Assemblies menurut Heywood dan Shivelly

Oleh : Subhan Agung 

Walaupun kajian tentang pemahaman filosofis proses perkembangan assemblies diawal mengemuka, sorotan kritis terhadap tulisannya Heywood langsung banyak terfokus pada salah satu sub pembahasan Heywood tentang functions of assemblies, di mana dikatakannya fungsi-fungsi dari assemblies adalah : (1), sebagai legislasi yang memformulasi dan mensahkan undang ; (2) representasi, (3) political recruitment, rekrutmen politik untuk para calon pembuat kebijakan, (4) kontrol legitimasi dan (5) fungsi scrutiny. Pada kenyataannya fungsi-fungsi tersebut belumlah optimal untuk banyak kasus di negara-negara dunia, bahkan juga di beberapa kasus di negara model presidensial, parlemen --yang disamakan dengan assemblies-- hanya mengikuti eksekutif saja dalam perumusan kebijakan, bahkan lebih ironis lagi hanya sebagai ‘tukang stempel’ saja.
Kajian selanjutnya yang mengemuka adalah tentang structure of assemblies, yang dikatakan Heywood terdiri dari one chamber (unikameral) dan two chamber (bikameral). Pemilihan model satu atau dua kamar bukanlah persoalan, karena kedua-duanya memiliki kelemahan masing-masing. Sebagai kasus, di China menggunakan sistem unicameral dikarenakan bicameral dianggapnya lebih mengakomodir dan mencerminkan kaum bangsawan dibandingkan lembaga representatif yang berasal dari rakyat. Dari hal tersebut, terlihat bahwa sebenarnya pemilihan sebuah negara terhadap model uni atau bicameral lebih disebabkan kondisi sosio-kutural, tradisi politik di negara-negara bersangkutan yang diharapkan adanya efektifitas dari fungsi-fungsi assemblies seperti yang dipaparkan di atas.
Satu lagi hal yang krusial adalah hubungan eksekutif-legislatif. Hal ini menjadi urgen dan kentara sekali terutama bagi negara-negara yang rakyatnya memberikan mandat tidak hanya kepada parlemen, tetapi juga kepada eksekutif lewat pemilihan langsung. Untuk kondisi yang seperti ini, -seperti yang distimulan oleh pengampu dalam diskusi kelas ini--, Parpol bekerja dalam parlemen dan harus terjadi mekanisme check and balance dalam hubungan antar-keduanya supaya tidak menimbulkan ‘konsensus’ di satu sisi jika parlemen dapat distir eksekutif dan sebaliknya instabilitas pemerintahan jika eksekutif yang justru lemah posisinya.
Saya apresiatif dengan tulisan Shivelly ini, di mana Parpol dalam konteks di atas, harus mampu memerankan fungsi-fungsi utamanya seperti dikatakan Shivelly sebagai saluran kontrol (channel of control). Lewat kemampuannya dalam memobilisasi massa dan rekruitmen politik, Parpol diharuskan mampu menghasilkan aktor-aktor politik yang duduk dalam assemblies yang memiliki kapabilitas, kapasitas dan memahami betul hubungan antar lembaga terdekatnya seperti yang diagmbarkan di atas. Sebagai agen politik intermediary, Parpol haruslah concern terhadap problematika sosial-politik di negaranya dan independen. Oleh karena itu, dalam sub bahasannya Shivelly menomorsatukan party finance lewat fublic finance (pendanaan dari negara), kemudian disusul oleh pendanaan-pendanaan yang datang dari anggota individual dan lainnya.
Diskusi ini masih belum hollistik mengkaji secara keseluruhan konsep-konsep dasar tentang assemblies dan Parpol seperti yang ditulis oleh kedua penulis di atas, tetapi paling tidak ada gambaran peran keduanya dalam proses politik intermediary. Tulisan kedua penulis memang bukanlah hal yang baru dalam konsep dasar kajian politik, namun data-data sebagai contoh yang dikemukakan banyak yang menambah pengetahuan tentang proses politik di dunia, terutama Eropa Barat, Asia dan Benua Amerika yang selama ini jarang terungkap.



[1] Andrew Heywood dalam Politics, hal. 313-331.
[2] Phillips Shivelly dalam Power and Choice, hal.247-270

2 komentar:

  1. Anwarudin, YogyakartaFebruary 8, 2011 at 8:19 PM

    Tulisannya cukup memberi gambaran tentang ilmuwan-ilmuan politik dunia. Lebih banyak lagi posting review pemikiran tokoh mas

    ReplyDelete
  2. Terima kasih mas, semoga ke depannya lebih baik lagi.. Sarannya akan saya perhatikan

    ReplyDelete