Hukum Indonesia di Panggung Media

Oleh: Rino Sundawa Putra[1] 

Berbicara masalah hukum, masyarakat awam mungkin akan sedikit mengkernyitkan dahi. Bagi sebagian besar masyarakat kita, hukum merupakan sebuah hal yang sangat mengawang-awang, jauh dari jangkauan pikiran. Jangankan berbicara sistem dan saluran hukum yang berlaku di negara kita, mengartikan kata hukum saja mereka kebingungan. Masyarakat sudah terlanjur menganggap hukum sebagai “mainan” orang-orang yang berada dalam episentrum kekuasaan, dan dalam prakteknya hukum yang adil hanya bisa diakses oleh orang-orang berduit, artinya azas keadilan yang terkandung dalam nilai filosofis hukum tidak pernah dirasakan secara merata apalagi oleh sebagian besar masyarakat kita yang tidak berduit dan jauh dari episentrum kekuasaan. Nilai yang terinternalisasi dalam mendefinisikan hukum bagi sebagian besar masyarakat kita adalah hukum sebagai kewajiban yang bersifat memaksa, harus dipatuhi dan bukan sebagai hak dimana setiap warga negara dilindungi oleh hukum.

Bagi penulis, ada sedikit harapan di mana sebagian besar masyarakat kita yang awam akan hukum, bisa sedikit mencerna tentang bagaimana hukum itu ditegakan, bagaimana hukum itu bisa diperdebatkan dan juga bagaimana proses hukum itu ditegakan. Dan ini akan bermuara pada proses pendidikan hukum yang akan mengajari masyarakat kita tentang mekanisme dan tata cara hukum itu ditegakan, dan harapannya bagaimana masyarakat bisa mencerna hukum secara utuh sehingga hukum tidak dianggap melulu sebagai kewajiban yang memaksa tapi lebih menyadari bahwa hukum itu adalah hak bagi setiap warga negara.

Penulis mencoba mengambil hikmah pada rentetan-rentetan kasus demi kasus yang terjadi menyangkut permasalahan penegakan hukum di negeri kita sekarang ini. Dari mulai kasus Anggodo, kasus Century, kasus Gayus sampai kasus mafia hukum dan Markus –yang katanya—dulu pernah akan dibongkar oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji. Terlepas dari asumsi adanya permainan lain diluar ranah hukum yang melatar belakangi semua ini (orientasi kekuasaan, jabatan dan materi), penulis beranggapan dari rentetan inilah ternyata menyimpan warna yang berbeda dari proses penegakan hukum itu tanpa adanya keseriusan dalam penegakan rule of law.

Dalam konteks ini, warna yang berbeda dalam proses penegakan hukum adalah keberadaan media. Media memberikan pengaruh luar biasa terhadap animo, partisipasi dan perhatian publik terhadap kasus demi kasus yang terjadi di negeri ini. Politisi, pengamat dan praktisi hukum sering berbicara dalam menanggapi kasus demi kasus yang tengah terjadi dengan mengatakan : “mari kita buka terang benderang kasus ini, biarkan rakyat melihat”, maka penulis berani mengatakan medialah yang menjadi ujung tombak dan garda terdepan dalam memberikan “cahaya” penerang dari setiap kasus hukum yang tengah terjadi.

Dalam kerangka relasi antara negara dan masyarakat sipil, media menjadi pilar utama dalam menjembatani kepentingan rakyat terhadap penguasa dimana hal ini akan membangun kesadaran masyarakat sipil dalam membangun relasi dengan negara (kekuasaan) termasuk hukum didalamnya. Dan fungsi inilah yang dikatakan sebagai fungsi kontrol sosial yang diemban oleh media untuk mengawal demokrasi bangsa ini yang masih seumur jagung.

Hampir selama 32 tahun media “diborgol” oleh tangan kekuasaan supaya berhati-hati dalam memberitakan sesuatu, terutama menyangkut kepentingan penguasa, kini media sangat leluasa dan bebas memberitakan segala sesuatu hal. Serentetan kasus hukum yang menimpa sejumlah petinggi negara, kini tidak luput dari incaran media. Apa yang diberitakan oleh media menyangkut sejumlah kasus hukum yang terjadi, secara perlahan memberikan masyarakat edukasi, edukasi yang tidak hanya menggambarkan bagaimana rusaknya sistem penegakan hukum dan rusaknya moralitas para penegak dinegeri ini, tapi memberikan rangsangan supaya masyarakat berani melawan, berani kritis bila ada persoalan hukum yang dianggap mencedarai rasa keadilan masyarakat.

Masih ingat dalam ingatan kita, bagaimana kasus hukum Prita melawan Rumah Sakit Omni International, bagaimana kasus Mbo Minah yang mencuri tiga biji Kakao. Reaksi publik begitu kuat dalam menyikapi kedua kasus hukum tersebut, ini mengindikasikan bahwa kesadaran masyarakat dalam mengkontruksikan hukum sebagai hak yang melindungi warganya semakin kuat. Artinya publik akan bereaksi bilamana hukum sudah mencederai rasa keadilan masyarakat. Dan dibalik ini semua, media yang paling berperan dalam “mementaskan” hukum ditengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari pendidikan hukum rakyat.

Di media, kita melihat bagaimana para pengamat, praktisi hukum dan para pengacara berdebat dan berargumentasi tentang bagaimana hukum itu ditegakan, media membuka sebuah diskusi yang memberikan ruang informasi bagi publik tentang bagaimana hukum itu harus diposisikan. Kita lihat, pentas kasus hukum yang pernah diperlihatkan oleh media, dimana saat itu Komjen Susno Duadji menjadi pemeran utamanya. Opini masyarakat kini telah diramaikan oleh pendapat, pro dan kontra dimana masyarakat memberikan penilaian terhadap apa yang dialami oleh Susno saat itu. Rasa keadilan masyarakat mungkin kembali diuji, dimana “sang peniup peluit” ternyata mendapatkan “kartu merah”, sang jenderal bintang tiga ternyata kini  meringkuk di tahanan. Dan ini menurut penulis akan membangun sebuah daya nalar bagi masyarakat luas mengenai apa itu hukum, masyarakat diberikan kebebasan untuk menilai dan mengkontruksikan bagaimana hukum itu harus dikelola dan bagaimana proses penegakan hukum dinegara ini. Hukum bukan sebuah hal yang mengawang-ngawang, dan proses inilah sebagai bagian penguatan kesadaran masyarakat agar terjadi pembukaan akses terhadap hukum yang dikonotasikan sebagai domain kekuasaan, dimana masyarakat biasa ternyata bisa menjamah hukum itu.

Penegakan hukum sudah seharusnya  memberi ruang terhadap rasa keadilan masyarakat, dimana dalam prosesnya, partisipasi, opini dan penilaian harus dilempar kepada ruang-ruang publik. Ada jalur dimana proses penegakan hukum dan pencarian keadilan tidak hanya digelar dalam ruang-ruang pengadilan, tapi keadilan itu bisa ditempuh dengan cara mengukur sejauh mana rasa keadilan itu disebarkan. Ini adalah tugas para penegak dan aparatur hukum, sejauh mana mereka peka terhadap penilaian publik dalam sebuah kasus yang terjadi. Pentas hukum inilah yang harus terus diberikan oleh media kepada masyarakat, agar aparat penegak hukum diberikan second opinion sebagai pembanding supaya bisa mengukur rasa keadilan dan hak-hak masyarakat yang wajib dilindungi oleh hukum tersebut.

Demokrasi tidak hanya membuka akses terhadap wilayah-wilayah kekuasaan, demokrasi juga harus membuka akses seluas-luasnya terhadap proses penegakan hukum. Tidak hanya kekuasaan, hukum pun harus dikontrol oleh kehendak publik. Hukum harus bersifat fleksibel tidak kaku, bisa dijamah oleh semua orang. Ruang yang kini disajikan oleh media dengan “mementaskan” hukum ke tengah-tengah masyarakat adalah awal yang baik untuk memberikan alternatif baru bagi penegakan hukum di negara ini. Hukum harus terbuka guna memberikan ruang penilaian bagi masyarakat. Keadilan yang menjadi tujuan proses penegakan hukum, menjadi kabur apabila makna keadilan itu hanya dimakani, dipahami dan dirasakan oleh segelintir orang. Makna keadilan harus merata dan dirasakan oleh banyak orang. Mungkin inilah salah satu alternatif penegakan hukum ditengah rusaknya sistem penegakan hukum dan moralitas para penegak hukum kita.


[1] Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
Sumber Gambar Ilustrasi : Kejaksaan Republik Indonesia

1 komentar:

  1. Nice info gan , semakin banyak ilmu nih heheh , jalan-jalan juga di sini yah gan ELEGAN SHOP

    ReplyDelete