Netralitas Birokrasi dalam Pilkada
Oleh : H. Bambang Kuncoro[1]
[1] Bambang Kuncoro, mantan Dekan FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya. Tulisan ini sebelumnya sudah dimuat dalam Jurnal Ilmu Politik UNSOED Purwokerto, Swara Politika Vol 10, No.1. 2007
Tujuan dalam tulisan ini adalah
mengetahui dan menjelaskan netralitas birokrasi dalam pilkada, melalui
pendekatan kualitatif dengan alat analisis normatif dan teoritis, hasil
penelitian ini diketahui dan dijelaskan secara normatif dan teoritis
cenderung dilematis, pertama, birokrasi dalam
pilkada diketahui secara individu tidak netral, memihak kepentingan
politik dan ekonomi, tetapi menghargai hak azasi manusia dalam
berpolitik (UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 59 ayat
1,3, dan 5 (g), Aristoteles, Amirudin, dan A. Zaini Bisri, Karl Marx,
Mokhtar Mas’oed), dengan demikian pola kepemimpinan kepala daerahnya
bersifat transaksional (Brun dan Bass), kedua,
birokrasi dalam pilkada secara institusional, cenderung profesional dan
bersifat netral, tetapi tidak menghargai hak azasi manusia dalam
berpolitik (UU No. 43 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No.8 tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian pasal 3 ayat 1, 2, dan 3, Hegel,
Nicholas Henry)
B. Pendahuluan
Perubahan zaman dari era kerajaan
(monarkhi) hingga berganti era pemerintahan konstitusional
(Republik/Demokrasi) Orde Lama, dan Orde Baru, kemudian era reformasi
sekarang ini. Permasalahan birokrasi di Indonesia menjadi sangat
penting, dan menentukan bagi para politikus yang ingin meraih kekuasaan
guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan monopolitik. Tulisan ini
berusaha untuk mencari penjelasan empirik tentang netralitas birokrasi
dakam Pilkada.
Di tingkat daerah sekarang pada era
desentralisasi otonomi daerah, birokrasi dijadikan “kendaraan politis”
secara struktural untuk mendukung pemenangan pilkada. Karena wacana
pemilihan kepala daerah secara langsung dapat merubah dominasi birokrasi
dalam pelayanan masyarakat pada proses pemerintah daerah. Artinya,
pemerintah daerah sebagai mitra masyarakat atau fasilitator untuk
memecahkan masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik bersama-sama
dengan seluruh elemen masyarakat, mengingat tugas pokok dan fungsi
birokrasi sebagai aktor pelayanan masyarakat yang netral adil dan
apolitis.
Realitasnya birokrasi menjadi penghambat
dan sumber masalah berkembangnya keadilan dan demokrasi seperti
terjadinya diskriminasi dan penyalahgunaan fasilitas dan dana negara,
sebagaimana diketemukan hasil penelitian dari Amirudin dan A. Zaini
Bisri, Pilkada langsung : Problem dan Prospek. Menjelaskan
bahwa biaya rata-rata pencalonan bupati/walikota dalam Pilkada langsung
di Jateng sepanjang 2005 mencapai Rp 8 Miliar (A. Zaini Bisri, 2007).
Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen
dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher menyatakan bahwa
pemerintah bukanlah solusi untuk mengatasi penyakit masyarakat, tetapi
justru menjadi bagian terbesar dari persoalan masyarakat, sistem
pelatanan masyarakat sipil cenderung dibuat terbatas dan birokrasi
relatif hanya melaksanakan tugas rutin sehari-hari (L. Misbah Hidayat,
2007).
Setahun setelah pemilu 2004, pilkada
langsung mulai digelar, keinginan dan hasrat dari berbagai kalangan agar
pegawai negeri sipil (PNS) tidak terlibat parpol pun kembali
dipermasalahkan baik oleh birokrat sendiri, pengamat, pakar maupun
elemen-elemen sosial dan politik di masyarakat, hal ini dapat dijelaskan
bahwa dari hasil pilkada langsung sejak Juni 2005, sudah menghasilkan
lebih dari 270 kepala daerah, hampir 40 persen dimenangkan kalangan
birokrat. Birokrat yang notabene adalah PNS memang tidak dilarang
mencalonkan diri dalam pilkada (Kompas, 3/1/2007).
Sebagaimana dijelaskan oleh Miftah Thoha
(1990), bahwa birokrasi yang bukan merupakan kekuatan politik ini
seharusnya dibebaskan dari pengaruh, dan keterjalinan ikatan politik
dengan kekuatan-kekuatan politik yang sewaktu-waktu bisa masuk
birokrasi, dalam hal seperti ini diharapkan pelayanan kepada masyarakat
yang diberikan oleh birokrasi netral, tidak memihak dan objektif.
Dengan demikian masalah netralitas birokrasi dalam pilkada dapat dijelaskan dengan berasumsi bahwa pertama, birokrasi sebenarnya cenderung tidak netral, kedua birokrasi harus dapat diusahakan supaya tidak netral, adil dan apolitis.
C. Pilkada dan Netralitas Birokrasi
Netralitas birokrasi
adalah birokrasi pemerintah yang tidak memihak kepada kekuatan politik
dan golongan yang dominan istilah politiknya disebut apolitic,
agar eternal pelayanan dan pengabdiannya kepada pemerintah dan kepada
seluruh masyarakat atau sebagai abdi negara dan abdi rakyat (Miftah
Thoha, 1990).
Secara etimologis birokrasi berasal dari kata “biro” (bureau) yang berarti kantor, dan kata “krasi” (cracy, kratie)
yang berarti pemerintahan (Ramlan Surbakti, 1992), dalam literature
ilmu sosial birokrasi umumnya dipandang sebagai aktor yang sekedar
menerapkan kebijaksanaan yang telah diputuskan ditempat lain, dan
mendominasi kegiatan administrasi pemerintahan, tetapi juga kehidupan
politik masyarakat secara keseluruhan (Mohtar Mas’oed, 1994).
Pilkada merupakan sarana pelaksanan
kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan atau kabupaten/kota
berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945 untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah (PPRI No 6 tahun 2005, pasal 1 ayat 1).
Sedangkan kepala dan wakil daerah adalah gubernur.wakil gubernur untuk
provinsi, bupati, dan wakil bupati untuk kabupaten serta waklikota/wakil
walikota untuk kota (PPRI No 6 tahun 2005, pasal 1 ayat 2).
D. Analisis Normatif Terhadap Netralitas Birokrasi dalam Pilkada
Secara normatif berdasarkan UURI No 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 59 ayat 1 yang menjelaskan
bahwa peserta pilkada merupakan pasangan calon yang diusulkan secara
berpasangan oleh parpol atau gabungan Parpol.
Sementara pasal 59 ayat 3 menjelaskan
bahwa parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan yang
seluas-luasnya bagi calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud pasal 58, dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud
melalui mekanisme yang demokratis dan transparan. Pasal 59 ayat 5 (g) parpol atau gabungan
parpol pada saat mendaftarkan pasangan calon wajib menyerahkan surat
pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal
dari PNS, TNI, dan anggota Kepolisian.
Berdasarkan UU RI No 43 tahun 1999
tentang perubahan atas UU RI No 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian pasal 3 ayat 1 menjelaskan bahwa PNS berkedudukan sebagai
unsure aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam
penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.
Pasal 3 ayat 2 dalam kedudukan dan tugas
sebagaimana dimaksud dengan ayat 1, PNS harus netral dari pengaruh
semua golongan dan parpol, serta tuidak diskriminatif dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan pada Pasal 3 ayat 3 untuk
menjamin netralitas PNS sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, PNS dilarang
menjadi anggota dan/atau pengurus parpol.
Analisis aspek perseorangan atau
individu menjelaskan bahwa birokrasi atau PNS dibolehkan mencalonkan
pilkada, hal ini didukung oleh peraturan tersebut di atas yang diberikan
kesempatan oleh parpol atau gabungan parpol (pasal 59 ayat 3), jika
dikaitkan dengan netralitas birokrasi dalam pilkada, terbukti birokrasi
yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala
daerah berarti tidak netral, karena harus melalui parpol dan gabungan
parpol (Pasal 59 ayat 1), dan juga diberikan kesempatan tetap berstatus
sebagai PNS, karena hanya mengundurkan diri dari jabatan negeri yakni
jabatan struktural dan jabatan fungsional (Pasal 59 ayat 5 (g), oleh
karena itu, secara individu dijamin hak azasi manusianya.
Analisis aspek institusional menjelaskan
bahwa PNS atau birokrasi yang mencalonkan diri dalam Pilkada, terbukti
melanggar UU RI No 43 tahun 1999 pasal 3 ayat 1, 2, dan 3 karena tidak
profesional mengingat jabatan pilkada adalah jabatan politik, sedangkan
jabatan PNS adalah jabatan karir administratif sebagai pelayan
masyarakat yang harus netral, sedangkan jabatan pilkada terkait dengan
parpol atau gabungan parpol, dengan demikian melanggar pasal 3 ayat 2
dan ayat 3, sehingga secara institusional birokrasi atau PNS dibatasi
hak politiknya.
Dengan demikian, birokrasi yang
memenangkan pilkada, cenderung tidak netral karena terikat oleh parpol
dan pemberi dana (pengusaha), mudah membentuk tim kerja yang solid,
tetapi kesulitan menolak permintaan meningkatkan kesejahteraan atau
kenaikan gaji para birokrat (PNS), sehingga mengorbankan pelayanan
publik.
Menurut Syamsuddin Haris dapat
dijelaskan dari sisi positif dan negatifnya, dari sisi positif terbukti
belum adanya kepercayaan terhadap parpol, artinya parpol tidak siap
dalam sumber daya manusianya, sehingga masih tergantung pada SDM yang
sudah menjadi birokrat, dari sisi negatif, peran pejabat birokrat
menjadi mendua (ambigu atau dilematis) antara politikus, atau pelayan
publik (Kompas, 3/1/2007). Birokrasi yang kalah dalam pilkada
kemungkinan akan tersolir, dimutasi dan kemungkinan terburuk akan
mengundurkan diri dari status PNS.
E. Analisis Teoritis Terhadap Netralitas Birokrasi dalam Pilkada
Miftah Thoha menjelaskan bahwa persoalan
netralitas birokrasi sejak awal perkembangannya sudah menjadi polemik
antara Karl Marx dan Hegel. Marx mulai mengelaborasi konsep birokrasi
dengan menganalisis dan mengkritik falsafah Hegel tentang negara.
Analisis Hegel menggambarkan bahwa administrasi negara atau birokrasi
sebagai jembatan antara negara dengan rakyatnya. Masyarakat ini terdiri
dari para profesi dan pengusaha yang mewakili dari berbagai kepentingan
khusus, sedangkan negara mewakili kepentingan umum. Diantara keduanya,
birokrasi pemerintah itu merupakan perantara yang memungkinkan
pesan-pesan dari kepentingan khusus tersebut tersalurkan kekepentingan
umum.
Analisis Marx menjelaskan bahwa negara
itu tidak mewakili kepentingan umum, tetapi mewakili kepentingan khusus
dari kelas dominan artinya birokrasi merupakan suatu instrumen bagi
kelas dominan untuk melaksanakan dominasinya atas kelas sosial lainnya.
Pada tingkat tertentu menjalin hubungan sangat intim dengan kelas yang
dominan dalam suatu negara.
Jika dikaitkan dengan pilkada, birokrasi cenderung tidak netral atau memihak. Pertama,
kepada kepentingan politik artinya politik merupakan hal yang melekat
pada lingkungan hidup manusia, politik hadir dimana-mana, di sekitar
kita, sadar atau tidak, mau atau tidak mau, politik ikut hadir
mempengaruhi kehidupan kita sebagai individu maupun sebagai bagian dari
kelompok masyarakat, hal itu berlangsung sejak kelahiran sampai
kematian. Maka Aristoteles menyatakan bahwa politik untuk memahami
lingkungan yakni mengatur apa yang seharusnya kita lakukan dan apa yang
seharusnya tidak dilakukan (Ramlan Surbakti, 1992).
Kedua, memihak
kepada kelas dominan atau pemilik modal, hal ini dibuktikan bahwa biaya
rata-rata pencalonan bupati/walikota dalam pilkada langsung di Jateng
sepanjang tahun 2005 mencapai Rp 8 Miliar. Secara teoritik dijelaskan
bahwa birokrasi diciptakan untuk menjelaskan fungsi pendisiplinan dan
pengendalian dan kebutuhan akan fungsi pendisiplinan, dan pengendalian
ini berkaitan dengan perkembangan kapitalisme, dengan kata lain
birokrasi berfungsi mendorong masyarakat menciptakan surplus (Mohtar
Mas’oed, 1994).
Dengan demikian, maka kepimpinan
birokrasi dalam pilkada cenderung bersifat transaksional yakni
kepemimpinan sebagai sebuah pertukaran untuk mendapatkan kepatuhan.
Artinya, terjadinya transaksi politik antara kepala daerah dengan
kekuatan politik atau parpol, dan pemilik modal atau pengusaha, yang
mengakibatkan pelayanan terhadap masyarakat terabaikan.
F. Penutup
Berkaitan dengan hasil analisis normatif
dan teoritis terhadap netralitas birokrasi dalam pilkada dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
- Netralitas birokrasi dalam pilkada cenderung delematis, jika birokrasi diberikan kemerdekaan dalam pilkada, maka birokrasi tidak netral artinya akan memihak kepada kepentingan politik (parpol) dan kepentingan ekonomi (pemberi dana), akibatnya kepentingan publik, karena pola kepimpinan kepala daerah bersifat transaksional, disamping itu, apabila birokrasi kalah dalam pilkada, maka birokrasi tersebut akan terisolir, dimutasi dan kemungkinan buruk akan mengundurkan diri sebagai PNS. Tetapi jika birokrasi dibatasi dalam pilkada, maka birokrasi tersebut akan dapat meningkatkan karier administratif secara profesional, walaupun hak azasi manusianya untuk berpolitik tidak dihargai.
- Dilematis netralitas birokrasi dalam politik ini sesuai dengan pegawai federal di AS pada tahun 1801 yang dibatasi hak politiknya, akibatnya pegawai federal tersebut merasakan sebagai kelompok kelas dua, ketika pada tahun 1976 diberikan kemerdekaan untuk berpolitik, realitasnya pegawai federal tersebut menunjukkan tingkat kenaikan keikutsertaan mereka dalam kegiatan politik, namun tidak meningkat secara signifkan. Hasil penelitian terhadap 976 pegawai federal yang diteliti diketahui bahwa 8 persen responden cenderung mengatakan “akan jauh lebih aktif”, jika mereka mendapatkan kebebasan politik yang lebih besar, 14 persen responden mengatakan “lebih aktif” dan 18 persen responden mengatakan “sedikit lebih aktif”, serta 60 persen responden mengatakan “sama saja”. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa pegawai negeri sebagai seorang individu tidak banyak merasakan pengaruh yang signifikan atas penghapusan larangan berpolitik untuknya. Artinya terlibat aktif dalam politik hasilnya tidak berdampak signifikan terhadap statusnya sebagai pegawai negeri.
Terima kasih mas informasinya :)
ReplyDeleteDISTRIBUTOR BRAMBANG GURIH
ReplyDeleteAlamat : Tanjungsari Rt. 03/08 Tegalgede Karanganyar
085642432644 / 087835479800 / 085325665492 / 085229566245
Menyediakan produk grosir brambang goreng
Spesifikasi Produk :
1. Bawang Super berkualitas sehingga tahan renyah selama 3 Bulan selama di dalam kemasan
2. Lebih Crispy
3. Rasa Gurih lebih terasa
Harga Brambang Goreng :
1. 1 ons : Rp. 2.700,-
2. 1 kg : Rp. 75.000,-
3. 1 plastik kecil : Rp. 1.000,-
4. Bisa Nego
Keuntungan Brambang Goreng :
1. Lebih renyah
2. Harga terjangkau
3. Siap pesan antar
4. Harga grosir
5. Brambang tahan lama tanpa pengawet
6. 100 % Halal
kunjungi : http://pedagangbaru.blogspot.com/2012/01/home.html
Terima kasih kunjungannya..Mohon koment yang sesuai dengan konteks tulisan di atas.. Kawan.. Terima kasih..
ReplyDeleteCiptakan Pilkada yg bersih,jujur,dan aman tanpa ada Intimidasi kekerasan.Semua demi rakyat.
ReplyDeleteWh dhu jadi kepingin belajar berpolitik nie.
Salam kenal :tonomacho.blogspot.com.
Mohon koment balik biar rame juga Blog aku & follow site di Blog aku,biar aku bisa ikutin terus Blog Bos punya.Hidup ini bertujuan untuk selalu Belajar & belajar.terima kasih.
senang mengikuti postingan anda, sangat menarik tentunya. saya harap anda mau berkenan juga mengunjungi website kami. salam kenal dari kami.
ReplyDeleteterima kasih kunjungannya kawan2..
ReplyDeletepolitik di Indonesia sungguh merana...
ReplyDeleteGak mengerti soal politik klw aku mah hehe....
ReplyDeleteane masih bocah :3 belom ngarti politik xD :p
ReplyDeleteMemang negara ini perlu orang-orang yang bisa mengurus negeri dengan benar.
ReplyDeleteHmmm... sekarang bagaimana caranya menggantikan mental yg lama dgn yg baru?
Mulai dari mana??
Ada yg bisa menjawab...???
Gak ada netralitas birokrasi dalam pilkada hehe....
ReplyDeletesaya rasa netralitas para birokrat dalam pilkada di Indonesia sangat meragukan sekali...
ReplyDeletehal itu hampir bisa dikatakan tidak mungkin...
bagus gan...
ReplyDeletehehehehehe