NEGARA Versus CIVIL SOCIETY MASA TRANSISI: Studi Gerakan Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Cabang Purwokerto Masa Rezim Habibie

Oleh : Subhan Agung

Pendahuluan

Rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun di Indonesia merupakan pemerintah yang melakukan hegemonisasi terhadap rakyatnya. Hegemonisasi teridentifikasi dari beberapa hal berikut : pertama, secara politik rezim ini membentuk partai Golkar sebagai mesin politiknya yang sekaligus membuat penguatan isu tentang kesempurnaan partai ini. Kedua, peran militer yang saat itu di bayangi oleh kekuasaannya yang diperluas ke wilayah publik, melalui Dwi Fungsi ABRI. Ketiga, dikuasainya sektor kehidupan publik yang cukup strategis melalui lembaga yang dapat terpantau langsung oleh Soeharto, seperti Korpri dan Dharma Wanita diinstitusi pegawai negeri, ICMI untuk kelompok cendekiawan, HNSI untuk organisasi para nelayan dan organisasi lainnya yang menggiring untuk monoloyalitas terhadap rezim. Keempat, melakukan pembredelan terhadap pers-pers nasional yang cenderung membongkar keburukan pemerintah seperti yang dilakukannya terhadap Tempo, Sinar Harapan, Bernas dan media cetak lainnya.
Hegemonisasi diperlengkap dengan pengekangan dan pengkonsentrasian seluruh kekuatan masyarakat dan gerakan mahasiswa. Soeharto pada awal pemerintahannya mendapat dorongan besar dari berbagai elemen kekuatan masyarakat, termasuk mahasiswa yang di antaranya HMI. Kekuasaan Soeharto memuncak ketika menerapkan kebijakan Azas Tunggal Pancasila, yakni Undang-Undang (UU) Keormasan No. 8 Tahun 1985 tentang Pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila,[1] di mana semua organisasi harus memakai azas Pancasila. Kebijakan ini jelas mempengaruhi gerakan mahasiswa, bahkan menimbulkan konflik internal di organisasi kemahasiswaan tersebut.
Organisasi mahasiswa HMI ini sangat merasakan implikasi dari kebijakan Soeharto tersebut. Pro kontra diinternal HMI terhadap azas tunggal Pancasila menimbulkan konflik yang masih terasa sampai saat ini. HMI yang menerima Asas Tunggal Pancasila pada Kongres ke–16 di Medan, yang kemudian dikenal dengan HMI Diponegoro (HMI Dipo). Sementara kelompok HMI yang menentang azas Pancasila dikenal dengan HMI MPO, yang dimotori oleh delapan cabang besar yakni cabang Yogyakarta, Jakarta, Makassar, Purwokerto, Pekalongan, Tanjung Karang, Bandung dan Metro Lampung (Berkas Putih HMI).
Perlawanan HMI MPO sebagai salah satu organisasi dari tiga organisasi[2] yang menolak Asas Pancasila di saat Soeharto. Motivasi apa yang sebenarnya menjadi dasar keyakinan mereka untuk menentang pemerintah. Dalam penelitian ini penulis berupaya mengambil konsep Counter Hegemony dari Antonio Gramsci sebagai kerangka teoritik utama : pertama, penjelasan Gramsci tentang dua kekuatan utama yang berasal dari satu unsur, yakni rakyat dalam kekuatan Kepemimpinan Dominan yang senantiasa dipegang oleh penguasa selalu vis a vis (saling berhadapan) dengan kekuatan kepemimpinan intelektual, konsep ini bisa menjadi bingkai teoritik untuk menjelaskan fenomena perlawanan HMI MPO atas proses hegemoni rezim, yang secara historis telah terbukti proses perlawanannya dari berbagai gerakan mereka yang memiliki tendensi terhadap pemerintah, dalam membidik kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif dengan kesejahteraan dan kepentingan rakyat banyak. Kedua, penguatan Gramsci tentang argumen Kepemimpinan Intelektual  dalam Putra (1998:15) memberikan sample person yang membentuk masyarakat intelektual, yakni seseorang yang tidak hanya memahami teori sebagai teori yang terlepas dari realitas sosial, namun juga mereka yang mampu memanifestasikan potensi perubahannya dalam realitas sesungguhnya saat vis a vis dengan penguasa yang mendominasi. Cita-cita Gramsci mirip dengan apa yang dicita-citakan HMI pada umumnya dan HMI MPO pada khususnya, yakni pembentukan karakter intelektual yang respek atas kondisi sekitarnya. Hal ini bisa dilihat dalam tujuan HMI MPO yang terkonsentrasi pada pembentukan karakter intelektual-transformatif. Prioritas utama tujuan mereka yang termanifestasi dalam gerakan mereka lebih menonjolkan intelektualitas.

Perumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka penulis berusaha menelusuri perlawanan HMI MPO dalam kerangka teoretik utama counter hegemony dengan rumusannya sebagai berikut :
  1. Bagaimanakah persepsi politik HMI MPO Purwokerto terhadap Rezim Habibie?
  2. Bagaimanakah pelanggengan dominasi rezim tersebut sebagai kepanjangan tangan Rezim Soeharto terhadap elemen rakyat dan bagaimana strategi gerakan HMI MPO Purwokerto terhadap rezim saat itu?
Tinjauan Pustaka
     1. Konsep Negara, Hegemoni dan Dominasi
Konsep hegemoni dalam diskursus negara modern Antonio Gramsci mengungkapkan tentang konsepsi negara dan hegemoni. Menurut Nezar Patria dan Andi Arief (1999:113-114) konsep hegemoni lahir untuk menjawab dua permasalahan utama yang terkait dengan proses penciptaan sebuah revolusi di Italia, yang sekaligus merupakan tantangan atas penafsiran Marxis setelah kematian Marx, Engels, Lenin dan Stalin. Permasalahan tersebut yaitu : pertama, mengapa  terjadi kesenjangan antara teori Marxis dengan praktek politik kelas ploretariat. Dengan kata lain, mengapa kelas ploretariat ”barat” tidak dapat mengambil diambil Marx yakni Jalan Bolsheviks seperti di Rusia misalnya, untuk mengakhiri kekuasaan kelas borjuis dalam sistem kapitalisme yang cukup matang. Kedua, sarana dan strategi apakah yang dapat dilakukan untuk menutup kesenjangan tersebut.
Dalam konteks pengakuan dirinya sebagai seorang revolusioner yang tugasnya menciptakan revolusi sebagai suatu alternatif strategi bagi ”kemegahan” perjuangan sosialis, khususnya Italia dan Eropa umumnya, maka Gramsci dalam Hendarto (1993:82-84) mengemukakan tiga tingkatan hegemoni yaitu : pertama, hegemoni integral, yakni hegemoni yang ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dengan yang diperintah. Hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme, baik secara sosial maupun etis. Contoh untuk hal ini adalah Prancis setelah Revolusi tahun 1879. Kedua, hegemoni yang merosot (decadent hegemony), yakni kemerosotan yang disebabkan oleh lemahnya ”mentalitas” massa yang tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran yang dominan dari subjek hegemoni, walaupun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan dan sasarannya. Karena itu, integrasi budaya maupun politik mudah runtuh. Ketiga, hegemoni minimum (minimal hegemony), merupakan bentuk hegemoni yang paling rendah, dibanding  dua bentuk di atas. Situasi inilah yang terjadi di Italia dari periode unifikasi sampai pertengahan abad ini. Hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara.

     2. Counter Hegemony, Civil Society dan Intelektual Organik
Konsep counter hegemony merupakan salah satu konsep tentang Kritik Rakyat atas Penguasa yang dimotori oleh ilmuwan asal Italia, Antonio Gramsci sebagai jawaban atas proses hegemoni kelompok dominan. Bagi Gramsci (op.cit, 44-45), realitas sosial yang ditunjukkan dengan adanya karakter kapitalistik yang eksploitatif, demikian juga dengan otoritaritarianisme rezim politik Bennito Mussolini, ternyata tidak kunjung memunculkan revolusi sosial, seperti yang dianggarkan oleh Marxisme Klasik. Bahkan justru yang muncul adalah gejala go to silent para revolusioner.
Gejala diamnya para revolusioner (buruh dan kaum proletar) disebabkan oleh seperangkat kepentingan politik (political interest) yang menghegemoni yang diselundupkan oleh massa rakyat yang tertindas. Lebih ironis, massa buruh yang ada cenderung menjadi kelompok sosial yang “tabah akan penderitaan”. Dalam kondisi seperti inilah kalangan cendekiawan-transformatif yang ia namakan intelektual organik sangat diperlukan.
Analisis Gramsci lebih cenderung pada hegemoni akan selalu identik dengan penyusunan kekuasaan. Dalam Selection from Prison Notebooks (SPN), sebenarnya Gramsci mempercayai teoritisasi dan realisasi hegemoni menurut Lenin, yang sangat membenci Taylorisme, di mana Taylorisme merupakan sebuah praktek teknokratisme dan koorporatisme yang menjadi eksperimen kapitalis untuk mendisiplinkan para pekerja melalui spesialisasi mekanis dengan metode yang mengutamakan efisiensi. Analisisnya dipertajam dengan mendudukkan posisi masyarakat sipil (civil society) dalam sebuah struktur masyarakat. Di mana masyarakat sipil itu pada dasarnya sebagai suprastruktur. Jika Marx meletakkan dengan gamblang negara di bawah masyarakat sipil, dan dengan demikian masyarakat sipil  yang menentukan negara dan membentuk organisasi dan tujuan dari negara dalam lingkup hubungan produksi, maka berbeda dengan para Marxis lainnya, meski sama-sama merujuk pada GWF. Hegel (1770-1831), Gramsci justru menunjukkan bahwa masyarakat sipil adalah bukan sebagai -bukan totalitas hubungan-hubungan ekonomi, basic structure, melainkan sebagai superstruktur. Dengan demikian masyarakat sipil, yang salah satunya kalangan intelektual tidak berada pada moment struktur, tetapi sebagai superstruktur.
Penjelasan-penjelasan Gramsci tentang keterlibatan secara semestinya kaum intelektual (bagian dari civil society) sebagai pengawal hegemoni, boleh jadi merupakan sumbangan terpenting Gramsci dalam Selection from Prison Notebooks. Gramsci membagi kepemimpinan hegemonik dalam lingkup moral dan intelektual. Bahkan ia mengatakan bahawa peran intektual dalam transformasi adalah dasar dari superstruktur yang ada, yang menampilkan fungsi organisasional dan konektif. Para intektual harus berdiri pada dua wilayah; pertama, intektual teori (tradisional), dan kedua, intektual yang mampu menghubungkannya dengan realitas nyata sosial (intelektual-organik). Intelektual-organik dengan demikian adalah intelektual yang secara sadar dan mampu menghubungkan teori dan realitas sosial yang ada dan ia bergabung dalam kelompok-kelompok revolusiner untuk mensupport dan mengcounter hegemony pada sebuah transformasi sosial yang direncanakan, walaupun memiliki resiko yang sangat besar dan membahayakan.
Dalam kerangka konsep ini penulis berusaha memposisikan HMI MPO sebagai agen civil society atau dalam bahasa Gramsci kelompok intelektual organik, yang concern terhadap realitas objektif di sekitarnya, ia berani melakukan apa saja termasuk kontra pemerintah jika itu bertentangan dengan hati nurani yang mereka anggap benar dan berpihak pada massa rakyat. Konteks zaman merupakan pedoman yang sangat penting bagi mereka untuk melakukan strategi counter hegemony.

3. Konsep Persepsi
Menurut Walgito (2001;53) persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh suatu penginderaan, sedangkan penginderaan menunjuk pada suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalu indera untuk selanjutnya diteruskan oleh syaraf ke otak dan proses selanjutnya baru merupakan proses persepsi. Sedang menurut Syadilly (1984;122) persepsi seseorang merupakan sikap mental yang menghasilkan bayangan pada diri sendiri, sehingga dapat mengarah pada suatu objek dengan jalan asosiasi dengan suatu ingatan tertentu, baik secara indera penglihatan atau indera peradaban sehingga akhirnya bayangan itu disadari. Miftah Thoha (1983;77) menyatakan bahwa pada hakikatnya persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi lingkungan, baik lewat pendengaran, perasaan, penghayatan maupun penciuman. Proses kognitif tersebut dapat diartikan meliputi kegiatan mental yang sadar dapat berfikir, mengetahui, memahami dan kegiatan persepsi mental seperti sikap, kepercayaan dan pengharapan yang kesemuanya itu menentukan dalam prilaku manusia.
Menurut Luthans sebagaimana dikutip Miftah Thoha (1993;139) yang dimaksud dengan persepsi adalah sesuatu yang lebih kompleks dan khas jika dibandingkan dengan penginderaan. Proses persepsi meliputi suatu proses akumulasi dari berbagai kegiatan interaksi, penyusunan dan penafsiran. Walaupun persepsi dapat tergantung pada penginderaan data, proses kognitif mungkin dapat mengubah secara sempurna data tersebut.
Persepsi seseorang terhadap sesuatu tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Terkait dengan hal tersebut, Edgarf Hause dan James L.Bauditch sebagaimana dikutip Miftah Thoha (Ibid, hal 143)  menyatakan ada tiga faktor utama yang membentuk persepsi manusia yaitu: pertama, faktor psikologi, yakni faktor yang berhubungan dengan kemampuan yang dimiliki seseorang sejak lahir, yaitu panca indera. Orang yang memiliki indera yang lebih peka, berbeda dengan orang yang kurang peka panca inderanya. Dengan kata lain, persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Kedua, faktor famili atau keluarga di mana lingkungan pertama yang dikenal dan paling dekat adalah keluarga. Anggota keluarga sangat berperan dalam membentuk persepsi seseorang. Peran yang sangat dominan adalah peran orang tua, di mana mereka mengembangkan suatu cara yang khusus dalam memahami dan melihat kenyataan di dunia ini. Banyak persepsi dan sikap yang mereka turunkan pada anaknya. Dengan kata lain, individu akan mengalami sosialisasi pertama kali di lingkungan keluarga. Ketiga, faktor kebudayaan, yakni merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap, nilai dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan dunia ini.
Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa persepsi dipengaruhi dua hal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Secord dan Backman dalam Toha (Ibid, 112) berpendapat bahwa persepsi tidak terlepas dari dua faktor yang ada dalam diri individu sendiri, demikian juga tidak terlepas dari keadaan lingkungannya yaitu menyangkut segi kebudayaan dan struktur masyarakatnya. Faktor psikologi merupakan faktor internal, yaitu keadaan individu yang bersangkutan antara lain mengenai pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir dan motivasi yang akan berpengaruh pada seseorang dalam mengadakan persepsi. Di samping itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi persepsi yaitu faktor lingkungan di mana persepsi itu berlangsung dan ini merupakan faktor eksternal. Lingkungan sebagai faktor eksternal dan individu sebagai faktor internal saling berinteraksi dalam individu untuk menghasilkan persepsi.  
Dari sekian definisi di atas, persepsi dalam penelitian ini maksudnya adalah penafsiran atau pemahaman HMI MPO Cabang Purwokerto dalam memposisikan rezim Transisi Habibie atas relasinya dengan rakyat. Persepsi HMI MPO Cabang Purwokerto dalam memposisikan rezim dengan masyarakat akan berbeda dikarenakan masing-masing individu di dalam organisasi mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Hoove (1984;136) bahwa persepsi sosial banyak yang mengandung unsur subyektifnya dan persepsi seseorang dapat berbeda dengan orang lain.   

Metode Penelitian dan Analisis
Sasaran utama dari penelitian ini adalah Pengurus Cabang HMI MPO Purwokerto periode 1999-2000 yang dianggap mewakili persepsi HMI MPO Purwokerto dalam memposisikan rezim penguasa atas relasinya dengan rakyat di era Transisi Habibie. Sebagai pengontrol informasi, penulis mengikutsertakan dua informan di luar HMI yang dianggap mengetahui.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2001;3), menyatakan bahwa metode ini nantinya akan menghasilkan data deskriptif berupa ucapan, tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang yang menjadi sasaran penelitian. Dengan metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling, yaitu peneliti memilih secara hati-hati unsur yang dianggap khusus (informan) dari suatu populasi tempat mencari informasi. Informan yang dipilih adalah yang mengetahui masalah secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Dalam hal ini penulis memilih informan di antara mereka adalah Pengurus Cabang HMI MPO Purwokerto periode 1999-2000 yang dianggap memahami fokus penelitian. Selain itu juga, untuk mengontrol kesahihan informasi, penulis mengikutsertakan beberapa informan dari luar yang juga merupakan sumber sejarah dan mengetahui gerakan HMI untuk periode di atas. Selain menggunakan metode sampel di atas, maka dalam penelitian ini juga tidak menutup kemungkinan memakai metode sampel snowball sampling yang merupakan kelanjutan dari purposive sampling dengan maksud untuk mendapatkan data yang lebih mendalam dan akurasinya terjaga. 

E. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Sejarah Munculnya HMI MPO 
HMI MPO sejak berdirinya disebut-sebut sebagai ”sempalan” dari Himpunan Mahasiswa Islam itu sendiri. HMI yang didirikan pada tanggal 05 Februari 1947 oleh Lafran Pane, dkk di Sekolah Tinggi Islam (STI)--sekarang Universitas Islam Indonesia, dikenal sebagai organisasi yang sangat respek terhadap kondisi ke-Indonesiaan, baik sosial, politik, budaya maupun persoalan-persoalan pendidikan bangsa. Misalnya secara politik, organisasi ini banyak terlibat dalam perjuangan fisik melawan penjajahan Sekutu. Tokoh-tokoh seperti Achmad Tirtosudiro, Dahlan Ranuwihardjo, Laferan Pane, Sulastomo dan lain-lain merupakan kalangan muda aktivis HMI waktu itu yang aktif melakukan perjuangan fisik bergabung dengan tentara Pemerintah.
Seiring dengan menguatnya HMI dan eksistensinya dalam sosial-politik Indonesia, keberadaan HMI di tengah-tengah organisasi mahasiswa dan umat Islam menjadi kebanggaan tersendiri. Ketika masyarakat menjadikan HMI sebagai kebanggaan, justru penguasa malah menjadikannya sebagai ancaman.
Paling tidak ada dua moment besar yang menjadikan HMI sebagai ancaman penguasa, dalam sejarah HMI merupakan ujian terberat bagi eksistensi mereka, yakni: pertama, di kurun 1950-1964, rezim Soekarno yang sedang gencar-gencarnya memasifkan ide tentang Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom) dalam kancah politik nasional. Faham itu akan semakin kuat dan menjelma menjadi kekuatan Indonesia jika ditopang dengan karakter kuat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berpegang teguh pada spiritualitas. Dalam pandangan Bung Karno, dengan sintesis inilah Indonesia bisa maju.
HMI sebagai salah satu organisasi yang menentang ide Soekarno tentang Nasakom, ideologi ini dianggap menjadikan agama sebagai alat untuk memuluskan bercokolnya ideologi Komunis di Indonesia. Penentangan HMI terhadap Nasakom, membuat ”berang” Soekarno dan PKI. Dengan perstiwa ini HMI harus dibubarkan atas desakan CGMI (organisasi mahasiswa mantel PKI), namun dengan upaya keras dari tokoh-tokoh HMI serta adanya dukungan dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al-Irsyad, HMI masih bisa bertahan paling tidak hingga tahun 1985, sebelum tragedi Asas Tunggal Pancasila yang didengungkan Soeharto (Riezky;1996;15). Kedua, Soeharto menganggap HMI sebagai ancaman terhadap kekuasaannya. Hal ini disebabkan dua hal ; (1) HMI berkembang menjadi organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia yang memiliki anggota sebesar 150 ribu orang (Agus Salim Sitompul; 242), realitas demikian menjadikan HMI sebagai kekuatan politik yang patut diperhitungkan Soeharto, sehingga menyulitkannya untuk melakukan ”kontrol” terhadap elemen gerakan mahasiswa, karena pluralitas gerakan sebagian besar kampus terkemuka dikuasai oleh HMI. (2) HMI menjadi salah satu gerakan yang aktif memotori gerakan-gerakan yang sangat membahayakan eksistensi Soeharto.
Menurut Awalil Riezky (2007:12), untuk membubarkan HMI agar tidak menjadi gerakan mahasiswa yang mengancam. Soeharto tidak melakukan dengan cara represif, tetapi dengan cara yang persuasif politis. Cara ini[3] cukup berhasil melumpuhkan elemen kekuatan masyarakat dengan pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila tanpa kecuali.
Dalam beberapa data yang bisa dipertanggungjawabkan yang dimiliki HMI MPO, disebutkan strategi Soeharto untuk menjadikan HMI lumpuh dapat dirunut sejak Kongres HMI ke-16 di Padang. Kongres ini menjadi saksi awal hancurnya HMI, aksi saling pecat dan boikot menandai hari-hari menjelang Kongres ke-16 yang berlangsung dari tanggal 24-31 Maret 1985. Saat seperti inilah sebuah lembaga baru yang disebut Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) berdiri pada tanggal 23 Maret 1985 dan menyebut diri secara resmi mengambil alih kantor Pengurus Besar di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Menurut MS. Kaaban, SE (Ketua Umum HMI Cabang Jakarta 1985-1986) mengungkapkan :
” Lahirnya badan sementara itu dipelopori sembilan cabang, antara lain empat cabang penting dari kota mahasiswa terkemuka seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, dan Ujung Pandang. Selain berupaya menduduki kantor pusat, Kamis malam pekan lalu --23 Maret 1985--, mereka juga mengeluarkan pernyataan keras untuk tidak mengakui kepemimpinan ketua umum Harry Azhar Azis hasil pilihan Kongres ke-15 Medan (1983), dan menghimbau cabang lain agar memboikot Kongres Padang dan mempersiapkan kongres tandingan”.

         Sikap itu diambil sebagai protes keras atas inkonsistensi Harri Azhar Azis, di mana sebelumnya ia adalah tokoh HMI yang menolak diberlakukannya Asas Tunggal Pancasila di tubuh HMI. Sikap arogannya tersebut dilakukan dengan memecat beberapa pengurus cabang di Jatim yang bersedia menerima asas Pancasila (Tempo, 1985). Namun, awal April tahun 1984 sikap di atas berubah. Lewat sidang Majelis Pekerja Kongres (MPK), tokoh HMI tersebut mensponsori rancangan perubahan Anggaran Dasar HMI. Dengan ”Menetapkan Organisasi tertua dan terbesar ini berasaskan Pancasila”. Adapun Islam ditetapkan sebagai Sumber Nilai dan Norma. Hasil sidang 1-7 April 1985 di Ciloto itu bahkan diumumkan pada 10 April 1985 dikediaman Prof. Drs. Laferan Pane (tokoh pendiri HMI), di Yogyakarta. Inilah kutipan pidato Harri Azhar Azis dalam pengumuman Asas Pancasila bagi HMI :
” Saya sengaja mengumumkan ini di kota tempat lahirnya HMI sebagai simbol bahwa HMI yang sekarang masih tetap HMI yang dulu yang dilahirkan di Jogja. Dan istilah yang digunakan adalah ”menetapkan” bukan ”menerima”, karena ”menerima” berkonotasi seakan HMI pernah menolak Pancasila. Padahal sejak Kongres HMI di Palembang tahun 1971, Pancasila telah tercantum dalam mukadimah HMI, bahkan ketika HMI diketuai oleh Dahlan Ranuwihardjo, SH (1953) secara organisatoris mendukung Pancasila, padahal waktu itu tengah terjadi perdebatan di Konstituante tentang Dasar Negara --Islam atau Pancasila--”. (Majalah Tempo, Edisi 09 Maret 1986).
 Konflik internal terus terjadi, hingga diadakan Simposium Pengembangan Organisasi Tingkat Nasional diskusi pada tanggal 13-17 Desember 1985 di Wisma Paradise, Mataram,. Dalam simposium tersebut sebagai pembicara adalah Dahlan Ranuwihardjo, Nurcholis Madjid, Tawang Alun, dan Ridwan Saidi. Dalam diskusi itu terjadi perdebatan yang meruncing ke arah perselisihan antara ”kubu” yang menolak dan yang menerima Asas Tunggal Pancasila (Kompas, Edisi 09 Maret 1986). Tindak lanjut dari konflik dengan pemboikotan 8 Cabang.[4] HMI terhadap kongres Padang dan tidak mengakui kepemimpinan HMI, dan menyerukan HMI sementara dalam masa transisi di bawah Majelis Penyelamat Organisasi (MPO). Selanjutnya Kongres HMI MPO di Yogyakarta 25 September 1986 berhasil memilih Ketua Umum Eggie Sudjana, SH (Cabang Jakarta) serta Sekretaris Jenderalnya Ir. M. Nuski Zetka (Cabang Purwokerto). Sejak saat itu, organisasi HMI terpecah menjadi HMI MPO dan HMI Diponegoro (HMI yang menerima Asas Tunggal Pancasila). 

2. Karakteristik Organisasi HMI MPO 
Secara konstitusi (AD/ART HMI;2005), HMI MPO mengenal tiga bentuk struktur yang masing-masing memiliki fungsi dalam memainkan mekanisme organisasi ini, yakni (1) struktur kekuasaan (2) struktur pimpinan dan (3) struktur konseling dan peradilan. Struktur kekuasaan HMI MPO dibagi menjadi tiga yakni: Kongres, yaitu struktur kekuasaan tertinggi di HMI MPO, di mana dalam institusi ini  berbagai persoalan dan hal-hal  terpenting dalam organisasi ini dipecahkan, dibahas dan ditetapkan. Fungsi dari Kongres itu sendiri adalah ; mengkaji ulang konstitusi HMI MPO dan menetapkannya; membahas segala permasalahan HMI. Menentukan garis besar program HMI MPO satu periode ke depan lewat Program Kerja Nasional, yang harus menjadi rujukan institusi kekuasaan di bawahnya. 
Konferensi Cabang, merupakan struktur kekuasaan HMI MPO di tingkat cabang, memiliki fungsi: membahas segala persoalan HMI MPO dan masyarakat di tingkat cabang untuk ditetapkan dalam rekomendasi cabang; menetapkan garis-garis besar program kerja cabang, memilih dan meminta pertanggungjawaban ketua umum cabang beserta perangkatnya. Rapat Anggota Komisariat, merupakan struktur kekuasaan dasar di tingkat komisariat, memiliki fungsi ; membahas persoalan-persoalan HMI MPO dan masyarakat di tingkat komisariat untuk dicarikan solusi dan ditetapkan sebagai rekomendasi.
Struktur pimpinan HMI/pengurus fungsional terdiri dari ; pertama, Pengurus Besar HMI MPO yang terdiri dari perangkat Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, para Ketua Komisi dan Lembaga-Lembaga Pembantu Pimpinan serta Pusat Arsip Nasional. Perangkat ini merupakan penyempurna dari alat kelengkapan sebelumnya (hasil Kongres Semarang tahun 2003) yang disempurnakan dalam forum Kongres di Palu, Sulawesi Tengah, 12-19 Agustus 2005. Masa kepengurusan struktur Pengurus Besar adalah 2 tahun periode kepengurusan.
Sementara lembaga-lembaga di HMI MPO terdiri dari lembaga khusus dan lembaga kekaryaan. Lembaga khusus yang berkembang saat ini terdiri dari Korp Pengader Nasional yang dipimpin oleh seorang koordinator nasional yang dibantu perangkat-perangkatnya dan Korp HMI-Wati (Kohati) yang juga dipimpin oleh seorang koodinator nasional. Sedangkan lembaga kekaryaan yang tetap eksis adalah : Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI), Lembaga Penelitian Mahasiswa Islam (LaPELMI), Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI), Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI), Lembaga Seni Mahasiswa Islam (LemSeMI),  yang kesemuanya dipimpin oleh seorang Direktur yang dibantu oleh perangkat-perangkatnya yang dibentuk langsung oleh Direktur sesuai dengan kebutuhan di lembanya. 
3. Persepsi Politik HMI MPO Purwokerto terhadap Rezim Transisi Habibie atas Relasinya dengan Rakyat 
Pemahaman ke Islaman HMI MPO menjadi salah satu dasar persepsi terhadap penguasa yang bersumber pada Khittah Perjuangan HMI, terutama tentang kepemimpinan, yang lekat kaitannya dengan penguasa dapat dirunut dalam Wawasan Sosial Islam. Pemahaman tersebut di antaranya adalah : pertama, ada tanggung jawab yang dibebankan kepada penguasa, hingga amanah yang berat tersebut tidak hanya dipertanggungjawabkan pada rakyatnya, namun juga kepada Allah. Jika ada nuansa demokrasi di sana, maka hal tersebut lebih bersifat kemiripan teknis dengan konsep dalam peradaban lain. Pertanggungjawaban mutlak adalah pada Allah, sedangkan pertanggungjawaban kepada rakyat bersifat teknis dengan berbatas pada kesepakatan sosial sejauh bersesuaian dengan ” konsep Islam”. Kedua, dari sisi yang dipimpin (rakyatnya) diperlukan loyalitas penuh sebatas dalam kerangka konsep di atas. Pengkhianatan keduanya adalah sesuatu yang tidak termaafkan. Jadi, bukan perihal bagaimana pemimpin menyenangkan yang dipimpin, apalagi untuk menindasnya. HMI MPO berpandangan saat kepemimpinan Soeharto dan Habibie kebijakan pemerintah bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam di atas yakni, tentang keadilan hukum, kejujuran (tidak korup dan tidak membohongi publik), tidak dholim (terjauh dari despotism dan fasism) dan prinsip-prinsip kemanusiaan lainnya.
Cara pandang HMI MPO juga tidak hanya dipengaruhi oleh Khittah, namun dinamika dan pergulatan intelektual yang sangat kental di HMI. Tidak hanya mengkaji ilmu pengetahuan mutakhir dan masalah-masalah sosial secara radikal, namun membedah pemahaman Islam selama ini yang dianggap didominasi oleh sekte atau alur pemikiran mazhab tertentu.
Sikap pertentangan HMI MPO dengan penguasa dengan menggunakan perspektif Islam sebagai metode perlawanan terhadap sistem zalim. Islamisasi ilmu mutlak diperlukan dalam analisis ini. Misalnya analisis tentang keburukan pemerintahan Habibie, parameternya tidak selalu dihadapkan dengan Qur’an atau Hadits dan Khittah, namun lebih kepada manifest Qur’an Hadits yang kemudian mereka baca dalam fenomena kontemporer saat ini. mereka mengkajinya tentang kelemahan kepemimpinan Habibie. Pengkajian seperti ini tidaklah gampang dan sederhana, karena ketika kita mengkaji negara, jelas tidak bisa dipisahkan dengan konsepsi rakyat, keadilan, kebijakan, kesejahteraan, dunia internasional dengan tetek bengek modernismenya dan item-item kajian lainnya yang berkaitan. 
Selain berangkat dari pemahaman ke-Islaman, HMI MPO belum bisa menentukan arah gerakan mahasiswa yang menganggap Habibie adalah ”kepanjangan tangan” Soeharto. Kelemahan ini secara spontan menganggap bahwa rezim transisi ini setali tiga uang dengan Soeharto, walaupun belum adanya pembuktian yang meyakinkan. Sebenarnya Habibie tidak ada pengakuan yang kuat (lemahnya legitimasi) dari lapisan masyarakat, bahwa rezim ini ”bersih” dan mampu mengatasi berbagai persoalan masyarakat. Selain itu kekhawatiran HMI MPO masih bercokolnya antek-antek Orba lewat kabinet yang dibuktikan dengan ketidakkompakkan dan lambannya pemerintah dalam mengatasi berbagai krisis negeri ini. Yang terjadi pemerintah semakin represif dan militeristik dalam mengatasi berbagai gejolak yang disebabkan oleh ketidakpuasan kinerja pemerintah.
Menurut Eep S Fatah (1999;23): empat penyebab mengapa pemerintahan Habibie selalu dinilai salah oleh masyarakat : pertama, lemahnya legitimasi Habibie ketika diangkat sebagai presiden, karena dia hanya mendapatkan ”limpahan jabatan” dari presiden yang dianggap gagal. Kedua, ketidakkompakkan pemerintahan ini dalam memecahkan persoalan-persoalan yang maha berat dalam waktu yang relatif sempit apalagi dalam saat-saat yang ditargetkan oleh elemen kekuatan masyarakat tuntutan mereka tidak kunjung terkabul. Ketiga, lemahnya diplomasi pemerintah di mata internasional yang salah satunya menyebabkan lepasnya Timor-Timur dari NKRI. Keempat, tidak mampunya kepemimpinan nasional memegang kendali terhadap penyelesaian berbagai gejolak politik yang menyebabkan jatuhnya korban di berbagai elemen, terutama sipil maupun militer karena penanganannya yang represif.
Serentetan aksi dan kepemimpinan politik Habibie yang menyebabkan justifikasi  HMI MPO terutama lewat lambannya pemerintahan ini dalam melakukan perubahan untuk krisis di berbagai dimensi kehidupan, kekecewaan masyarakat yang termanifestasi lewat aksi-aksi massa malah disambut dengan represif aparat. Dari serentetan aksi-aksi politik dan kepemimpinan Habibie, HMI MPO dengan tegas menolak eksistensi rezim ini, yang dianggap sebagai rezim yang paling represif setelah Soeharto. Persepsi ini cukup seragam di antara mereka  dan menjadi manifesto umum HMI MPO saat itu, yang mengharuskan menolak dua moment hajatan politik penting yang diharapkan banyak kalangan mampu mengatasi krisis, yakni Sidang Istimewa MPR (12-15 November 1998) dan Tolak Pemilu 1999.
Sementara dalam pemahaman Syaikhul Islam Imam Al-Ghazali dalam Surwandono (2001:72) membuat pemilahan kualitas pemimpin dalam :
1.  Khalifah, yakni kepala negara yang memenuhi syarat yang telah ditetapkan ’ulama. Kepala negara seperti inilah yang wajib ditaati rakyat yang kemudian dinamakannya dengan Imam A’zham atau amirul mukminin.
2.  Imam dlarury, ialah kepala negara yang tidak memenuhi segala syarat yang diperlukan, baik mengenai pemilihannya ataupun mengenai sifat-sifat yang ada pada dirinya. Kedudukan sebagai kepala negara harus diakui dan wajib ditaati demi keutuhan persatuan umat dan keselamatan negara yang dalam keadaan darurat. Sehingga kepala negara ini mendapat sebutan khalifah dlarurah.
3.  Wali bis syaukah, kepala negara yang merebut kekuasaan dengan kekerasan, bukan dengan pilihan. Gelar yang diberikan kepadanya adalah sultan, amir, al-umara, salthan us salatin.
4.  Zua syaukah, ialah kepala negara yang tidak memenuhi syarat dan mendapat limpahan kekuasaan dari ayah atau kerabatnya yang dhalim dan berkuasa atas sebuah negara yang bukan negara Islam. Terhadap penguasa ini umat Islam disuruh mentaatinya selama ia tidak melanggar hukum-hukum Islam. Pembagian seperti ini disepakati oleh ’ulama Sunni. Kalau kita tinjau dari pemetaannya Al-Ghazali persepsi HMI MPO mengidentikkan rezim Habibie sebagai Zua Syaukah, yakni kepala negara yang tidak kapabel dalam hal kualifikasi kepemimpinannya serta tidak memenuhi syarat berkuasa (non legitimate) dan hanya mendapat limpahan kekuasaan dari pendahulunya yang dhalim serta ternyata tidak cenderung mampu mengatasi pergolakan negara, sehingga sah untuk ditentang. Untuk memberikan penjelasan yang lebih mendalam tentang pemilahan khalifah, maka Al-Ghazali dalam Muhammad Imarah (1980:129) mengemukakan pikiran lanjutannya yakni : pertama, sesungguhnya keberesan agama tidaklah tercapai kalau dunianya tidak beres, sedangkan keberesan dunia tergantung dari adanya kepala negara yang ditaati. Kedua, ketentraman dunia dan keselamatan jiwa dan harta hanyalah dapat diatur dengan adanya kepala negara yang ditaati. Pembangkangan terhadap kepala negara yang adil sangat berat hukumannya. Sebagai bughat (pembangkang) penguasa boleh memberikan hukuman dunia seberat-beratnya.

Dominasi Rezim Habibie terhadap Elemen Kekuatan Rakyat dan Gerakan Counter State.
Penggunaan cara yang represif dan militeristik untuk mengatasi pergolakan masyarakat dalam memulihkan kondisi krisis negara ini, dianggap sebagai salah satu ciri hegemonisasi rezim ini. Ketidakpuasan masyarakat termanifestasi dalam aksi massa yang disikapi secara represif dan membuahkan korban jiwa cukup besar. Peristiwa Semanggi Jakarta Pusat seharusnya tidak memakan banyak korban jiwa, kalau pemerintah cukup akomodatif dan kooperatif dengan gerakan reformasi oleh masyarakat. Harus diakui, seperti yang diuraikan oleh Eep S. Patah dalam Thamrin Sonata (1998;18) mahasiswa hanyalah menginginkan bahwa reformasi jangan sampai diracuni oleh kepentingan politik  rezim lama (the old regime) untuk kembali memancangkan kekuasaannya. Maka, momentum Sidang Istimewa 1998 sangat strategis untuk bisa menjadi solusi persoalan di atas. Hegemonisasi Habibie dijalankan lewat upaya polarisasi elemen kekuatan masyarakat, termasuk di antaranya mahasiswa. Hal ini bisa dipahami, karena Habibie mendapatkan tantangan berat yang dituduh sebagai ”Pemerintahan Topeng” Soeharto.
Kondisi di atas kemudian lambat laun berhasil mempolarisasi gerakan masyarakat pada dua gerakan utama yakni : (1) Gerakan Anti Orde Baru yang tumbuh dari kalangan aktivis gerakan mahasiswa yang sudah membangun perlawanan politik sejak akhir 1980-an, (2) Gerakan Koreksi Orba yang muncul dari kalangan lembaga resmi mahasiswa intra kampus, dan Islam Kanan seperti Muhammadiyah, dan Ormas-ormas besar lainnya. Gerakan ini baru aktif ke permukaan relatif serentak dan massif sejak krisis ekonomi dan politik pada awal 1998. Kelompok ini sering menyebut dirinya sebagai ”gerakan moral”. (Muridan S. Widjoyo, dkk, 2000).

Tabel 1. Isu-Isu yang Diusung dan Manifestasi Gerakan
Gerakan Anti Orde Baru
Gerakan Koreksi Orde Baru
Ø  Isu Progresif dan radikal : Tolak Pemilu semu, DFA[6], paket 5 UU Politik, SI MPR 1998;
Ø  Mengajak rakyat untuk perubahan
Ø  Gerakan mahasiswa bersama rakyat
Ø  Mahasiswa adalah bagian rakyat
Ø  Percaya pada kemampuan rakyat
Ø  Aliansi dengan petani, buruh, dan kaum miskin kota
Ø  Aksi di luar kampus
Ø  Emansipatoris
Ø  Bentrok adalah bagian dari strategi
Ø  Isu korektif ; hapuskan KKN, tuntut pemerintahan bersih dan berwibawa.
Ø  Menuntut pemerintahan untuk perbaikan
Ø  Gerakannya murni mahasiswa
Ø  Mahasiswa refresentasi rakyat
Ø  Tidak percaya kemampuan rakyat
Ø  Aliansi dengan intelektual kampus dan elit politik
Ø  Aksi dalam kampus
Ø  Kritisisme
Ø  Bentrok adalah sebuah kecelakaan
Sumber : Buku Oposisi Abadi, diterbitkan FA-MPR,).

Dari dua kekuatan gerakan mahasiswa yang dipetakan di atas posisi HMI MPO lebih pada tendensi Gerakan Anti Orba dan Antek-anteknya, termasuk anti terhadap Rezim Habibie. Pemahaman ini sebenarnya bisa dipahami, jikalau kita menelusuri gerakan HMI MPO di tahun 1980-an yang sangat anti terhadap Rezim Orba. Di mata HMI MPO Orba harus ”dilikuidasi”. Hal ini menjelaskan mengapa HMI MPO termasuk elemen yang menolak keras Sidang Istimewa 1998 yang masih diisi oleh elit-elit legislatif dan eksekutif Orba dan terutama masih ditopang oleh perundang-undangan yang juga ciptaan Orba.
Menurut Thamrin Sonata (1998:2) dikatakan bahwa satu di antara pemicu api dalam sekam itu, boleh jadi setelah hadirnya para pengaman SI sukarela yang dikenal Pam Swakarsa. Prajurit Pam Swakarsa yang jumlahnya mencapai puluhan ribu ini dipersenjatai tongkat dan bambu runcing dalam mengamankan jalannya sidang. Tentu saja hal ini rawan menimbulkan ”perang” antar sipil antara Pam Swakarsa di satu pihak dan mahasiswa beserta masyarakat umum di pihak lain. Selain itu, hegemonisasi Habibie dilakukan dengan menghimpun para cendekiawan muslim seperti Nurcholis Madjid, Amien Rais, Dawam Raharjo, Johan Efendi dan lainnya lewat pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Dibentuknya ICMI ini secara politik merupakan permainan Habibie yang mendapat tekanan kuat dari berbagai elemen. Habibie ingin memanfaatkan tokoh-tokoh Islam tersebut untuk menjustifikasi segala langkah politik Habibie. Misalnya tokoh-tokoh ICMI dan Habibi berkilah bahwa ketika lepasnya Timor-Timur dari NKR sudah sesuai dengan koridor demokrasi dan HAM yakni dengan adanya referendum masyarakat Timor saat itu.
Selain hegemonisasi di atas, aksi-aksi politik dan kepemimpinan Habibie melakukan ketiadakpastian hukum, atas sejumlah kasus besar terhadap peradilan Soeharto dan pelanggaran HAM berat dalam kasus Trisakti. Hegemonisasi Habibie, jika dimaksukkan model tingkatan hegemoni yang diungkap Gramsci  (Hendarto, 1993:82-84). Habibie memiliki kecenderungan masuk dalam tingkatan hegemoni minimum (minimal hegemony) di mana hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis elit politis (ABRI/Militer) dan intelektual (lewat ICMI) yang berlangsung bersamaan dengan apolitisnya massa dalam hidup bernegara. Dengan demikian, rezim Habibie sulit menyesuaikan kepentingan militer dan para kalangan intelektual yang bergabung dalam ICMI dengan kepentingan riil masyarakat yang penuh dengan krisis warisan Soeharto.
Secara konseptual pertentangan antara hegemoni negara dengan counter hegemony seperti diungkap di atas akan terus-menerus terjadi dalam gejala politik sebuah negara lewat konsep hegemony dan counter hegemony dari Antonio Gramsci tentang hegemoni kepemimpinan dominan dan Counter Hegemony Kepemimpinan Intelektual. Sebagai mana telah dibahas dalam tinjauan pustaka, Gramsci membagi masyarakat dalam dua kelompok yang saling pengaruh dan mempengaruhi yakni Kepemimpinan Dominasi dan Kepemimpinan Intelektual.
Kelompok yang pertama yakni Kepemimpinan Dominasi (dominance) memiliki kecenderungan untuk mendominasi dan menghegemoni masyarakat dalam upaya untuk mempertahankan kekuasaanya dari pihak-pihak yang kontra secara politik. Kelompok ini secara cukup baik diwakili oleh rezim Habibie dan kroninya. Sedangkan kelompok yang satunya lagi adalah Kepemimpinan intelektual yang memiliki naluri selalu kontra terhadap rezim dan selalu melawan upaya hegemonisasi Kepemimpinan Dominasi. Kelompok ini dalam dalam bahasan ini direpresentasikan kelompok semisal HMI MPO ini yang merasa terpanggil oleh ketidakadilan yang diderita masyarakat. Asumsi dasar kritis HMI MPO dari golongan intelektual yang Gramsci sebut sebagai organic-intelectuals mengharuskan pemimpin politik melibatkan masyarakat dalam hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan yang berlaku umum untuk masyarakat. Padahal hal tersebut merupakan sesuatu yang dianggap akan mempersulit proses pembangunan dan memperlemah stabilitas negara dalam perspektif penguasa.
Ruling elite condition merupakan sesuatu yang menarik dikaji dalam konteks ambisi politik suatu gerakan. Gerakan kritis yang ujungnya merebut atau menggantikan kekuasaan biasanya dilakukan oleh para kelompok pejuang politik praktis yang percaya bahwa perbaikan sistem harus dilakukan dengan menggantikan aktornya. Namun, gerakan mahasiswa sebagian besar tidak memiliki pretensi menggantikan kekuasaan, walaupun ada sebagian kecil yang memiliki obsesi ke arah kekuasaan.
Kaitannya dengan ruling elite condition ada yang menarik dari deskripsi penelitian di atas, di mana salah satu informan dari luar HMI MPO mengurai saat-saat detik akhir pemindahan kekuasaan dari Rezim Soeharto ke Habibie. Pihak-pihak yang kritis ”menyerang” Habibie, posisi Habibie saat itu didesak oleh tiga kekuatan politik, dua kekuatan politik sangat jelas menginginkan kekuasaan eksekutif. Mereka adalah Kelompok Islam Politik yang sering diidentifikasi sebagai ”Gerakan Kanan” yang di dalamnya ada ICMI, HMI (Dipo), Kahmi, KAMMI dengan tokoh-tokohnya semacam Amien Rais, Nur Mahmudi dan lainnya yang juga dilindungi veteran militer seperti Faisal Tanjung, Edi Sudrajat, dan Tri Soetrisno. Sedangkan di pihak lain ada ”Kelompok Kiri” yang direpresentasikan oleh Partai Sosialis Indonesia (New PSI), Partai Rakyat Demokrat dan lainnya dengan tokoh-tokoh suporternya semacam Faisal Basri, DR. Syahrir, Hariman Siregar dan lainnya. Kelompok ini juga didukung oleh petinggi-petinggi militer semacam Syafri Syamsudin dan Syamsir Siregar. Kedua kelompok ini menginginkan kekuasaan RI 1. Dan ketiga, kelompok Mahasiswa (PMII, HMI MPO, GMNI, dan keseluruhan gerakan mahasiswa yang tidak tersebut di atas, NU dan sejumlah Ormas lainnya) yang mengkritisi berbagai hegemonisasi Rezim Habibie tanpa pretensi menginginkan kekuasaan. Pemetaan HMI MPO sebagai salah satu kekuatan masyarakat yang senantiasa kritis terhadap rezim seperti ulasan di atas boleh jadi merupakan manifestasi dari bentuk konsistensi gerakan sejak tragedi Asas Tunggal Pancasila. Selain itu juga karakter kuat mahasiswa yang punya motivasi kuat dalam melawan setiap ketidakadilan di lingkungannya menjadikan gerakan ini sulit untuk ditumpangi kelompok kepentingan tertentu.
Untuk membendung hegemonisasi di atas, HMI MPO melakukan strategi-strategi gerakan. Bicara strategi gerakan ada dua tipe yang umum dalam gerakan sosial yakni : pertama protest politics, strategi untuk memobilisasikan dukungan dengan jalan mengorganisir protes di ruang public. Kedua information politics, mengumpulkan dan menyebarkan informasi yang secara strategis bisa mempengaruhi pendapat umum.
Dalam kasus HMI MPO, gerakan HMI MPO dapat dikatakan mencakup kedua tipe tersebut, sebab kelompok ini cukup masif dalam melakukan gerakan baik yang sifatnya mobilisasi protes di ruang publik melalui demonstrasi, atau aksi lainnya, maupun menyampaian informasi dalam upaya mempengaruhi pendapat umum. Secara garis besar strategi mereka dilakukan dengan menjadikan HMI MPO sebagai centrum gerakan perlawanan rezim dan gerakan political pressure dipastikan sangat memadai bagi sebuah organisasi mapan seperti MPO untuk mampu mengoperasikan peran-peran strategis dalam upaya mengawal hegemoni rezim. HMI MPO yang penulis identikkan sebagai para intelektual organik diadopsi dari Gramsci, wilayah garapnya meliputi dua garap utama dan satu cara pemassifan (pembumian) daya indegeniuositasnya. Garapan pertama adalah penguatan wacana, yang di dalamnya bisa teori, pembacaan realitas politik dan isu-isu lainnya sehingga masyarakat tidak mudah untuk dibodohi begitu saja. Garapan kedua, melakukan aksi nyata dari penguatan wacana tersebut, baik lewat aksi massa, pemberdayaan buruh tani, kaum miskin, anak jalanan dan masyarakat lainnya yang membutuhkan ”uluran tangan” yang cenderung dibiarkan oleh dominasi penguasa. Dua garapan umum tersebut akan terlaksana jika ada konsolidasi di semua elemen kekuatan masyarakat.
HMI MPO terkenal keras dalam mengusung ide-ide yang tidak kooperatif di mata penguasa kala itu. Dengan menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan menghilangkan sejumlah kursi 38 di DPR bagi TNI dan Polri, amandemen UUD 1945,  Adili Soeharto, Otonomi Daerah, Turunkan Harga Pupuk, Naikkan Upah Guru, Hentikan Kekerasan terhadap Warga Sipil, Usut Kasus Trisakti dan Semanggi, Hargai Aspirasi Politik Perempuan dan lain-lain. Itu semua mereka lakukan menggunakan baju Forum Komunikasi Mahasiswa Muslim Indonesia (FKMI) dan Majelis Reformasi Total (MRT).
Namun, dari semua tuntutan di atas yang paling baru dan mungkin bagi sebagian besar masyarakat dan gerakan mahasiswa kontroversi adalah menolak hasil Pemilu 1999. Dalam LPJ Bidang PT/K tahun 1999-2001, bahwa alasannya adalah : pertama,  realitas saat itu adalah transisi dari kultur budaya politik Orba ke arah Reformasi. Masa transisi ini sangat rawan akan kembali ke masa sebelumnya. Pemilu sangat rawan dijadikan momen ”pertarungan”  antara The Old Regime dengan para Power of Reform (kekuatan pembaharu), dan fakta terkuat saat itu kekuatan The Old Regime masih terlalu kuat bertahan dan bercokol lewat rezim penyelenggara pemilu. Kedua, Pemerintah Habibie seharusnya menyiapkan pra kondisi yang matang, sebelum Pemilu. Masih banyak persoalan rakyat yang lebih penting dibandingkan Pemilu yang prematur. Ketiga, pemilu bukan satu-satunya mekanisme yang dijadikan alasan untuk mempercepat proses solusi terhadap berbagai persoalan masyarakat.

Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan dapat diambil suatu kesimpulan persepsi politik HMI MPO terhadap pemeritahan Habibie sebagai ”kepanjangan rezim Soeharto”, penguasa dengan sindrom otoriter dari Soeharto. HMI MPO Purwokerto sebagai bagian tak terpisahkan dari HMI itu sendiri memandang Habibie tidak kapabel dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa dan cenderung represif. Selain itu juga langkah-langkah politik rezim ini dinilainya banyak yang kontraproduktif bagi Indonesia itu sendiri, seperti kasus Timor-Timur. Merebaknya isu SARA seperti Kasus Ambon dan Poso. Persepsi tersebut dipengaruhi oleh faktor internal berupa pengalaman, latar belakang ke-Islaman serta kemampuan berfikir kader-kader HMI MPO. Faktor eksternal hasil pembacaan realitas politik kontemporer terhadap berbagai langkah politik Habibie yang kontraproduktif bagi rakyat.
HMI MPO melihat dominasi yang represif Habibie terhadap elemen kekuatan rakyat dilakukan lewat langkah-langkah politisnya, sedangkan kebijakan-kebijakannya kurang terbidik oleh organisasi ini. Selain dominatif, rezim ini juga dianggap tidak cakap dalam mengatasai persoalan mendesak yakni : (1) represif dan militeristik dalam memecahkan berbagai persoalan bangsa, semisal pembantaian masyarakat dan mahasiswa pada Tragedi Semanggi II ; (2) memecah-belah kekuatan elemen masyarakat, terutama saat-saat sebelum SI MPR tahun 1998 dengan mempertentang Gerakan Anti Orba dan Gerakan Koreksi Orba, selain itu juga adanya Pam Swakarsa dalam upaya pengamanan SI MPR 1998; (3) rezim ini melakukan pembiaran atas ketidakpastian hukum, terutama pada sejumlah kasus besar semisal peradilan Soeharto dan pelanggaran HAM berat dalam Kasus Trisakti, yang keduanya nota bene salah satu yang terpenting dalam Amanah Gerakan Reformasi Mei 1998.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Mandary, Syafinuddin, 2002, HMI MPO dan Transformasi Sosial, Penerbit Hijau-Hitam, Jakarta.

Bell, Daniel, 1999, Matinya Ideologi, Cet II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Fatah, Eep Saefullah, 1999, Membangun Oposisi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
____________, 1999, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Gaffar, Afan, 2005, Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi,  Cet V, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.

Gramsci, Antonio, 2001, Catatan-Catatan Politik, Pustaka Promethea, Surabaya.

Hendarto, Heru, 1993, Mengenal Konsep Hegemoni Gramsci : dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Gramedia, Jakarta.

Hikam, M, AS, 1996, Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, Jakarta.

Imarah, Muhammad, 1980, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Al-Ghazali, Bulan Bintang, Jakarta.

Karim, M Rusli, 1997, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Mizan, Bandung.

---------------- dan Rizal F, 1991, Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan, Cet I, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Maliki, Zainuddin, 2002, Birokrasi Militer dan Partai Politik dalam Negara Transisi, Galang Press, Yogyakarta.

Moleong, Lexi J, 1989, Metode Penelitian Kualitatif,  PT Erlangga, Jakarta.

Ng, Al-Zastrouw, 1998, Reformasi Pemikiran : Respon Kontemplatif  terhadap Persoalan Kehidupan dan Budaya,  LKPSM,  Jakarta.

Noor, Deliar, 2001, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Cetakan VII, Mizan, Bandung.

Patria, Nezar dan Andi Arief, 1999, Antonio Gramsci : Negara dan Hegemoni,  Cet I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Purwo, Sunaryo Sumitro, tanpa tahun, Oposisi Abadi : Teologi Pemberontakan Kaum Muda, Bigraf Publising, Yogyakarta.

Putra, Fadillah, 2001, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Riezky, Awalil, 1996, Dinamika Sejarah HMI, Badko. Jawa Bagian Tengah, Yogyakarta.

-------------------, 2006, HMI MPO dalam Transisi, PB HMI, Jakarta.

Rodee, Clymer Carlton, dkk, 2000, Pengantar Ilmu Politik, Cet IV,  Raja Grafindo Utama, Jakarta.

Sanit, Arbi, 1999, Pergolakan Mahasiswa Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sargent, Lyman Tower, 1987, Ideologi-ideologi Politik Kontemporer : Sebuah Analisis Komparatif, Cet V, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Simon, Roger, 1999, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Pustaka Pelajar dan Insist, Yogyakarta.

Sitompul, Agussalim, 1986, HMI dan Perannya bagi Negara, Ghalia dan IAIN SUKA Press, Yogyakarta.

Sonata Thamrin, 1998, Tragedi Semanggi : 13 November 1998,  Penerbit Yayasan Pariba, Jakarta.

Sugiono, 1999, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Surwandono, 2001, Pemikiran Politik Islam, LPPI, Yogyakarta.

Toha, Miftah, 1984, Perilaku Organisasi : Konsep Dasar dan Aplikasinya, Rajawali, Jakarta.

­­­­Walgito, Bimo, 1983, Psikologi Sosial, Ghalia, Jakarta.

Sumber lain :      
Anggaran Dasar HMI, tahun 1983-1986, Jakarta.
Anggaran Dasar HMI MPO tahun 2005-2007, Jakarta.
Arsip HMI, Jawaban Harri Azhar Azis terhadap Klaim Buku Putih, 1989, Jakarta
Buku Putih HMI MPO, Jogjakarta, 1987.
Dokumen Pusat Pengendalian dan Gangguan Departemen Sosial DKI Jakarta.
Kumpulan Kliping Pengurus Besar Sementara (PBs) HMI MPO, Jakarta, 1987.
Pengurus Besar HMI periode 2003-2005, Laporan Pertanggungjawaban Pengurus, Palu, 2005.


[1]   UU ini dikemudian hari dikukuhkan kembali dalam TAP MPR No. XX/1996
[2] Tercatat ada tiga organisasi yang saat itu menentang kebijakan Asas Tunggal Pancasila yaitu HMI MPO, Gerakan Pemuda Marhaen dan Pelajar Islam Indonesia. HMI MPO eksistensinya sampai sekarang masih sangat diperhitungkan dalam gerakan mahasiswa Indonesia, sedangkan Pemuda Marhaen telah dibubarkan oleh Rezim Soeharto dan PII saat ini eksistensinya “kembang kempis”.
[3] Sentuhan halus dan politis ini oleh tokoh-tokoh HMI seperti Deliar Noer, Ridwan Saidi dan Abdullah Hehamahua disebutnya sebagai strategi Pukat Harimau untuk mendeskripsikan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan Asas Tunggal Pancasila yang berhasil mempedayai seluruh elemen gerakan masyarakat.
[4] Delapan cabang yang memboikot dan tidak mengakui kepemimpian Harry Azhar Azis adalah HMI Cabang Jogjakarta, Jakarta, Purwokerto, Pekalongan, Bandung, Ujung Pandang, Metro Lampung dan HMI Cabang Tanjungkarang.
[5]  Seluruh Rezim OB baik eksekutif, legislatif dan yudikatif harus dibubarkan dan diganti oleh pemerintahan transisi yang menurut versi Forkot biasa disebut Komite Rakyat Indonesia (KRI) atau dalam versi DRMS dan PRD adalah Dewan Rakyat atau dalam versi HMI MPO adalah Dewan Presidium Nasional.
[6] Muridan S. Widjoyo, dkk, menulis dua gerakan mahasiswa dalam menyikapi jatuhnya pemerintahan Soeharto  yaitu Gerakan Kritik dan Gerakan Anti Orba.

0 komentar:

Post a Comment