Kedai Kopi di Sudut Kota Santri (Antara Ritual dan Transaksi, Part 1)

Nyos…, aliran air yang aku siramkan di atas kepalaku membuat pagi ini terasa bersemangat, pikiranku kembali fokus. Menurut mbah Google mandi setelah begadang ternyata tidak baik bagi kesehatan, karena ketika kita begadang suhu tubuh tidak menurun, kalau mandi, apalagi keramas maka akan terjadi semacam shock, kejutan dalam tubuh kita karena secara spontan dinginnya air akan beradu dengan panasnya suhu tubuh kita, dan tubuh tidak akan menerima perubahan mendadak suhu itu, hasilnya kekebalan tubuh kita menurun kemudian tepar diserang penyakit. Tapi informasi itu tidak mencemaskanku,  sudah beberapa kali aku mandi dan keramas setelah begadang, toh aku masih sehat-sehat saja.    

Gerimis menemani perjalanku pergi ke kantor, seperti biasa aku selalu menyempatkan mampir membeli sorabi, dua potong dimakan ditempat dan sisanya aku bawa ke kantor. Bahkan rekan-rekan kantor sering mengejek ketika aku datang, “sarapan..sarapan.. sorabi haneut..”, ejek mereka.

Tak ada yang berbeda, seperti biasanya rutinitas di kantor diawali dengan proyeksi liputan, setelah itu semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Selesai proyeksi, biasanya aku pulang kembali ke rumah melanjutkan tidur, dan kembali ke kantor jam tiga sore untuk menerima naskah berita dari wartawan lapangan, tapi pagi itu entah kenapa kepala rasanya sangat segar, pikiran jernih sehingga menggerakan tubuh ini untuk selalu terjaga, “ah.. lebih baik browsing internet”, pikirku.

Hampir dua jam buka-buka situs berita, saya mengakhirinya dengan update status Facebook, “energiku meledak-ledak pagi ini”. Tak ada pilihan, daripada menghabiskan waktu dikantor lebih baik “berdedar” diluar saja, siapa tahu dapat kenalan, ha..ha.. terbersit lagi pikiranku akan pasangan hidup, sudah sekian lama aku tak memikirkannya. “ah.. sudahlah, tak ada waktu untuk itu”, timpalku dalam hati. Gerimis sudah mulai reda, matahari tampak malu-malu menyinari bumi. Aku bergegas ke parkiran, melesat meninggalkan kantor tanpa tujuan.  

Dalam perjalan aku tergoda untuk menghabiskan waktu di Mall, tapi hanya niat setengah hati, apa yang aku lakukan di Mall? Paling hanya lihat-lihat etalase barang-barang yang menggoda naluri konsumtif, ada baju, celana, sandal, gadget, jam tangan dan seabrek barang-barang pembangkit syahwat belanja, dan diakhiri dengan perasaan gondok karena apalah daya, terkadang keinginan memiliki barang-barang yang ada di Mall selalu terkendala masalah dompet. Kira-kira itulah bayanganku tentang Mall!.

Dalam pikiran panjang itu, aku ingin menarik garis pembeda, antara megahnya Mall dan alaminya alam. Akhirnya aku putuskan untuk datang ke suatu tempat, sebuah bukit ditengah-tengah sawah dilingkungan tempat tinggalku. Bukit yang kini sebagian sudah rata karena dijadikan pemukiman, dijadikan perumahan. “akan ku segarkan pikiranku disana”, niatku dalam hati sambil melesat dalam laju sepeda motorku.

Dulu ketika aku kecil, bukit ini menjadi tempat menghabiskan hari bersama teman-teman. Diantara rimbunya pohon jati dan pohon arba kami menebar tawa dan canda, bermain perang-perangan, membuat senjata dari pelepah daun pisang, membuat markas dari bambu dan kayu seadanya dengan atap daun pisang atau daun kelapa. 

Saya teringat cerita waktu itu, ketika alam seolah menyediakan fasilitas bermain gratis. Batang pohon arba yang tumbang akibat angin, batangnya secara tidak sengaja menimpa antara bukit dan anak bukit dibawahnya sehingga terbentuk sebuah jembatan kayu arba. Tak disangka, batang pohon arba itu menjadi sarana bermain yang membuat kami “bersenang-senang”. Daun arba yang masih menempel pada batangnya kami jadikan atap saung, batang-batang kecilnya kami jadikan tiang penyangga saung, sampai akhirnya kami simpulkan tempat itu sebagai benteng perlindungan diatas bukit.  Sehingga batang arba itu seolah menjadi jembatan antara benteng diatas bukit  dengan benteng diatas anak bukit. Ha..ha.. aku tertawa geli mengenang masa itu.

Teman masa kecil saya si Yono, berinisiatif untuk membuat bedil lodong. Mungkin anak-anak zaman sekarang tidak tahu apa itu bedil lodong. Batang  awi (bambu) gombong yang diberi lubang diatas dan dibawah, lubang satu disumbat, diberi karbit dan air, disulut dengan api, dan bommmm!, bunyi menggelegar terdengar. Kami kemudian membuat dua lodong, satu untuk saung dibukit atas, dan satu untuk untuk saung diatas anak  bukit. Kami membuat skenario perang-perangan, bukit atas dikuasai oleh lima orang, saya, Yono, Ferri, Luki dan si Farid. Bukit bawah dikuasi oleh enam teman saya yang lain, si Ibo, Uus, Yana, Indra, Yudi dan si Emen. Dan.., bom..bom..bom! bunyi bedil lodong saling bersahutan, seolah kami sedang berperang mempertahankan benteng masing-masing. Bedil lodong diibaratkan meriam-meriam yang terus menyalak!.

Ha..ha..ha.. saya pun teringat kejadian yang hampir mencelakan si Yono, teman yang berinisiatif membuat bedil lodong. Saking semangatnya, dia terlalu banyak mencampur karbit dengan air, ketika disulut dengan api, malah menyembur ke atas, meyambar alis dan rambutnya. Tak dinyana, wajahnya hitam, sebagian alis dan rambutnya gosong. Senjata makan tuan!. Untung saja, semburan itu tidak melukai kulit wajahnya. Karena kejadian itu, kami diwanti-wanti oleh orang tua masing-masing untuk tidak lagi bermain lodong. Tapi yang namanya anak-anak, bandel tetap bandel, esok harinya kami bermain lagi. 

Teman-teman masa kecilku kini tidak tahu lagi rimbanya kemana, sebagian mungkin sudah punya keluarga dan anak. Ada yang merantau ke Jakarta, kalimantan. Sisanya empat orang masih tetap mendiami kampung halaman, berkeluarga, punya anak dan berjibaku dengan kerasnya dan sulitnya mencari penghidupan. Dari ke empat teman, hanya satu yang menjadi sahabat dekat sampai sekarang, ya.. dia adalah Farid teman minum kopi di Kedai Kopi Sederhana.

Kini, suasana permainan alam seperti itu mungkin tidak pernah dialami oleh anak-anak zaman sekarang. Mungkin mereka tidak mengenal bedil lodong, bedil perepet dari pelepah pisang, bedil bambu yang pelurunya dari hanyeli dan dongkal batang kelapa, mobil gokar dari bambu atau tidak pernah berkreasi membuat saung dari pelepah pisang, batang kelapa dan daun kelapa. sarana itu sudah tidak lagi tersedia, pinggiran kota Santri telah berubah, dari bukit dan sawah menjadi ruko dan perumahan. 

Anak-anak zaman sekarang mungkin menghabiskan waktunya dengan Play Station, bermain game di Time Zone, arena permainan di Mall. Mobil gokar dari bambu pamornya hilang karena mobil remote control, bedil perepet dan bedil bambu hilang pamornya oleh senjata mainan keren mirip bentuk aslinya dengan peluru plastik bulat buatan Cina, membuat saung diganti dengan menyusun lego yang dipopulerkan oleh orang Jepang. Anak-anak lebih senang menghabiskan waktunya di arena-arena permainan Mall, bermain Play Station dirumah atau dirental, mengotak-atik BB atau Tablet,  atau bagi keluarga yang berpunya, anak-anak diserahkan kepada lembaga pendidikan usia dini dengan konsep Play Group, grup bermain dengan fasilitas permainan modern berbahan plastik. 

Dulu, 22 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1999, saat usiaku baru enam tahun alam masih menyediakan segalanya untuk bemain, alam tidak meminta bayaran, gratis!. kini semua serba tidak gratis, permainan anak-anak menjadi lahan bisnis yang menjanjikan, anak-anak menjadi pasar meraup keuntungan, semua dikomersilkan, semua menjadi transaksi bernilai ekonomis. (Bersambung). 

Ditulis Oleh : Rino Sundawa Putra, Budayawan.

1 komentar: