Belajar dari Kearifan Hidup Masyarakat Adat Kampung Naga
fisip.unsil.ac.id. Ada
kalanya belajar tidak harus di dalam kelas. Ada kalanya juga belajar
tidaklah harus mahasiswa dan pelajar. Belajar di manapun, kapanpun
terhadap siapapun diwajibkan bagi setiap manusia yang menginginkan
kehidupannya maju.
Bahkan lebih penting dari itu adalah pengetahuan dan ilmu yang didapatkan diharapkan mampu menyelamatkan kehidupan manusia. Ilmu juga dianggap mampu menuntunnya kepada keselamatan, baik di dunia dan akhirat (bagi mereka yang percaya).
Mungkin kemauan keras untuk belajar
seperti pernyataan di ataslah yang menuntun pimpinan dan dosen-dosen
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Siliwangi pagi
tadi (Ahad, 26 Mei 2013) mulai pukul 09.00 WIB berangkat ke salah satu
kampung adat di Indonesia, yakni Kampung Naga, di Salawu, Tasikmalaya.
Maksud kedatangan adalah untuk shering pengetahuan mengenai
keadatan dan kehidupan sosial masyarakat yang dianggap masih memegang
tradisi. Kegiatan ini dibingkai dalam kegiatan Program Pengabdian
Masyarakat (PPM).
Tim yang dipimpin oleh Pembantu Dekan, Edi Kusmayadi, M.Si ini disambut ramah oleh para sesepuh di Kampung Naga. Sesepuh tersebut diantaranya Lebe dan Punduh serta
bapak Tatang sebagai kepercayaan kuncen Kampung Naga. Sedangkan kuncen
tidak dapat hadir, karena diinformasikan ada kepentingan lainnya. Dalam
suasana kekeluargaan, tim berdialog dengan sesepuh-sesepuh tersebut.
Dosen-dosen dari FISIP Universitas Siliwangi selain ketua tim hadir
Subhan Agung, S.IP, M.A., Mohamad Ali Andrias, M.Si, Hendra Gunawan,
S.IP, M.Si dan Rino Sundawa Putra, S.IP.
Dalam dialog terlihat dengan jelas bagaimana mereka dengan tawadhu menyampaikan beberapa isu yang sebenarnya sexies seperti kehidupan politik. Berkaitan dengan wacana politik, mereka mengaku no partisan dan awam terhadap wacana politik. Kepolosan tersebut bukan berarti mereka tidak berpartisipasi dalam kehidupan politik praktis. Kenyataannya sebagian besar dari mereka memberikan hak-hak suaranya dalam “hajatan politik”, seperti Pemilu.
Dalam dialog terlihat dengan jelas bagaimana mereka dengan tawadhu menyampaikan beberapa isu yang sebenarnya sexies seperti kehidupan politik. Berkaitan dengan wacana politik, mereka mengaku no partisan dan awam terhadap wacana politik. Kepolosan tersebut bukan berarti mereka tidak berpartisipasi dalam kehidupan politik praktis. Kenyataannya sebagian besar dari mereka memberikan hak-hak suaranya dalam “hajatan politik”, seperti Pemilu.
Dalam kehidupan sosial-politik mereka mempunyai filosofi yang adiluhung yang memiliki makna mendalam (jero taohidna) yakni : parentah gancang lakonan, pamenta gancang tedunan, pamunut gancang pasrahkeun. Ketiganya menjadi penuntun (patokan) masyarakat adat Naga dalam memandang pemerintah. Hal ini juga mengacu kepada keyakinan keber-Islaman yang mewajibkan mentaati pemerintah, jika tidak bertentangan dengan agama dan adat istiadat yang sudah lama mereka jalankan. Beberapa kasus penentangan mereka terhadap pemerintah misalnya di tahun 1996, dikarenakan pemerintah dianggap melanggar adat istiadat mereka yang sudah sejak lama menggunakan minyak tanah untuk penerangan. Hal ini terjadi ketika saat itu pemerintah mengkonversi minyak ke gas (lihat lebih lengkapnya dalam hasil penelitian Satori dan Agung tentang Kepemimpinan Masyarakat Naga, 2011).
Selain hal tersebut juga banyak hal yang dikaji seperti tentang asal mula nama Kampung Naga dalam berbagai versi, konsep amanat, wasiat dan akibat, pamali, konsep hidup alakadarna serta konsep tontonan dan tuntunan. Untuk lebih mengetahui tentang hal ini silahkan dilihat berkas PPM di FISIP Universitas Siliwangi.
Kegiatan ditutup dengan makan bersama balakecrakan. Kenikmatan sungguh terasa dalam suasana keakraban. Menu yang disiapkan oleh Ibu Lebe luar biasa nikmat, dengan menu andalan sambel goang khas Naga. Terima kasih kepada masyarakat Kampung Naga yang telah berbagai ilmunya. Semoga masyarakat adat di Indonesia tetap lestari. (sa).
0 komentar:
Post a Comment