Kedai Kopi di Sudut Kota Santri (Chapter II : Melawan Arus di Kota Santri)

Jam  menunjukkan pukul 23.05 WIB, disaat itulah aku menyelesaikan kalimat terakhirku dari delapan berita yang aku edit. “aku seperti kelelawar” gerutuku dalam hati, ya.. bekerja sebagai editor merubahku menjadi manusia kelelawar yang aktif pada malam hari, terkadang aku merasa mekanisme dalam tubuhku sudah tidak normal lagi berubah seperti mekanisme kelelawar, karena sekarang tubuhku menyesuaikan dengan aktivitasku, siang ngantuknya luar biasa, malam hari energiku malah meledak-ledak. Apakah itu berdampak pada kesehatanku, entahlah..

Big bos. begitulah aku memanggil orang yang paling berkuasa diruangan kerjaku, Kang Ibas Pemred yang punya reputasi terhormat di dunia jurnalistik Tasikmalaya, paling senior diantara semua wartawan Tasik. “beres gas?”, aku terkejut ketika bosku bertanya secara mendadak di toilet. “Alhamdulilah beres bos” jawabku dengan tergesa-gesa mengaitkan kancing celanaku. “apa kira-kira untuk halaman depan kita untuk konten lokal?” pertanyaan si bos membuat aku menghentikan langkah kakiku keluar dari toilet.“bos sudah lihat semua judul beritanya”, “ya, semuanya berita seremonial gas. Pelantikan Kepala Dinas baru lah, Sidak Bupati lah, paling banter tentang puluhan anggota Ormas pemuda bentrok dengan warga”, “sepertinya harus ada pemetaan isu bos pada wartawan lapangan kita, karena mohon maaf ya bos, hampir semuanya wartawan lapangan kita tidak pernah dibekali dengan pemetaan isu, ya.. biar aga investigatif lah.. bos”. Aku langsung menyambar keluhan si bos dengan rentetan pendapat yang selama ini aku pendam. Memang dikalangan aktivis sudah sangat kentara isu yang mengatakan bahwa Koran lokal kami punya kedekatan, atau kalau tidak mau dibilang didekati dengan beberapa tokoh pejabat dari berbagai instansi, untuk itulah kenapa Koran kami disinyalir oleh beberapa aktivis sebagai koran yang mandul, loyo daya kritisnya. Setidaknya sudah empat orang aktivis Tasikmalaya yang mengatakan itu, yang terakhir adalah sahabat saya Roni Romansyah seorang aktivis anti Korupsi di Tasikmalaya. Sejenak bosku terdiam dan berkata “ya” dengan ekspresi datar. Aku tahu si bos mulai tidak tertarik dengan percakapan ini, aku langsung bergegas keluar toilet. 

Seperti biasa, setelah pekerjaan beres aku selalu menyediakan waktu sepuluh sampai lima belas menit menghabiskan satu batang rokok putih di ruang outdor belakang ruang redaksi, tempat dimana kawan-kawan se-kantor membakar rokok-rokok mereka. Tiba-tiba si bos menghampiri dan meminjam korek dariku, duduk didepanku dengan menyalakan rokok kretek favoritnya. “idemu tadi bagus gas, mau kau pimpin gagasanmu itu?” aku terkejut karena si bos kembali pada topik itu. “maksudnya pimpin bagaiman bos” jawabku singkat dengan mimik kaget. “ya.. besok sebelum wartawan ke lapangan kamu kumpulin dulu, kamu pimpin diskusi kira-kira isu apa yang harus digali sebagai sumber berita”, “waduh bos, jangan saya lah bos, lebih baik semua redaktur juga dilibatkan biar lebih banyak sumber kan lebih kaya informasi bos”. Aku merasa belum siap ditunjuk oleh big bos untuk memimpin ini, aku tahu diri, masih banyak redaktur yang lebih senior daripada aku. “kamu yang punya ide kamu yang tanggung jawablah!” jawab bosku sambil terkekeh. “ya udah besok saya sms semua redaktur biar merapat mimpin diskusi dengan semua wartawan lapangan”, “siap bos, eh tapi jangan bilang ini ide saya ya bos, saya ga enak soalnya”, si bos mematikan rokoknya, dan menjawab “okelah kalau begitu”  sambil ngeloyor kembali ke ruang redaksi. 

Fuh… akhirnya tiba pada hisapan rokok terakhirku, aku beranjak dari tempat duduk dan merogoh kunci motor dari dalam saku jaket. Tiba-tiba gerimis turun dari langit, “celaka” pikirku, bisa-bisa aku menginap dikantor, walaupun hanya rintik-rintik tetap saja dengan jarak sekitar empat kilo meter untuk sampai kerumahku dipastikan aku basah kuyup. Aku rogoh kembali bungkus rokok berharap satu batang lagi kuhabiskan hujan pun reda,  dan tidak ada satu batang pun tersisa “lengkaplah sudah!” gerutuku. Tanpa ditemani rokok aku tidak mungkin bisa menunggu, inilah kenapa orang terkaya di republik ini adalah pemilik industri rokok, sangat adiktif!. Ketika seseorang sudah terjebak pada nikmatnya nikotin, susah untuk melepaskannya, secara psikologis gejala adiktifnya terkadang membuat orang seolah-olah menjadi tidak rasional, seperti halnya aku tidak bisa menunggu sesuatu tanpa ditemani rokok, atau ada orang yang tidak bisa buang air besar tanpa ditemani rokok, merasa kembali semangat karena rokok, kedinginan merokok, stres merokok atau rokok dianggap menghilangkan rasa gelisah. 

Ya.. rokok dibenci tapi dirindu. Untuk melebarkan pasar industri rokok, mereka melakukan promosi luar biasa yang menargetkan anak muda dengan memberi kesan “gaul”, kesan “pintar”, kesan “petualang” atau kesan “gagah” pada brand sebuah merk rokok, dan boom! Pecandu rokok pun meningkat tajam, bahkan media massa sempat memberitakan beberapa anak-anak menjadi perokok aktif. Tapi dibalik itu, mungkin sebagai “penebusan dosa” karena mereka sangat berkontribusi besar terhadap buruknya kesehatan manusia Indonesia akibat kecanduan rokok, industri rokok, khususnya pemain utama industri rokok, jor-joran mengucurkan dana Corporatee Social Responsibility-nya dengan memberikan dana berupa beasiswa atau bantuan finansial misalnya untuk pendidikan, olahraga dan musik. 

Berapa ribu mahasiswa yang dibiayai oleh beasiswa dari rokok, berapa atlet dan cabang olahraga yang dikembangkan oleh rokok, atau berapa grup band yang difasilitasi sehingga mereka bisa membuat album komersil dengan brand sebuah rokok. Bahkan aku pun teringat ketika masih mahasiswa, ketika itu aku aktif di Senat Kampus menjabat sebagai Menteri Koordinator Intra-Ekstra Kampus. Saking jengahnya dengan promosi rokok yang memanfaatkan institusi kampus sebagai pasar, dengan membiayai konser-konser musik sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak dibidang musik, atau yang lebih gila lagi mereka membuat stan khusus pada acara-acara kampus, misalnya Ospek!, aku bersama  beberapa teman sempat membuat rekomendasi kebijakan yang meminta legitimasi keputusan rektor agar promosi rokok apapun bentuknya tidak  boleh masuk kampus, sedikit naïf memang atau bahkan munafik, karena aku dan beberapa teman yang mengagas ini ketika itu sudah menjadi perokok bahkan merokok dikampus, tapi setidaknya saya dan teman-teman punya pandangan lain, yaitu institusi kampus tidak boleh dilecehkan dengan cara murahan dijadikan pasar potensial promosi rokok. Merokok atau tidak itu adalah wilayah privat, tapi ketika kampus diposisikan sebagai pasar, bagi kami ini adalah cara-cara yang tidak terhormat untuk promosi sebuah merk rokok. Susah payah kami mengusahakan ini, lobi kesana-kemari dan mentok dengan pernyataan dari salah seorang pejabat kampus, “berapa ribu mahasiswa kampus disini yang diberi beasiswa oleh rokok, atau mungkin sudah ratusan juta mereka membiayai acara-acara kampus “. Ya.. ini dilema! Kalau orang jawa bilang ewuh pa kewuh!, mana mungkin bisa resisten dengan perusahaan yang memberikan fulus!. Tapisetelah beberapa tahun lulus aku sempat mendengar bahwa sekarang kampusku tercinta sudah betul-betul melarang kegiatan yang mengusung prodak rokok. Aku sempat bangga, karena aku telah menorehkan sebuah catatan yang sekarang membuahkan hasil. 

Setelah ngelantur merenung kesana-kemari tentang rokok, akhirnya gerimis pun agak reda. Tanpa pikir panjang aku pamitan pada kawan-kawan yang masih bertugas dan langsung melesat dengan motorku.

(Bersambung)

Penulis : Rino Sundawa Putra, Dosen FISIP Universitas Siliwangi
Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat dalam Koran Mingguan Tasikplus. 

0 komentar:

Post a Comment