Islam di tahun 1982 setelah datangnya ustadz Bahrudin dari Cisaga. Perjuangan ustadz hingga memiliki posisi dan pengaruh besar di kampung adat Kuta tidak didapatnya dengan mudah. Hal ini dikarenakan masyarakat adat kampung Kuta lebih percaya pada leluhur (roh-roh nenek moyang) sejak munculnya kampung Kuta. Konflik-konflik kecil dengan pemimpin adat yang sudah ada selalu muncul ketika ustadz berusaha memasukkan unsur-unsur syariat Islam dalam berbagai upacara ritual dan keyakinan masyarakat. Namun lambat laun akhirnya mulai diterima dan unsur syariat yang menjadi ciri khas Islam mulai terserap dalam tradisi, seperti adanya do’a, sholawat, dan tahlilan. Perkembangan ini menjadikan posisi ustadz pun lambat laun mulai diterima di masyarakat dan bahkan posisinya saat ini sederajat dengan pemimpin-pemimpin lainnya yang ada di kampung Kuta.
Selain memasukkan unsur-unsur syari’at Islam dalam berbagai ritual kampung Kuta yang sebelumnya sudah ada. Ustadz juga membentuk Dewan Kemakmuran Mesjid yang menginduk langsung ke pemerintahan desa. Lewat lembaga ini ustadz bisa dengan leluasa memainkan peran yang mulai dibentuknya sejak tahun 1982. Pengajian pun rutin dilakukan, baik untuk kalangan ibu-ibu (setiap hari Jum’at pagi), bapak-bapak setiap hari Kamis malam berupa ceramah, lambat laun juga diperkenalkan marhabaan atau barjanjen (sejenis sholawat dan puji-pujian kepada Allah dan Muhammad serta sejarah hidupnya). Selain pengajian pun rutin setiap tahun diadakan mauludan sebagai peringatan terhadap kelahiran nabi Muhammad) dan Rajaban (Isra’ Miraj Nabi Muhammad). Pembicara biasanya mengundang ustadz dari luar Kuta semisal dari Cibodas, Cisaga, Tambaksari, Cijantung dan wilayah lainnya di sekitar Ciamis.
Ustadz juga menanamkan arti pentingnya melaksanakan rutinitas syariat Islam semisal shalat, zakat, dan rukun Islam lainnya. Walaupun sampai saat ini kesadaran menjalankan syariat tersebut belum terlalu masif di masyarakat, namun sudah ada perkembangan yang signifikan sebelum kepemimpinan ustadz muncul. Pada hari Jumat, sebagian besar warga masyarakat tidak melakukan salah Jumat, sehingga ustadz biasanya mengajak jemaah yang hadir langsung melakukan sholat wajib, dikarenakan jumlahnya tidak mencukupi syarat sholat Jum’at. Biasanya yang hadir sekitar 7-8 orang. Perkembangan yang pesat justru dalam bidang syariat Islam yang ada hubungannya dengan bidang sosial, di mana tingkat kesadaran dan antusiasme masyarakat begitu tinggi, terbukti dengan semua warga membayar zakat fitrah ketika menjelang ‘idul fitri dan juga hampir setiap hari Idul Adha ada yang memotong hewan qurban.
Selain ritual-ritual di atas, juga muncul ritual lainnya yang dilakukan persis pasca-hari raya ‘Idul fitri dan ‘Idul adha yang dipimpin oleh ustadz dan sesepuh lembur. Ritual ini merupakan akulturasi kepercayaan terhadap nenek moyang (leluhur) dan juga kepercayaan terhadap Allah (tradisi yang bersumber dari Islam). Ritual ini biasanya berlangsung selama kurang lebih satu jam yang berisi do’a dan ungkapan rasa syukur pada roh-roh nenek moyang dan Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan dan keselamatan seluruh warga. Dalam ritual ini biasanya semua warga berdatangan, bahkan dihadiri sebagian warga kampung tetangga.

F. KESIMPULAN1
1. Model pemilihan penunjukkan yang berlaku di kampung adat Kuta adalah  berdasarkan keturunan, kewahyuan, dan musyawarah. Model-model tersebut memiliki mekanisme tertentu untuk sampai pada pengesahan sebagai pemimpin. Pada kenyataannya dalam model penunjukkan tersebut setiap pemimpin yang ada di kampung Kuta mencitrakan dan melegitimasi kewenangannya lewat apa yang disebut amanah karuhun.
2. Setiap pemimpin yang ada di kampung Kuta memiliki peran masing-masing  yang saling berkoordinasi  dalam memainkan peran tersebut. Sesepuh lembur mengurusi  hampir keseluruhan kehidupan  masyarakat yang berkaitan dengan memiliki peran mengurusi semua hal yang berkaitan dengan ritual masyarakat adat Kuta. Kuncen memiliki peran tak terbatas dalam mengurusi ritual masyarakat kampung Kuta dan siapapun di tempat suci (sejenis mesjid dalam Islam) yakni Leuweung Gede yang dikeramatkan. Pupuhu adat yang membawahi perangkatnya (wakil pupuhu adat, sekretaris dan bendahara) pada dasarnya memiliki peran yang meliputi internal dan ekternal kampung adat. Di wilayah internal fungsinya meliputi menjadi pemimpin tertinggi dan mengkoordinatori dalam penciptaan situasi kampung yang kondusif dan dinamis, memecahkan berbagai persoalan di kampung adat dengan berkoordinasi dengan sesepuh lembur dan pemerintahan desa (kepala dusun, RT/RW) dengan menerapkan prinsip syawala (musyawarah). Di bidang eksternal pupuhu adat menjadi satu-satunya pemimpin yang berhak dan bertanggung jawab mencitrakan kampung adat Kuta ke publik. Membawa nama baik, keunggulan dan kekhasan kampung Kuta dan menjadi representasi kampung dalam berbagai pertemuan masyarakat adat baik yang difasilitasi pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga swasta lainnya. Ustadz atau ajengan di kampung kuta memiliki peran sebagai penjaga religi masyarakat di bidang keagamaan. Dalam proses koordinasi dalam irisan peran masing-masing terjadilah proses saling mencitrakan dan melegitimasi masing-masing institusinya sebagai yang paling superior di mata masyarakat Kuta. Proses relasi kuasa inilah sesuatu yang sangat wajar dalam pembagian peran dan kewenangan politik.


DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi, 2008, Studi Etnografi dan Folklore, UGM Press, Yogyakarta.
Halpenny, P, 1984, Principle of Method, New York, Longman.

Harrison, Lissa, 2007, Metodologi Penelitian Politik (terj.), Cet I, Kencana Prenada, Jakarta.

Keesing, Roger M,1999. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1997, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Marsh, David and Gerry Stoker, Theory and Methode in Political Science : Second Edition, Palgrave, Macmillan.

Makasim, Luthfi, 2007, Agama dan Budaya Politik, Sufisme dan Habitus Politik Masyarakat Banyumas, Swara Politika, Unsoed, Purwokerto.

Moleong, Lexi J, 1989, Metode Penelitian Kualitatif,  PT Erlangga, Jakarta.
Muhadjir, Nung, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, Edisis III,  Penerbit Rake Sarakan, Jakarta.

Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru IlmuKomunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
.
Shadilly, Hassan, 1984, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Spradley, James P. 1979, The Ethnographic Interview, Holt, Rinehart and Winston, New York.


Sumber lain

Apriansyah, 2005, Budaya Politik Masyarakat Suku Samin, Skripsi Ilmu Politik FISIP Unsoed, Purwokerto.
HidayatI, Nuri, 2008, Kontribusi Ustadz Bahrudin dalam Perkembangan Islam di Kampung Adat Kuta, Karapangpaningal, Ciamis, Jawa Barat (1981-1992), Skripsi Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Konvensi ILO mengenai Masyarakat Hukum Adat, 1989 (No.169): Sebuah Panduan, Kantor Perburuhan Internasional, 2003. Jenewa.

Peraturan  Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang  Masyarakat Hukum Adat.

Tantri, D, 2006, Kajian Budaya Politik Masyarakat Adat Baduy, Kanekes  (Skripsi), Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Tim Peneliti Jurusan Ilmu Politik Universitas Siliwangi (Kusmayadi Edi, dkk), 2009, Kajian Sosial, Budaya dan Politik Masyarakat Adat Kampung Kuta, LPPM Unsil, Tasikmalaya.

Tim Peneliti dari Disbudpar Jawa Barat, 1998, Tradisi Khas Kampung Kuta, Kabupaten Ciamis, Disbudpar Ciamis.

Wahid, Asep, 2001, Kajian Sosial Budaya Masyarakat Adat Kampung Naga (Skripsi), Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.



[1] Staf Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi dan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, konsentrasi Kajian Politik Indonesia UGM Yogyakarta.
[2] Perhitungan ribuan tahun ini didapatkan dari perkiraan dimana sudah ada sepuluh kuncen dalam sejarah kampung Adat Kuta sampai sekarang (Aki Maryono) seperti yang sudah dibahas dalam sejarah kampung Kuta. Jika diperkirakan satu orang kuncen berusia seratus  tahun, bisa diperkirakan kampung Kuta sudah berdiri kurang lebih seribu tahunan. Hal ini atas pertimbangan bahwa orang tua dahulu rata-rata memiliki usia lebih dari seratus tahun.
[3] Dua jabatan yang berbeda dengan peran yang berbeda pula dipegang oleh orang yang sama.
[4] Bapak Karman terpilih sebagai pupuhu adat pertama. Pada masanya Kuta berhasil memenangkan anugerah Kalpataru untuk bidang Pelestarian Lingkungan Hidup. Bapak Karman kebetulan merupakan anak menantu dari kuncen Aki Maryono.
[5] Perangkat atau struktur dari Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM) ini sejak 1981-sekarang adalah Kepala Dusun Kuta sebagai pelindung, bapak Baharudin sebagai Ustadz, ibu Misrah sebagai bendahara, ibu Tati sebagai bidang kebersihan, bapak Raswan sebagai pengurus peralatan, bapak Darja dan istri-istri ketu RT sebagai pengurus bidang usaha.
[6] Sejenis ilham yang datangnya dari leluhur kampung Kuta untuk menentukan siapa pemimpin yang akan menggantikan sesepuh lembur selanjutnya.
[7] Seserahan adalah sejenis serah terima orang tua laki-laki kepada orang tua perempuan dalam rangkaian upacara adat pernikahan di wilayah Jawa Barat. Orang tua perempuan kemudian menerima penyerahan lewat dia sendiri ataupun pewakilannya. Upacara ini biasanya dilakukan sebelum izab qobul atau akad nikah dilakukan.

0 komentar:

Post a Comment