Negara "Hampir" Gagal : Studi Kebijakan Transportasi Masal di Indonesia
Oleh : Taufik Nurohman Yusuf
Tulisan ini
bercerita tentang bagaimana negara telah sembarangan dalam membuat sebuah
kebijakan publik tentang masalah transportasi masal di Indonesia. Penulis
mengambil contoh pada kasus kebingungan pemerintah dalam menyelesaikan masalah
Kereta Rel Listrik Ekonomi.
Telah banyak kebijakan maupun strategi-strategi
yang dilakukan oleh negara walaupun semua itu tidak sedikitpun menyelesaikan permasalahan. Sehingga opsi
yang terakhir yang lebih menggambarkan gagalnya pemerintah dalam menyelesaikan
masalah adalah dengan menghapuskan Kereta Rel Listrik Ekonomi. Agak lucu memang
jika saya mengambil sebuah analogi ketika seorang kawan menderita sakit maka
saya harus membunuhnya. Dalam tulisan ini singkat ini sedikitnya membahas bagaimana
sebuah masalah kebijakan hanya dipandang dari kacamata para pembuat kebijakan
tanpa sedikitpun menyentuh mereka yang benar-benar berada di dalam pusaran
masalah tersebut.
Permasalahan
tansportasi merupakan permasalahan publik yang sangat penting untuk dicarikan
solusinya terlebih permasalahan itu timbul di negara yang penduduknya banyak
seperti di Indonesia. Ketika masalah transportasi ini hanya dipandang dari
sudut pandang pasar dan investasi asing maka yang terjadi adalah menambah
masalah baru bagi masyarakat. Dengan jumlah penduduk yang banyak dibutuhkan
sistem transportasi masal yang dikelola dengan baik. Karena masalah
transportasi ini merupakan kebutuhan publik. Publik membutuhkan transportasi
yang nyaman, aman serta murah untuk keperluan mobilitasnya. Salah satu mode
transportasi masal yang banyak digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat
adalah kereta api atau kereta listrik.
Jika melihat dari
dua fungsi dasar negara yakni fungsi regulasi dan fungsi pelayanan, dalam persoalan
transportasi di suatu negara maka negaralah yang seharusnya menjalankan fungsi
tersebut dalam konteks pengaturan dan penyediaan sarana transportasi bagi
masyarakat. Dalam konteks Indonesia, pengembangan mode sarana transportasi yang
tepat sekiranya dapat menyelesaikan berbagai permasalahan transportasi
misalnya, ketika negara mengembangkan sarana transportasi masal dengan baik
dampaknya akan dapat menyelesaikan masalah kemacetan di jalan raya. Jika
dikembangkan dengan baik sarana transportasi masal yang berupa mode
transportasi bus kota misalnya akan berpengaruh pada penyelesaian masalah
kemacetan di suatu kota karena mode transportasi ini akan mengalihkan
masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi menjadi menggunakan bus kota. Hal
ini akan dapat telihat lagi pengaruhnya ketika negara mengembangkan mode
transportasi yang dapat mengangkut masyarakat dalam jumlah yang banyak misalnya
kereta api atau kereta listrik.
Pengembangan mode
transportasi masal tentu saja harus melihat kondisi masyarakat pengguna.
Artinya pengembangan mode transportasi masal ini akan dapat berguna bagi
masyarakat jika memang mode transportasi ini benar-benar dibutuhkan oleh
masyarakat dan masyarakat mempunyai kemudahan untuk mengakses mode transportasi
tersebut. Kemudahan untuk mengakses yang dimaksud dapat dilihat dari beberapa
aspek. Pertama, aspek lokasi. Dalam aspek lokasi ini negara harus benar-benar
memahami dimana lokasi-lokasi yang diinginkan oleh masyarakat adanya pelayanan
transportasi tersebut. Disini artinya negara harus memahami titik konsentrasi
dan daerah-daerah yang masyarakatnya membutuhkan pelayanan transportasi ini.
Negara tidak dapat dengan mudah menempatkan stasiun di suatu tempat atau karena
stasiun tersebut merupakan warisan pemerintah Belanda. Tetapi negara harus melalukan penelitian untuk
melihat sisi kebutuhan masyarakat di titik-titik masa saja masyarakat
membutuhkan pelayanan transportasi tersebut. Kedua, aspek biaya. Transportasi
masal dengan biaya yang murah adalah tipe transportasi yang banyak menjadi
pilihan sebagian besar masyarakat di Indonesia. Hal ini karena secara statistik
sebagian besar masyarakat Indonesia berada di kelas masyarakat menengah ke
bawah. Sehingga transportasi yang murah adalah satu-satunya pilihan yang
diambil oleh masyarakat. Untuk menyelenggarakan transportasi yang murah dan
terjangkau tentu saja membutuhkan peran negara sebagai pelaksanaan fungsi
pelayanan. Jika pengadaan transportasi masal diserahkan kepada swasta maka yang
terjadi adalah masyarakat harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal karena
prinsip dari swasta adalah profit
oriented atau mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Namun sebaliknya jika
dikelola oleh negara akan didapat harga yang lebih murah karena dapat dibantu
dengan subsidi untuk biaya operasionalnya. Pemerintah seharusnya memilih untuk
mengalokasikan subsidinya untuk penyelenggaraan transportasi masal daripada
mensubsidi premium yang banyak salah sasaran dimana yang menikmati subsidi
tersebut adalah kalangan masyarakat kelas menengah keatas.
Kebijakan
penghapusan kereta rel listrik ekonomi (KRL Ekonomi) merupakan kebijakan yang
hanya melihat permasalahan dari sudut pandang para pembuat kebijakan tersebut
yang tidak secara langsung bersentuhan dengan permasalahan yang sesungguhnya. Asumsi
yang dibangun oleh pemerintah melalui PT KAI dalam mengeluarkan kebijakan
penghapusan KRL Ekonomi diantaranya adalah mereka melihat bahwa KRL Ekonomi
sampai pada titik permasalahan transportasi. Artinya keberadaan KRL Ekonomi
merupakan sumber dari masalah transportasi masal. KRL Ekonomi menggambarkan
kesemwrawutan, misalnya penumpang yang tidak mendapatkan tempat duduk sehingga
memaksa mereka untuk duduk di atap
gerbong, masalah kriminalitas yang sering terjadi di dalam gerbong yang
kemudian berujung kepada ketidaknyamanan masyarakat yang menggunakan KRL
Ekonomi tersebut.
Namun dari
asumsi-asumsi tersebut pemerintah telah keliru dalam menyelesaikan masalah yang
menjadi asumsi-asumsi diatas. Permasalahan ini sama seperti ketika para pembuat
kebijakan tentang penanggulangan kemiskinan yang disinggung oleh Nasikun[1]
Menurutnya kenyataan yang terjadi adalah banyak seminar dan diskusi tentang
masalah kemiskinan pada umumnya diselenggarakan di hotel-hotel berbintang, hal
ini barangkali bukan secara kebetulan mengisyaraktkan betapa peliknya upaya
penanggulangan kemiskinan di masyarakat Indonesia. Kenyataan bahwa
seminar-seminar dan diskusi itu hanya dapat diikuti oleh mereka yang membayar
tiket masuk, hal ini secara simbolis betapa banyak program penanggulangan
kemiskinan secara sangat sistematis seringkali justru mendiskriminalisasikan
mereka yang hidup dalam kemiskinan dari peluang untuk menikmati hasil-hasil
pembangunan.
Selain itu
menurutnya, terdapat kenyataan bahwa para pemakalah duduk terhormat di hadapan
para peserta seminar yang barangkali juga mengisyaratkan betapa keterlibatan
kaum intelektual dan para birokrat dalam program-program penanggulangan
kemiskinan seringkali hanya berhasil mengantarkan mereka memasuki “governing circles” tanpa banyak
mempunyai ari bagi nasib mereka yang hidup dalam kemiskinan[2].
Gambaran yang
dikemukakan oleh Nasikun dalam diatas terjadi pada proses pembuatan kebijakan
penghapusan KRL Ekonomi. Para pembuat kebijakan sama sekali melibatkan mereka
yang secara keseharian bersentuhan secara langsung dengan permasalahan ini.
Seperti yang telah sedikit disinggung di atas tentang kesemerawutan penumpang
KRL Ekonomi dipandang oleh pembuat kebijakan sebagai ketidaktertiban dan harus
ditertibkan. Tetapi menurut saya, upaya menghilangkan kondisi tidak tertib di
dalam KRL Ekonomi dengan menghilangkan KRL Ekonominya merupakan langkah yang
sangat tidak tepat. Ini merupakan salah satu bukti bahwa para pembuat kebijakan
tersebut menutup mata, telinga dan pikiran mereka dari perspektif masyarakat
pengguna KRL Ekonomi.
Inti dari
permasalahan kebijakan penghapusan KRL Ekonomi terletak pada ketidakmampuan
negara dalam penyelenggaraan urusan publik dengan baik. Jika alasan yang
menjadi landasan dihapuskannya KRL Ekonomi adalah tidak layak jalannya KRL
Ekonomi maka yang harus dilakukan bukanlah menghapuskan mode transportasi
tersebut tetapi membenahinya sehingga masyarakat masih dapat menikmati mode
transportasi yang dapat terjangkau misalnya dengan memperbaiki armada atau
gerbong-gerbong yang telah ada maupun dengan pengadaan gerbong-gerbong yang
baru. Hal yang paling penting untuk menjadi pertimbangan adalah bahwa yang
paling dibutuhkan oleh masyarakat adalah pelayanan yang terjangkau. Karena
betapa pun pelayanan itu baik tetapi masyarakat harus menjangkaunya dengan
biaya yang mahal dengan kondisi masyarakat Indonesia seperti sekarang ini
memungkinkan pelayanan tersebut tidak akan dapat dinikmati oleh masyarakat.
[1]
Dalam tulisannya yang berjudul “Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam
Perspektif Gerakan Sosial”, dalam Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik.
Purwo Santoso dkk (ed) yang diterbitkan oleh FISIPOL UGM tahun 2004
[2]
ibid
Taufik Nurohman adalah Dosen Ilmu Politik Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UGM, Yogyakarta.
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Situs Resmi FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
0 komentar:
Post a Comment