Hukum Indonesia di Panggung Media
Oleh: Rino Sundawa Putra[1]
Bagi penulis, ada sedikit harapan di
mana sebagian besar masyarakat kita yang awam akan hukum, bisa sedikit
mencerna tentang bagaimana hukum itu ditegakan, bagaimana hukum itu bisa
diperdebatkan dan juga bagaimana proses hukum itu ditegakan. Dan ini
akan bermuara pada proses pendidikan hukum yang akan mengajari
masyarakat kita tentang mekanisme dan tata cara hukum itu ditegakan, dan
harapannya bagaimana masyarakat bisa mencerna hukum secara utuh
sehingga hukum tidak dianggap melulu sebagai kewajiban yang memaksa tapi lebih menyadari bahwa hukum itu adalah hak bagi setiap warga negara.
Penulis mencoba mengambil hikmah pada
rentetan-rentetan kasus demi kasus yang terjadi menyangkut permasalahan
penegakan hukum di negeri kita sekarang ini. Dari mulai kasus Anggodo,
kasus Century, kasus Gayus sampai kasus mafia hukum dan Markus –yang
katanya—dulu pernah akan dibongkar oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno
Duadji. Terlepas dari asumsi adanya permainan lain diluar ranah hukum
yang melatar belakangi semua ini (orientasi kekuasaan, jabatan dan
materi), penulis beranggapan dari rentetan inilah ternyata menyimpan
warna yang berbeda dari proses penegakan hukum itu tanpa adanya
keseriusan dalam penegakan rule of law.
Dalam konteks ini, warna yang berbeda
dalam proses penegakan hukum adalah keberadaan media. Media memberikan
pengaruh luar biasa terhadap animo, partisipasi dan perhatian publik
terhadap kasus demi kasus yang terjadi di negeri ini. Politisi, pengamat
dan praktisi hukum sering berbicara dalam menanggapi kasus demi kasus
yang tengah terjadi dengan mengatakan : “mari kita buka terang benderang
kasus ini, biarkan rakyat melihat”, maka penulis berani mengatakan
medialah yang menjadi ujung tombak dan garda terdepan dalam memberikan
“cahaya” penerang dari setiap kasus hukum yang tengah terjadi.
Dalam kerangka relasi antara negara dan
masyarakat sipil, media menjadi pilar utama dalam menjembatani
kepentingan rakyat terhadap penguasa dimana hal ini akan membangun
kesadaran masyarakat sipil dalam membangun relasi dengan negara
(kekuasaan) termasuk hukum didalamnya. Dan fungsi inilah yang dikatakan
sebagai fungsi kontrol sosial yang diemban oleh media untuk mengawal
demokrasi bangsa ini yang masih seumur jagung.
Hampir selama 32 tahun media “diborgol”
oleh tangan kekuasaan supaya berhati-hati dalam memberitakan sesuatu,
terutama menyangkut kepentingan penguasa, kini media sangat leluasa dan
bebas memberitakan segala sesuatu hal. Serentetan kasus hukum yang
menimpa sejumlah petinggi negara, kini tidak luput dari incaran media.
Apa yang diberitakan oleh media menyangkut sejumlah kasus hukum yang
terjadi, secara perlahan memberikan masyarakat edukasi, edukasi yang
tidak hanya menggambarkan bagaimana rusaknya sistem penegakan hukum dan
rusaknya moralitas para penegak dinegeri ini, tapi memberikan rangsangan
supaya masyarakat berani melawan, berani kritis bila ada persoalan
hukum yang dianggap mencedarai rasa keadilan masyarakat.
Masih ingat dalam ingatan kita,
bagaimana kasus hukum Prita melawan Rumah Sakit Omni International,
bagaimana kasus Mbo Minah yang mencuri tiga biji Kakao. Reaksi publik
begitu kuat dalam menyikapi kedua kasus hukum tersebut, ini
mengindikasikan bahwa kesadaran masyarakat dalam mengkontruksikan hukum
sebagai hak yang melindungi warganya semakin kuat. Artinya publik akan
bereaksi bilamana hukum sudah mencederai rasa keadilan masyarakat. Dan
dibalik ini semua, media yang paling berperan dalam “mementaskan” hukum
ditengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari pendidikan hukum rakyat.
Di media, kita melihat bagaimana para
pengamat, praktisi hukum dan para pengacara berdebat dan berargumentasi
tentang bagaimana hukum itu ditegakan, media membuka sebuah diskusi yang
memberikan ruang informasi bagi publik tentang bagaimana hukum itu
harus diposisikan. Kita lihat, pentas kasus hukum yang pernah
diperlihatkan oleh media, dimana saat itu Komjen Susno Duadji menjadi
pemeran utamanya. Opini masyarakat kini telah diramaikan oleh pendapat,
pro dan kontra dimana masyarakat memberikan penilaian terhadap apa yang
dialami oleh Susno saat itu. Rasa keadilan masyarakat mungkin kembali
diuji, dimana “sang peniup peluit” ternyata mendapatkan “kartu merah”,
sang jenderal bintang tiga ternyata kini meringkuk di tahanan. Dan ini
menurut penulis akan membangun sebuah daya nalar bagi masyarakat luas
mengenai apa itu hukum, masyarakat diberikan kebebasan untuk menilai dan
mengkontruksikan bagaimana hukum itu harus dikelola dan bagaimana
proses penegakan hukum dinegara ini. Hukum bukan sebuah hal yang
mengawang-ngawang, dan proses inilah sebagai bagian penguatan kesadaran
masyarakat agar terjadi pembukaan akses terhadap hukum yang
dikonotasikan sebagai domain kekuasaan, dimana masyarakat biasa ternyata
bisa menjamah hukum itu.
Penegakan hukum sudah seharusnya
memberi ruang terhadap rasa keadilan masyarakat, dimana dalam
prosesnya, partisipasi, opini dan penilaian harus dilempar kepada
ruang-ruang publik. Ada jalur dimana proses penegakan hukum dan
pencarian keadilan tidak hanya digelar dalam ruang-ruang pengadilan,
tapi keadilan itu bisa ditempuh dengan cara mengukur sejauh mana rasa
keadilan itu disebarkan. Ini adalah tugas para penegak dan aparatur
hukum, sejauh mana mereka peka terhadap penilaian publik dalam sebuah
kasus yang terjadi. Pentas hukum inilah yang harus terus diberikan oleh
media kepada masyarakat, agar aparat penegak hukum diberikan second opinion sebagai pembanding supaya bisa mengukur rasa keadilan dan hak-hak masyarakat yang wajib dilindungi oleh hukum tersebut.
Demokrasi tidak hanya membuka akses
terhadap wilayah-wilayah kekuasaan, demokrasi juga harus membuka akses
seluas-luasnya terhadap proses penegakan hukum. Tidak hanya kekuasaan,
hukum pun harus dikontrol oleh kehendak publik. Hukum harus bersifat
fleksibel tidak kaku, bisa dijamah oleh semua orang. Ruang yang kini
disajikan oleh media dengan “mementaskan” hukum ke tengah-tengah
masyarakat adalah awal yang baik untuk memberikan alternatif baru bagi
penegakan hukum di negara ini. Hukum harus terbuka guna memberikan ruang
penilaian bagi masyarakat. Keadilan yang menjadi tujuan proses
penegakan hukum, menjadi kabur apabila makna keadilan itu hanya
dimakani, dipahami dan dirasakan oleh segelintir orang. Makna keadilan
harus merata dan dirasakan oleh banyak orang. Mungkin inilah salah satu
alternatif penegakan hukum ditengah rusaknya sistem penegakan hukum dan
moralitas para penegak hukum kita.
[1] Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
Sumber Gambar Ilustrasi : Kejaksaan Republik Indonesia
Nice info gan , semakin banyak ilmu nih heheh , jalan-jalan juga di sini yah gan ELEGAN SHOP
ReplyDelete