Partai Politik, Sistem Pemerintahan dan Oposisi Politik

Oleh : Subhan Agung[1]


[1]  Dosen Ilmu Politik Unsil, Tasikmalaya. Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik UGM, Yogyakarta. 

Partai Politik merupakan “biang” dari pemerintahan di sebagian besar negara di dunia saat ini. Mereka menyebarkan anggota-anggotanya di berbagai institusi vital pemerintahan lewat mekanisme pemilihan yang melibatkan rakyat (electoral), baik di eksekutif, legislatif maupun lembaga-lembaga politik lainnya. Hampir bisa dipastikan institusi-institusi tersebut dikuasai oleh “orang-orang partai tadi”.

Oleh karena pemerintahan didominasi oleh “orang-orang partai”, maka segala kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan di semua level tadi tentunya sangat dipengaruhi oleh kepentingan partai politik. Kepentingan partai ini merupakan sesuatu yang taken for granted dalam kosep Ilmu Politik ketika memasuki pemerintahan yang ada, dikarenakan akan sangat sulit bagi petinggi partai mengabaikan kepentingannya di jabatan pemerintahannya. Namun yang kemudian menimbulkan dinamika adalah ketika kepentingan tersebut tidak selaras dengan keinginan masyarakat atau kelompok-kelompok di masyarakat yang bisa menimbulkan apa yang disebut oposisi-oposisi politik. Istilah oposisi dalam banyak kasus sering disamakan dengan penekan politik (political pressure). 

Konsep di atas, dalam kajian disiplin Ilmu Politik sering disebut sebagai sebab munculnya oposisi dari sudut pandang hubungan the mass and the elite. Di mana elit-elit di pemerintahan tidak mampu mengakomodir berbagai tuntutan dari kelompok yang ada di masyarakat, sehingga memunculkan kekecewaan dan tuntutan-tuntutan tertentu sehingga muncullah oposisi ini. Selain berdasar atas konsep pertama di atas, oposisi juga bisa disebabkan oleh kekecewaan dan ketidakpuasan dari pihak partai politik yang mengalami kekalahan atau minoritas dalam seleksi elektoral (Pemilu), mereka biasanya membentuk kubu tersendiri di dalam pemerintahan dan menggabungkan kekuatan dengan partai “gurem” lainnya untuk menekan dan mengganti pemerintahan dengan menggalang dukungan dari berbagai pihak. Pendekatan ini biasa dikenal sebagai pendekatan institusionalisasi oposisi. Model ini banyak berkembang di negara-negara Eropa Barat semisal Inggris dan Prancis.

Kedua model mainstream munculnya oposisi politik di atas lazim dan populer saat ini di dunia. Namun yang paling populer adalah yang mode pertama. Hampir setiap perbincangan tentang oposisi politik itu muncul lebih pada rujukan kasus yang pertama, bahkan dalam beberapa kasus model institusi oposisi pun pada kenyataannya mendapatkan kekuatan jika mendapat support dari oposisi jalanan (menunggangi interest groups) yang ada. 

Oposisi Politik dan Demokrasi 
Robert A. Dahl mengemukakan bahwa oposisi politik dalam negara demokrasi tidak bisa dihindarkan, bahkan menjadi tolok-ukur sehat atau tidaknya negara demokrasi, dikarenakan pada dasarnya konflik tidak bisa dihindarkan dalam urusan manusia. Selain itu juga setiap warga negara memiliki hak inisiatif dan partisipasi dalam membangun pemerintahan yang lebih baik ke depannya. Namun perbedaan cara dan persepsi dalam memajukan pemerintahan akan sangat beragam dan menimbulkan gesekan.

Ilmuwan-ilmuwan politik Barat, termasuk salah satunya Dahl merekam jejak proses demokrasi Eropa, terutama Eropa Barat dan Amerika. Para ilmuwan tersebut memasukan presurre groups sebagai salah satu bagian dari oposisi politik. Grup penekan lebih pada berbagai kelompok yang muncul dimasyarakat yang kecewa dan menekan tapi belum tentu menentang pemerintahan yang ada atau bertujuan mengganti pemerintahan, kebijakan atau personil pemerintahan. Sedangkan Oposisi politik lebih luas dari itu yakni bertujuan menentang pemerintahan, bisa berupa perubahan total ataupun bisa menolak perubahan yang dibawa pemerintah. Oposisi jenisnya tidak hanya mengganti pemerintahan secara total, tetapi mungkin yang diganti hanya personilnya saja atau kebijakannya saja seperti yang biasa dilakukan oleh presure groups. 

Adakah Oposisi di Indonesia? 
Dari pemahaman dan batasan tersebut, kita lanjutkan kajian pada oposisi di Indonesia. Pertanyaan sederhananya, adakah oposisi dalam sistem pemerintahan Indonesia?. Hal ini menjadi penting dengan adanya kasus yang oleh SBY dianggap “pembelotan” dari koalisi gabungan partai-partai besar dalam kasus Century kemarin. Kubu Demokrat menganggap koalisi sudah final dan para anggotanya harus mendukung dan menguatkan pemerintahan supaya stabil. Namun yang terjadi adalah justru sebaliknya di mana Golkar, Hanura, PKS dan lainnya di Pansus Century lebih banyak menyerang dan menyudutkan pemerintahan SBY bahkan sampai pada wacana pemakzulan, hal ini tentu saja dianggap pihak Demokrat saat itu dianggap “pembelotan” dari janji koalisi.

Di sisi lain, partai-partai koalisi yang dianggap membelot juga mempertahankan pendiriannya, bahwa koalisi jangan dipahami ketat dan kaku. Anggota-anggota koalisi tetap kritis terhadap pemerintahan, karena mendukung bukan berarti diam ketika ada kesalahan dalam pemerintahan. Selain itu juga, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang memang dari awal selalu kontra pemerintah dikarenakan calon presidennya mengalami kekalahan dalam dua Pemilu sebelumnya, mendeklarasikan diri sebagai partai oposisi, belum jelas apakah tujuan akhirnya mengganti pemerintahan atau hanya kebijakannya.

Untuk menjawab kasus di atas, ada baiknya kita melihat konsepsi dari konsep koalisi, oposisi dan sistem pemerintahan. Di dunia saat ini populer dikenal dua sistem pemerintahan utama dan satu sistem Hybrid yakni sistem Presidensial, Parlementer dan Hybrid System. Dalam sistem Presidensial, presiden dipilih oleh rakyat sebagai pemimpin eksekutif (kepala negara dan kepala pemerintahan), kekuasaan presiden sifatnya fixtem (sudah baku dalam konstitusi dasar negara). Legislatif juga dipilih oleh rakyat dalam Pemilu. Presiden bertanggung jawab pada rakyat lewat Majelis Perwakilan. Legislatif tidak bisa menjatuhkan presiden, tetapi bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung, lewat berbagai hak yang dimilikinya. Namun dalam kondisi darurat DPR bisa mengajukan ketidakpercayaan untuk menjatuhkan presiden dan disahkan Majelis Perwakilan Rakyat, namun sangat jarang terjadi. Kedua-keduanya memilki veto yang sama kuat, sehingga terkadang pengesahan satu undang-undang dalam sistem ini cenderung berlarut-larut. Dalam sistem ini oposisi partai yang cenderung bertujuan mengganti pemerintahan tidak dikenal, namun jikapun ada hanya sifatnya menekan dalam kontra kebijakan.

Dalam sistem parlementer, presiden dipilih oleh rakyat atau untuk di negara dengan sistem kerajaan dipilih oleh sidang kerajaan tertentu. Kepala pemerintahan dipegang eksekutif dibawah pimpinan perdana menteri yang justru paling vital karena fungsinya sebagai kepala pemerintahan. Perdana menteri dipilih oleh parlemen (sejenis legislatif). Dan palemen dipilih oleh rakyat dalam Pemilu. Dalam sistem ini sifatnya fluid (sewaktu-waktu bisa ada perubahan, tidak baku). Oposisi muncul tergantung konstelasi partai, dalam sistem ini partai oposisi diakui konsistensinya dalam negara. Parlemen bisa dengan cepat menjatuhkan (replace) pemerintahan jika dipandang perlu, karena pemerintahan bertanggung jawab pada parlemen. Dalam kasus dibeberapa negara penganut sistem ini, seperti Inggris dan beberapa negara Skandinavian, partai-partai oposisi menggelar pemerintahan tandingan (shadow government), lengkap dari perdana menteri sampai menteri-menteri dan jabatan-jabatan lainnya dan mendapatkan gaji yang besar dari perannya menjadi saingan pemerintah yang sah. Dan jika mampu menggulingkan kekuasaan, biasanya pemerintahan tandingan ini bisa langsung menjadi penguasa.

Sedangkan dalam sistem Hybrid, presiden berfungsi sebagai kepala negara, dan berfungsi memilih kepala pemerintahan atau perdana menteri. Perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden dan parlement sama-sama dipilih oleh rakyat. Oposisi dalam model ini terjadi dalam level palemen dan sifatnya hanya pada pertarungan untuk perubahan kebijakan antar kepentingan partai. Model ini dipraktekkan di Prancis.

Dari kajian di atas, terlihat jelas bahwa dalam sistem presidensial seperti negara kita, oposisi hanya dikenal dalam konteks perubahan kebijakan. Oposisi yang kemudian disistemkan dalam sistem demokrasi hanya dikenal dalam sistem parlementer dan menjadi model tersendiri yang diberlakukan di banyak negara. Oposisi yang tujuan akhirnya menjatuhkan pemerintahan atau personil pemerintahan sangat memungkinkan dilakukan dalam negara yang menganut sistem ini. Sedangkan di Indonesia saat ini kecil kemungkinan. Walaupun masih bisa tapi sifatnya akan tidak mudah, dikarenakan sistem presidensial yang memberikan ruang perimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.

Jadi oposisi dalam konteks yang diproklamirkan PDI-P dalam kasus di atas, sifatnya tidak terinstitusi dalam pemerintah, hanya pada flat form sementara partai, yang kebetulan mengalami kekalahan dalam Pemilu oleh partai penguasa. Peran-peran oposisi pun tidak lebih strategis dengan apa yang dilakukan oleh interest groups yang bertansformasi menjadi presure groups yang ujung-ujungnya lebih pada kritik dan menekan pada perubahan kebijakan ke depannya.

Di sisi lain, dikarenakan oposisi tidak terinstitusi dalam pemerintahan sebagai common enemy-nya koalisi, maka koalisi pun di sistem presidensial tidaklah baku dan tidaklah ketat, karena batasan-batasan suatu partai keluar dari koalisipun tidak terlalu ketat. Sehingga partai-partai peserta koalisi dengan serta merta bisa dengan cepat merubah sikap dan menyerang pemerintah. Lihat konsep ini pada kasus Indonesia seperti yang disampaikan di atas tadi. Hal ini bisa menjelaskan mengapa Golkar menyerang pemerintah yang merupakan partai penguasa pimpinan koalisi. Sedangkan di negara dengan oposisi yang ketat seperti dalam sistem parlementer, maka koalisi pun sangat ketat dan jika anggota koalisi melanggar, maka dengan serta merta partai penguasa mendudukkannya sebagai lawan politik atau oposisi. 

Literatur Tulisan
Amal, Ichlasul, 1996, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Bogdanor, Vernon, 1981, The People and the Party System, Cambridge University Press, Cambridge.
Handbook of Political Parties, 1987, Sage Publication, NY.
Jackson, Keith, 1987, The Dilemma of Parliament, Allen and Unwin-Port Nicholson Press.

0 komentar:

Post a Comment