DEMOKRASI DAN MASYARAKAT SIPIL

(Sebuah  Review dari judul Buku Demokrasi dan Masyarakat Sipil
Karya AS Hikam) [1]

Oleh : Hendra Gunawan[2]

Masyarakat sipil yang terdapat dalam satu negara yang mempunyai pemerintahan yang demokratis, bahwa rakyatnya itu berdaulat, masyarakat yang memiliki budaya dan kemampuan menentukan nasib, mencari pekerjaan dan sebagainya. Negara dan pemerintah dalam hal ini lebih banyak sebagai fasilitator dan pengayom, di lain pihak penduduknya yang bekerja dan melaksanakan seluruh aktivitas pembangunan mendapatkan hak-haknya secara adil.
Oleh karena itu masyarakat sipil sering diidentikan dengan masyarakat yang sudah maju, baik itu dalam bidang ekonomi, hukum, maupun politik. Masyarakat sipil itu sendiri, pada intinya, merupakan kelompok-kelompok sosial, politik, atau arena masyarakat yang dilandasi atau dijiwai dengan semangat otonomi, kemandirian, dan sikap kritis serta bebas dari intervensi negara.
Di dalam masyarakat semacam ini, warga bekerjasama membangun ikatan-ikatan sosial di luar institusi-institusi resmi negara, independen dan tidak tergantung otoritas negara, menjalin solidaritas demi mencapai kebaikan-kebaikan bersama. Masyarakat sipil itu sendiri bukanlah negara. Ia justru berhadap-hadapan dengan negara, tetapi bukan sebagai lawan, meski bisa saja menjadi "lawan" takkala negara melalui pemerintahannya telah bertindak menyimpang jauh dari prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan sosial, maka gejolak masa akan timbul dengan sendirinya. Itulah sebabnya, kelompok-kelompok di dalam masyarakat sipil tidak bersifat primordial dan tidak pula mengandalkan jejaring patron-clientalism. Karena variable utamanya adalah otonomi, umum (publik), dan sipil (berkait dengan segala hak dan kewajiban warga negara).
Seiring perkembangan ilmu-ilmu sosial, beberapa ahli kemudian mencoba mengajukan definisi tentang masyarakat sipil itu. Antara lain misalnya Alexis de Tocqueville (1969), seorang Perancis yang berdasarkan amatannya terhadap masyarakat AS, mendefinisikan masyarakat sipil sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan: kesukarelaan (voluntary); keswasembadaan (self generating); keswadayaan (self supporting); kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara; keterkaitan dengan norma-norma dan nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warga masyarakat. Pencarian kebajikan secara individual yang tanpa pamrih, menurut Tocqueville, memberikan sumbangan yang penting bagi kemunculan masyarakat sipil di AS. Itu pulalah yang membuat demokrasi menjadi sungguh-sungguh hidup di negara tersebut.
Lebih jauh dari itu ternyata keberadaan civil society tidak terlepas dari sistem demokrasi. Karena di dalam alam demokrasi yang mana rakyat dapat dengan bebas menyuarakan aspirasinya melalui berbagai organisasi yang kemudian akan menjurus pada penguatan civil society. Berbeda halnya ketika didalam sebuah negara, kebebasan berpendapat tidak mendapat perhatian yang baik, maka akan sedikit banyak menghambat dari pembentukan civil society itu sendiri.
Dalam kaitannya antara demokrasi dan civil society inilah kemudian, Muhamad AS Hikam menulis buku tentang Demokrasi dan Civil society. Dalam buku tersbut diterangkan tentang bagaimana negara yang dapat bertindak sebagai pencegah dari proses terbentuknya civil society (bagian kesatu) juga bisa menjadi  pendukung dari terbentuknya civil society. Tidak hanya lembaga yang bernama negara juga yang menjadi variabel penting dalam civil society, lebih jauh dari itu ternyata menurut AS Hikam lembaga agama juga bisa menjadi semacam variabel penting dari sebuah civil society (bagian ketiga). Dalam buku tersebut terdapat tiga bagian yang masing-masing bagiannya mengupas tentang bagaimana civil society berkembang dan upaya-upaya dari lembaga Islam melalui salah satu Organisasinya, Nahdatul Ulama, mencoba bergerak dalam membangun civil society.
Bagian pertama dari buku tersebut terdiri dari tiga bab. Bab pertama membahas tentang bagaimana negara sebagai sebuah lembaga menjadi penghambat di satu keadaan akan tetapi disisi lain menjadi pemicu dari timbulnya pembangunan civil society, bab kedua membahas tentang prospek demokrasi di Indonesia dengan menggunakan barometer Pemilihan Umum, sedangkan bab ketiga membahas tentang demokratisasi yang terjadi di Indonesia dengan melalui pemberdayaan civil society .
AS Hikam memulai pembahasannya dengan membahas tentang Negara Otoriter Birokratik (OB). Negara yang memiliki sifat otoriter (Otoriter Birokratik) ternyata tidak timbul dengan sendirinya. Dia timbul karena merespon apa yang terjadi di sekitar negara itu berada, yaitu perluasaan industrialisasi dan pembangunan ekonomi kapitalis di negara-negara pinggiran. Kenapa kemudian negara OB bisa terjadi pada saat seperti ini?. Hal ini dikarenakan negara OB dipersiapkan untuk dapat lebih mengontrol dengan kuat terhadap keberadaan civil society. Negara OB muncul begitu sangat kuat karena ia melibatkan diri dalam semua lini kehidupan. Hal itu dilakukan adalah untuk mencegah keterlibatan masa pada tingkatan yang lebih rawan semacam keterlibatan masa dalam politik. Cara dari pengawasn negara OB tersebut bisa dengan pengawasan administratif, pengaktifan masa bawah, menumbuhkan kerja para teknokrat dalam birokrasi publik maupun swasta. Dari sini kemudian terbentuk semacam tiga elemen yang saling mendukung, militer, birokrasi, dan teknokrat.
Cara kerja negara OB tersebut sangat menghambat proses terbentukya masyarakat sipil dalam sebuah negara. Dengan keterlibatan militer dalam negara OB proses dari demokratisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Demokrasi yang menjadi syarat dari terbentuknya civil society menjadi kabur pengertiannya. Selain menjadi kabur dalam memahami demokrasi, negara OB juga lama kelamaan akan mengalami krisis legitimasi yang pada akhirnya akan melahirkan gerakan-gerakan kekerasan dan pemaksaan dalam mempertahankan dominasinya.
Ini sangat berlawanan dengan sebagian prinsip demokrasi pemerintahan (dari, oleh, dan untuk rakyat)[3]. Atas nama pencapaian tujuan kolektif inilah, gagasan untuk memfasilitasi negara dengan berbagai hak dan privilese mendapatkan justifikasi. Hal yang paling ekstrem adalah negara OB memiliki monopoli hak menggunakan kekuatan paksa/bersenjata (militer) atas nama kepentingan umum. Namun demikian, pokok persoalannya sebetulnya bukan instrumentalisme negara OB itu sendiri, akan tapi bagaimana pembatasan kekuasaan negara dalam mengatasnamakan kepentingan umum itu jelas dalam konstitusi.
Pada masa Orde Baru kita tidak memiliki pijakan institusional yang kokoh untuk menjamin negara bisa mengemban amanat dengan baik. Sambil mengokohkan penguasaan terhadap rakyat, seorang pejabat bisa dengan enteng mengatakan dirinya adalah "abdi masyarakat". Dalam bingkai instrumentalisme ini, negara telah memberi privilese yang sangat mahal pada masyarakat sipil.
Otonomi negara vis a vis masyarakatnya diperankan sebagai penjamin peran instrumental negara. Di mata pemerintah khususnya pada rezim otoriter privilese dalam bentuk vis a vis masyarakat ini ternyata dianggap belum cukup sehingga dominasi yang relatif telah dimiliki negara diperluas melalui pengkerangkengan politik masyarakat. Akar swadaya politik masyarakat ditahan pertumbuhannya melalui kebijakan floating mass, sementara pemerintah sendiri menghujamkan cengkeraman birokratisnya melalui pelembagaan "korporatisme" negara. Melalui skenario corporatism ini organisasi-organisasi kemasyarakatan satu per satu dibuat merasa aman berlindung di bawah ketiak pemerintah. Pemberian imbalan politik kepada para pengurusnya memungkinkan apa yang kita katakan sebagai "organisasi-organisasi kemasyarakatan" berubah peran menjadi instrumen penguasaan pemerintah terhadap masyarakatnya.
Namun demikian, di satu sisi gejala ketergantungan masyarakat terhadap negara semakin besar, dan disisi lain, negara semakin keberatan menanggung akibat pengambilalihan urusan-urusan masyarakat. Salah urus penyelenggaraan urusan pemerintah menjadi-jadi, kekuatan lembaga pengawasan baik yang berada di dalam tubuh negara maupun yang berada dalam tubuh masyarakat semakin keropos. Kuatnya negara dijabarkan melalui ekspresi kemampuan represi. Di samping menggunakan kekuatan militer, negara memiliki kendaraan raksasa untuk menyalurkan represinya, birokrasi yang didukung teknokrasi. Birokrasi yang oleh Weber diakui sebagai instrumen pengelolaan kepentingan umum yang efisien didayagunakan sebagai instrumen represi yang lumayan jitu.
Namun demikan, keberadaan rezim yang otoriter sedikit demi sedikit tergeser oleh karena kesadaraan dari masyarakat akan pentingnya rejim yang demokratis. Di negara dunia ketiga yang masih banyak mempraktekan sistem otoriter lambat  laun banyak yang mengalami proses dari demokratisasi. Kenapa kemudian hal itu terjadi setelah nagara OB menanamkan dominasinya pada masyarakat?. Hal itu terjadi karena kebayakan rejim otoriter tersebut telah kehilangan legitimasi idiologi dari bawah, sehingga hegemoni idiologis negara senantiasa mengalami perlawanan.
Melihat permasalahan yang terjadi di negara-negara yang menganut paham otoriter, maka euforia menyambut redemokratisasi patut mendapatkan perhatian. Ada permasalah lain menyangkut proses redemokratisasi tersebut, ialah sistem internasional. Dimana sistem ini sangat menyangkut masalah kemandirian dalam pergulatan dengan negara-negara lain. Faktor seperti letak geografis, jumlah penduduk, teknologi dan besar kecilnya negara sangat mempengaruhi dalam proses redemokratiasis tersebut. Dengan memahami masalah internasional diatas diharapkan proses dari terbentuknya civil society akan segera tercapai di bekas negara OB.
Oleh karena itu, sedikitnya ada dua permasalah lain dari proses demokratisasi negara-negara OB, yang pertama proses ini menghendaki adanya negara yang kuat yang dapat melindungi, mengayomi, dan penengah konflik serta kekuatan distributif bagi civil society. Sedangkan yang kedua adalah menghendaki derajat kemandirian civil society yang semakin tinggi sehingga ia mampu untuk berpartisipasi sesuai kemampuannya.
Di Indonesia sendiri proses demokratisasi sudah mulai terjadi di era tahun 1970-an. Melalui kegiatan-kegiatan yang dibentuk mahasiswa dan juga banyaknya kegiatan politik yang dilakukan oleh LSM, meskipun hal itu mash dalam skala kecil. Lebih jauh dari itu proses politik yang terjadi di Indonesia cukup menggembirakan dengan sudah diadakannya pemilihan umum (Pemilu) yang dilakukan oleh rejim yang berkuasa. Dilihat dari segi normatifnya, keberadaan pemilu bertujuan untuk melakukan rotasi kekuasaan secara berkala.
Namun yang terjadi dalam pemilu yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup bagi para elit yang lain untuk melakukan kegiatan politiknya dalam pentas nasional. Keberadaan pemilu yang seharusnya diadakan untuk melakuakan proses demokratisasi ternyata hanya digunakan oleh rejim Orde Baru untuk melanggengkan  kekuasaannya, dengan menggunakan format politik yang mendukung keberadaan rejim. Namun demikian hal yang menjadi penawar bagi kecurangan rejim dalam berpolitik ini adalah keterlibatan kaum intelektual yang mendorong terbentuknya demokratisasi di Indonesia. Apa yang dilakukan oleh rejim orde baru tersebut sedikit banyak menghambat proses pada arus bawah untuk melakukan demokratiasi.
Pada bab terakhir bagian pertama tersebut dibahas tentang proses demokratiasi dengan penguatan civil society. Perlu dikemukan disini bahwa penguatan civil society ini, negara tidak langsung dianggap sebagai lawan, sebagaimana pada negara-negara OB, sebab elemen-elemen negara memiliki kaitan erat dengan pertumbuhan civil society yang mandiri. Untuk itu diperlukan semacam landas tumpu yang sama bagi gerakan-gerakan aktif dan kultural bagi penguatan civil society. Landas tumpu ini merupakan pijakan normatif yang didalamnya semua aktifitas dan perbedaan-perbedan orientasi idiologi praktis menemukan persamaannya. Dan dari padanya, sebuah etika dasar akan bisa ditemukan yang melampai apa yang ditawarkan proyek pencerahan yang ternyata hanya memberikan jalan sepihak bagi proses kesejahteraan.
Kemudian pada tingkat sistem dan struktur perlu dilakukan reorientasi terhadap perjuangan demokratisasi untuk lebih menekanan pada pencapian masyarakat politik demokratik secara bertahap, transpormatif, dan berjangka panjang ketimbang upaya-upaya perubahan sistem secara radikal yang umumnya tidak memiliki kemampuan yang memadai terhadap krisis-krisis sistemik.
Pada tingkat sosio-kultural strategi demokratisasi melalui penguatan civil society dilaksanakan dengan cara mananamkan dan mengembangkan secara terus menerus budaya civil dalam masyarakat lewat pendidikan dan sosialisasi, baik disekolah, komunitas, maupun organiasasi sosial politik. dalam kerangka inilah pembentukan individu-individu demokratik yang mandiri dan mampu melakukan penalaran rasional serta terlibat aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan dalam masyarakat menjadi sangat penting. Konsekuensinya adalah pendekatan seperti ini lebih menekankan peran masyarakat daripada peran negara dengan segala keberadaannya.
Pada bagian kedua buku tersebut terdapat empat bab yang masing-masinnya merupakan penjelasan lebih lanjut dari bagian pertama seperti misalnya politik arus bawah dalam pembangunan (bab empat). Sedangkan pada bab-bab selanjutnya membahas mengenai politik arus bawah civil society dengan fokus telaahnya demokrasi di Indonesia, gerakan keagamaan dan perlawanan sosial. Pada bagian kedua buku tersebut dijelaskan tentang bagaimana kemudian peristiwa-peristiwa dunia dalam gerakan masa untuk merombak struktur politik disamping perbaikan sosial dan ekonomi merebak dibelahan dunia pada tahun 1980-an. Hal itu, menurut AS Hikam tidak terlepas dari kesadaran masa rakyat akan sistem politik yang demokratis. Kejadian-kejadian seperti Iran dan Nikaragua menunjukan bangkitnya masa rakyat untuk membangun civil society yang mandiri. Gerakan-gerakan tersebut itu menitik beratkan pada politik arus bawah yang mana hal ini harus segera difahami oleh kaum intelektual dari negara-negara berkembang untuk memecahkan masalah di negaranya masing-masing dalam rangka pembangunan civil society. Hal itu sedikit banyak akan membangun paradigma tentang permasalahan yang terjadi pada arus bawah tersebut.
Lebih jauh dari itu permasalahan yang dihadapi dalam kajian politik arus bawah ini adalah tentang teoritis dari paradigma-paradigma tersebut serta persoalan keterkaitan antara ilmu politik dengan ilmu sosial lainnya seperti sosiologi, antropologi dan ekonomi. Konsekuensi dari itu semua adalah harus adanya reorientasi terhadap konsep pelaku dalam proses politik. Oleh karena itu pengkajian politik yang mampu memahami gejolak dari bawah akan dengan sendirinya bergerak melewati dan menembus pemahaman-pemahaman deterministik semacam strukturalisme. Menurut AS Hikam pemahaman yang dialektis antara subjek dan realita struktural merupakan jalan keluarnya.
Secara etis, studi pembangunan yang diperlihatkan oleh negara berkembang termasuk di Indonesia adalah studi yang berwawasan kerakyatan. Ini berarti individu ataupun kelompok harus berani melakukan terobosan-terobosan terhadap kaidah-kaidah, slogan-slogan, dan jargon-jargon ilmiah yang bersifat elitis dan anti kerakyatan. Jadi kajian politik arus bawah harus mampu manampilan pandangan dari dalam masyarakat, termasuk juga pengalaman, aktivitas, dan kehidupan serta upaya mempertahankan norma-norma dari kehidupan
Pada bab selanjutnya (bab lima) lebih menekankan pada akar sejarah pembentukan civil society dan arus bawah. Dijelaskan bagaimana politik arus bawah Indonesia berkembang pada awal abad ke-19, ketika kesadaran nasionalisme bangsa Indonesia muncul sebagai kekecewaan dan ketidaksetujuan terhadap kolonialisme di seluruh negeri. Pada masa-masa kemudian, yaitu antara tahun 1945-1957 politik arus bawah di Indonesia sangat terakomodasi dan teraktualisasi dengan baik dalam praktek da diskursus politik Indonesia. Proses politik ini menjadi sangat mungkin karena ada dua saluran yang amat berperan dalam kehidupan politik Indonesia saat itu, partai politik dan serikat buruh yang independen. Namun demikian sampai akhir masa itu plitik arus bawah tidak memberikan pengaruh yang berarti bagi kehidupan politik Indonesia. Pada masa-masa selanjutnya yaitu pada masa demokrasi terpimpin keberadaan masa rakyat idak terakomodasi dengan baik karena pada masa itu sistem yag diterapkannya otoriter.
Awal dari pemerintahan rejim Orde Baru harapan akan tumbuh dan berkembangnya civil society sangatlah tinggi. Namun pada tahap selanjutnya harapan itu musnah dengan sendirinya, karena rejim pada waktu itu berhasil menanamkan dan menginternalisasikan idiologi persatuan di seluruh negeri yan pada gilirannya mendapatkan kesepakatan dari masyarakat untuk memperkuat otoritasnya dan mempertahankan keabsahannya.
Pengembangan civil society di Indonesia juga tidak terlepas dari adanya peran keagamaan terutama Islam pada kurun waktu yang cukup lama. Harus diakui bahwa Islam,meskipun terdapat kemerosotan yang drastis, teap merupakan sebagai bahan pertimbangan sebagai faktor dominan untuk memahami prses politik Indonesia dimasa mendatang. Islam bukan hanya mampu menjadi arus idiologi politik yang pada giliranya akan mempengaruhi budaya politik dan tindakan di dalam masyarakat, tetapi yang lebih penting lagi adalah Islam mampu menjadi modalitas, yang dengannya tuntutan sosio-politik diartikulasikandan juga dilaksanakan.
Pada bab selanjutnya diterangkan tentang perlawanan sosial. Dalam pembahasan tersebut diasumsikan bahwa studi mengenai perlawanan akan menganut tradisi dialektis yang memahamkan proses sosial sebagai interaksi komplek antara aktor-aktor manusia dengan struktur politik. pandangan yang menganggap bahwa orang tidak bisa mereduksi fonomena-fonomena sosial sekedar sebagai hubungan-hubungan produksi, maka harus dipahami bahwa sbaliknya ia juga dalam pengertian tentang kemampuan makhluk manusia sebagai aktor-aktor sosial dalm menciptakan sistem signifikasi dan struktur-struktur makna serta menangani tingkah laku sosialnya setia hari
Pada bagian terkahir buku ini dibahas tentang peranan Islam yang diwakili oleh NU, LSM dan cendekiawan dalam membangun civil society di Indonesia. Menurut AS Hikam bahwa, untuk mengenali dan menganalisa kondisi civil society di Indonesia pemahaman Tocquevillean dapat dipakai sebagai kerangka heuristik. Dengan kerangka itulah maka secara sosiologis, sejatinya civil society mengalami masa pertumbuhannya di negeri ini ketika mulai terjadi proses formasi sosial baru dalam masyarakat kolonial menyusul diperkenalkannya sistem ekonomi kapitalis dan birokrasi modern. Tentu saja embrio-embrio civil society telah ada sebelumnya, yaitu keberadaan lembaga-lembaga masyarakat yang kurang lebih bersifat mandiri, seperti lembaga pendidikan pesantren, LSM dan kaum intelektual, misalnya.
Namun demikian perkembangan civil society yang memiliki kemampuan mengambil jarak kepada negara dan mencoba melakukan fungsi dan peran penyeimbang baru seperti LSM dan Ormas Islam terjadi pada awal abad kedua puluh, mana kala organisasi-organisasi kemasyarakatan modern tercipta. Kelas menengah baru, khususnya dari kalangan pribumi, yang kemudian menjadi motor gerakan-gerakan sosial yang menawarkan alternatif terhadap sistem sosial dan politik kolonial dapat disebut sebagai aktor utama civil society modern di negeri ini
Krisis ekonomi dan politik yang terjadi sejak tahun 1997 membuka berbagai kemungkinan, baik yang berimplikasi negatif maupun positif bagi perjalan demokratisasi Indonesia, untuk kemudian membuka jalan yang lebar bagi terbentuknya civil society. Hal itu tidak serta merta terjadi dengan sendirinya, melainkan harus direbut dan diperjuangkan oleh masyarakat Indonesia secara umum. Wadah bagi perjuangan untuk merebut kebebasan dalam rangka membangun civil society sudah tersedia, diantara adalah LSM dan Ormas Islam. LSM yang memilik akar-akar sosial dan budaya di Indonesia dapat dianggap sebagai salah satu kekuatab uatama dalam membangun civil society di Indonesia. Keberadaan LSM modern di Indonesia sejak generasi pertama pada awal abad ke-20 telah memberi sumbangan besar bagi usaha-usaha masyarakat, baik individu maupun kelompok, untuk mempertahankan kemandirian mereka vis-a-vis negara.
Tentu keberadan LSM ini perlu pembenahan yang baik dari sisi internal maupun eksternalnya, yaitu dari segi visi, paradigma, dan kemampuan organisasi itu sendiri. Dan juga membangun LSM yang tidak tergantung kepada keberadaan negara. Karena, jika LSM-LSM itu tidak bisa berdiri sendiri sebagai organisasi yang tidak mempunyai visi dan memiliki ketergantungan kepada kekuatan diluarnya maka itu akan menjadi kendala utama bagi terbentuknya civil society itu sendiri. Maka dari kemandirian LSM sangat diperlukan dalam pembentukan civil society.
 Pengembangan kemandirian dalam jangka panjang akan memiliki kontribusi dalam pengembangan demokrasi. Ironisnya, pengembangannya juga mensyaratkan dipayungi oleh suatu derajat demokrasi. Dengan kata lain, pengembangan kemandirian harus dilakukan secara simultan dalam proses demokratisasi pada organisasi tersebut. Setelah kita mengaca dari pengalaman masa lalu, pengembangan kemandirian ini bisa dipahami sebagai penyediaan infrastruktur politik untuk meniti kemajuan bersama melalui pembangunan civil society.


[1] Judul bukunya Demokrasi dan Masyarakat Sipil, karangan M. AS Hikam, 1999. Direview oleh Hendra Gunawan, S.IP diedit ulang oleh Penulis tanpa mengurangi esensi review.
[2] Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
[3] Ini merupakan pengertian demokrasi yang dikemukakan oleh Abraham Lincoln yang merupakan salah satu pengertian demokrasi yang paling popular.

0 komentar:

Post a Comment