Mesin Partai dalam Pilkada, Kasus Pilkada Jateng dan NTB

Direview Oleh : Subhan Agung

Ide Pokok Tulisan[1]

Dalam tulisan ini, penulis mengawali kajiannya dari bangunan teoritis, di mana paling tidak ada dua cara bagaimana partai bisa menjadi mesin politik yang efektif dalam proses pemenangan kepala daerah yakni : (1) organisasi partai yang memiliki kecanggihan struktur yang mampu mengenalkan kandidat yang diusungnya ke akar rumput (grass-root), (2). memilih figur kandidat yang cocok dan mewakili pemilih partai.

Pemahaman teoritis tersebut menunjukkan pada kita bahwa tidak selamanya Parpol pemenang Pemilu legislatif bisa memenangkan pemilihan kepala daerah, tergantung pada 2 hal di atas yang dilakukan oleh Parpol. Menurut  penulis artikel ini (lihat keterangan catatan kaki), keberhasilan calon yang didukung partai sangat ditentukan oleh apakah calon itu sesuai dengan harapan pemilih atau tidak. Partai besar belum jadi jaminan untuk memenangkan pemilihan.

Berfungsinya Mesin Partai
Untuk menguatkan argumen berfungsinya mesin partai, penulis mengedapankan data-data empirik hasil pemilihan langsung di Jawa Tengah, di mana Pemilu di Jawa Tengah menjadi bukti nyata bermainnya mesin partai, karena partai mampu mempromosikan figur calon yang sebelumnya kurang dikenal menjadi populis di mata masyarakat. Selain itu juga, partai mampu menempatkan figur yang diterima oleh sebagian besar konstituen partai. PDI-P sebagai partai politik pemenang Pemilu legislatif 2004 yang mendapat 29.82 persen suara mengajukan Bibit Waluyo, pensiunan perwira tinggi TNI, yang berpengalaman, namun kurang dikenal di pemilih Jawa Tengah mampu mendongkrak popularitasnya di mata pemilih. Apalagi dengan disandingkan figur yang selama ini sangat mengakar, berpengalaman yang merintis karir kepartaian dari bawah sebagai kader PDI-P yakni Rustriningsih (mantan Bupati Kebumen) semakin memantapkan pasangan ini “mengambil hati” konstituen partai khususnya, bahkan publik Jawa Tengah umumnya.

Dari data-data hasil suvey membuktikan hal di atas, di mana Bibit Waluyo pada awalnya (survey Maret 2008) hanya dikenal oleh 34, 8 % pemilih masih kalah oleh figur lainnya yang lebih polulis (Bambang Sadono, 52,5%). Tapi popularitasnya terus menanjak menjadi 66,4% sampai hampir menyamai Bambang Sadono (67.2%) di survei Mei 2008 dan disurvei bulan Juni sesaat sebelum pemilihan menjadi 73,0% mampu mengalahkan Bambang Sadono yang hanya mencapai 68.9%. Selain itu juga dari tingkat kesukaan pemilih, Bibit Waluyo, tidak seperti calon lainnya, cenderung meningkat dari 71,1 % (Maret),  72.6% (April 2008), 74.5% (Mei 2008), dan mencapai puncaknya serta tidak terkalahkan 73.9% (Juni 2008).

Kemenangan di atas, membuktikan bahwa PDI-P sebagai partai pemenang pemilahan legislatif mampu mempertahankan bahkan mampu mencuri suara tambahan dari konstituen dan publik Jawa Tengah. PDI-P sebagai partai besar di Jawa tengah secara besar-besaran mempromosikan dan mengenalkan calonnya, baik pada konstituen, maupun pada publik Jawa Tengah. Selain itu juga, keberadaan Rustriningsih sebagai figur yang diterima semua kalangan konstituen PDI-P lebih menguatkan kemenangan. Terbukti sebelum didukung oleh partai, Bibit hanya mendapat 4.8 % saja (Juli 2007) pemilih PDI-P, namun berubah menjadi 25 % (Februari 2008) setelah didukung oleh PDI-P dan wacana diduetkan dengan Rustriningsih. Bahkan di Juni 2008 (62,2%) setelah secara resmi keduanya berduet. Sampai ketika pemilihan kepala daerah keduanya memenangkan pemilihan, dengan memenangkan pemilihan di 27 kabupaten/kota dari 35 kabupaten/kota di Jateng. Pasangan ini bukan hanya menang di wilayah yang menjadi basis massa PDI-P, tetapi juga mampu mencuri suara dari wilayah yang selama ini menjadi basis partai lain.

Dari data-data tersebut kemudian penulis artikel ini menyimpulkan kemenangan pasangan Bibit Waluyo-Rustringsih membuktikan bahwa mesin partai besar pemenang pemilu legislative 2004 (PDI-P) berjalan dikarenakan, partai mampu mensosialisasikan program dan mengenalkan figur yang sebelumnya kurang dikenal menjadi populis, serta PDI-P mampu memilih figur calon yang diterima semua kalangan serta disukai konstituen partai.

Macetnya Mesin Partai
Keadaan efektifnya mesin partai besar dalam memenangkan pemilihan kepala daerah di Jawa Tengah, justru terjadi sebaliknya dalam kasus Pilkada di Nusa Tenggara Barat. Pilkada yang diikuti oleh pasangan calon : Lalu Serinata-Husni Djibril (Golkar, PDI-P, PBR dan Partai Patriot Pancasila), M. Zainul Madjdi-Bachrul Munir (PBB dan PKS), Zaini Arony-Nurdin Ranggabarani (PAN, PD, Partai Syarikat Indonesia dan PKPB) dan Nanang Samodra-Muhammad Jabir (PPP dan PKB) dimenangkan oleh pasangan Tuan Guru Bajang Zainul Madjdi-Bahrul Munir (38,84%), disusul Lalu Serinata-Husni Djibril (26,39%). Kekalahan ini menarik dikaji, karena pasangan Lalu-Husni merupakan pasangan yang didukung Golkar, partai pemenang pemilu legislative mencapai 24.86 %, PBR (7.51%), PDI-P (6.98%) sedangkan Zainul Madjdi-Bacrul Munir hanya didukung PBB (Pemilu legislative mendapat 10.24% suara), dan PKS (6,06 %).

Menurut penulis hasil ini mengejutkan banyak pengamat politik, karena Pilkada yang diduga akan dimenangkan pasangan Lalu-Husni, pasangan yang didukung oleh partai besar di NTB, didukung oleh partai yang secara total mendapatkan  40,68% suara pada Pemilu legislatif dan menguasai hampir separoh (49.07%) kursi di DPRD NTB di masing-masing kabupaten dan kota, ternyata kalah oleh pasangan Zainul Madjdi-Bachrul Munir, yang didukung oleh partai yang hanya mendapatkan 16,3% suara. Golkar mengalami kekalahan di wilayah basisnya sendiri.

Penulis mengungkapkan bahwa penyebab kekalahan adalah : pertama, figur yang diusung, yaitu Lalu Serinata kalah pamor oleh Zainul Madjdi. Hal ini dibuktikan Zainul Madjdi walaupun masih dalam usia yang masih muda (36 tahun) lebih disukai, lebih dikenal dari pada Lalu Serinata yang nota bene Gubernur NTB. Zainul Madjdi lebih dikenal (81,7%) di Maret 2008, menurun sedikit, tapi posisinya masih teratas di bulan Mei 2008 (80,7%) dan terus meningkat di Juni 2008 (85,2%), bandingkan dengan Lalu Serinata 71, 9 % di Maret 2008, suaranya memang terus meningkat tetapi masih dibawah Madjdi yaitu 75, 5% di Mei 2008 dan 77,6 % di Juni 2008. Dalam tingkat kesukaan pemilih pun Madjdi jauh di atas Lalu, walaupun cenderung terus menurun, tapi tetap masih jauh di atas rival-rivalnya.  

Kedua, disebabkan partai Golkar dan PDI-P tidak bisa meyakinkan konstituennya, bahwa kandidatnya merupakan kandidat yang tepat dan bisa menggiring pemilih seperti kasus di Jawa Tengah. Ternyata partai besar ini kurang memperhitungkan kepamoran Madjdi yang nota bene merupakan keluarga terpandang yang sangat dikenal dan disegani mengakar di NTB sebagai keluarga pendiri Nahdhotul Watan, organisasi massa Islam terbesar di NTB. Akibatnya partai besar ini, alih-alih dapat ‘mencuri’ suara dari basis suara patai lain seperti terjadi di Jateng, malahan banyak kehilangan konstituennya di pemilu legislatif 2004.

Menimbang Basis Argumen
Tulisan ini cenderung membangun basis argumennya dengan pendekatan positivisme, di mana penulis konsisten membandingkan teori yang sudah ada sebagai hipotesis, kemudian mengujinya lewat data-data empirik, dalam hal ini hasil-hasil survey tentang persoalan tersebut. Dari data-data empirik tersebut kemudian didapatkan kesimpulan-kesimpulan yang mungkin sama ataupun beda dari hipotesis yang diajukan. Kalau kemudian menemukan fakta empirik yang beda, kemudian menimbulkan teori-teori baru. Terus-menerus pendekatan positivisme bekerja dalam memandang perkembangan ilmu pengetahuan.

Dalam pemahaman positivist, suatu objek kajian yang layak dikaji harus memiliki syarat-syarat : dapat diamati (observable), dapat diulang (repeatable), dapat diukur (measurable), dapat diuji (testable) dan dapat diramalkan (predictable). Dari model tulisan, argumen yang diajukan, data-data yang dikedepankan tulisan jurnal  ini dapat mencakup keseluruhan syarat positivisme. Kesimpulan yang dihasilkannyapun tidak akan jauh dari prediksi yang dikedepankan, hasil-hasil observasi yang dilakukan dalam bentuk data-data hasil survey, biasanya dengan pertanyaan tertutup (kuesioner) dan model pengujian dengan menguji teori (theory purification[2] ) yang dikemukakan penulis di atas, bisa dijadikan dasar bahwa penulisan ini menggunakan pendekatan positivisme.

Argumentasi yang yang dijadikan basis kekuatan tulisan ini adalah data-data hasil survey. Positivist cenderung menggunakan surving dengan kuesioner atau angket dalam mengeksplorasi data. Dalam tradisi positivisme model mendapatkan data seperti ini sangat efektif sebagai upaya untuk menguji hipotesis sehingga dihasilkan kesimpulan yang terukur. Kelemahannya model seperti ini memang tidak terlalu mendalami objek yang diteliti secara langsung, karena memang model ini tidak mengharuskan seperti yang dilakukan dalam model indept interview atau partisipatif dalam metode etnografi yang mensyaratkan hal itu.

Positivisme juga memiliki kecenderungan kajian pada hubungan kausalitas yang menetap diantara fenomena sosial, sehingga mengembangkan ekplanasi dan prediksi [3] berdasarkan dari datum-datum yang terukur dan sistematis. Bangunan teori dalam tulisan ini adalah adanya hubungan antara mesin parpol dengan kemenangan pasangan calon. Namun, mesin pasti akan efektif, jika partai politik mampu mengenalkan calonnya pada konstituen dan juga dapat dengan tepat memilih calon yang diterima semua kalangan konstituen. Kesimpulannya jika hal itu bisa dilakukan, pasti calon dari partai besar bisa menang dalam pemilihan. Faktor-faktor lain dalam tulisan ini sengaja diabaikan dan pengabaian ini didasarkan pada fakta empirik dari hasil kuesioner.

Kelemahan dalam setiap pendekatan dalam metodologi ilmu politik pasti akan selalu ada, termasuk pendekatan positivisme. Seperti misalnya, dalam positivisme sesuatu dapat dikaji, kalau dapat diramalkan, padahal tidak semua gejala sosial politik bisa diramalkan, bahkan mungkin di luar dugaan, seperti semisal kemenangan Abdul Madjdi di NTB, positivisme hanya mampu menjelaskan sampai Madjdi menang dikarenakan dia dikenal dan disukai, tanpa tau kenapa dia disukai, dikenal, dan mengapa dia sangat berpengaruh sampai mengalahkan kharisma Lalu Serinata, tokoh politik kawakan, yang juga Gubernur NTB sebelumnya. Terima kasih, Wallohua’lam Bisshowab.. (Subhan Agung).


[1] Tulisan ini merupakan review terhadap artikel yang berjudul "Mesin Partai dalam Pilkada, Kasus Pilkada Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat, artikel Kajian Bulanan Lingkaran Survey Indonesia Edisi 15-Juli 2008 ditulis oleh Eriyanto/Sukanta) [2]Theory peripication merupakan salah satu ciri dalam pendekatan positivisme, di mana modelnya empirisme mendekati taget dengan menggunakan testing teori.
[3]Lihat dalam Theory and Methods in Political Science, ed David Marsh dan Gerry Stoker (2002), hal.20

21 komentar:

  1. hmm, tidak ada yang pasti memang~
    cukup kritis juga nih

    ReplyDelete
  2. Terima kasih mbk Cahaya atas kunjungannya..Salam

    ReplyDelete
  3. klw urusan ginian ane kurang mengerti gan hehe....

    tanhk's dah share nambah ilmu nih

    ReplyDelete
  4. Kenapa indonesia terlalu banyak partai ? apa banyak partai indonesia bisa maju seperti negara kecil, apakah rakyat akan makmur? uups so tau gitu gw... hehehehee

    ReplyDelete
  5. waow berbicara tentang politik,,, pasti berkaitan dengan uang.

    ReplyDelete
  6. wahh sebagai warga jateng tertarik sekali nihh sama infonya bang. . .

    saya simak lebih lanjut bang. . .

    ReplyDelete
  7. pilkada harus jujur dan adil untuk kemakmurat rakyat kita...setuju...!!!

    ReplyDelete
  8. Figur hanya beberapa persen menentukan kemenangan,baik pilpres pilkada dan yang lainnya...selebihnya adalah UANG yang bermain,ini terjadi didaerah Banten, mungkin juga terjadi di daerah lain di Indonesia....sebuah PR buat kita semua agar masyarakat Indonesia melek politik...salam kenal ya kang...:)

    ReplyDelete
  9. pribadi yang kurang di kenal cenderung rakyat tidak bisa menilai.
    karena rata2 orang yang sudah di kenal terlalu banyak sisi negatifnya di mata rakyat,,,

    ReplyDelete
  10. Memang persoalan perilaku politik masyarakat sangat sulit ditebak dan tidak mudah digeneralkan..

    ReplyDelete
  11. yang pentinng,, para wakil rakyat yang menanng itu bisa membawa amanah yang benar, tidak hanya memntingkan kepentingan pribadi,,

    ReplyDelete
  12. @ Lintang, Amin ya Rabbal 'alamin..Semoga ada perbaikan..Terima kasih kunjungannya semua..

    ReplyDelete
  13. Parpol memang hanya dijadikan pemuas nafsu para elitnya saja. Jadi tidak bisa mencirikan kepentingan masyarakat..

    ReplyDelete
  14. Nice post gan..Selamat dan tetap semangat ya..

    ReplyDelete
  15. Salam kenal gan..Blog yang bagus..Terima kasih n jangan lupa mampir ke tempatku ya..

    ReplyDelete
  16. Sulit menebak politik dari sudut pandang perilaku politik seseorang..Salam kenal gan..tulisannya sangat menarik dan menambah informasi serta pengetahuan..TERIMAKASIH.

    ReplyDelete
  17. thanks gan sudah berbagi infonya..........

    ReplyDelete
  18. Makasih nih ilmunya sangat bermanfaat sekali...

    ReplyDelete
  19. persoalan perilaku politik masyarakat sangat sulit ditebak dan tidak mudah digeneralkan, karena setiap pribadi itu tertarik pada dirinya sendiri

    ReplyDelete