Negara dalam Bayang-Bayang Pemodal, Dampak Eksploitasi Pasir Galunggung, Sukaratu, Tasikmalaya

Oleh : Subhan Agung, S.IP, M.A.

Pendahuluan 
Bicara kebijakan publik di Indonesia, sepertinya masih menjadi komoditi bagi sekelompok elit-elit pemerintahan saja. Secara historis akan sangat jarang kita temui kebijakan di Indonesia yang banyak melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses formulasinya. Indonesia, baik sejak Orla, Orba, bahkan reformasi lebih cenderung menganut pendekatan apa yang Fadillah Putra disebut sebagai pendekatan kekuasaan dalam pembuatan kebijakan publik[2]. Di mana, formulasi kebijakan yang dipahami sebagai sebuah proses pengambilan keputusan adalah proses yang sangat ditentukan oleh faktor kekuasaan, lebih jauh lagi elit-elit dalam kekuasaan itulah yang paling bepengaruh dalam proses tersebut.

Memang bukanlah sesuatu yang aneh jika elit-elitlah pada kenyataannya yang menjadi pemegang veto dalam formulasi kebijakan, bahkan sampai memproduk kebijakan publik. Elit mengatasnamakan kehendak dan kepentingan rakyat menjadi bertindak oligarki[3] dikarenakan biasanya elit-elit inilah yang paling menguasai seluk-beluk birokrasi dalam negara, sehingga terkadang bisa melakukan apa saja, atas nama kepentingan masyarakat.

Konsep elit yang dimaksudkan di atas, biasanya muncul dalam model Demokrasi Mayoritarian[4], di mana elit tumbuh dari hasil persaingan ketat dari keseluruhan representasi  kepentingan dalam masyarakat, sehingga pemenang biasanya berperan sebagai the winner take all dalam proses kebijakan negara.  Dalam pemahaman ini kekuasaan yang terbentuk hingga mewujud menjadi elit-elit bisa dari berbagai  kondisi dan sumber, semisal kelompok pebisnis besar, berasal dari kalangan teknokratis, profesional, atau lainnya.

Begitulah yang terjadi di Indonesia berbicara tentang proses pembuatan kebijakan terutama Orla dan Orba. Memang pergeseran mulai muncul saat Reformasi yang mulai memperhatikan “suara-suara rakyat” dalam proses pembuatan kebijakan, namun hal inipun dinilai banyak kalangan masih pada wilayah kulit (formalitas) saja dikarenakan tuntutan pendekatan pluralisme yang mendesak dan menjadi kritik terbesar pada rezim sebelumnya. Saat ini justru bukan hanya negara yang sulit dalam melibatkan rakyat dalam proses pembuatan kebijakan, namun juga saat ini muncul realitas yang sulit dihindari sebagai konsekuensi pasar bebas berjalan di dunia, yakni kekuatan Pasar. Bagaimana senyata penguasa (pejabat negara) menyikapi bekerjanya pasar, setiap negara memiliki kharakteristik sikap dan varian-varian yang banyak. Di Indonesia pun saya kira, sangat bervariasi ketika berbicara konteks otonomi di daerah-daerah, di mana saat ini dibolehkannya membuka jaringan diberbagai bidang antar kota/ daerah di dunia. 

Sebuah Kesenjangan 
Seharusnya ketika bicara Pasar, sikap negara adalah mampu mengendalikannya untuk memajukan perekonomian, kreatifitas, dan kesejahteraan rakyat. Negara tidak bertekuk lutut pada mekanisme Pasar, sehingga negara terkesan tidak berdaya. Dalam konteks inilah kita berbicara governability negara dalam menghadapi tantangan modernitas saat ini, mau tidak mau harus mampu mendelivered public goods untuk semua lapisan masyarakat dan ketika bermitra pun dengan Pasar, negara harus dalam konteks menunjang peran dan kewajibannya atas kehidupan rakyat. Bukan sebaliknya menjual rakyat dan aset-asetnya pada mekanisme Pasar untuk kepentingan segelintir elit dan koorporatisnya.

Tulisan ini akan melihat sekelumit realitas yang terjadi di mana negara cenderung perpangku tangan,  ketika rakyat dirugikan oleh aktivitas Pasar itu. Negara yang seharusnya mampu menjadi penjaga kenyamanan dan kesejahteraan pada saat tertentu ternyata puas melihat rakyatnya tertindas oleh pasar seperti kasus yang akan kita kaji di bawah ini. 

Sekelumit Kasus Eksploitasi Pasir Galunggung   
Kawasan Gunung Galunggung secara geografis terletak di Kecamatan Sukaratu yang terletak 12 Km di sebelah Barat Kota Tasikmalaya, sebelah Barat berbatasan dengan Garut, Utara berbatasan dengan Cisayong dan sebelah Selatan dengan Leuwisari dan Padakembang. Sukaratu sejak zaman dahulu dikenal sebagai salah satu kecamatan (dulu masih kemantren, masuk kecamatan Indihiang) penghasil ikan terbesar di kabupaten Tasikmalaya. Sukaratu merupakan kecamatan dengan jumlah produksi ikan Mujaer terbesar di Tasikmalaya (66,51 Ton/tahun) dengan nilai lebih dari 400 juta/tahun, produksi terbesar ikan Tawes (105,77 ton/tahun) atau senilai 1 milyar 400 juta lebih rupiah/tahun. Sedangkan untuk produksi ikan Mas, Sukaratu menempati posisi ketiga terbesar yakni 626,76 ton/tahun atau senilai 10 milyar 600 juta lebih di bawah kecamatan Padakembang (856,69 ton/tahun) atau senilai 14 milyar 600 juta lebih dan kecamatan Leuwisari (654.43 ton/tahun) atau senilai 11 milyar 100 juta lebih[5].

Prestasi perikanan seperti di atas tidak mengherankan, karena hampir sebagian besar penduduk di kaki Gunung Galunggung ini bermata pencaharian sebagai peternak ikan di kolam-kolam yang nota bene berukuran besar-besar. Kantong-kantong desa penghasil ikan terbesar di kecamatan Sukaratu adalah : 1. kawasan desa Sukaratu bisa dijumpai kolam-kolam berukuran besar (300 bata atau hampir setengah hektar ke atas), terutama di Kampung Gunung Kuda, Kudang, Muhara, Ciakar, Cijuhung. 2. Kawasan lainnya adalah Desa Indrajaya (Kampung Cicurug, Pasirkadu). 3. Kubang Eceng, 4. Desa Sinagar ( Kampung Cihurip, Sinagar, Kubangamprah, Kubang Manjar, Cihanjuang, Sukahurip), 5. Tawang Banteng (Ciponyo). 6. Gunung Sari (Gunung Balong, Rancakoret, Kikisik, Cihideung). 6. Desa Linggajati (Cipanas, Cihaseum, Linggajati), Kesemuanya merupakan desa-desa penghasil ikan terbesar di kab. Tasikmalaya. Tapi saat ini mereka terancam kerugian miliaran rupiah dikarenakan lahan kolam mereka mulai tidak bisa ditanami ikan, karena airnya sudah tercemar, sehingga ikan tidak bisa bertahan hidup.

Selain daerah penghasil ikan terbesar di Tasikmalaya, Sukaratu juga dikenal daerah pertanian padi  salah satu yang terbesar yakni  memproduksi 25,499 ton dengan luas tanam 4811 ha  di tahun 2008, dibawah kecamatan Cigalontang (37,758 ton dengan luas tanam 6754 ha di tahun yang sama) dan kecamatan Sodonghilir (30,952 ton dengan luas tanam 5498 ha di tahun yang sama pula)[6]. Sebagai daerah pertanian, maka hampir sebagian besar penduduknya bermata pencaharian petani sebanyak 35%.

Namun sampai saat ini terjadi pengerukan sumber daya alam pasir di kaki Gunung Galunggung secara besar-besaran oleh para pengusaha pasir yang dianggap membahayakan potensi dari kecamatan Sukaratu seperti disebut di atas. Pengerukan ini sebenarnya sudah banyak terjadi sejak tahun 1984-an setelah Gunung Galunggung meletus 1982, banyak pengusaha yang tergiur dengan keelokan Pasir Gunung Galunggung yang memiliki harga jual bagus. Namun pengerukan besar-besaran terjadi mulai tahun 2005 dengan bermunculannya kelompok-kelompok pengusaha pertambangan pasir yang melakukan penambangan “membabi buta” dan besar-besaran sampai saat ini. Akibatnya lahan produktif yang berfungsi sebagai sarana bertani rusak berat dan memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali. Para pemilik lahan tergiur oleh bujuk rayu pengusaha dengan iming-iming uang sewa lahan kontrak yang besar. Pemilik lahan pertanian tergiur menyewakan lahan kepada pengusaha tambang pasir akan mendapatkan keuntungan yang berlimpah daripada bertani yang hasilnya setahun 3 kali dengan hasil yang belum tentu[7]

Permasalahan itu timbul karena[8] sebagian besar para penambang yang sudah selesai masa kontraknya selalu berbuat seenaknya tanpa mengindahkan aturan atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah[9]. Sehingga lahan yang sudah rusak ditinggalkan begitu saja tanpa direklamasi kembali. Limbah yang ditimbulkan oleh pertambangan pasir juga sangat menggangu masyarakat, terutama yang berada di hilir sungai. Beberapa waktu kebelakang ketika musim kemarau panjang menimpa seluruh lapisan wilayah Indonesia. Masyarakat yang berada di sekitar hilir sungai mengajukan protes kepada para pemilik tambang karena mereka membuang limbah langsung ke saluran sungai tanpa membuat kantung limbah. Air yang kotor mencemari ke seluruh pemukiman masyarakat termasuk sarana dan prasarana umum. Situasi sempat memanas bahkan warga mengancam akan membakar alat berat. Namun pihak aparat beserta beberapa tokoh masyarakat dapat meredam emosi warga. 

Dalam pemberitaan Pikiran Rakyat di tahun 2009 tentang dampak lingkungan akibat penambangan pasir besar-besaran di kaki Galunggung dapat diketahui beberapa opini misalnya dari kelompok tani Sari Asli Sukaratu di mana dampaknya adalah kerusakan pada ratusan hektar pertanian organik, di mana air yang mengalir ke sawah keruh, karena merupakan limbah pencucian pasir untuk dipisahkan dari tanah, akibatnya lahan sawah menjadi keras dan padi tumbuh tidak normal, bahkan mengalami kematian. Karena itu, kelompok tani ini mendesak agar lokasi galian pasir ini ditata secara baik. Sementara opini pemerintah seperti disajikan dalam wawancara Pikiran Rakyat dengan Camat Sukaratu saat itu, dikatakan bahwa proses penggalian tersebut sudah sesuai prosedur dan mengenai dampak buruknya tidak berdasarkan kekhawatiran masyarakat dan kelompok-kelompok tertentu, tetapi status berbahaya atau tidaknya berdasarkan penelitian ilmiah yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, semisal ilmuwan atau pemerintah sendiri. Tapi sampai saat ini pemerintah masih berkeyakinan penggalian tersebut aman dan sesuai prosedur[10].

Dari pengamatan saya sendiri di lapangan, memang penggalian pasir di kaki Gunung Galunggung, terutama kawasan Linggajati, Cipanas, Cihurip dan Sinagar sendiri sudah memprihatinkan, banyak lahan-lahan pertanian yang berlobang-lobang sangat dalam dan akan sangat sulit diperbaiki, kawasan hutan-hutan kecil rawan longsor karena ditambang pasir dan batunya, selain itu kalau musim hujan tiba juga rawan longsor dan air menjadi sangat keruh, karena membawa limbah pencucian pasir yang tidak dibuatkan formulanya.  Pertemuan demi pertemuan sebenarnya sudah sangat sering diadakan, namun belum ada titik temu yang sebenarnya. Seperti pertemuan yang diselenggarakan di Linggajati yang difasilitasi Kapolsek Sukaratu dan Camat Sukaratu saat itu yang mempertemukan warga dan kelompok-kelompok masyarakat dengan pihak pengusaha, malah semakin mempertajam konflik dan belum ada titik temu. Organisasi Pemerhati Lingkungan Tasikmalaya Dzulfaqor meminta penambang pasir paling tidak mundur dari lokasi penambangan saat ini sejauh 1 Km, tapi pihak pengusaha keberatan. Namun sebagai bentuk pertanggungjawabannya perusahaan penambang akan mengakomodir beberapa keinginan masyarakat dalam pengolahan limbah penambangan pasir dengan cara membuat kolam penampungan limbah dan sedang dikerjakan. 

Penguasa Pasir Galunggung dan Keterlibatan Politik 
Di kecamatan Sukaratu sendiri sebenarnya ada cukup banyak pengusaha penambangan pasir yang saling berhubungan satu sama lain. Mereka. Salah satu pengusaha utama adalah Bapak Endang Uta (Endang Juta), penduduk kampung Sinagar Desa Sinagar, Kecamatan Sukaratu. Bisa dikatakan pengusaha ini adalah pengusaha paling dominan yang “bermain” dalam proyek pengerukan pasir Galunggung saat ini.

Sebagai pengusaha besar di Sukaratu dan Tasikmalaya, Endang Uta jelas memiliki akses hubungan yang banyak di pemerintahan untuk tujuan memuluskan tujuannya dalam proyek pengerukan Pasir Galunggung yang terkenal memiliki nilai jual sangat mahal dibanding dengan pasir-pasir lainnya di Indonesia. Pasir di Galunggung ini menjadi favorit para penguasa di bidang bangunan di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Untuk memuluskan tujuannya itu beliau menjadi anggota Partai PDI-P Tasikmalaya—salah satu partai besar di Tasikmalaya--. Keterlibatannya di Partai bukan sebagai pengurus  partai, namun sebagai penyandang dana baik bagi PDI-P Tasikmalaya, maupun Jawa Barat.

Keterlibatannya juga sangat kentara  hampir dalam dalam setiap “hajatan” Pemilu baik pemilihan presiden 2004, pemilihan Gubernur Jabar, pemilihan Bupati dan Wali kota Tasikmalaya, bahkan pemilihan Kepala Desa langsung di sekitar kecamatan Sukaratu. Memang, tidak semua yang didukungnya memenangkan pemilihan, walaupun dengan upaya “mengiming-imingi perbaikan infrastruktur” semisal pengaspalan jalan, jembatan, brangkal, renovasi selokan, bahkan pembangunan sarana fisik umum semisal mesjid, pesantren, sekolah dan lainnya. Tercatat dalam Pilpres 2004[11] suara Megawati sebagai calon PDI-P di Kabupaten Tasikmalaya menempati posisi kedua setelah SBY-JK, namun di Kecamatan Sukaratu posisi Megawati-Hasyim menempati nomor pertama disusul SBY-JK. Sedangkan pada Pemilihan Gubernur Posisi “jagonya” Dani Setyawan menempati urutan kedua perolehan suara Pilgub, setelah Ahmad Heryawan- Dede Yusuf. Dalam pemilu 2009 kemarin jago-jagonya di legislatif yang banyak dapat kucuran bantuan baik di pusat, maupun daerah mengalami kemenangan, di tingkat Kabupaten misalnya Wakil Ketua DPRD, Ade Sugianto adalah usungan Endang Uta. Jadi secara substantif  Endang Uta sudah mampu menempatkan kepentingannya di parlemen Kabupaten dengan menempatkan jagoan-jagoannya. Ini yang oleh Pitkin[12] disebut perwakilan substantif, perwakilan yang lebih memperhatikan substansi dari adanya perwakilan, tidak pada simbol tertentu. Karena yang dibutuhkan Endang Uta adalah adanya kemudahan dalam perizinan dan tidak ada yang mengganggu proses operasionalisasi perusahaannya.

Sedangkan dalam pemilihan kepala desa di tingkat kecamatan, hampir semua “jagonya” yang didukung dalam Pilkades  mengalami kemenangan, seperti kemenangan Asep S. dalam Pilkades Sinagar. Kekalahan calon yang didukungnya justru hanya terjadi di Pilkades Sukaratu yang dimenangkan oleh Bapak Dedi Darojat, tokoh lokal yang nota bene bukan asli penduduk Sukaratu dan didukung oleh oleh para tokoh pemuda Sukaratu semisal Asep Jojo Hidayat, dkk.

Dilihat dari sepak terjangnya peran-peran pengusaha galian Pasir Galunggung ini dalam politik, tidaklah aneh ketika posisinya kuat dalam mempengaruhi pengambilan keputusan (policy making) di tingkat Kabupaten, yang memiliki kecenderungan mendukung dalam operasionaliasi proyeknya itu. Tidaklah heran, ketika masyarakat di sekitar Sukaratu mengajukan protes, baik di tingkat kecamatan, maupun di tingkat kabupaten, terkesan pemerintah tidak bergeming dan hanya memberikan penjelasan hal tersebut sudah sesuai prosedur.

Para penguasa di atas, jelas sangat menyadari dampak dari penambangan pasir Galunggung yang akan mendatangkan polemik di masyarakat. Sehingga, sejak dari awal mereka melakukan pendekatan-pendekatan dengan para pejabat, baik di tingkat kecamatan, maupun kabupaten Tasikmalaya. Pendekatan itu mereka namakan “pendekatan kultural”. 

Governability Pemerintah : Analisis Kasus 
Dalam kaca mata governance, paling tidak ada dua fungsi negara, yakni : pertama, law and order, yang di dalamnya menyangkut keamanan, ketertiban, keteraturan dan lainnya. Kedua, welfare yang mencakup didalamnya bagaimana negara mampu menjamin kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan pembangunan dan pelayanan publik. Dalam kontek inilah kemudian dibutuhkan governability akan menjadi titik tolak suatu pemerintahan layak disebut lemah atau tidaknya.

Beberapa pemahaman yang terkait dengan dengan governability misalnya menurut Larry Diamond (2003) menyebutkan bahwa suatu pemerintahan yang kuat dan utama adalah legitimasi. Secara formal legitimasi pemerintahan memiliki keabsahan yang bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan secara politik rakyat menyetujuinya dan secara sosial rakyat loyal, serta secara ekonomi pemerintah mampu melakukan kinerja yang baik. sedangkan menurut Albert Hirschman (1971) pemerintahan yang legitimate jika rakyatnya loyal pada pemerintah dan pemerintah mampu menanggapi voice, berupaya suara, aspirasi, tuntutan dari rakyatnya. Jika keduanya gagal, maka akan terjadi krisis legitimasi, di mana rakyat sudah tidak menaruh kepercayaan pada pemerintahnya.

Gerry Stoker (1998:19) mengungkapkan bahwa governance merupakan sebuah proses yang didalamnya outcome pemerintahan bergantung pada interaksi sekumpulan institusi, aktor pemerintah dan non pemerintah. Pernyataan ini memberikan penjelasan bahwa adanya keterbukaan dan pengelolaan yang serius dalam proses tata pemerintahan yang baik. Tidak hanya negara yang bermain, tetapi juga pihak swasta (Pasar) dalam pengelolaan pemerintahan. Konsekuensi utama dari hal ini adalah negara kompleks, padat (congested state). Negara haruslah mampu mendistribusikan kewenangannya terhadap lembaga-lembaga di bawahnya (desentralisasi), selain itu juga harus mampu bermitra dengan lembaga-lemabaga non-pemerintahan. Dispersasi kelembagaan menjadi ciri saat ini, di mana begitu kompleknya dispers kelembagaan baik, di level pemerintahan (negara),  Pasar, maupun civil society. Kalau negara mampu mengendalikan semuanya demi kesejahteraan rakyat maka negara memiliki governability yang baik, jika tidak maka legitimasi negara akan hancur di mata rakyat.

Kasus di kaki Galunggung Sukaratu menunjukkan pada kita bahwa negara (Pemda Kabupaten) Tasikmalaya saat itu tidak mampu mendengar voice (tuntutan) dari masyarakat Sukaratu yang merasa dirugikan dengan adanya dampak eksploitasi besar-besaran pasir Galunggung. Padahal tuntutan warga dalam hal ini sudah disuarakan sejak tahun 2004. Mereka  secara langsung merasakan dampak dan bahayanya seperti : pertama, ancaman longsor dan banjir yang kemungkinan terjadi karena terlalu banyaknya galian dalam jumlah besar di sekita areal pertanian dan pemukiman penduduk di desa Linggajati, Sinagar, Sukaratu. Kedua, tidak maksimalnya pencaharian penduduk yang bersumber dari lahan pertanian dan kolam ikan, dikarenakan air yang dipakai di beberapa desa bersumber dari Galunggung saat ini kotor dan berlumpur, sehingga mereka mengalami kerugian besar. Ketiga, kerusakan berat lahan pertanian mereka, karena dieksploitasi besar-besaran pasirnya, membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk memperbaikinya.

Upaya pemerintah dalam memfasilitasi warga selama ini memang ada, namun belum maksimal dan terkesan setengah-setengah di hadapan para penguasaha. Dalam wawancara penulis dengan salah seorang pekerja galian pasir di rumahnya, di kampung Ciakar, desa Sukaratu didapat informasi bahwa pengusaha biasa melakukan pendekatan kultural seperti yang dimaksud di atas dengan mengundang para pejabat, baik DPRD, eksekutif, kepolisian dan pejabat kecamatan ke rumahnya untuk jamuan makan mewah. Pendekatan kultural ini memang pada kenyataannya berhasil mendekati para pejabat yang kesehariannya bergelut dengan bagaimana menghasilkan kebijakan yang mampu mensejahaterakan rakyat. Mereka hanya bisa mengatakan bahwa secara prosedur penambangan Pasir  Galunggung tersebut sudah sesuai prosedur dan perizinannya lengkap, jadi tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menghentikannya. Keluhan-keluhan penduduk selama ini tidak bisa dijadikan kekuatan dalam menghentikan penambangan pasir tersebut.

Dalam konteks ini, pemerintah kabupaten Tasikmalaya terkesan gagap dan tidak siap menghadapi zaman modern, di mana pasar memungkinkan memiliki dominasi besar dalam pengelolaan sumber daya yang jumlahnya besar. Lebih jauh kasus ini memperlihatkan negara justru diperalat pasar. Konsep governability yang menyiratkan kesejahteraan rakyat patokan utamanya dilalaikan negara, dengan dalih kebebasan dalam pengelolaan sumber daya yang sudah sesuai prosedur. Bukankah seharusnya prosedur-prosedur formal yang dibuat harus mencerminkan aspirasi rakyat?. Sepertinya pertanyaan ini tidak berarti bagi pemerintah yang sebenarnya bisa mempedayai pasar demi kesejahteraan rakyat. Jika pasar yang merusak tatanan di masyarakat, maka pada dasarnya pemerintah itu sendiri yang merusak rakyatnya. 

Eksploitasi Pasir Galunggung dan Peraturan Daerah. 
Sedikitnya ada 2 Perda Kabupaten Tasikmalaya saat ini yang berkaitan langsung dengan Penggalian Pasir, yaitu Perda No.19 tahun 1997 tentang Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C dan Perda No. 15 tahun 2006 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum. Dalam Pasal 3 butir 2 Perda No. 19 disebutkan bahwa yang dimaksud bahan galian golongan C salah satunya pasir dan kerikil. Dasar penetapan pajak adalah nilai jual dari keseluruhan pemanfaatan galian tersebut dengan jumlah pajaknya 20% dari nilai. Dalam perda tersebut juga rijit membahas tata cara pembayaran pajak dan pajak terutangnya. Menurut keterangan dari beberapa pejabat kecamatan, penguasa-pengusaha tersebut selalu tepat waktu membayar pajaknya, malahan selalu memberikan “bonus” jika ada kelebihan dari keuntungan mereka.

Jelas sekali Perda ini tidak bisa dijadikan bahan untuk lebih selektif bagi para pengusaha eksploitasi pasir, yang nota bene banyak merugikan pencaharian penduduk. Padahal harusnya pemerintah menetapkan pajak yang tinggi untuk proyek mega besar dengan keuntungan ratusan milyar bahkan trilyunan.

Dalam Perda No.15 dijelaskan tentang Pengusahaan Pertambangan Umum pasal 3 ayat 1 bahwa pengusahaan pertambangan umum diklasifikasikan pada 3 bentuk yaitu : pertama, Usaha Pertambangan Skala Kecil adalah Pertambangan Umum yang diusahakan oleh perorangan (rakyat setempat) berdasarkan jenis bahan galian dan cara penambangannya dilaksanakan secara tradisional dengan menggunakan peralatan sederhana. Kedua, Usaha Pertambangan Skala Menegah adalah Pertambangan Umum yang diusahakan oleh Badan Usaha atau Koperasi berdasarkan jenis bahan galian dan cara penambangannya memerlukan teknologi dengan peralatan semi mekanis dan berpengalaman bergerak di bidang Pertambangan Umum. Ketiga, Usaha Pertambangan Skala Besar adalah Pertambangan Umum yang diusahakan oleh Badan Usaha atau Koperasi berdasarkan jenis bahan galian dan cara penambangannya memerlukan teknologi dengan peralatan mekanis dan berpengalaman bergerak di bidang Pertambangan Umum.

Kalau melihat dari Perda tadi jelaslah pengusaha Pasir di Galunggung dikategorikan sebagai pengusaha Pertambangan Skala Besar. Apalagi luas areal pertambangan lebih dari 25 hektar (pasal 3 ayat 2). Didalam Perda tersebut juga sebenarnya sudah sangat lengkap bagaimana cara mengelola lingkungan penggalian supaya tidak rusak, sampai pada masa reklamasinya. Namun pada kenyataan penggalian pasir galunggung terkesan serampangan dan dibiarkan begitu saja sehingga rawan menimbulkan longsor. Namun, sampai saat ini pihak pemerintah belum menegur apalagi menghentikan proyek tersebut, yang sudah terang banyak penyelewengan dari perda pertambangan. ini.

Kelemahan dari Perda ini yang tentu saja disinyalir memang untuk memuluskan pasar dalam operasionalisasinya, tidak ada kajian dan penelitian ilmiah yang diharuskan jika dilakukan pertambangan pasir dalam skala besar di kawasan Galunggung dan juga memperhatikan dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan dengan melibatkan para ahli di bidang tersebut, supaya ada rekomendasi yang bermanfaat bagi masyarakat Sukaratu sebagai penghasil perikanan dan persawahan yang sekarang terancam jatuh. Hal ini yang diakui oleh pihak aparat dari kecamatan ketika berdiskusi dengan penulis. Padahal secara teori harusnya ketika membuat sebuah kebijakan, maka kesejahteraan rakyatlah yang harus diutamakan, dan memperhatikan environment sekitar. 

Sebuah Harapan 
Dari situasi problematik tersebut, harus secepatnya dicari solusinya lewat kebijakan pemerintah. Eksploitasi besar-besaran tanpa melihat dampaknya seperti yang terjadi di Galunggung adalah ‘kecelakaan sejarah’ yang siap mengancam mata pencaharian penduduk Sukaratu. Melihat problematika tersebut kebijakan pemerintah harusnya: tidak  policy-bias, di mana kebijakan pemerintah dalam pemberian izin invetasi jangan hanya mengutamakan komoditi ekspor, pemodal yang besar saja, namun juga harus memperhatikan kondisi lingkungan yang ada.

Selain itu juga pemerintah melakukan manajemen sumber daya dan lingkungan. Tidak hanya mementingkan pemasukan yang besar dari para investor, tetapi juga memperhatikan nasib pengusaha kecil dan menengah yang mata pencahariannya mungkin terganggu dan terhancurkan dengan investor swasta dengan skala besar. Kalo sudah terjebak, maka yang terjadi jikalau ada gugatan dari masyarakat, maka jawabannya adalah hal tersebut sudah sesuai prosedur. Ironisme inilah yang semangat menampakkan pada kita bahwa kualitas governability negara saat ini sangat lemah.

Semoga dengan terpilihnya bupati baru dan wakil bupati baru hasil Pilkada awal 2011 ini, yakni bapak UU Ruzhanul’ulum dan bapak Ade Sugianto bisa membawa angin segar dalam membuat formula dalam memanfaatkan kekayaan alam, dengan tidak membahayakan lingkungan. Bagaimana pemerintahan baru ini bisa memegang kendali arus kebebasan pasar dengan tetap berpedoman pada kearifan-kearifan lokal. Semoga. 

Referensi
Darwin, Muhadjir, 2008, Bahan Kuliah Perumusan Masalah Kebijakan, UGM, Jogjakarta.
Hannah Pitkin, Politics of Representation, bab I, selain itu juga Pitkin menyebut model simbolis dan perwakilan deskriptif.
Putra Fadillah, 2001, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik, Cet-1, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Review Governance, Slide Kuliah Governance dan Kebijakan Publik, UGM, Jogjakarta.
Santoso, Purwo, Bahan Kuliah Model Kebijakan, UGM, Jogjakarta.
KPU Kab. Tasikmalaya, 2004, Hasil Pemilu 2004 di Tasikmalaya.
Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, 2009, Tasikmalaya dalam Angka.
http//:Peraturan Daerah No 1 Tahun 2007 « Bagian Hukum Setda Kabupaten Tasikmalaya.htm
Dalam Harian Umum Pikiran Rakyat On line, Galian Pasir Resahkan Masyarakat Sukaratu, Edisi 20 Oktober 2009.
Media Jalanan Indonesia,  Edisi 28 Mei 2009



[1] Sebagai tugas Mata Kuliah Governance dan Kebijakan Publik, Pasacasarjana Ilmu Politik UGM
[2] Dalam Fadillah Putra, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik, 2001, hal.51-52
[3] Konsep yang dicetuskan oleh ilmuwan Italia, seperti Mosca dan Pareto.
[4] Konsep di mana masyarakat dasarnya plural, sehingga harus mampu terepresentasi, maka dibentuklah partai, partai yang menang dalam persaingan ialah yang akan mengelola kebijakan. Konsep ini dikritik karena cenderung melahirkan Tirani Mayoritas.
[5] Sumber Kabupaten Tasikmalaya dalam Angka, 2009, Dinas Peternakan dan Kelautan Kab. Tasikmalaya, 2009, hal. 260.
[6] Ibid, hal. 185
[7] Wawancara dengan Bapa Uju, salah seorang pemilik lahan pertanian yang disewakan kepada pengusaha untuk ditambang, beliau mengakui sekarang dirinya mengalami kerugian luar biasa, karena lahan pertaniannya hancur bekas galian yang dalam sehingga tidk bisa ditanami, harus diperbaiki yang biayanya mencapai puluhan, bahkan ratusan juta. Wawancara dilakukan di rumahnya jalan. Linggajati Sukaratu.
[8] Dalam Media Jalanan Indonesia,  Edisi 28 Mei 2009
[9] Perda Kabupaten Tasikmalaya tentang Pertambangan
[10] Dalam Harian Umum Pikiran Rakyat On line, Galian Pasir Resahkan Masyarakat Sukaratu, Edisi 20 Oktober 2009.
[11] Sumber data KPU Kabupaten Tasikmalaya, 2004
[12] Hannah Pitkin, Politics of Representation, bab I, selain itu juga Pitkin menyebut model simbolis dan perwakilan deskriptif.

0 komentar:

Post a Comment