Politik Militer dalam Transisi Pasca Reformasi
Oleh : Mohammad Ali Andrias, S.IP., M.Si[1]
“Dalam suatu perjuangan menuju demokrasi, hubungan kekuasaan dalam suatu rezim otoriter di satu pihak tergantung pada kemampuan rezim untuk memimpin para sekutu politiknya, dan untuk mempertahankan persatuan koersinya, dan, di pihak lain, tergantung pada kemampuan kelompok oposan yang demokratis untuk memperkuat dirinya serta untuk menciptakan dukungan bagi sebuah alternatif pemegang kekuasaan” [2].
Pasca reformasi Indonesia situasi perpolitikan Indonesia sejatinya
masih belum dianggap mengalami stabilisasi politik. Konflik politik dan
kepentingan yang hanya mementingkan kelompok atau golongan elit politik
sipil, setelah mengambil alih kekuasaan otoriter Orde Baru, belum bisa
memanfaatkan dengan baik situasi kondisi demokrasi seperti ini. Jangan
sampai situasi ini dimanfaatkan oleh beberapa negara Asia lain atau
Amerika Latin, dimana peran militer mengambil alih perpolitikan negara
yang dianggap tidak kondusif. Dengan memanfaatkan situasi demikian tidak
menutup kemungkinan, militer berupaya kembali masuk politik yang
dianggap “haram” atau “tabu” selama ini.
Ditengah-tengah situasi yang rumit itu, tampaknya masyarakat
“menghendaki segera adanya situasi yang “aman” agar mereka dapat
menjalani kehidupan bersama. Dalam rangka itu, masyarakat luas tampaknya
mulai “tidak percaya” kepada elit politik sipil yang hanya “pandai
berpolitik praktis” yang menyebabkan situasi damai tak juga terwujud.
Untuk melahirkan harapan masyarakat itu, mereka pada akhirnya melirik
kekuatan yang selama ini dicurigai, bahkan dihujat karena dukungannya
terhadap Jenderal Soerharto Orde Baru yang otoriter dan korup.
Kecenderungan kembali diharapkannya TNI untuk “ikut” mengambil peranan
dalam pemerintahan bangsa-negara , tampak di dalam hasil polling
di Metro TV beberapa waktu lalu. Hasilnya sekitar 76% peserta memberi
suara terhadap (kemungkinan) kembalinya TNI ke jajaran pemerintahan.
Tentu saja hasil polling itu dapar “diperdebatkan”, apalagi peneleponnya berasal dari Jakarta, namun paling tidak hasil polling dapat dibaca gejala berubahnya pandangan masyarakat dewasa ini.
Penentangan militer pada era Orde Lama bisa dilihat secara historis
misalnya munculnya DI/TII, Permesta, TKR di Sulawesi untuk menentang
pemerintahan Republik Indonesia. pasukan-pasukan bersenjata organik
milik pemerintah tampak saling bersaing dengan wilayah kekuasaannya
masing-masing. Bahkan diantara batalyon-batalyon itu pernah berkelahi
sendiri dalam bentuk kontak senjata di antara mereka, demikian pula
halnya dengan pasukan-pasukan bersenjata DI/TII dengan TKR saling
bersaing dan bertempur. Dengan demikian ada persaingan internal dan
eksternal diantara pasukan-pasukan itu.
Sejalan dengan itu, tampak bahwa posisi militer, TNI sebagai sebuah
kekuatan terorganisasi dan alat negara setiap periode yang ditandai oleh
terjadinya perubahan militer, memang menjadi pembicaraan untuk
“meletakkan” posisi militer itu dalam kerangka pengaturan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam rangka itu, yang sering tampil sebagai
topik pembicaraan dalam setiap periode perubahan itu ialah hubungan
sipil-militer. Selanjutnya bagaimana dan di mana posisi militer dalam
percaturan politik negara. Dengan demikian, yang akan menjadi topik
pembicaraan itu berfokus pada peranan sosial politik militer.
Berbicara permasalahan tentang hubungan sipil militer, Dr Salim Said
sebagai pengamat militer Indonesia cukup menarik jawaban, menurutnya :
Kalau berbicara hubungan sipil-militer di Indonesia kita bicara dalam dua tataran. Pada tataran legal konstitusional dan civilian supremacy. Artinya, orang yang dipilih rakyat itulah yang berkuasa, termasuk berkuasa atas TNI sesuai Pasal 10 UUD 45. Sedangkan dalam tataran politik, adalah suatu kenyataan bahwa sejak awal kemerdekaan TNI memainkan peranan politik. Tanpa doktrin Dwifungsi dari “jalan tengah” mereka telah mempunyai peranan politik. Peranan ini membesar atau mengecil tidak tergantung dialektik antara kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat dengan militer.
Persoalan hubungan sipil-militer ini memang merupakan hal yang
sekarang menemukan “bentuknya” yang tepat, bahkan sampai sekarang. Dan
hal ini pula yang menyebabkan persoalan posisi militer selalu dalam
situasi yang rumit. Sejak awal terbentuknya, yang dilakukan oleh dirinya
sendiri, sebagaimana secara factual historis, dan ini juga
dikatakan oleh Dr. Salim Said, militer memang selalu berada di dalam
posisi “perebutan”. Atau bisa dikatakan sebagai Pergulatan Kekuatan-Kekuatan untuk Menguasai Militer.
Adanya situasi rumit untuk melakukan pergantian komandan di
lingkungan militer, dan terjadinya friksi-friksi di lingkungan Markas
Besar dan Kementrian Pertahanan pada tahun 1950-an, tidak hanya
disebabkan oleh karena kebermacaman warna dari pasukan-pasukan militer
sebagai akibat proses pembentukan dirinya sendiri, melainkan karena
kekuatan-kekuatan politik memang melakukan strategi untuk merebut
pengaruh di lingkungan militer. Setiap menteri pertahanan yang diangkat
di dalam kabinet yang dibentuk, akan berusaha untuk menempatkan
“orang-orang kita, baik di Kementerian Pertahanan, tetapi juga di Markas
Besar TNI.
Puncak dari situasi buruk hubungan sipil-militer ketika terjadi
peristiwa 17 Oktober 1952. Dampak dari peristiwa ini memang membekas
amat dalam yang bahkan “mengorbankan” sejumlah perwira terbaik dan
pembentuk TNI yang awal, seperti Mayjen Simatupang dan Kolonel Nasution.
Setelah melewati situasi rumit dengan bentuk penyelesaian yang “tidak
selesai”, maka setelah Pemilu 1955, posisi Nasution dikembalikan untuk
menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Tetapi sayangnya (hasil)Pemilu tahun 1955, tidak dengan segera
menyelesaikan persoalan, bahkan yang terjadi ialah persoalan-persoalan
baru, tidak hanya yang berkaitan dengan persoalan hubungan
sipil-militer, melainkan makin lebar ke kawasan lain, yakni hubungan
Pusat (Jakarta-Jawa) dengan Daerah (luar Jawa). Ternyata hubungan
Pusat-Daerah ini tidak dapat pula dilepaskan dari persoalan “di mana
posisi militer dalam rangka pengaturan hidup bersama dan pemerintahan
negara”.
Apa yang terjadi setelah Nasution memegang pimpinan TNI-AD
menunjukkan bahwa dalam perjalannya, ia berusaha mencari suatu rumusan
“yang pasti” di mana tempat TNI dalam rangka peranannya sebagai kekuatan
alat negara. Dalam rangka itulah Nasution merumuskan “Jalan Tengah”
yang dikenal lebih lanjut dengan Dwifungsi ABRI.
Ketika Demokrasi Terpimpin, maka diwfungsi ABRI “secara embriotik”
mulai tampak lebih jelas. Tetapi pelaksanaannya “dapat dikontrol” karena
yang melaksanakan adalah “penciptaan” sendiri, yakni Jenderal Nasution.
Lain halnya ketika dwifungsi ini diwujudkan dengan sebuah pelaksanaan
yang sistematis dan menjadi bagian dari sistem politik yang dikembangkan
selama periode kekuasaan Jenderal Soeharto (Orde Baru). Selama itu,
dengan berpegang pada formula dwifungsi yang dikembangkan Jenderal
Soeharto, ketika menyaksikan penetrasi anggota TNI-ABRI ke struktur
pemerintahan di luar struktur TNI-ABRI, mulai dari camat, bupati,
direktur, dirjen-sekjen-irjen di “semua” departemen. Kita juga
menyaksikan Golkar sudah menjadi organisasi politik yang “dikuasai”
TNI-ABRI dari tingkat pusat sampai tingkat kabupaten. Dalam rangka
pelaksanaan strategi politik bagi kemenangan Golkar maka
dilaksanakanlah, pertama, massa mengambang, kedua, monoloyalitas bagi PNS (Sipil).
Perjalananan TNI-ABRI dengan dwifungsi berlangsung bersama dengan
sistem kekuasaan Presiden Jenderal Soeharto dan ketika kekuasaan rezim
ini jatuh, maka posisi militer pun kembali digugat. Dwifungsi pun
“diteriakkan sebagai barang haram” dan harus dihapuskan. Teriakan
tersebut mendapat sambutan dari lingkungan TNI sendiri. Banyak hal yang
dilakukan dalam rangka reposisi TNI itu, yang pertama, istilah
ABRI tidak digunakan lagi dan sepenuhnya hanya digunakan TNI. Yang
kedua, Polri dipisahkan kembali dari TNI dan Polri berada di bawah
langsung Presiden. Yang ketiga, TNI aktif yang memegang jabatan
struktural non-TNI di departemen-departemen tidak lagi diperbolehkan
untuk tetap menggunakan atribut TNI. Artinya kalau tetap pada jabatan
non TNI, harus pensiun.
Ketika situasi berubah di dalam rangka isu reformasi, maka kembali
posisi TNI dipertanyakan dan dwifungsi pun digugat. Pengamat militer
Salim Said memberikan pandangannya :
Secara legal, penghapusan dwifungsi haruslah merupakan keputusan politik dari wakil-wakil rakyat atau elected politicians. Selama para politisi yang mewakili rakyat itu bisa secara bersama mengelola negara ini tanpa menjegal satu dengan lainnya, maka selama itu pula TNI tidak akan punya alasan untuk mengatakan bahwa mereka harus masuk politik untuk jadi juru selamat.
Selanjutnya Salim Said menyatakan bahwa :
Keputusan pimpinan TNI untuk menghapuskan dwifungsi, bahkan sebelum MPR dan DPR mengambil keputusan final mengenai hal tersebut, bisa dilihat sebagai bukti kepekaan TNI terhadap aspirasi masyarakat. Tetapi ini juga bisa hanya sekedar usaha sementara untuk meredakan kemarahan masyarakat. Buktinya masih banyak jabatan birokrasi yang masih diduduki oleh militer di berbagai departemen.
Melihat pandangan ini jelas bahwa penentuan posisi TNI haruslah
ditentukan oleh (sebuah) keputusan politik dari wakil-wakil rakyat,
atau politisi-politisi (sipil) yang terpilih melalui Pemilu. Tetapi
penentuan itu hanya dapat dilakukan kalau para politisi (sipil) yang
mewakili rakyat itu dapat mengelola negara tanpa konflik, istilah yang
digunakannya, “tanpa menjegal satu dengan yang lainnya” diantara mereka.
Yang dimaksud oleh Salim Said ialah selama para politisi sipil dapat
“dipecah”, maka peluang bagi campur tangan TNI yang dilakukan dengan
“melampui batas” kewenangannya, setiap kali dapat dilakukan. Dengan
keterangan itu, ia mempersyaratkan “keutuhan politik” diantara para
politisi sipil, wakil rakyat, untuk mengakhiri “campur tangan” TNI di
bidang non TNI.
Kemudian ada hal yang menarik dari pandangannya, tentang penghapusan
dwifungsi itu. Dari sudut pandang TNI, dapat dilihat dari sudut yang
berbeda. Yang pertama, adanya kepekaan TNI terhadap aspirasi rakyat, yang kedua,
untuk meredakan rakyat. Hal pertama, tentu mempunyai makna yang
positif. Artinya secara politik, TNI memiliki kemampuan untuk menangkap
aspirasi rakyat terhadap TNI. Dengan itu, TNI dapat mempertahankan
komitmennya “untuk bersama-sama dengan rakyat”.
Sebaliknya dengan hal yang kedua, yang bersifat “taktik” untuk
mempertahankan diri. Jelas hal kedua ini lebih bersifat negatif. Artinya
langkah untuk menghapuskan dwifungsi itu dilakukan tetap dalam rangka
mempertahankan posisi TNI di tempat-tempat strategis di non-TNI.
Ketika SU MPR yang angota-anggotanya dipilih melalui pemilu 1999,
maka ada hal yang menarik. Yakni dipertahankannya keanggotaan TNI-Polri
sampai 2009. Keputusan ini memang melahirkan wacana, karena dianggap
sebagai keputusan yang kontroversial. Bahkan tokoh yang waktu itu
berkedudukan sebagai Menteri Pertahankan, seperti Prof.Dr. Juwono
Soedarsono memberikan reaksi yang “agak emosional”, terhadap keputusan
itu. Tampak tokoh yang sering “digambarkan” dekat TNI itu, “amat” tidak
setuju dengan keputusan yang memperpanjang posisi TNI di dalam lembaga
legislatif.
Sehubungan dengan itu, ketika keputusan politik yang berkaitan dengan
waktu pengakhiran keberadaan TNI di MPR itu, ditanyakan Salim Said :
Barangkali mungkin saya salah, tetapi saya melihat ini sebagai indikator dari belum tumbuhnya rasa percaya diri para politisi sipil kepada diri mereka serta proses politik demokratis. Mereka tampaknya masih dihantui oleh pengalaman Orde Baru yang menunjukkan bahwa suatu pemerintahan hanya bisa stabil dan bertahan lama jika ia menguasai dan didukung tentara.
Dari analisis tersebut sebenarnya dapat ditafsirkan bahwa ia
memberikan kritik yang tajam terhadap politisi sipil termasuk Alm. Gus
Dur, karena belum mampu mengembangkan kekuatannya untuk “tidak terlepas”
dari bayang-bayang kekuatan politik TNI-Polri, sebagaimana yang terjadi
di dalam periode Orde Baru[3].
Upaya bangsa Indonesia membangun demokrasi, telah membawa sejarah
politik militer di Indonesia pasca Soeharto ke dalam situasi yang sangat
krusial. Situasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh
masyarakat maupun militer sendiri. Kekecewaan massa terhadap peran
militer yang dinilai koersif mendukung rezim otoritarian, terakumulasi
sekian lama, lalu meledak setelah menemukan momentumnya. Kekuatan massa
itu kemudian berhasil memaksa militer dalam banyak hal untuk “tunduk”
kepada sipil. Militer dipaksa untuk tidak lagi menyentuh ranah politik,
dan diminta kembali ke barak. Sebaliknya militer diminta mengembangkan
profesionalisme, sehingga tanggungjawab kepada masyarakat dan negara
bukan kepada kepentingan rezim penguasa.
Menghadapi tekanan yang besar, mau tidak mau, secara internal militer
kemudian melakukan reformasi, dengan mencoba mereposisi dan
meredefinisi peran sosial politiknya. Sementara itu, politisi sipil
memperoleh jalan lebar untuk mencoba mengisi dan mengendalikan berbagai
posisi strategis yang di masa lalu di pegang militer, sehingga
menimbulkan gelombang perubahan di kalangan sipil maupun di tubuh
militer.
Perubahan peran militer dapat dilihat diparlemen, TNI seolah hanya
mengikuti irama politisi sipil. Dalam beberapa kasus pemungutan suara di
DPR, fraksi TNI memilih netral. Hanya ketika DPR mengambil suara dalam
kasus Buloggate dan Brunaigate, fraksi TNI mendukung temuan Pansus DPR
yang cenderung menyudutkan posisi Gus Dur.
Namun ketika melihat sikap TNI dalam penanganan konflik kekerasan
yang cenderung meluas di berbagai daerah di Indonesia. TNI terkesan
lamban, dengan alasan takut salah mengambil langkah. TNI trauma karena
nanti dianggap tuduhan pelanggaran HAM. TNI kemudian merasa membutuhkan
payung politik, antara lain instruksi dari penguasa yang ada di tangan
sipil. Ironisnya, penguasa sipil itu tidak segera menurukan instruksi
yang jelas dalam mengatasi konflik komunal[4].
Apa yang diperoleh militer pada era reformasi tersebut, sangat jauh
berbeda dengan apa yang diperankan militer pada masa-masa sebelumnya.
Rezim Soeharto militer memiliki peran yang sangat dominan. Peran militer
merambah hampir seluruh aspek kehidupan sosial, sehingga Wiliam Liddle
sempat menyebut sebagai primus inter pares. Begitu besarnya
peran mereka sehingga berimplikasi kepada melemahnya berbagai kekuatan
sosial politik masyarakat dan menguatnya korporatisme negara.
Dengan demikian sejumlah pertanyaan masih sangat terbuka, apakah
militer benar-benar akan “kembali ke barak” dan menjadi militer
profesional seperti yang ada pada militer Amerika Serikat, sehingga
dengan demikian membuka kemungkinan bagi tumbuhnya apa yang disebut
dengan “supremasi sipil”. Ataukah militer mencoba mendefinisikan citra
dirinya dalam format yang lain, misalnya sebagai tentara revolusi? Atau
justru berkemungkinan menjadi tentara praetorian sehingga tentara tetap
saja mengalami politisasi, yang hanya berarti akan memperlebar
kemungkinan kembalinya militer menjadi alat Presiden dan bukan lagi alat
masyarakat dan negara.
Kesimpang siuran peran militer dalam politik itu bukan semata-mata
disebabkan adanya konflik kepentingan di tubuh internal militer seiring
dengan munculnya persaingan antar friksi. Di kalangan masyarakat Nampak
belum ada kata sepakat, suara masyarakat yang menghendaki supremasi
sipil dengan cara mengurangi peran militer dalam politik semaksimal
mungkin, ternyata tidak bulat. Sebuah jajak pendapat menghendaki peran
militer lepas dari politik praktis 30,2% lebih rendah, dari mereka yang
tidak menghendaki lepas dari politik praktis (31,6%), sedangkan sisanya
38% lainnya menyatakan bergantung situasi. Kalau situasi menghendaki,
kenapa tidak[5].
Penelitian peran militer dalam politik di dunia oleh Perlmutter bisa
dijadikan pelajaran berharga. Sejarah militer di manapun tidak
berkembang secara linier seperti yang sesederhana dibayangkan orang.
Ideologi militer di sebuah negara bisa saja berubah-ubah. Perkembangan
sejarah militer di sejumlah negara diketahui mengalami pergeseran.
Militer di sejumlah negara bergeser dari semula berorientasi profesional
namun dalam perkembangannya kemudian menjadi praetorian atau
sebaliknya, dari tentara tentara revolusi berubah ke tentara praetorian
dan begitupula sebaliknya.
Perlmutter mengatakan bahwa kemungkinan tentara revolusi berubah
menjadi prajurit praetorian jauh lebih besar, dibanding menjadi tentara
profesional. Tentara profesional akan mengubah diri menjadi praetorian
pada saat-saat krisis, misalnya ketika pemerintah sipil gagal
menjalankan tugas melindungi keamanan warga dan masa depan bangsanya.
Sementara itu, hampir setiap saat tentara revolusi bisa saja mengubah
dirinya menjadi prajurit praetorian. Hanya saja sejauh ideologi revolusi
itu masih dapat dipertahankan dominasinya, kemungkinan tentara revolusi
berubah menjadi prajurit praetorian menjadi lebih kecil. Dengan kata
lain, munculnya prajurit praetorian dari tentara revolusi, lebih
disebabkan karena tidak lagi dapat dipertahankannya dominasi partai atau
kekuatan revolusi atas kebijakan nasional.
Penutup
Dalam era reformasi ini, dalam rangka membangun TNI ke depan dengan
upaya melakukan demokratisasi, militer masih memiliki pilihan-pilihan
untuk melakukan proses trasnformasi. Hanya saja untuk kondisi saat ini,
TNI tidak memiliki syarat sosial politik yang kondusif untuk mengubah
dirinya menjadi praetorian. Sebaliknya,dalam rangka demokratisasi, TNI
tengah didorong oleh masyarakat untuk menterjemah visinya mengikuti
aturan-aturan profesionalisme militer. Masyarakat juga menghendaki agar
TNI tidak tercerabut dari akar sejarahnya, sehingga terbuka bagi TNI
untuk menggabungkan profesionalisme militer dengan visi tentara
revolusi, dengan catatan TNI tidak kembali menjalankan peran praetorian.
Dari berbagai bukti empirik, dapatlah dipersepsikan langkah-langkah
TNI masih menggambarkan keinginan untuk tetap dapat mempertahankan
kekuasaan, meski syarat sosial politik tidak banyak mendukung.
Sebetulnya, keinginan itu dapat ditoleransi, dengan catatan, tidak akan
menyumbat mengalirnya kekuatan partisipasi politik masyarakat yang
otonom. Jika TNI dapat meyakinkan publik dalam turut membangun
saluran-saluran partisipasi politik yang lebih berkembang luas, kritis,
dan otonom, maka dapat diyakini upaya TNI mempertahankan kekuasaannya
masih akan memperoleh justifikasi. Meskipun, TNI tetap bakal menghadapi
resistensi kalau dalam menjalankan kekuasaan yang dimilikinya itu lalu
mengharap berbagai privelese-privelese berlebihan.
Dalam banyak negara demokrasi, privelese bukan dihapuskan sama sekali, akan tetapi pada umumnya secara de facto
militer tidak mampu menggunakan hak-hak istimewa tersebut secara
efektif, sehingga privelese itu tidak bisa dimaksimalkan. Hak-hak
istimewa tersebut hanya dapat dijalankan dalam derajat atau gradasi yang
rendah, atau dilakukan secara moderat, misalnya komandan dinas aktif
pada setiap angkatan masih diberi kesempatan untuk berperan dalam
kabinet, militer rela melakukan power sharring, sehingga
misalnya badan pertahanan dan keamanan nasional beserta kebijakannya
tidak dikendalikan sepenuhnya oleh militer, melainkan bisa berbagi
dengan tenaga-tenaga profesional di luar militer, dalam hal ini dari
kalangan sipil.
Milihat perkembangan politik di Tanah Air, terutama dengan maraknya
konflik komunal yang terus meluas, TNI memiliki alasan untuk kembali
meminta privelese-privelese tertentu. Namun, yang jelas tidak ada alasan
bagi TNI saat ini untuk menghambat tumbuhnya kekuatan otonom dan
pemberdayaan berbagai lembaga publik yang diperlukan sebagai syarat
partisipasi politik yang demokratis. Pada posisi seperti ini,
sesungguhnya terbuka peluang membangun saluran partisipasi politik yang
luas, dan peluang yang besar bagi pembentukan kekuatan politik
masyarakat yang otonom.
Hanya nampaknya muncul political constraint baru. Kali ini
tidak datang dari kalangan militer, tetapi justru muncul dari perilaku
militerisme di kalangan sipil dalam bentuk para militer maupun milisi,
yang kadang-kadang lebih militer daripada militer itu sendiri, sehingga
berpotensi besar untuk dapat mematikan terbentuknya kekuatan otonom,
kekuatan kritis pada masyarakat dan pemberdayaan demokrasi secara
kultural maupun struktural. Oleh karena itu, konsolidasi menuju
demokrasi pada era reformasi ini belum juga kunjung selesai, meski
militer telah didesakralisasi, sementara kekuasaan setidak-tidaknya
secara formal sudah berada pada tangan sipil.
[1] Staf Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
[2] Lihat Alfred Stepan, Militer dan Demokratisasi : Pengalaman Brazil dan Beberapa Negara Lain. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti
[3]
Militer masih memperoleh jatah dalam kabinet dengan posisi yang
strategis. Gus Dur masih mempercayakan Menko Polkam kepada Letjen Susilo
Bambang Yudhoyono, Letjen (pun) Surjadi Soedirja sebagai Mendagri,
Menhub/Komunikasi kepada Letjen Agum Gumelar, dan Mendag kepada Letjen
Luhut Panjaitan.
[4]
Kekerasan yang muncul melalui jalur etnis, agama, dan juga berbagai
kepentingan komunal di negeri ini secara tak terelakkan yang kemudian
menelan korban harta dan nyawa yang tidak sedikit. Dalam tragedi
kemanusiaan di Sampity, Palangkaraya dan Pontianak. Dalam relatif
singkat telah memusnahkan ribuan rumah penduduk, lebih 400 orang tewas,
puluhan ribu etnis Madura harus mengungsi ke tanah aslinya. Belum
terhitung dengan konflik antara etnis di Ambon, Maluku, dan Aceh.
[5] Maksum dalam temuan pada Jajak Pendapat Jawa Post, 14 Maret 2001.
Sumber Gambar :
ahmadtholabi.wordpress.com
Sumber Gambar :
ahmadtholabi.wordpress.com
sekarang banyak banget terjadi konflik politik, entah apa penyebabnya. jadi heran ama Indo,
ReplyDeleteBetul sekali mas..Terima kasih kunjungannya
ReplyDeleteANALISIS YANG BAGUS
ReplyDeleteSemoga militer Indonesia ke depannya lebih profesional, mementingkan keamanan masyarakat, tidak hanya mementingkan keamanan negara saja. Rasa aman masyarakat juga perlu diprioritaskan
ReplyDeleteQuote info and thanks agan good blog article and helpful, greeting and sakam successful blogger. nice blog
ReplyDeletesekarang malah militer kita gak ada apa"nya...
ReplyDeletesaat ini lebih menonjol politiknya...
semua hal diatasi secara politik...
akhirnya korupsi dimana"...