Melawan Arus di Kota Santri (Lanjutan, Part 2)
Sepi..
suasana pusat Kota Tasik begitu terasa begitu “mati”, hanya ada beberapa tukang
nasi goreng dan bubur ayam yang sedikit sibuk melayani beberapa pembeli. Gerimis kecil lambat laun menembus jaket parasitku, dingin mulai menusuk
tulang, “oh, malam jumat” cetusku dalam hati, pantas saja! Aku tambah
kecepatan motorku menjadi lima puluh Km/jam.
Aku injak rem ketika berpapasan dengan beberapa pengendara motor yang memasuki komplek Olah Raga Dadaha, beberapa membonceng perempuan, beberapa pengendara motor turun dan berbincang dengan salah seorang perempuan paruh baya memakai jaket jeans yang tengah asik mengepulkan asap dari mulut dan hidungnya. “ha..ha.. dadaha memang selalu sibuk dengan aktifitas seperti ini, gerimis-pun tak menghalangi mereka, Satpol PP patroli gak yah malam ini?, kalau iya bisa jadi sumber berita”, tak disangka celotehanku dalam hati ternyata menghentikan laju motorku.
Aku berhenti di persimpangan jalan Panyerutan. “Halo Komandan!” aku telepon salah seorang intel Satpol PP pak Hidayat, “halo..halo.. gimana gas?”, “malam ini patroli Dan?”, “tidak ada jadwal, lagian gerimis gas, mereka yang berotak mesum berpikir dua kali untuk keluar ha..ha..” pak Hidayat langsung tahu maksudku, karena aku selalu mengkonfirmasi kepada dia tentang jadwal razia esek-esek, atau pak Hidayat-lah yang seringkali memberi tahu kalau akan diadakan razia. “ha..ha.. Dadaha tidak pernah sepi Dan”, “biarkan saja lah.. kami ini bukan Super Hero, kegiatan seperti itu tidak akan musnah selama bumi ini berputar gas, kami hanya meminimalisir bukan membasmi total”, “he.. siap Komandan, Asalamuallaikum..” aku menutup teleponku. Sebagai seorang jurnalis aku memang harus terus mengasah insting jurnalistiku, harus peka pada setiap kondisi dan keadaan, jangan sampai sumber berita lewat begitu saja.
Aku
lanjutkan perjalannku. Masuk jalan Pataruman, tiba-tiba gerimis semakin deras,
“yang benar saja!”, gerutuku!. Aku geber
laju motorku, tapi seiring makin kencang laju motorku gerimis pun menjadi
hujan!. “lihat pelabuhan itu masih terang!” aku kegirangan melihat kedai kopi
sederhana langgananku masih buka. Tanpa pikir panjang tepat dipersimpangan
pasar mambo aku belokan arah motorku ke kedai kopi. “wah.. udah mau tutup ya?”
aku sedikit kecewa karena perempuan penjaga kasir terlihat sedang menutup kedai.
“Eh.. Aa, sok aja kalau mau minum kopi mah, biasa aceh gayo?”. Mungkin karena
aku langganan setia disana aku masih dilayani. “eh, ga apa gitu, kasihan ah udah
mau tutup?”, aku berbasa-basi. “engga..engga.. lagian kita masih menggiling
kopi buat stok besok”, “okelah kalau begitu..” meniru gaya bahasa si bos.
“cemilannya mau apa”? aku sedikit berpikir, mengingat perutku masih kenyang,
tetapi aku merasa ga enak, sudah membatalkan kedai tutup masa cuma pesan kopi doang. “em.. kacang goreng boleh juga”,
aku sengaja memilih cemilan yang tidak mengenyangkan.
Tak lama berselang, perempuan itu datang dengan pesanannya. “dari mana nih hujan-hujan gini?” tak disangka, perempuan yang biasanya hanya konsentrasi pada pesanan dan mesin kasir tiba mengajaku berkomunikasi. “pulang kerja teh..”, “wah, sampai larut gini, emang kerja dimana?” perempuan itu bertanya sambil menyodorkan kacang goreng, “ah.. biasa teh kalau kuli mah, jam segini baru pulang”, aku merendah. “he..he..”, perempuan itu terkekeh sambil kembali ke ruang belakang. “mau tutup jam berapa teh”, pertanyaanku menghentikan langkah kaki perempuan itu. “sok lah.. mau jam berapa juga, lagian kita biasanya menggiling kopi sampai jam tiga, bahkan sampai shubuh”, perempuan itu menantang. “wah.. serius nih, sampai hujan reda yah”, pintaku. “okelah lah kalau begitu he..he..”, ha..ha.. perempuan itu menjiplak kalimatku.
Seruput… ah.. kopi ini nikmat sekali!. Tuhan begitu baik dengan menciptakan biji hitam yang nikmatnya luar biasa! Aku memang pecandu kopi, sehari aku bisa menghabiskan sampai tiga gelas kopi, untunglah aku aku masih bisa membatasi sampai tiga gelas, karena menurut mbah Google toleransi tubuh perut kita dalam menahan zat asam yang terkandung dalam kopi maksimal tiga gelas. Bahkan aku pernah menghabiskan seratus lima puluh ribu hanya untuk segelas kopi Luwak ketika aku berkunjung ke kota Batu, kota asal ibuku.
Kopi adalah komoditas bernilai tinggi, konon katanya kopi terbaik didunia dihasilkan dari perkebunan kopi di Indonesia tepatnya di Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Setidaknya itulah penilaian Starbuck, sebuah perusahaan kopi terbesar di dunia. Bahkan kopi merupakan sumber komoditas yang membuat VOC datang ke Indonesia, karena pada waktu itu, kopi merupakan komoditas dunia bernilai tinggi selain rempah-rempah lainnya seperti lada, cengkeh, pala, dan adas, seperti halnya minyak bumi pada saat ini, yang punya efek domino terhadap harga-harga komoditas yang lain. Era kolonialisme memang ditandai dengan pencarian sumber-sumber ekonomi atau komoditas-komoditas bernilai ekonomi seperti kopi yang memicu penjajahan biadab bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa lain, termasuk Indonesia. Pada zaman Kolonial, perbudakan dengan sistem Cultuurstelsel terhadap para petani kopi pribumi merupakan ciri khas dalam menggerakan sumber daya manusia untuk mengelola perkebunan kopi oleh para penjajah.
Aku lirik jam tanganku menunjukan pukul 00.15 WIB, sedangkan hujan masih saja terus “menghantam” bumi. “ya.. Tuhan sampai kapan hujan akan reda”. Kopi sudah hampir dingin dan kacang goreng hanya tersisa lima biji, tiba-tiba ponselku berdering sesaat. “ya ampun hari gini cuma missed call”. Aku kaget bahwa ternyata yang missed call adalah Farid, seorang sahabat yang satu prinsip, satu idealisme satu pemikiran atau bahkan satu hati, teman minum kopi dikedai kopi ini. “belum tidur kawan?”, aku langsung kirim pesan. “tak ada kantuk!. Masih dikantor?”, tak berselang lama sahabatku membalas. “aku lagi dikedai kopi, tak sengaja mampir karena kehujanan dijalan”.
Tiba-tiba, kriiiing...kriiing.. sahabatku menelpon. “serius kamu lagi dikedai kopi kawan?!”, tanpa halo sahabatku langsung pada pokok pertanyaan. “iya, serius!”, “tunggu, kurang dari sepuluh menit aku tiba disana!” aku kaget, dengan nada antusias sahabatku yang ingin datang ke kedai kopi. “kamu sudah gila, ini lagi hujan, dan kamu liat sekarang jam berapa!”, “ada sesuatu yang ingin aku sampaikan dan diskusikan denganmu kawan, mendesak! Agar aku bisa tidur malam ini, aku ingin mencurahkan semua ini padamu, aku ingin malam ini ada jawabannya tentang kegelisahanku ini. Hujan bagiku tidak jadi masalah, ada mobil bapak saya, gimana kawan?”. Aku tidak rela menolak pinta sahabatku ini, walaupun sebenarnya aku sangat lelah dan ingin secepatnya memeluk guling. Ini akan menjadi malam yang panjang, “okelah kalau begitu.. aku tunggu”. Tut..tut..tut.. sahabatku langsung menutup telepon. (Bersambung)
Tak lama berselang, perempuan itu datang dengan pesanannya. “dari mana nih hujan-hujan gini?” tak disangka, perempuan yang biasanya hanya konsentrasi pada pesanan dan mesin kasir tiba mengajaku berkomunikasi. “pulang kerja teh..”, “wah, sampai larut gini, emang kerja dimana?” perempuan itu bertanya sambil menyodorkan kacang goreng, “ah.. biasa teh kalau kuli mah, jam segini baru pulang”, aku merendah. “he..he..”, perempuan itu terkekeh sambil kembali ke ruang belakang. “mau tutup jam berapa teh”, pertanyaanku menghentikan langkah kaki perempuan itu. “sok lah.. mau jam berapa juga, lagian kita biasanya menggiling kopi sampai jam tiga, bahkan sampai shubuh”, perempuan itu menantang. “wah.. serius nih, sampai hujan reda yah”, pintaku. “okelah lah kalau begitu he..he..”, ha..ha.. perempuan itu menjiplak kalimatku.
Seruput… ah.. kopi ini nikmat sekali!. Tuhan begitu baik dengan menciptakan biji hitam yang nikmatnya luar biasa! Aku memang pecandu kopi, sehari aku bisa menghabiskan sampai tiga gelas kopi, untunglah aku aku masih bisa membatasi sampai tiga gelas, karena menurut mbah Google toleransi tubuh perut kita dalam menahan zat asam yang terkandung dalam kopi maksimal tiga gelas. Bahkan aku pernah menghabiskan seratus lima puluh ribu hanya untuk segelas kopi Luwak ketika aku berkunjung ke kota Batu, kota asal ibuku.
Kopi adalah komoditas bernilai tinggi, konon katanya kopi terbaik didunia dihasilkan dari perkebunan kopi di Indonesia tepatnya di Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Setidaknya itulah penilaian Starbuck, sebuah perusahaan kopi terbesar di dunia. Bahkan kopi merupakan sumber komoditas yang membuat VOC datang ke Indonesia, karena pada waktu itu, kopi merupakan komoditas dunia bernilai tinggi selain rempah-rempah lainnya seperti lada, cengkeh, pala, dan adas, seperti halnya minyak bumi pada saat ini, yang punya efek domino terhadap harga-harga komoditas yang lain. Era kolonialisme memang ditandai dengan pencarian sumber-sumber ekonomi atau komoditas-komoditas bernilai ekonomi seperti kopi yang memicu penjajahan biadab bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa lain, termasuk Indonesia. Pada zaman Kolonial, perbudakan dengan sistem Cultuurstelsel terhadap para petani kopi pribumi merupakan ciri khas dalam menggerakan sumber daya manusia untuk mengelola perkebunan kopi oleh para penjajah.
Aku lirik jam tanganku menunjukan pukul 00.15 WIB, sedangkan hujan masih saja terus “menghantam” bumi. “ya.. Tuhan sampai kapan hujan akan reda”. Kopi sudah hampir dingin dan kacang goreng hanya tersisa lima biji, tiba-tiba ponselku berdering sesaat. “ya ampun hari gini cuma missed call”. Aku kaget bahwa ternyata yang missed call adalah Farid, seorang sahabat yang satu prinsip, satu idealisme satu pemikiran atau bahkan satu hati, teman minum kopi dikedai kopi ini. “belum tidur kawan?”, aku langsung kirim pesan. “tak ada kantuk!. Masih dikantor?”, tak berselang lama sahabatku membalas. “aku lagi dikedai kopi, tak sengaja mampir karena kehujanan dijalan”.
Tiba-tiba, kriiiing...kriiing.. sahabatku menelpon. “serius kamu lagi dikedai kopi kawan?!”, tanpa halo sahabatku langsung pada pokok pertanyaan. “iya, serius!”, “tunggu, kurang dari sepuluh menit aku tiba disana!” aku kaget, dengan nada antusias sahabatku yang ingin datang ke kedai kopi. “kamu sudah gila, ini lagi hujan, dan kamu liat sekarang jam berapa!”, “ada sesuatu yang ingin aku sampaikan dan diskusikan denganmu kawan, mendesak! Agar aku bisa tidur malam ini, aku ingin mencurahkan semua ini padamu, aku ingin malam ini ada jawabannya tentang kegelisahanku ini. Hujan bagiku tidak jadi masalah, ada mobil bapak saya, gimana kawan?”. Aku tidak rela menolak pinta sahabatku ini, walaupun sebenarnya aku sangat lelah dan ingin secepatnya memeluk guling. Ini akan menjadi malam yang panjang, “okelah kalau begitu.. aku tunggu”. Tut..tut..tut.. sahabatku langsung menutup telepon. (Bersambung)
Penulis : Rino Sundawa Putra, Dosen FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat dalam Koran Mingguan Tasikplus.
0 komentar:
Post a Comment