Kedai Kopi di Sudut Kota Santri (Chapter I : Remaja-Remaja Kota Santri)

Sore telah menenggelamkan sang surya kedalam peraduannya, dan remangnya cahaya mentari sore itu membuat perasaan melankolis itu muncul kembali. Aku duduk di kursi plastik putih depan rumah, belakang warung ibuku. Sesekali para pembeli itu menggangu konsentrasi membacaku, ya.. koran pagi yang dibaca sore. Secangkir kopi hitam menjadi candu yang tak bisa dipisahkan dari sore-soreku. Aku simpan Koran itu dan kembali pada lamunanku, imajinasiku. Entahlah, apa mungkin pikiranku ini telah terpengaruh oleh berita-berita yang aku baca dikoran, aku dihantui perasaan takut, takut akan lingkungan sekitar, dunia yang tak ramah lagi.

Lingkungan sekitar dan dunia telah diatur oleh sistem buatan manusia, kehidupan sosial telah dimanipulasi oleh sistem produksi, sistem ekonomi dan sistem politik yang tidak kita sadari telah menjadi mesin penindas bagi manusia. Manusia telah disibukan oleh sistem itu, merangsang ego mereka sehingga manusia menjadi predator bagi manusia lainnya.

Getaran telepon genggam yang aku simpan disebelah cangkir kopi spontan menghentikan lamunanku. “aduh maaf kayaknya ga bisa bos, saya kurang enak badan eum”, isi SMS sahabatku yang menolak ajakanku minum kopi sambil menikmati cemilan roti bakar dan gorengan  di kedai sederhana. Ya, kedai kopi Sederhana, dipusat kota Tasikmalaya menjadi “pelabuhan” terakhirku dan sahabatku dalam mencairkan kebekuan hidup, yang kadang diakhiri dengan percakapan serius. Politik, ekonomi, hukum, egoisme, peradaban, modernisme, gaya hidup, dan banyak topik-topik lain yang mengusung ketidakpuasan, pemberontakan, dan setelah itu masing-masing sudah merasa sebagai seorang revolusioner yang berani melawan arus. Semuanya terucap di kedai kopi itu. Setelah memuntahkan semua ketidakpusan itu, pemberontakan itu, kami kembali merasa sebagai manusia baru yang terbebas dari segala beban. “kedai kopi itu telah beberapa kali menyelamatkan jiwa kita bos”, jawabanku atas SMS sahabatku. “saat ini jiwaku masih bugar bos, belum waktunya untuk di-refresh, cobalah kesana sendirian, berargumenlah dengan diri sendiri, bertanyalah pada diri sendiri dan rasakan apa yang akan terjadi pada jiwamu selanjutnya! he..he..he..”. Aku terkekeh melihat jawaban sahabatku, setelah itu aku abaikan karena suara pembeli mengganggu telingaku.  

Tak terasa adzan maghrib sudah memanggilku, ini saatnya bagiku untuk kembali mengadu kepada sang Pencipta, berintaksi denganNya dan terkadang meminta belas kasihan kepadaNya agar aku diampuni dari segala dosa, masa lalu yang hitam pekat. “Cep, mau solat dirumah apa dimesjid?” sahut ibuku dari dalam rumah, “sebentar bu, ibu aja solat duluan masih ada pembeli, aku solat dirumah saja”, jawabku sambil menghitung uang kembalian. Pada jam-jam segini warung ibuku memang cukup ramai pembeli, kopi, rokok, mie instan, cemilan dan minuman anak-anak yang kadar penyedap rasa MSG, pewarna, pemanis buatan dan pengawet cukup tinggi, adalah produk standar yang paling laris manis. Kalau aku buat grafik penjualan, produk-produk ini akan mendominasi penjualan. Kadang aku merasa muak dengan apa yang ibuku jajakan dan aku jual kepada pembeli, mesin-mesin industri telah mencipatakan produk –produk racun bagi konsumen, efisiensi dan sistem massal demi keuntungan telah membuat konsumen sebagai alat eksperimen. Apakah  penyedap rasa, pewarna, pemanis buatan dan pengawet punya dampak serius bila dikonsumsi oleh anak-anak?, entahlah… kita Cuma kelinci-kelinci percobaan yang tidak tahu apa-apa. Tapi terlepas dari itu, dari warung ibuku berhasil mendidiku dengan cara formal, ya.. sarjana Strata Satu ilmu komunikasi adalah gelar terakhirku, gelar yang cukup prestisius bagi lingkunganku. “ayo solat, ibu udah selesai” teriak ibuku menghentikan lamunanku. 

Air wudhu sangat sejuk menjamah muka, tangan dan kakiku, rekaman kegelisahan akan lingkungan dan dunia yang diatur oleh sistem buatan manusia  seakan hilang dari pikiranku. Kini saatnya bersujud, dan ketika bersujud ku serahkan seluruh takdirku. Aku melirik ponselku, ku buka kembali pesan singkat balasan dari sahabatku, “saat ini jiwaku masih bugar bos, belum waktunya untuk di-refresh, cobalah kesana sendirian, berargumenlah dengan diri sendiri, bertanyalah pada diri sendiri dan rasakan apa yang akan terjadi pada jiwamu selanjutnya! he..he..he..” luar biasa, aku menemukan makna dibalik pesan singkat balasan sahabatku. “ya, jawaban terbaik ada pada diriku!” gumamku dalam hati sambil melesat mengambil jaket, kunci motor dan helm. 

Dalam perjalanan menuju kedai kopi, aku bergumam “semoga aku menemukan sesuatu yang bisa menemani jiwaku bernyanyi, memuntahkan semua tanda-tanya walau tanpa kehadiran sahabatku.

Syukurlah kedai tak terlalu rame hanya dua meja panjang yang diduduki oleh remaja-remaja seusia anak SMA dari enam meja yang ada. “bu, biasa kopi aceh gayo ya..”, sahutku kepada ibu penjaga kasir yang tidak lain adalah pemilik kedai itu. “eh, tumben mana temannya?, oya cemilannya apa” dengan ramah ibu penjaga kasir itu menjawab. “lagi sakit bu.. oya kacang goreng dan roti bakar”, sahutku. Terkadang aku merasa seolah ada ikatan batin antara aku dan ibu pemilik kedai itu, walau aku tak tahu namanya tapi tutur bahasanya, gerak tubuhnya dan penampilannya menyiratkan bahwa ibu pemilik kedai itu adalah sosok yang bersahaja, sederhana dan pekerja keras. Kombinasi antara ketekunan, kerja keras dan kesederhanaan adalah ciri khas orang Tionghoa. Dan sosok-sosok seperti itu selalu membuatku simpati dan merasa ada kontak batin. Kopi, kacang goreng dan roti bakar sudah tersaji, sruput…. ah.. lidahku menari-nari dimanjakan kopi aceh. “oya penampilan Cherlibele kok jadi ga karuan ya, aku kayaknya lebih seneng sama 7 Icons deh, gerakan dancenya lebih kompak.” Celoteh seorang gadis dari kumpulan remaja meja sebelah yang sedang ngerumpi tentang fenomena menjamurnya Girls Band dan Boy Band di Indonesia. Aku pura-pura cuek dengan tema yang mereka bicarakan, tapi sebenarnya kupingku dengan jeli mendengarkan potongan-potongan kalimat yang mereka bicarakan, “ah.. mereka ini ngopi disini hanya untuk ngobrol remeh-temeh ini”, gerutuku. “ya.. apa hak saya meghakimi mereka, semua orang bisa bicara apa saja kok” timpalku dalam hati, mengoreksi gerutuanku sebelumnya.

Sebatang rokok putih aku keluarkan dari “teman-temannya” dalam bungkus, kunyalakan dan.. fuh.. asap pekat mulai meluncur dari mulutku. Aku mulai berimprovisasi dalam seremoni minum kopi ini. Aku mulai dengan renungan-renungan sederhana tentang konsep hidup yang ingin aku coretkan pada lembaran-lembaran putih kehidupanku selanjutnya, aku mulai dengan bertanya pada diri sendiri, persis seperti apa yang dikemukakan oleh sahabatku lewat pesan singkatnya. Saya mulai dengan pertanyaan “apa yang akan membuat saya bahagia, perempuan?” ha..ha.. aku tertawa geli karena lamunanku sendiri. Wajar saja, di usiaku ini ibuku merengek minta cucu, tapi terkadang aku asyik dengan egoku sendiri, dengan prinsipku sendiri, yaitu melakoni kesendirian dengan penuh makna, ya makna menjadi seorang editor disalah satu surat kabar lokal. Bagiku, perempuan berada pada sesi terakhir pencarian jati diriku walaupun terkadang aku selalu gelisah atau remaja sering  mengatakan galau. Ya.. sebagai manusia normal kerinduan akan sosok perempuan memang tak pernah aku sangkal, tapi ego dan prinsipku terkadang sering mengalahkannya, apalagi dengan istilah “mencari jarum diatas tumpukan jerami”, mencari perempuan yang berbeda dengan kebanyakan perempuan abad ini, yang menjadi korban budaya popular, budaya globalisasi. Aku ingin perempuan yang punya prinsip perlawanan terhadap hegemoni struktur budaya popular, yang mengerti betul akan eksploitasi perempuan-perempuan dalam struktur pasar kapitalisme sehingga perempuan itu bisa mengerti dia harus memulai dari mana perlawanan itu. Perempuan yang bisa menangkal pola hidup konsumtif, fashion, gaya rambut, trend musik, prodak, perempuan yang menyadari akan fitrahnya sebagai sosok sederhana yang hanya mempunyai naluri keibuan, bukan perempuan gaul yang memandang dirinya dengan ukuran gaya hidup popular. Nyalon, kumpul-kumpul di Mall, penyuka infotaiment, suka glamouritas, suka sinetron bertema gaya hidup mewah adalah beberapa aktifitas dari puluhan aktifitas yang beroreintasi pada gaya hidup. 

“ah.. aku terlalu muluk-muluk, dan terlalu memberi syarat yang utopis untuk ukuran saat ini”,  kilahku dalam hati. “apakah aku realistis, justru syarat ini semakin menjauhkanmu dari sosok perempuan”, lamunanku terus menjalar kemana-mana.

“ha..ha..ha..”, lamunanku terhenti karena kumpulan remaja sebelah mejaku tertawa lepas dengan suara keras. Aku memicingkan mata pertanda rasa tidak nyaman dari “ulah” anak-anak remaja itu, sambil ku seruput kopiku aku palingkan mataku dan mencoba kembali pada lamunanku, tapi suara kumpulan remaja semakin keras, “eh lu percaya ga Justin Beiber itu ternyata suka daun tua ya, gosip terbarunya dia ditampar oleh pacarnya Selena Gomez karena kepergok jalan dengan perempuan yang usianya lima tahun lebih tua”, “ya.. Tuhan, sekarang topiknya malah ke Justin Biber, tadi Girls Band dan Boy Band” gerutuku. Bla..bla..bla… mereka dengan semangat empat-lima terus bercakap-cakap dengan suara yang membuat lamunanku tidak kondusif, seolah mereka tidak mengakui kehadiranku disebelah meja mereka. “hebat ya, anak seusia itu yang rumahnya nun jauh dibenua sana bisa jadi topik utama dalam percakapan kalian”, aku spontan nyeletuk pada mereka, “daripada jadi kambing conge, lebih baik memberanikan diri terlibat dalam percakapan mereka, pikirku. Sejenak semua remaja yang itu memalingkan pandangannya padaku, dengan mata yang menyiratkan keheranan, sejenak suasana tampak hening, dan mereka kembali pada pandangan semula, tanpa respons. Sedikit untuk menawarkan rasa malu aku seruput lagi kopiku yang mulai dingin, “alah.. kepalang malu, sekalian aja!” dalam hati. Tangan cepatku mengambil korek api punyaku, kemudian aku selipkan  dibawah meja, “ada yang punya korek?” tanyaku pada kumpulan remaja itu, “oya, ini..” remaja laki-laki berkaca mata minus dan menggunakan behel digiginya merespon, “oh, ga usah biar saya yang kesana”, jawabku sambil menghampiri meja mereka, kemudian menyalakan rokok, fuh.. asap putih kembali meluncur dari mulutku. “ga enak ya ngopi sendirian, rame-rame seperti kalian kayaknya ;lebih seru”, pancingku, “biasa, setiap malam minggu kita kesini” remaja berkacamata itu lagi-lagi yang menjawab. “oh, perkenalkan saya Bagas!” aku mulai improviasai dengan basa-basi klasik, yaitu memperkenalkan diri, “saya Rendi”, “Kamal”, “Dinda”, “wita”, “saya Rendra”, tak disangka aku langsung mendapat sambutan, “boleh ya ikut gabung, ga enak ngopi sendiri?”, tanyaku sambil nyeloyor mengambil kopi dan cemilanku, “boleh-boleh”, jawab si Rendi mendahului teman-temanya yang lain.

Tapi setelah kehadiranku disana, mereka kembali lagi pada topik pembicaraan mereka, seolah ingin memaksaku jadi pendengar  dalam topik yang mereka bicarakan. “ga banget deh apa-apa yang dipake, oleh Ashanti, kayaknya norak banget deh”, “iya, coba lihat Syahrini apa-apa yang dipakenya pasti jadi trend”,  “tapi kalau untuk calon istri jelas lebih mantap Ashanti, dia tipikal wanita keibuan”, mereka saling bersahutan, seolah kehadiranku menambah hangat pembicaraan tentang dunia gosip itu. Untuk beberapa saat aku hanya jadi pendengar yang baik, sesekali aku seruput kopiku acehku, tapi aku sudah tidak sabar ingin menjadi “kontributor” percakapan para ABG ini. “eh, ngomong-ngomong soal selebriti, apa persamaannya selebriti dengan buruh pabrik hayo..?”, pertanyaanku membuat suasana hening seketika, mereka saling bertatap terlihat bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba meluncur dari orang yang baru mereka kenal ini. “waduh.. pertanyaan serius atau plesetan nih”, timpal si Rendi. Si Rendi memang paling antusias atas kehadiranku dibanding teman-teman yang lainnya, dalam penilaianku dia orang yang mudah bergaul dan gampang menerima kehadiran orang baru. “ya.. kalau mau serius bisa serius, mau dianggap hiburan juga bisa”, “jauh kali antara artis dengan buruh, ga ada persamaannya”, tak disangka si Dinda yang dari tadi diam seribu bahasa tiba berbicara. “ada, ayo coba pikir dulu”, “nyerah..nyerah”, serentak semua menjawab. “oke, kalau buruh pabrik dieksploitasi tubunya yang kekar untuk menghasilkan produk yang  bisa laku pasar, kalau selebritis dieksploitasi tubuhnya yang seksi agar laku di pasar hiburan”. ha..ha.. si Rendi tertawa garing dan teman-temanya hanya senyum simpul, ini menandakan tebak-tebakan ini memang tidak menarik bagi mereka. Aku tidak putus asa, mencoba berimprovisasi lagi agar suasana menjadi lebih cair, tidak mudah memang berbicara sok-sok serius dengan para ABG yang masih ceria ini.

“Sebetulnya, tebak-tebakan ini bukan masuk kategori humor, tapi renungan. Ada pengertian yang sangat dalam sekali lho..”. aku memaksa topik setengah seriusku. “wah.. dalem nih, apa coba pengertiannya?” tanya si Rendi. Seolah diprovokasi aku langsung berbusa-busa, “iya.. temen-temen kan dari tadi asyik membincangkan tentang masalah selebritis, ya.. infotainment lah, ada Justin Beiber, Boy Band, Girls Band, Syahrini dan Asyanti. Temen-temen kan melihat dari sudut pandang hiburan, fun atau gaya hidup, padahal kalau kita bicara selebriti banyak sekali ruang lingkupnya, bahkan ruang lingkup yang bisa dikritik habis-habisan. Selebritis, serta apa yang dipertunjukannya dalam dunia hiburan adalah prodak budaya baru yang dipertontonkan, dan kalau sudah berbicara prodak budaya selebritis ini tidak bisa dilepaskan dari gaya hidup, gaya hidup apa?, jelas gaya hidup glamour”. Suasana hening sejenak sampai si Dinda menimpali, “waduh A, apa yang Aa jelaskan kayaknya belum saatnya kita pahami, bagi anak se-usia kami selebritis ya hiburan, itu saja!”, “kenapa belum saatnya, padahal korban dari budaya seleb ini paling banyak adalah remaja se-usia temen-temen ini”, “maksudnya!?”, “mode pakaian dari mulai sepatu high heels, tank top, hot pans, rambut merah, pirang, cokelat, tas, gadget, gaya bicara gaul dan semua atribut-atribut gaya hidup yang dipromosikan oleh seleb ternyata banyak  dianut oleh remaja”. “iya juga sih, tapi apa masalahnya inikan hanya mode yang disetiap jaman pasti ada perubahan”. Timpal si Rendi, sementara teman-teman yang lainnya menjadi pendengar yang dikategorikan sebagai pendengar serius, pendengar ogah-ogahan dan pendengar yang menunjukan kebosanan dari yang aku sampaikan. “justru disanalah akar persoalannya, perubahan! Siapa yang merubahnya!? Merubah budaya, merubah apa yang seharusnya kita pakai disini, di Indonesia, di kota Santri!?”. “ah si Aa kaya yang gak pernah jadi remaja aja, santai aja kali A”, tak dinyana si Wita yang tadinya hanya pendengar ogah-ogahan ikut juga bicara. “ha..ha..” semua kompak tertawa ringan. “oke deh, kayaknya udah malem, aku ingin survey kecil-kecilan atas topik ini. Gini.. apa tanggapan masing-masing atas apa yang menjadi topik perbincangan ini” semua tertawa, entah karena gelagatku atau senang karena aku akan beranjak dari tongkrongan mereka. “kalau aku sih jalan tengah aja, saya tidak seyakin Aa ya, tapi alangkah baiknya saya gali informasi yang mendukung pendapat Aa, tapi sekilas pendapat Aa memang ada benarnya, tapi saya masih ragu. Kalau kamu Wit” si Rendi mendahului. “ini jawabanya mau jujur apa engga?, ha..ha.. jujur aja, Aa ini terlalu berlebihan topik ringan tentang artis kok malah diceramahi yang enggak-enggak, kalau saya sih santai aja dari dulu juga artis sudah ada  yang penting fun!. Piss… he..he..”. semua tertawa dengan jawaban si Wita termasuk aku yang malah kegirangan merespon jawabannya. Giliran Si Dinda Menjawab, “kalau saya begini, ada baik ada buruk. Ambil yang baiknya, buang yang buruknya, bereskan!?” sambil berlagak imut. “ah.. ga ngeh ga ngerti!, yang penting bagi saya, Asyanti tampilannya norak dibanding Syahrini, tapi kalau untuk jadi istri Anang harus memilih Asyanti” “ha..ha…ha…” semua tertawa kegirangan memecah kesunyian kedai kopi itu, tanggapan si Rendra bahkan membuat perempuan penjaga kasir kedai kopi ikut tertawa lebar. “gue idem sama si Rendra, tapi yang jelas Syahrini pasti nyesel berpisah sama Anang!” “ha…ha…ha…” Si Kamal memperpanjang tawa kami dan membuat suasana semakin gaduh.

“oke, senang berbincang dengan temen-temen, semoga kita bisa bertemu lagi”, ucapku sebagai salam perpisahan. “kalau Aa langganan dikedai ini, kita pasti ketemu lagi A”, teriak si Rendi “oh.. bagus, sampai ketemu lagi”, sambil bergegas ke kasir. “terima kasih teman-teman baruku, kalian menjadi pelipur laraku menjadi penampung aliran kalimat-kalimatku, dan memberikan sedikit gambaran tentang remaja-remaja kota santri” cetusku dalam hati. (bersambung).
           
Cerita ditulis oleh : Rino Sundawa Putra, Budayawan dan Penulis tinggal di Tasikmalaya.

0 komentar:

Post a Comment