Macetnya Mesin Parpol : Studi Pergeseran Perilaku Memilih Konstituen Golkar pada Pemilu Legislatif dan Pilpres 2004[1]


Pemilu 2004 merupakan tonggak sejarah baru bagi kehidupan demokrasi prosedural di Indonesia. Selain sebagai Pemilu ketiga sejak Pemilu 1955 dan Pemilu 1999 dengan menggunakan sistem multi partai dalam memilih wakil rakyatnya, serta relatif mampu menjamin kebebasan memilih masyarakat. Pemilu ini juga merupakan Pemilu pertama yang secara langsung memilih presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Nilai strategis inilah yang menjadikan Pemilu 2004 memiliki nuansa sejarah yang tidak bisa diabaikan dalam memahami Pemilu dan preferensi pemilih di Indonesia.

Salah satu fenomena menarik dalam Pemilu 2004 adalah bercokolnya kembali Golkar yang sudah berganti nama menjadi Partai Golkar sebagai pemenang Pemilu legislatif dengan perolehan 24,48% suara, setelah sebelumnya di Pemilu Legislatif 1999 menempati peringkat kedua dengan 22,4% suara. Kemenangan ini memang tidak terlalu mengejutkan karena PDI-P sebagai pemenang Pemilu 1999 dan menempatkan Megawati menjadi presiden, menggantikan Gus Dur, dalam pemerintahannya kurang membawa perubahan yang berarti. Selain itu juga pelembagaan partai Golkar di bawah Akbar Tanjung cukup efektif mengembalikan kejayaan Golkar yang dicerca habis-habisan pasca jatuhnya Soeharto.

Problematika yang menarik kita bahas adalah justru kekalahan Golkar dalam Pemilu Pilpres 2004 yang menempatkan Wiranto-Solahudin Wahid sebagai calonnya, oleh pasangan SBY-JK. Seharusnya, sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif partai Golkar bisa memenangkan kursi presiden dan wakil presiden saat itu.

Dalam konteks itulah, tulisan ini akan berusaha membahas problematika yang muncul di atas. Bagaimana pergeseran perilaku memilih konstituen partai Golkar dari Pemilu Legislatif yang menjadi pemenang ke Pemilu Pilpres yang mengalami kekalahan, bahkan terlempar di babak pertama (putaran pertama Pilpres, 5 Juli 2004). Hal ini akan berusaha dikaji dalam pendekatan-pendekatan perilaku memilih yang bisa cukup menjelaskan fenomena tersebut, termasuk sejauhmana kesetiaan konstituen Golkar dalam pemilihan presiden, pengaruh calon yang diajukan dan sebagainya.

Memahami Pendekatan dalam Perilaku Memilih

Ada banyak perspektif dalam memahami perilaku politik di dunia. Robi Mahmud, seorang mahasiswa Colombia University misalnya menulis tentang Swing Voters dan Jejaring Sosial[2], yang mengungkap dua pendekatan utama dalam perilaku politik (voter behavior), yakni : pertama, teori pemilih rasional, di mana pemilih diasumsikan memiliki preferensi politik yang tidak berubah berdasarkan pertimbangan keuntungan tertentu yang biasanya lebih bersifat ekonomis. Maka tidak tepat menggunakan teori pemilih rasional untuk menjelaskan perilaku pemilih yang preferensi politiknya justru berubah-ubah seperti swing voters. Ini bukan berarti swing voters tidak memilih dengan rasional; tetapi, bagi swing voters, preferensi yang menjadi dasar pilihan rasional itu sendiri berubah dan perubahan preferensi ini tidak bisa dijelaskan oleh teori pemilih rasional. Kedua, teori pemilih psikologis. Menurut teori pemilih psikologis, pemilih terikat kepada partai atau kandidat presiden karena ikatan partisan atau simbolik. Ikatan partisan dan simbolik ini biasanya mengakar dalam, sehingga membuat preferensi politik menjadi stabil. Karenanya teori ini juga tidak tepat dipakai untuk menjelaskan ketidakstabilan preferensi politik pemilih.

Hal yang hampir sama juga ditulis oleh Syamsudin Haris dan Tri Syafarani[3] yang mengungkapkan kedua pendekatan di atas, dengan penjelasan yang tidak berbeda jauh. Pendekatan tersebut mereka gunakan dalam melihat pola dan kecenderungan perilaku memilih di Indonesia.

Sedangkan Dieter Roth[4] mengungkapkan model-model penjelasan teoretis mengenai perilaku Pemilu. Menurutnya terdapat tiga macam pendekatan yang dapat menerangkan perilaku Pemilu. Ketiganya tidak sepenuhnya berbeda, bahkan dalam banyak hal memiliki kesamaan dalam hal kronologis dasar pemikirannya. Intisari dari ketiga pendekatan tersebut penulis resume sebagai berikut:

Pendekatan sosiologis, terbagi atas model penjelasan mikrososiologis yang diilhami dari sosiolog Paul Lazarsfeld, Bernard Berelson dan Hazel Gaudet. Sedangkan Makrososiologis dari Seymor Martin Lipset dan Rokkan. Menurut Mikrososiologis, setiap mamusia terikat alam lingkaran sosialnya, semisal keluarga, rekan-rekan, tempat kerja dan lain sebagainya. Model ini kemudian diterapkan dalam memahami perilaku memilih. Makrososiologis mengacu pada konflik-konflik mendasar yang biasa muncul di masyarakat yang kesetimbangannya perlu dipertahankan dalam sebuah demokrasi. Kajian ini mereka lihat dari studi empiris di Jerman.

Pendekatan sosial psikologis, menerangkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan Pemilu jangka pendek atau keputusan yang yang diambil dalam waktu singkat, yang dijelaskan lewat trias determinan, yakni identifikasi partai, orientasi kandidat dan orientasi isu politik.

Pendekatan rasional-choice, menurut model ini yang menentukan dalam sebuah Pemilu bukanlah adanya ketergantungan dalam ikatan sosial tertentu, melainkan hasil penilaian dari warga yang cakap. Pusat perhatiannya terletak pada perhitungan biaya dan manfaat (cost and benefit). Penganjur model ini salah satunya adalah VO. Key yang melakukan penelitian di tahun 60-an dan menghasilkan karya The Responsible Electorate.

Dari pendekatan-pendekatan di atas, masih ada yang belum tercover, misalnya pengaruh media dalam mempengaruhi perilaku memilih seseorang. Media dalam konteks mempengaruhi perilaku memilih meliputi dua hal yakni converting (mengubah pandangan awal pemilih menjadi pilihan lain), atau reinforcing (memperkuat pilihan awal yang sudah diyakini sebelumnya).

Golkar : antara Kemenangan dan Macetnya Mesin Partai

Sebagai partai yang mendapat tekanan berat dan mendapat streotife sebagai mesin politik rezim Soeharto, tentu saja Golkar di awal Reformasi harus berjuang keras mengembalikan kepercayaan masyarakat. Golkar pasca Musyawarah Luar Biasa (Munaslub) 1998 menggolkan Akbar Tandjung sebagai ketua umum yang baru. Kepemimpinan Akbar Tandjung cukup membawa perubahan berarti dalam upaya re-institusionalisasi partai Golkar, terutama reification (pencitraan) partai ke publik.

Dalam bukunya Akbar Tandjung[5] mengemukakan institusionalisasi kepartaian Golkar, di bidang pencitraan dilakukan melalui banyak hal, semisal penataan internal dan merubah image sebagai partai penguasa. Golkar Baru terbuka dan responsif terhadap kepentingan rakyat, lewat isu-isu pro-Reformasi, bahkan Golkar menjadi satu-satunya partai yang menjaring calon presiden lewat konvensi, yang kemudian menggolkan Wiranto sebagai calon presiden lewat penjaringan yang ketat.

Upaya dan kerja keras Golkar untuk mempertahankan eksistensi dan citra ke publik membuahkan hasil. Golkar menempati peringkat kedua pada Pemilu Legislatif tahun 1999. Inilah hasil lengkap 5 besar perolehan suara :

Tabel 1. Perolehan Suara Legislatif Pemilu tahun 1999

No
Nama Partai
Perolehan Suara
Prosentase
Perolehan Kursi DPR
Prosentase
1.
PDIP
35.689.073
33,7
153
33
2.
Partai Golkar
23.741.749
22,4
120
26
3.
PPP
11.329.905
10,7
58
13
4.
PKB
13.336.982
12,6
51
11
5.
PAN
7.528.956
7,1
34
7

Sumber : Sigit Pamungkas (2009 :95) diolah dan sumber KPU

Dari hasil Pemilu di atas, terlihat Golkar menempati urutan kedua, dengan 22, 4% suara dengan 153 kursi DPR (33% suara). Dari hasil tersebut peta kekuatan politik di parlemen lebih menyebar dan tidak menciptakan kekuatan dominan. Hasil kompromi politik dari berbagai kekuatan tersebut menggolkan Abdurrahman Wahid dari PKB sebagai presiden, yang dikemudian nanti digantikan oleh Megawati lewat Sidang Istimewa MPR.

Golkar semakin confident di Pemilu legislatif tahun 2004. Golkar memenangkan perolehan suara di atas PDI Perjuangan. Lebih jelasnya kita lihat tabel di bawah ini :

Tabel 2. Perolehan Suara Pemilu Legislatif tahun 2004

No.
Nama Partai
Jumlah Suara
Prosentase
Jumlah kursi
prosentase
1.
Partai Golkar
24.480.757
21,58
128
23,30
2.
PDI Perjuangan
21.026.629
18,53
109
19,80
3.
PKB
11.989.564
10,57
52
9,50
4.
PPP
9.248.764
8,15
58
10,50
5.
Partai Demokrat
8.455.225
7,45
57
10,40

Sumber : KPU diolah

Kemenangan Golkar menumbuhkan kembali kepercayaan diri partai. Kemenangan yang mencapai 21 persen lebih suara legislatif menempatkan wakilnya di parlemen sebanyak 128 kursi atau 23 persen lebih suara. Kemenangan ini menandakan Golkar masih memiliki pemilih yang konsisten, bahkan pemilih yang hilang di tahun 1999 kembali diraih, walau tidak sebesar kemenangan pada Pemilu masa rezim Soeharto.

Dari kemenangan Golkar tersebut seharusnya memiliki implikasi positif dalam pemilihan presiden 2004. Namun yang terjadi adalah kekalahan calon Golkar hasil konvensi (Wiranto-Solahudin Wahid) di putaran pertama pemilu Pilpres tahun 2004. Lebih jelasnya kita lihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 3. Perolehan Suara Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dalam Pemilu 2004 Putaran Pertama

No
Nama Pasangan
Jumlah suara
(%)
1.
Wiranto-Solahudin Wahid
26.286.788
22,15
2.
Megawati-Hasyim Muzadi
31.569.104
26,61
3.
Amin Rais-Siswono Yudhohusodo
17.392.931
14,66
4.
SBY-Jusuf Kalla
39.838.184
33,57
5.
Hamzah Haz-Agum Gumelar
3.569.861
3,01

Sumber : KPU diolah

Dari tabel di atas terlihat bahwa pasangan Wiranto-Solahudin Wahid hanya menempati urutan ke tiga setelah SBY-JK dan Mega-Hasyim. Hasil ini secara otomatis pasangan Golkar tersebut dinyatakan gagal, karena yang akan bertarung di putaran kedua adalah dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak. Menurut Sigit Pamungkas[6], partai-partai yang kandidatnya kalah dalam putaran pertama, kemudian merapat ke salah satu pasangan kandidat. Partai Golkar salah satu yang menjalin aliansi dengan PDI-Perjuangan mengusung pasangan Mega-Hasyim yang kemudian dikenal sebagai koalisi Kebangsaan.

Fenomena di atas memperlihatkan pada kita bahwa di Indonesia partai yang memenangkan pemilihan legislatif, belum tentu secara parallel juga akan memenangkan perolehan suara dalam pemilu presiden. Tapi juga tidak berarti bahwa mesin partai tidak bisa digunakan, dalam konteks tertentu cukup efektif dalam menggolkan calon presiden dengan karakteristik tertentu.

Tentang bekerja dan tidaknya mesin partai ini bisa dilihat semisal contoh hasil survey Lembaga Survey Indonesia[7] di Sumatera Barat, Pilkada yang diikuti oleh pasangan calon : Lalu Serinata-Husni Djibril (Golkar, PDI-P, PBR dan Partai Patriot Pancasila), M. Zainul Madjdi-Bachrul Munir (PBB dan PKS), Zaini Arony-Nurdin Ranggabarani (PAN, PD, Partai Syarikat Indonesia dan PKPB) dan Nanang Samodra-Muhammad Jabir (PPP dan PKB) dimenangkan oleh pasangan Tuan Guru Bajang Zainul Madjdi-Bahrul Munir (38,84%), disusul Lalu Serinata-Husni Djibril (26,39%). Kekalahan ini menarik dikaji, karena pasangan Lalu-Husni merupakan pasangan yang didukung Golkar, partai pemenang Pemilu Legislatif mencapai 24.86 %, PBR (7.51%), PDI-P (6.98%) sedangkan Zainul Madjdi-Bacrul Munir hanya didukung PBB (Pemilu legislatif mendapat 10.24% suara), dan PKS (6,06 %). LSI juga mencatat fenomena sebaliknya terjadi dalam Pilkada Jawa Tengah, di mana PDI-P sebagai partai penguasa berhasil menggolkan calonnya, Bibit Waluyo-Rustriningsih sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah.

Dari uraian di atas, terjadi pergeseran pemilih konstituen partai yang diharapkan memilih calon presiden atau kepala daerah yang diusung partai yang memiliki perolehan suara tinggi, ternyata banyak suara hilang, bahkan dimungkinkan memilih calon dari partai lainnya. Kajian di bawah ini akan mencoba melihat secara teoritis pegeseran pemilih tersebut dalam sudut pandang pendekatan perilaku politik.

Perubahan Preferensi Pemilih

Ada beberapa yang bisa dijelaskan dari fenomena beralihnya dukungan mesin partai terhadap calon presiden seperti yang dialami partai Golkar di Pemilu presiden tahun 2004 seperti yang sudah dipaparkan di atas. Walaupun penulis mengakui kajian dalam paper ini tidak menjawab secara empiris karena membutuhkan data survey yang rigid. Kajian ini hanya melihat secara umum dan mengidentifikasi pendekatan yang biasa digunakan dalam perilaku memilih.

Pendekatan-pendekatan yang diuraikan di atas, memang merupakan hasil kajian dan konklusi di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat. Jadi yang penulis lakukan adalah mengidentifikasi kasus ini dalam salah satu sudut pandang yang paling mendekati dalam mengkaji fenomena di atas.

Dari tiga pendekatan di atas, pendekatan sosial psiklogis lebih mendekati dalam menganalisis kasus di atas. Analisis akan dibagi dalam tiga hal, yakni :

Identifikasi Partai

Konsep identifikasi partai dalam pendekatan ini adalah bagaimana preferensi yang berasal dari predisposisi pribadi seseorang, semisal pengalaman pribadi atau orientasi politik yang sudah lama menjadi keyakinan ideologis, yang kemudian mencari corong organisasi kepartaian yang cocok dengan preferensi tersebut. Kita ibaratkan banyak diantara konstituen partai Golkar yang memiliki latar belakang orientasi politik, atas dasar kecocokkan dengan predisposisi seperti yang diungkap tadi.

Pemahaman ini penting untuk memahami perbedaan antara idealisme kepartaian dengan dukungan partai. Seorang konstituen dengan identifikasi partai A memilih menjadi anggota partai A dan tentu saja memilihnya dalam Pemilu dan mempercayai wakil-wakilnya di parlemen, belum tentu akan mendukung program atau kebijakan partai atau keputusan partai yang dianggapnya tidak sesuai dengan flat form atau keyakinan politik personalnya tadi. Hal ini tentu saja menyebabkan dengan mudahnya perubahan perilaku memilih konstituen membelot 180 derajat dari pilihan partainya. Sehingga sangat dimungkinkan konstituen partai A belum tentu secara konsisten memilih kandidat dari partai A dalam setiap Pemilu.

Partai identifikasi juga tidak berjalan seiring dengan keanggotaan resmi partai, tetapi lebih bersifat afektif, semisal warisan dari orang tua, saudara dan lain sebagainya yang terus-menerus sehingga lambat laun permanen jika konsisten perilaku memilihnya. Apapun yang terjadi biasanya orang akan tetap memilih partai tersebut, jika sudah benar-benar identifiksi kepartaiannnya mengakar. Namun juga di lain pihak bisa mengalami perubahan (ketergerusan) seiring dengan gejala lainnya semisal menikah, kerisis ekonomi, revolusi, perang dan gejala yang relative mampu merubah keyakinan dan cara pandang pemilih. Sebagai contoh Golkar yang masih mendapat suara cukup besar pada Pemilu 1999, walaupun rakyat tahu bahwa Golkar menjadi alat Soeharto dalam melakukan hegemoniasi politik dalam proses demokrasi.

Dari pertimbangan tersebut dapat dikategorisasikan semisal : konstituen Golkar yang memiliki identifikasi yang kuat, konstituen Golkar yang memiliki identifikasi yang lemah, atau kaum independen yang Golkar (hanya penyuka Golkar tapi tidak memilihnya). Identifikasi yang kuat semisal memilih Golkar dalam setiap Pemilu, mungkin memilih Golkar dalam wakil di parlemen, tapi tidak memilih figur yang diajukan yang dianggapnya tidak sesuai dengan flat form partai Golkar.

Hasil survey CSIS[8] tentang loyalitas perilaku pemilih 2004 dan 2008 menunjukkan bahwa berangkat dari pemilih 2004, PKS mempunyai basis pendukung yang paling loyal diikuti Golkar, PDI-P, dan PKB. Partai Demokrat sepertinya hanya fenomena sesaat karena loyalitas pendukungnya sangat rendah. Golkar dinilai paling berpengalaman dalam memerintah dan mempunyai kader yang paling berkualitas.

Namun ternyata loyalitas konstituen Golkar yang relatif baik, yang diangkat oleh CSIS di atas tidak bisa banyak menolong untuk menggolkan calonnya dalam Pilpres 2004. Banyak faktor yang mempengaruhinya, selain yang sudah dijelaskan dalam identifikasi kepartaian di atas.

Orientasi Kandidat dan Isu

Dalam memilih para konstituen juga akan sangat memperhatikan kandidat yang diajukan oleh partainya. Kandidat yang sempurna dalam pandangan setiap konstituen akan sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Pilihan yang berorientasi kandidat sangatlah wajar dan justru dalam konteks Indonesia sangat ngetrend. Indonesia adalah salah satu negara yang sangat memperhatikan sekali figur pemimpin, latar belakang, kualifikasi individualnya termasuk di dalamnya tingkat kematangan atau pengalaman dan lainnya. Kita diingatkan akan persoalan ini dengan konsep presiden seumur hidup di masa Soekarno, lamanya pemerintahan Orba, dan terpilihnya SBY yang dianggap memiliki pembawaan lahiriyah yang menjanjikan.

Kekalahan partai Golkar dalam pemilihan umum presiden dikarenakan pemilihan calon presiden yang kurang cocok. Tahun 2004 belum cukup waktu bagi rakyat untuk bisa melupakan bagaimana Soeharto dan antek-anteknya menghegemoni seluruh lini kehidupan lewat Pemilu yang selalu dimenangkan Golkar lewat cara yang tidak fair dan memposisikan Soeharto sebagai penguasa yang tidak tergeser kekuatan lain. Wiranto adalah figur militer yang disebut banyak berhubungan dengan pemerintahan Soeharto, bahkan disebut-sebut memiliki keterlibatan atas serangkaian pelanggaran HAM semasa Soeharto. Streotife ini tentu saja sudah menjadi rahasia umum dan bagi Golkar satu kesalahan fatal dengan mengajukan Wiranto yang saat itu hasil konvensi. Wiranto bukanlah figur yang mengakar di grass-root konstituen partai Golkar, walaupun memiliki kedekatan dengan Golkar sudah sejak lama.

Selain itu juga kandidat wakil presiden yang dikedepankan yang walaupun dikenal salah satu tokoh besar NU dan memiliki kans besar di pemilih Nahdliyin, namun kita mengetahui NU saat itu memiliki salah satu calon wakil presiden lainnya yang tidak kalah ketokohannya di NU, yakni ketua NU sendiri Hasyim Muzadi, alhasil kondisi ini memecah peraihan suara konstituen kalangan Nahdliyin saat itu.

Alasan lain yang tidak kalah kuat adalah menaiknya popularitas SBY-JK sebagai figur baru yang santun dan berprestasi. Pribadi SBY yang ramah dan menyenangkan menyedot banyak perhatian akan kebutuhan figur baru yang cakap. Politik pencitraan yang dilakukan SBY berhasil menaikkan popularitasnya, ditambah isu-isu yang dikedepankan seperti isu kesejahteraan guru, PNS dan pertumbuhan ekonomi cukup mengena saat itu di hati masyarakat.

Selain itu juga, peranan media dalam mempengaruhi kesadaran pemilih dalam memberikan keputusan memilih sangat menentukan. Media membentuk kesadaran (awareness) pemilih biasanya lewat tiga hal penting, yakni pemasifan isu-isu politik, sosialisasi kandidat, dan karakteristik personal. Kalau kita lihat pada gejala-gejala sebelum Pemilu 2004, begitu gencarnya pemberitaan yang merekan konflik antara Megawati (Taufik Kiemas) dengan SBY yang dianggap Kiemas seperti “anak kecil” pasca pengunduran diri SBY dari jabatan menteri saat itu. Kejadian ini justru memberikan simpati dan dijadikan SBY sebagai bahan menaikkan popularitas dirinya sebagai persiapan mencalonkan diri sebagai presiden. Ditambah isu-isu yang menarik yang dibawa dalam setiap kampanyenya seperti yang dijelaskan di atas.

Kesimpulan

Hal yang menjadi catatan dari kajian singkat ini adalah kemenangan partai dalam pemilihan umum legislatif, tidak menjamin juga secara parallel akan memenangkan pemilihan presiden. Namun di sisi lain juga mungkin saja mesin partai berjalan dengan baik, tergantung pada faktor loyalitas identitas kepartaian mereka, figur kandidat yang diajukan sesuai dengan preferensi personal konstituen atau tidak. Lebih penting lagi sesuai dengan tuntutan arus-bawah atau tidak. Selain itu isu-isu yang populis dan mengena di konstituen dapat meningkatkan popularitas calon tertentu yang tentu saja dapat mempengaruhi perilaku memilih seseorang konstituen.

Pengaruh media pun sangat membantu dan dalam banyak faktor menjadi penentu dalam merubah kesadaran konstituen dalam perilaku politiknya. Selain memberikan informasi seputar isu-isu politik dari kandidat yang bertarung, juga mensosialisasikan pribadi dan karakteristik kandidat pada publik. Hal ini penting dalam konteks terjadinya pergeseran perilaku memilih, karena selain memberikan informasi tambahan untuk menguatkan keyakinan pemilih akan pilihannya (reinforcing), juga dapat menyebabkan perubahan preferensi pilihan kepada calon atau kandidat lainnya setelah mendapat informasi yang lebih detail dari media (converting).


REFERENSI LIST

Ambardi, Kuskridho dan Ratnawati, 2010, Bahan Bacaan Mata Kuliah Perilaku Politik, Pascasarjana Politik UGM, Yogyakarta.

Haris, Syamsudin dan Tri Rainny Syafarani, 2005, Pemilihan Presiden Langsung di Indonesia dan Masalah Konsolidasi Demokrasi di Indonesia, LIPI, Jakarta.

Pamungkas, Sigit, 2009, Perihal Pemilu, Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, Yogyakarta.

Roth Dieter, Studi Pemilu Empiris : Sumber, Teori-teori, dan Metode, (terj.), Friedrich Naumann-Stiftung-Fur die Friheit, Jakarta.

Tandjung, Akbar, 2007, The Golkar Way : Survival Partai Golkar dalam Turbulensi Politik Era Transisi, Gramedia, Jakarta.

Sumber Lainnya :

Eriyanto dan Sukanta, Artikel Kajian Bulanan Lingkaran Survey Indonesia, Mesin Partai dalam Pilkada, Kasus Pilkada Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat, Edisi 15-Juli 2008

Muhamad, Robi, Swing Voters dan Jejaring Sosial, di http://www.politikana.com, 21 Maret 2009.


Slide Presentasi Perilaku Pemilih 2008 CSIS, 15 Juli 2008


Ditulis Oleh : Subhan Agung, S.IP, M.A.





[1] Tulisan ini awalnya merupakan makalah yang penulis buat sebagai tugas MK Perilaku Politik di Pascasarjana Ilmu Politik UGM yang sengaja penulis posting untuk dibaca khalayak supaya lebih bermanfaat.

[2] Lihat dalam Muhamad, Robi, Swing Voters dan Jejaring Sosial, di http://www.politikana.com, 21 Maret 2009.

[3] Dalam Syamsuddin Haris dan Tri Rainny Syafarani, 2005, Pemilihan Presiden Langsung di Indonesia dan Masalah Konsolidasi Demokrasi di Indonesia, LIPI, Jakarta.hal. 98-99.

[4] Dalam Roth Dieter, Studi Pemilu Empiris : Sumber, Teori-teori, dan Metode, (terj.), Friedrich Naumann-Stiftung-Fur die Friheit, Jakarta. Hal.23-53. Juga dalam Kuskridho Ambardi dan Tri Ratnawati, Bahan Bacaan Mata Kuliah Perilaku Politik, Pascasarjana Politik UGM, 2010.

[5] Lihat dalam Akbar Tandjung, 2007, The Golkar Way : Survival Partai Golkar dalam Turbulensi Politik Era Transisi, Gramedia, Jakarta. Hal. 379

[6] Dalam Sigit Pamungkas, 2009, Perihal Pemilu, Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, Yogyakarta, hal. 123.

[7] Dalam Eriyanto dan Sukanta, Artikel Kajian Bulanan Lingkaran Survey Indonesia, Mesin Partai dalam Pilkada, Kasus Pilkada Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat, Edisi 15-Juli 2008

[8] Slide Presentasi Perilaku Pemilih 2008 CSIS, 15 Juli 2008



0 komentar:

Post a Comment