Kedai Kopi di Sudut Kota Santri (Lanjutan)
Pikiranku
melayang, aku mengendarai motorku hanya dengan menggunakan insting jalanan,
karena sebagian besar pikiranku dihabiskan untuk merenungi pembicaraan saya
dengan beberapa teman ABG baruku. Aku mulai renunganku dengan sebuah
pernyataan, “dunia ini berubah dengan begitu cepat, semakin hari, semakin
banyak teknologi canggih ditemukan, semakin modern pola kehidupan manusia semakin
tidak nyaman bumi untuk dihuni, anak cucuku akan menghadapi dunia yang makin
tidak ramah dimasa depan”. Ya, cerminan beberapa ABG tadi yang sudah melupakan
jati dirinya sebagai orang Indonesia, sebagai orang Sunda mereka asyik
tergila-gila mengagumi kebudayaan baru yang sesungguhnya kebudayaan yang
menelanjangi nilai-nilai luhur tata hidup kita sebagai bangsa, kita sebagai
orang sunda, menelanjangi nilai-nilai kemanusiaan yang pada hakekatnya punya
kearifan lokal. Dunia ini akan disatu seragamkan, disatu selerakan menurut
selera “pasar” entah itu pasar musik, pasar mode, pasar gadget apapun yang bisa
menundukan kita sebagai bangsa yang berdaulat menjadi bangsa yang membebek.
Mereka ciptakan kebudayaan baru, mereka promosikan kebudayaan baru itu ke seluruh
antero dunia, dengan membonceng globalisasi dan paham globalisme. Sasaran utama
mereka adalah anak-anak muda, karena mereka tahu anak-anak muda adalah mata
rantai kepada generasi selanjutnya. mereka ciptakan budaya konsumerisme, budaya
hang out, budaya gaul, budaya have fun, budaya pesta pora dengan
membonceng seni sebagai media penyampainya. Bung Karno pernah berkata, akan
datang dan harus kita waspadai bahwa kekuatan neo-kolonialisme akan datang
bukan dengan senjata, tentara, meriam dan pesawat tempur tapi dengan kebudayaan
baru, pemikiran baru yang mereka ciptakan untuk meracuni generasi sebuah
bangsa. Pada titik inilah saya pikir penaklukan sebuah bangsa persis apa yang
dikatakan oleh Bung Karno sedang terjadi.
Ciiiiiiiit….,
ban motorku mendecit, tak sadar aku baru saja hampir menerobos lampu merah
dipersimpangan mesjid Agung. Pikiran-pikiran dan renungan-renungan atau bahkan
mungkin “umpatan-umpatan” sirna seketika, aku kembali konsentrasi mengendarai
sepeda motorku. Tak sampai tiga menit aku mencoba konsentrasi tiba-tiba
pikiranku “diganggu” lagi oleh beberapa bocah membawa gitar kecil berkerumun
menghampiri setiap mobil yang berhenti dan menyanyikan lagu sebagai usaha
mendapatkan uang receh, ya pengamen!. Malam minggu memang hidup, meskipun sudah
malam, tetapi kota Tasik terasa masih hidup, beberapa orang akan keluar memburu
kesenangan malam yang banyak tersaji disudut-sudut kota santri, ada kuliner TO
dadaha, TO jalan BKR, nasi goreng kambing, martabak, bandrek, roti bakar, bubur
dokar, pisang ijo dan banyak lagi sajian kuliner yang tersaji, bahkan di malam
minggu wisata libido pun laris manis bak kacang goreng, ada yang transaksi
langsung dengan WTS disudut lapangan kosong dekat kantor Pos, ada yang mesti
lewat mucikari dijalan Yudanegara itu tergantung kocek mau yang kelas emperan
sekitar lima puluh ribu atau kelas premium diatas tiga ratus ribu sampai lima
ratus ribu. Ada semacam mutualisme ekonomi disana, misal transaksi prostitusi
akan menunjang bisnis hotel kelas melati, saya pikir hotel-hotel melati
diseluruh Tasikmalaya tidak akan berkembang kalau tidak ada transaksi
prostitusi. Kemudian para pedagang jamu, roti bakar ataupun jagung bakar yang
ada diseputaran tempat transaksi akan dijejali laki-laki pemburu “kenikmatan”,
biasanya para “pelanggan” akan memesan jamu komplit plus telur bebek sebelum
“bertempur” dengan pasangan mesumnya belum lagi kebutuhan kondom yang memang
tersedia ditukang jamu. Setelah syahwat disalurkan biasanya para “pelanggan”
langsung memesan roti bakar, jagung bakar atau nasi goreng yang ada disekitar
untuk mengisi tenaga kembali. Perputaran ekonomi dari sektor esek-esek di kota
Santri!
Ha..ha..ha..
sebagai seorang redaktur surat kabar lokal, tentunya saya terus dipasok
informasi dari wartawan lapangan, termasuk informasi dunia esek-esek dikota
santri ini. Itulah kota santri, malam minggunya banyak manusia-manusia
petualang kesenangan hilir mudik, dari botol miras, bergerombol di Mall, sudut
gelap dadaha tempat memadu kasih dan berakhir pada pelukan hangat kupu-kupu
malam kota santri. Sekali lagi saya katakan, budaya hang out, budaya konsumerisme, budaya pesta pora dan budaya have fun menjadi pemicu aktifitas malam
dikota santri. Ironi, haruskah tokoh-tokoh, ulama-ulama, pemimpin dan para
pejabat kota tasik menutup wajah karena malu. Kota santri telah kehilangan
identitasnya sebagai kota religius.
Kembali
lagi pada bocah pengamen. Kali ini renunganku dimulai dengan beberapa
pertanyaan, dimanakah Dinas Sosial? Kemanakah jiwa sosial yang seharusnya
dikota santri penuh dengan nilai-nilai berbagi, memberi dan menolong karena
Islam mengatur tentang Zakat dan Sodaqoh? Didepan mata kita bocah umur tujuh
tahun “dipaksa” turun kejalan mengais-ngais rupiah dengan dentingan gitar,
bertahun-taun keadaan ini dibiarkan. Apa ada program pemberdayaan buat mereka?
Apa pemerintah kota tidak punya program lewat Dinsosnya? Apa tokoh-tokoh ulama
terlalu sibuk mengajar dipesantren sehingga tidak tahu ada bocah fakir
berkeliaran dijalan mengamen?. Apa para pemimpin dan pejabat terkait terlalu
sibuk mengurusi kenaikan jabatan dan memburu rente lebih untuk membiayai
anak-anaknya sekolah disekolah-sekolah bergengsi atau kuliah di Universitas
ternama diluar kota, atau hanya untuk membiayai gaya hidup anak-anaknya yang
terjebak budaya hang out, budaya konsumerisme,
budaya pesta pora dan budaya have fun
yang menyebabkan anak-anak mereka merengek minta dibelikan hp BB, tablet
Samsung, motor Kawasaki Ninja, Hinda Jazz ceper dengan aksesoris tambahan! Ya
Tuhan… aku sudah mulai melantur, tak sadar aku menjadi su’udzon. Dan renunganku terhenti oleh mobil yang mengerem mendadak
didepanku.
Kali ini renunganku terhenti karena kemacetan di bundaran Simpang Lima, tak ada polisi yang mengatur hanya tukang parkir yang mengatur seadanya. Tiba-tiba dari arah jalan Mohamad Hatta gerombolan motor kurang lebih tiga puluh motor memadati jalan. Ada beberapa pengendara yang membawa bendera bergambar laba-laba, bahkan dua atau tiga orang membawa semacam stik bisbol diselipkan dipunggung mereka. Bak raja jalanan, atau para pejabat yang selalu ingin diprioritaskan dijalan, mereka meminggirkan pengendara lain yang kebetulan berpapasan atau satu arah dengan mereka, terdengar teriakan”ka sisi anjing!”, “sia ngahalangan wae!” membuat setiap pengendara yang berpapasan menciut nyalinya.
Kali ini renunganku terhenti karena kemacetan di bundaran Simpang Lima, tak ada polisi yang mengatur hanya tukang parkir yang mengatur seadanya. Tiba-tiba dari arah jalan Mohamad Hatta gerombolan motor kurang lebih tiga puluh motor memadati jalan. Ada beberapa pengendara yang membawa bendera bergambar laba-laba, bahkan dua atau tiga orang membawa semacam stik bisbol diselipkan dipunggung mereka. Bak raja jalanan, atau para pejabat yang selalu ingin diprioritaskan dijalan, mereka meminggirkan pengendara lain yang kebetulan berpapasan atau satu arah dengan mereka, terdengar teriakan”ka sisi anjing!”, “sia ngahalangan wae!” membuat setiap pengendara yang berpapasan menciut nyalinya.
Tuhan,
apalagi ini!? Ditengah kemacetan aku kembali merenung. Di kota Santri ini yang
katanya pendidikan agamanya menjadi prioritas kok para remajanya banyak
membentuk geng motor, pemicu keonaran dan membuat masyarakat resah, mereka
mencari kesenangan dengan membuat orang takut dan celaka. Saya tak sadar bahwa
sebetulnya sudah puluhan saya mengedit hasil liputan wartawan yang mengulas
kebrutalan geng motor ini, tapi jujur baru kali ini saya melihat langsung
gerombolan mereka melintas. Tanpa banyak merenung lagi, lagi-lagi aku
menyimpulkan bahwa budaya hang out,
budaya konsumerisme, budaya pesta pora dan budaya have fun penyebab semua ini, dan menyebabkan lingkungan kita makin
hari makin tidak nyaman.
Hampir
separuh perjalan pulangku dari kedai kopi dipenuhi dengan renungan.
“Alhamdulilah selamat” gumamku dalam hati mengingat perjalan ini tujuh puluh
persennya merenung dan tiga puluh persennya hanya insting jalanan, aku
bersyukur pulang dengan selamat. Aku lihat lampu rumahku sudah padam itu
menandakan kedua orang tuaku sudah lelap dalam peraduannya memulihkan tenaga
setelah seharian menggelar dagangan dalam bosan mengunggu pembeli. Aku
mengambil kunci rumah dari dalam jaketku dan membuka pintu rumah. Alhamdulilah
setelah aku bekerja “intervensi” orang tuaku dalam mengatur waktuku sudah
berkurang. Dulu ketika masih kuliah, waktu malamku diatur sehingga harus berada
dalam kamar tepat jam sembilan malam, terkadang setelah membantu ibuku melayani
pembeli pada malam hari terkadang aku dilarang keluar rumah, atau untuk sekedar
main gapleh dan remi diteras tetanggaku saja tidak boleh. Kini setelah aku
bekerja, orang tua sudah mulai menyadari bahwa sudah saatnya mandiri tanpa
“intervensi” dan dominasi orang tua, mereka sudah percaya seratus persen bahwa
aku tidak akan terjebak pada hal-hal yang menurut mereka negative, dan bom! Mau
pulang selarut apapun aku tidak pernah ditanya, karena aku sudah membawa kunci
rumahku sendiri.
Dalam
memulai peraduanku seperti biasanya aku sempatkan membaca beberapa halaman
majalah berita terbitan Jakarta. Sampai ngantuk mendera dan akhirnya aku
tertidur. Tapi malam itu entah kenapa kantuk agak telat datang, malah aku
terbayang akan teman-teman ABG baruku di kedai kopi itu. Sampai pada saat
ngantuk menyerang aku bergumam dalam hati, “aku harus menemukan mereka lagi di
kedai kopi itu, aku ingin mengubah pandangan ABG-ABG itu”, dan aku pun
tertidur. (Habis)
Cerita
ditulis oleh : Rino Sundawa Putra, Budayawan dan Penulis tinggal di
Tasikmalaya.
0 komentar:
Post a Comment