Institusionalisasi Kepartaian di Dunia Ketiga : Vicky Randall dan Lars Svasand[1]

Oleh[1] : Subhan Agung dan Ustadz Ahmad Rafik

Dalam banyak literatur tentang demokrasi, para ilmuwan lebih cenderung menitikberatkan pada bagaimana pentingnya kajian tentang Parpol. Sayangnya sangat jarang yang serius membahas tentang pentingnya institusionalisasi partai politik. Padahal sebenarnya ketika mengkaji partai politik satu hal yang tidak bisa dipisahkan dan juga sangat penting adalah kajian institusionalisasi Parpol itu terbentuk. Hal itu terlihat misalnya ketika di satu sisi banyaknya tuntutan akan kebutuhan institusionalisasi partai politik, di sisi lain juga sangat minimnya kajian konsep institusionalisasi itu sendiri yang secara konsisten dikembangkan dalam kajian kepartaian. Namun ada alternatif penulis yang  mengulas definisi dan kriteria institusionalisasi yang akan dibahas ke depan yang cukup bisa memahami institusionalisasi partai politik seperti misalnya Huntington (1968), dan Panebianco (1988). 

Penulis artikel ini melihat pentingnya pembuktikan persoalan di atas yang salah satunya lewat analisis jenis-jenis sistem kepartaian. Pertimbangan itu membedakan antara partai politik  dan institusionalisasi sistem kepartaian. Kajian ini juga bagaimana melihat hubungan antara institusi kepartaian dan sistem kepartaian dengan level kompetisi tertentu yang tercipta yang masih menimbulkan pertanyaan terutama di dalam negara transisi demokrasi. Semisal contoh yang menarik adalah dalam sistem kepartaian Meksiko yang nota bene sudah terinstitusionalisasi, namun dalam sejarahnya sampai sekarang tidak ada partai lain dari Winning Major Office yang memiliki tujuan yang realistik tentang perubahan selain dari PRI. Di sinilah pentingnya bagaimana kompetisi sistem kepartaian dispesifikasikan secara tepat.

Menurut Mainwaring dan Scully (1995) yang dimaksud dengan kompetisi sistem kepartaian adalah siapa, bagaimana hadir dengan mengabaikan kemungkinan konflik antara partai dan institusionalisasi sistem kepartaian. Pengertian ini berkontribusi melahirkan apa yang disebut “sistem kepartaian demokratik’. Dalam sistem tersebut bagaimana dipelihara stabilitas lewat rule dan nature dari persaingan antar partai, aktor politik kuat selalu membenarkan legitimasi pribadinya dalam proses electoral dan juga dalam partai dan lainnya.

Menurut Huntington (1968) institusionalisasi adalah proses bagimana organization dan procedures mengandung suatu nilai dan stability. Beliau mengidentifikasi 4 dimensi dari institusionalisasi yaitu adaptability, complexcity, autonomy, dan coherence.  Adaptability disimpulkan dari longevity, termasuk di dalamnya adalah kemampuan untuk bertahan dari generasi pemimpin tertentu. Complexity diukur dari banyaknya sub-unit dari institusi, autonomy sama seperti tingkat dari deferensiasi dari “grups-grup sosial tetentu dan cara berperilakunya’. Coherence sebuah tingkat dari consensus di dalam organisasi di mana terdapat batas fungsional dan procedural untuk resolving  dispute that arise di dalam batasan tersebut.

Panebianco (1988), institusionalisasi adalah the way the organization ‘solifies’. Menurutnya ada dua kriteria dari degree of party institusionalization. The degree of autonomy yang berlawanan dengan environment. Kedua, the degree of internal systemness atau saling ketergantungan dari berbagai sektor. Konsep Autonomy dan systemness ini saling terkait antara satu dengan yang lain.

Levitky (1998) menilai sedikitnya ada dua hal yang “salah” tetapi sudah jadi pandangan umum tentang institusionalisasi, hal tersebut adalah terpisahnya antara initial conception cara mengelaborasinya juga terkait dengan kriteria yang spesifik. Konsepsinya tentang initial melanjutkan Selznick (1957) yang menyebut ‘value infusion’. Levitsky melakukan studinya di Amerika Latin tepatnya di pada kasus Partido Justicialista Party Argentina, di mana beliau memberikan score tinggi untuk value infusion, tetapi dalam aturan dan prosedur penuh dengan kebohongan, manipulated dan dikontestasikan.

Kenneth Janda (1980), berangkat dari kerangka konseptual analisis persilangan nasional dari partai politik, faktanya beliau mengidentifikasi aspek hubungan eksternal dari partai politik. Institusionalisasi menurutnya  ; reified in the public mind. 

Dari diskusi di atas, bisa dijadikan alat analisis institusionalisasi terutama di Negara dunia ketiga dari model analisis sederhana yang diadopsi dari berbagi ilmuwan yang disebutkan di atas, yakni antara dimensi internal dan eksternal dan diantaranya juga ada aspek structural dan attitudinal yang menghasilkan empat elemen kunci yakni : systemness, value infusion, decisional autonomy dan reification. Melalui kajian inilah kemudian kita bisa mengidentifikasi institusionalisasi partai di beberapa dunia ketiga, misalnya dari segi resource, terutama funding, semisal dalam kasus pembiayaan kampanye parpol bisa melihat bagiamana studi kasus pada the ruling parties UMNO di Malaysia, KMT di Taiwan dan Golkar di Indonesia membutuhkan resource, khususnya apa yang disebut funding di atas.

Pelembagaan partai politik ialah proses pemantapan partai politik baik secara struktural dalam rangka mempolakan perilaku maupun secara kultural dalam mempolakan sikap atau budaya (the process by wich the pary becomes established in terms of both integrated patterns on behavior and of attitudes and culture). Proses pelembagaan ini mengandung dua aspek, yaitu aspek internal-eksternal, dan aspek struktural-kultural. Bila kedua dimensi ini dipersilangkan, maka akan tampak sebuah tabel empat sel, yaitu;   
  1. Dimensi kesisteman (systemness) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan structural. 
  2. Dimensi identitas nilai (value infusion) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan kultural,  
  3. Dimensi otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan (decisional autonomy) sebagai hasil persilangan aspek eksternal dengan struktural, 
  4. Dimensi pengetahuan atau citra publik (reification) terhadap suatu partai politik sebagai persilangan aspek eksternal dengan kultural

Dimensi Kepartaian                       Internal                    Eksternal

Struktural                                Kesisteman                Otonomi Keputusan

Kultural                                      Identitas Nilai             Citra pada Publik

1.   Dimensi kesisteman dalam partai politik
Yang dimaksudkan dengan kesisteman adalah proses pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisrne yang disepakati dan ditetapkan dalam AD/ART partai politik. Derajad kesisteman suatu partai bervariasi menurut: (a) asal-usul partai politik, yaitu apakah dibentuk dari atas, dari bawah, atau dari atas yang disambut dari bawah; (b) siapakah yang lebih menentukan dalam partai: seorang peminpin partai yang disegani ataukah pelaksanaan kedaulatan anggota menurut prosedur dan mekanisme yang ditetapkan oleh organisasi sebagai suatu kesatuan; (c) siapakah yang menentukan dalam pembuatan keputusan: faksi-faksi dalam partai ataukah partai secara keseluruhan; dan (d) bagaimana partai memelihara hubungan dengan anggota dan simpatisan, yaitu apakah dengan klientelisme (pertukaran dukungan dengan pemberian materi) ataukah menurut konstitusi partai (AD/ART). 

2.   Dimensi Identitas Nilai Partai Politik 
Identitas nilai ini berkaitan dengan identitas partai poilitik berdasarkan ideologi atau platform partai, dan karena itu berdasarkan basis sosial pendukungnya, dan identifikasi anggota terhadap pola dan arah perjuangan yang diperjuangkan partai politik tersebut.

Karena ilu derajad identitas nilai suatu partai politik berkaitan dengan (a) hubungan partai dengan kelompok populis tertentu (popular bases), yaitu apakah suatu partai politik mengandung dimensi sebagai gerakan sosial yang didukung oleh kelompok populis tertentu, seperti buruh, petani, kalangan masyarakat tertentu, komunitas agama tertentu, komunitas kelompok etnik tertentu, dan (b) pengaruh klientelisme dalam organisasi, yaitu apakah hubungan partai dengan anggota cenderung bersifat instrumentalis (anggota selalu mengharapkan tangible resources berupa materi dari partai) ataukah lebih bersifat ideologis (anggota mengenal dan mengharapkan partai bertindak berdasarkan identifikasi terhadap ideologi partai). Partai politik yang mempunyai basis sosial pendukung yang spesifik niscaya akan memiliki identitas nilai yang jelas. 

3.   Dimensi Otonomi Partai Politik 
Derajad otonomi suatu partai politik dalam pembuatan keputusan berkaitan dengan hubungan partai dengan aktor luar partai baik dengan sumber otoritas tertentu (penguasa, pemerintah), maupun dengan sumber dana (pengusaha, penguasa, negara atau lembaga luar) dan sumber dukungan massa (organisasi masyarakat): (a) apakah partai tergantung kepada aktor luar tersebut ataukah hubungan itu bersifat saling tergantung (interdependen), dan (b) apakah keputusan paitai ditentukan oleh aktor luar ataukah hubungan itu berupa jaringan (linkage) yang memberi dukungan kepada partai. 

4.   Dimensi Pengetahuan Publik tentang Partai Politik 
Derajad pengetahuan publik tentang partai politik merujuk pada pertanyaan apakah keberadaan partai politik tersebut telah tertanam pada imajinasi publik. Bila keberadaan partai politik tertentu telah tertanam pada imajinasi publik, maka pihak lain baik para individu maupun lembaga akan menyesuaikan aspirasi dan harapan ataupun sikap dan perilaku mereka dengan keberadaan partai politik tersebut. Derajad pengetahuan publik ini merupakan fungsi dari waktu dan kiprah partai tersebut. 


[1] Vicky Randall dan Lars Svasand (2002), Party Institusionalization in New Democracies, Party Politics, Vol.8 No.1, Sage Publication, London, hal 5-29, atau didownload di http//:ppq.sagepub.com, dilihat 11 Februari 2011

1 komentar: