Kepemimpinan Politik Adat Kampung Naga

Oleh : Subhan Agung[2]

Pembahasan mengenai kepemimpinan politik adat Naga dalam tulisan ini akan diuraikan dalam dua pembahasan, yakni : pertama, pembahasan tentang cara dan proses masyarakat adat Naga menunjuk pemimpin, terbentuknya pengaruh serta pertanggungjawaban pemimpin atas tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Kedua, kajian tentang peran yang dimainkan pemimpin-pemimpin di kampung adat Naga, pembagian peran dan model relasi kuasa dengan pemimpin lainnya termasuk dengan pemimpin formal di sekitar mereka.

Pola Penunjukkan Pemimpin
Seperti di kampung adat lainnya yang mengenal sistem kepemimpinan kuncen dan ketua adat, di kampung adat Naga juga adanya pemimpin yang mengatur pola kehidupan di berbagai bidang. Namun ada yang khas di kampung adat Naga dalam hal jenis-jenis pemimpin dan peran yang dimainkan di masyarakat adat. Dari wawancara tanggal 15 Oktober 2010, informan Ade Suherlin (kuncen) menjelaskan bahwa selain mengenal pemimpin formal, kuncen atau ketua adat (pupuhu adat), di kampung Naga juga dikenal kepemimpinan punduh dan lebe. Ketiga kepimpin inilah yang bekerja sama sauyunan mengelola kehidupan keadatan dari mulai kehidupan kemasyarakatan, budaya sampai religi (keagamaan). Ketiga pemimpin tersebut masuk dalam struktur kepemimpinan adat.

Jika dibandingkan dengan kampung Kuta di Ciamis Jawa Barat, jenis-jenis pemimpin yang muncul di kampung Naga lebih sederhana karena tidak tidak terlalu banyak pemimpin dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Pemimpin-pemimpin tersebut adalah kuncen, punduh dan lebe. Ketiganya memiliki peran yang saling terkait walaupun memiliki porsi peran yang khusus sendiri-sendiri.

Secara simplikatif, kuncen berwenang mengatur keseluruhan pola perilaku keadatan yang sesuai dengan aturan (tetekon) yang sudah berjalan sebelumnya di Kampung Naga. Sedangkan punduh mengatur laku lampah masyarakat dalam kehidupan kemasyarakatan dan mengkoordinasi menjaga ketertiban kampung adat. Adapun lebe mengatur persoalan keagamaan di masyarakat Naga, semisal ritual-ritual yang terkait dengan ajaran Islam, upacara pernikahan, upacara kematian, maulidan dan lain sebagainya.

Pemimpin Kampung Naga jika dilihatnya sejak awal berdirinya dipastikan sudah berjalan ribuan tahun yang lampau. Pemimpin yang dimaksudkan adalah kuncen yang sejak awal kampung Naga berdiri. Tentunya akan sangat menarik dikaji jikalau runtutan tokoh kuncen kampung Naga dari berdiri sampai saat ini bisa digambarkan secara jelas berdasarkan sumber sejarah yang valid. Namun yang sangat disayangkan runtutan alur kuncen-kuncen yang pernah memimpin kampung Naga sulit ditelusuri karena kehilangan bukti sejarah yang otentik, terutama sejak penyerangan DI/TII di tahun 1956 seperti yang pernah dijelaskan di bab sebelumnya. Namun juga apakah lebe dan juga punduh sudah dikenal sejak awal berdirinya kampung Naga, tidak ada jawaban pasti, yang jelas sejak tahun 50-an kedua institusi pemimpin tersebut sudah muncul. Yang pasti adalah kuncen yang dianggap sejak munculnya kampung Naga sudah eksis memainkan peranan mengatur kehidupan keadatan.

Hal ini tentunya berbeda dengan sejarah kuncen-kuncen yang pernah memimpin kampung Kuta di Ciamis yang jelas atau cukup gamblang sejarah urutan kuncen-kuncen yang pernah memimpin di sana dari mulai berdiri sampai saat ini. Walaupun juga bagaimana pergeseran perannya kurang bisa ditelurusi dan perlu penelitian lanjutan.

Mengenai penunjukkan pemimpin-pemimpin yang disebutkan di atas, kuncen ditunjuk berdasarkan keturunan dari kuncen-kuncen sebelumnya. Keturunan tersebut haruslah seorang laki-laki (anak atau cucu laki-laki). Jika kuncen tidak memiliki anak laki-laki, maka yang berhak menjadi kuncen adalah adik, paman atau saudara dekat lainnya yang laki-laki. jika masih belum ada, adalah anak laki-laki dari saudara jauh yang masih memiliki garis keturunan dengan kuncen. Proses penentuan dan penetapan (pensahan) kuncen dilakukan dalam sidang patemon adat di Balai Patemon (balai pertemuan) Adat yang dipimpin oleh punduh  atau sesepuh kampung Naga lainnya yang dipercaya masyarakat.

Kuncen dianggap habis masa jabatannya ketika yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam hal kuncen belum meninggal, tetapi sudah tidak bisa menjalankan peran dan fungsi yang sudah menjadi amanah dari leluhur dan masyarakat, maka segala peran dan fungsi dijalankan oleh orang yangberhak menjadi kuncen sesuai ketentuan di atas. Namun jika yang bersangkutan masih belum dewasa atau merasa belum sanggup maka untuk sementara dipegang oleh orang yang dipercaya dan ditunjuk kuncen atau masyarakat sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Untuk selanjutnya ketetapan di atas yang berlaku dalam menentukan siapa yang akan menggantikannya.

Dari penyampaian hasil wawancara dengan kuncen kampung Naga, ada beberapa mekanisme yang selama ini terjadi dan menjadi tradisi di kampung Adat Naga seputar penunjukkan kuncen, yakni: pertama, kuncen ditunjuk atas dasar keturunan dari kuncen-kuncen kampung Naga sebelumnya. Kedua, yang berhak menjadi kuncen selain harus keturunan juga harus berjenis kelamin laki-laki, selain itu tidak bisa dan selalu ditepati oleh masyarakat Naga. Ketiga, jika kuncen sebelumnya tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki maka jabatan diserahkan kepada saudara laki-laki kuncen, jika masih tidak ada diberikan pada anak laki-laki dari saudara kuncen, kalau masih tidak ada jabatan diberikan pada saudara jauh kuncen yang masih ada hubungan darah ataupun anak laki-laki dari saudara jauh tersebut.

Dari model penunjukkan di atas, tercatat dalam sejarah sepengetahuan kuncen saat ini bahwa belum pernah kuncen kampung Naga sebelumnya tidak memiliki anak atau cucu laki-laki. Selalu saja kalau tidak memiliki anak laki-laki, pasti ada cucu laki-laki. Jadi ketentuan-ketentuan yang tersebut di atas tidak pernah diimplementasikan semuanya, dikarenakan ketentuan yang paling utama telah tercukupi. Namun model lain yang sering terjadi adalah orang yang berhak menjadi ahli waris kuncen masih kecil atau tokoh tersebut merasa belum mampu sehingga untuk sementara kewenangan kuncen dipegang oleh orang yang dipercaya masyarakat untuk memerankan peran dan fungsi kuncen. Model tersebut pernah terjadi di awal-awal kuncen Ade Suherlin memimpin kampung Naga. Saat itu bapak Ade Suherlin merasa belum mampu memimpin kampung Naga, walaupun usianya sudah sangat dewasa atau sekitar 30-an tahun lebih. Oleh kaena ituah peranan kuncen dipegang dahulu oleh Bapak Hen-Hen yang saat ini berperan sebagai wakil kuncen.

Jika kita melihat model di atas, jelas terlihat seolah-olah kampung Naga dipimpin oleh kuncen seorang. Hal ini karena kuncenlah yang dianggap sebagai pendiri, bahkan dipercaya titisan para leluhur mereka. Dominasi kuncen sebagai tokoh panutan di segala bidang kehidupan di kampung Naga ini unik bahkan lebih dominan dibandingkan jabatan kuncen di kampung Kuta, Ciamis, Jawa Barat. Kuncen di kampung Kuta dominasinya hanya terbatas di hutan keramat. Sedangkan untuk mengurusi kehidupan keadatan di luar hutan keramat didominasi oleh sesepuh lembur[3].

Dari dominannya peran yang dimainkan kuncen, semuanya bermuara kuatnya pengaruh kuncen sebagai institusi pengelola keadatan di kampung Naga. Sebagai salah satu pemimpin di kampung Naga yang sangat disegani selama ini dalam mempertahankan kekuasaan dan kewibawaannya di depan masyarakat dan juga pemimpin lainnya. Mekanisme yang berlaku tersebut kalau dikaji lebih lanjut berlaku karena kebiasaan yang dimungkinkan dahulunya bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan dan pengaruh adat kuncen. Satu-satunya kekuatan yang bisa dijadikan sebagai sumber daya yang efektif dalam membuat masyarakat dan pemimpin lainnya percaya dan mengikuti keinginannya adalah seolah-olah kehendaknya adalah kehendak leluhur dan harus diikuti. Dalam kepemimpinan model ini bargaining-position masyarakat untuk mengontrol pemimpin sangat lemah. Semuanya tergantung pemimpin atau kuncen, jika kuncennya sewenang-sewenang tentu saja kampung Naga akan berjalan kacau, jika kuncennya bijaksana dalam memimpin tentunya kampung Naga akan makmur sejahtera.

Inilah keunikannya sistem yang berlaku dalam kearifan lokal kita. Secara sistem kepemimpinan dikampung Naga, bahkan juga dikampung adat lainnya memiliki potensi kesewenang-wenangan pemimpinnya dalam memainkan peran. Namun berdasarkan penuturan salah satu informan (Wakil ketua adat), belum pernah ada di kampung Naga ada pemimpin, termasuk kuncen yang berlaku sewenang-wenang. Semuanya memimpin dengan bijaksana dan arif. Menurut kepercayaan mereka, tidak mungkin leluhur mereka memberikan orang yang salah di kampungnya. Pastilah orang yang arif bijaksana. Hal ini dalam alam pikiran rasional jelas sulitlah diterima. Namun menarik bahkan menjadi contoh nyata bahwa tidak selamanya struktur mempengaruhi aktor politik, jika aktor politik tersebut memiliki konsistensi, perangai, moral dan perilaku yang baik tentunya sejelek apapun sistemnya kesewenang-wenangan dapat diminimalisir.

Pemimpin lainnya yang ada di kampung adat Naga adalah punduh. Seperti yang sudah disampaikan di atas, punduh merupakan salah satu pemimpin dalam sistem kepemimpinan adat Naga yang memiliki wewenang dalam menjaga ketertiban, kemananan dan mengatur sosial-kemasyarakatan kampung Naga diluar ritual-ritual utama masyarakat Naga. Tidak jelas kapan munculnya institusi pemimpin adat ini. Dari beberapa informan diperkirakan sejak tahun 50-an institusi ini ada untuk merespon tuntutan adanya pemerintahan formal. Punduh ini dijadikan sebagai figur yang bertanggung jawab dalam seluruh urusan yang bersangkut paut dengan sosial kemasyarakatan, semisal gotong royong masyarakat Naga, menyelesaikan perpindahan penduduk ke tempat lain dengan bekerja sama pemimpin formal semisal RT/RW atau Kepala Dusun.

Punduh ditunjuk lewat keturunan yang hampir mirip dengan kuncen. Penentuan pensahan punduh dilakukan dalam forum musyawarah adat yang dipimpin kuncen dan dihadiri oleh semua pemimpin, baik formal (kepala dusun, RW dan RT-RT), maupun pemimpin adat (kuncen, wakil kuncen, lebe dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya). Selain itu juga tidak jarang dihadiri oleh perwakilan pemerintah daerah kabupaten dan desa.

Dari catatan di atas, syarat untuk menjadi punduh  ternyata sama dengan kuncen harus ada pertalian darah dengan punduh sebelumnya dan harus laki-laki, ketentuan lainnya hampir sama dengan proses pemilihan kuncen. Punduh sebenarnya nama yang tidak asing di daerah Jawa Barat. Tapi dalam job discription di setiap daerah biasanya variatif. Di Tasikmalaya pada umunya punduh sebenarnya sebutan untuk kepala dusun atau nama lain dari Kadus. Jadi seperti di tempat peneliti sendiri (daerah Tasikmalaya sebelah Barat) punduh merupakan nama kepala kampung sebagai bagian dari aparat pemerintahan desa, dan biasanya di beberapa kampung dipilih secara langsung oleh masyarakat. Namun, di kampung Naga punduh merupakan jabatan keadatan yang berperan mengurusi kehidupan sosial-kemasyarakatan yang bekerja sama dengan kuncen dan pemerintahan formal lainnya semisal kepala dusun dan RT/RW. Jadi kepala dusun juga ada di kampung Naga, namun terpisah dan berbeda dengan punduh.

Punduh selain menjaga ketertiban juga biasanya bekerja sama dengan kuncen dalam pelestarian keadatan, terutama dalam pelestarian bentuk bangunan rumah. Tercatat tokoh ini memiliki keahlian dalam menghasilkan bahan-bahan pembuatan rumah. Sehingga karena kemampuannya inilah beliau penjadi konseptor bangunan-bangunan di kampung Naga.

Selain kuncen dan punduh, juga ada pemimpin yang juga berwibawa di kampung Naga, yakni lebe. Tokoh ini memiliki peran mengurusi semua hal yang berkaitan dengan keagamaan (religi) di kampung Naga, semisal memimpin upacara pernikahan, khitanan, upacara kematian dan lain sebagainya. Dikarenakan kampung Naga seluruhnya beragama Islam, maka kuncen pun biasanya berilmu agama Islam tinggi.

Mekanisme pemilihan lebe di kampung Naga sama dengan penunjukkan kuncen dan punduh, yakni ditunjuk dengan model keturunan dan harus laki-laki. Tidak terlalu banyak perbedaan dengan model penunjukkan kuncen dan punduh. Lebe yang saat ini memimpin kampung Naga adalah bapak Ateng.

Peran Antar Pemimpin Adat  
Walaupun tidak sekompleks jenis-jenis pemimpin yang ada di kampung Naga, model pembagian peran pemimpin di kampung Naga relatif rigid, bahkan muncul perwakilan-perwakilan di jenis-jenis pemimpin tersebut, jikalau pemimpin yang dimaksud sedang sibuk atau berhalangan. Perwakilan-perwakila tersebut dibuat dalam format guide (penunjuk) bagi para tamu yang datang ke kampung Naga. Diantara mereka ada sejenis kesepakatan wilayah garap masing-masing pemimpin (job discription).

Dengan adanya batasan “lahan garap” tersebut masing-masing pemimpin merasa tidak berhak mencampuri urusan yang bukan perannya. Namun dikarenakan wilayah garap tersebut antara satu dengan yang lainnya ada keterkaitan, maka mereka berkoordinasi dan bekerja sama dengan pemimpin lainnya, termasuk juga dengan pemerintah formal semisal kepala dusun. Dalam proses tersebutlah relasi kuasa antar pemimpin terbentuk disadari ataupun tidak, baik dalam konteks pembentukan bargaining position antar pemimpin, ataupun perebutan pengaruh mereka di mata masyarakat Naga dalam lingkup peran-peran adat yang dimilikinya.

Pembagian peran yang berlaku di kampung adat Naga tersebut terkesan sangat dipatuhi sekali. Hal ini dikarenakan ketakutan dari masing-masing pemimpin akan siksa (sanksi) dari karuhun dan pegangan Islam yang dilarang menyelesaikan urusan oleh yang bukan ahlinya. Sebagai contoh kasus, ketika kami pertama kali datang ke kampung Naga, pihak (otoritas) yang pertama kali menerima adalah kuncen. Hal ini dikarenakan kepentingan kami adalah penelitian tentang keadatan, mereka menganggap kuncenlah yang memiliki otoritas untuk memberikan penjelasan tentang semua itu.. Kami disuruh menunggu beliau di Bale Patemon (balai pertemuan), namun dikarenakan beliau sedang sibuk maka kami dilayani oleh sejenis wakil kuncen (orang yang berwisata biasa menamakannya guide), tapi mereka sebenarnya mewakili kuncen dan langsung diangkat kuncen untuk melayani tamu yang membutuhkan penjelasan tentang keadatan. Mungkin bisa dikatakan juga sebagai extra-ordinary dalam model kepemimpinan presiden SBY saat ini yang mengenal cukup banyak staf ahli dan juru bicara. Cukup lama kami mewawancari sang guide tersebut untuk kemudian kami bisa bertemu langsung dengan beliau dan melakukan wawancara.

Posisi kuncen di kampung Naga adalah posisi yang sangat luar biasa. Dikatakan luar biasa dikarenakan di dalam jabatan kuncen ini mengandung berbagai macam pesan yakni : pertama, kuncen ditunjuk berdasarkan keturunan atau saudara yang masih berdekatan atau masih ada hubungan darah dengan kuncen-kuncen sebelumnya. Hal ini dikarenakan masyarakat Naga mempercayai leluhur mereka memberikan keperayaan pada orang “hebat’ yang sejak awal memimpin kampung Naga. Orang ‘hebat’ itulah yang sejak dahulu kala disebut kuncen.

Menurut pandangan masyarakat Naga, jika masyarakat menginginkan hidup yang tentram dan aman, maka Naga harus dipimpin oleh orang yang tepat yakni sesepuh yang mereka namakan kuncen. Oleh karena itulah jabatan kuncen juga memiliki dimensi mistis, sehingga sangat dipatuhi oleh masyarakat Naga. Kuncen dianggap penjelmaan dari leluhur nenek moyang mereka. Kedua, kuncen memerankan peran yang sangat sentral dalam masyarakat adat Naga. Bahkan dapat dikatakan kuncen inilah yang menjadi leader dalam menjaga adat istiadat masyarakat Naga dapat lestari hingga saat ini. Kuncen yang selalu mengingatkan mana yang tidak dan boleh ataupun harus dilakukan oleh masyarakat Naga.

Dari peran yang dimainkannya itulah kuncen kemudian cenderung dominan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan masyarakat Naga dibanding 2 institusi kepemimpinan adat lainnya semisal punduh dan lebe apalalagi kepemimpinan formal. Kepemimpinan formal jika diperhatikan dengan seksama fungsinya hanya formalitas saja, peran-peran meraka banyak dimainkan kuncen dan punduh. Peran kepala dusun dan RT hanya terlihat dalam hal-hal yang menyangkut prosedural, yang sifatnya tentatif dan jarang terjadi semisal bantuan raskin dari pemerintah, pendataan penduduk dalam mengikuti Pemilu atau Pilkada dan lainnya. Tentu saja kedominanan kuncen tersebut tidak bermaksud mengesampingkan peranan dua tokoh lainnya yang juga memainkan peranan yang vital, dan kuncen bekerja sama dengan tokoh-tokoh pengatur pranata di kampung Naga ini.

Selain itu juga ketua adat atau yang biasa disebut kuncen, merupakan tokoh yang bertanggung jawab dalam urusan budaya tradisional. Tokoh ini rumahnya kedua tepat di bawah balai desa, di kampung Naga kita akan menjumpai aspek-aspek budaya sunda yang lama masih terjaga karena dilestarikan di Kampung Naga. Kuncen menjadi leader dalam berbagai ritual, terutama yang utama seperti prosesi bulanan takjiah ke kuburan desa, yang dianggap pendiri kampung Naga, Sembah Dalem Singaparna yang terletak di puncak bukit sebelah Barat. Tradisi lain adalah festival disebut Pedaran sejarah atau lebih tepatnya cerita perjuangan nenek moyang yang mendirikan kampung ini oleh mereka, kegiatan ini diadakan setiap tahun selama bulan Maulud (bulan penanggalan Islam di mana Nabi Muhammad lahir). Pada tanggal 12 Mulud, masyarakat Naga melakukan ritual membersihkan senjata dan pusaka leluhur.

Sedemikian penting dan vitalnya peran kuncen, sehingga kuncen dianggap orang yang suci, bijaksana, berperangai dan berakhlak baik yang jauh dari nafsu duniawi. Hal ini penting, dikarenakan jika kuncen adalah orang yang kurang baik dan tidak bijak, bisa berbahaya, dikarenakan dalam menjalankan fungsinya, dikhawatirkan nafsu dan kehendak pribadi yang “berbicara”, bukan amanah dari karuhun sebenarnya yang dijunjung tinggi. Oleh karena itu, jabatan ini dalam adat kampung Naga merupakan jabatan legendaris, artinya orang yang secara tidak langsung dipilih oleh karuhun lewat keturunan kuncen sebelumnya untuk mengurusi adat istiadat di kampung Naga. 

Peran vital kuncen terdapat pada pelaksanaan enam  ritual upacara hajat sasih terpenting yang menjadi ciri khas kampung Naga, syawalan, mauludan, rajaban, ‘idul adha dan  Selain bertanggung jawab menentukan waktu pelaksanaan upacara-upacara di atas, sesepuh lembur juga berkewajiban mengawal dan memimpin keseluruhan rangkaian upacara adat tersebut.

Dalam mendirikan rumah, kuncen dan punduh berhak mengingatkan pada pihak pendiri rumah tersebut bahwa ada adat istiadat yang harus ditepati yakni rumah harus berupa rumah panggung yang memiliki tatakan (penahan) yang terbuat dari batu berbentuk persegi panjang atau sebagian ada yang segi lima mirip kerucut yang atasnya tumpul. Jadi dibawahnya terdapat kolong. Atap harus terbuat dari bahan-bahan alami pepohonan semisal rumbia, inyuk (ijuk). Bentuk atap harus rendah berbentuk trapesium dengan dinding terbuat dari bahan-bahan pepohonan semisal bilik (anyaman irisan bambu). Tiang penyangga dari kayu, boleh juga dari bambu, jendela boleh dari kaca, lebih baik lagi dari kayu keseluruhan (janela gebyong). Di depannya ada golodog (sejenis tempat duduk di depan pintu rumah sebelah depan), namun juga bisa digunakan sebagai tangga masuk ke rumah. Pola bagian dalam rumah harus pintu depan, ruang tamu yang searah dengan kamar tamu, kamar keluarga dan kamar belakang. Langsung ke belakang adalah dapur dan pintu belakang. Semua pola rumah harus seperti itu dan punduh berkewajiban menegakkan aturan adat tersebut dan mengawal proses pendiriannya supaya tidak menyimpang dari aturan.

Dengan peran dan kewenangan yang strategis dalam menangani persoalan kemasyarakatan yang bersangkut paut dengan pendirian rumah, maka menjadikan punduh ini memiliki pengaruh yang besar di masyarakat Naga, bahkan di samping pemimpin-pemimpin lainnya, walaupun tidak sehebat kuncen. Apapun yang menjadi ketetapan, baik tingkah laku maupun ucapan akan senantiasa diikuti oleh masyarakat Naga. Status tersebutlah yang menjadikan punduh cukup dominan di kampung Kuta dan sekaligus juga rawan dipolitisasi oleh kepentingan pribadi. Semisal merasa diri yang paling berhak dalam membangun dan sekaligus menjadi tukang dalam memperbaiki atau membangun rumah di kampung Naga. Motif kepentingan pribadi bisa saja muncul.

Saat ini punduh memang menjadi yang terdepan dalam persoalan perbaikan rumah atau membangun rumah baru kalau diizinkan kuncen sekaligus menjadi tukang utamanya dan tentunya mendapatkan upah dari semua proses tersebut. Pekerjaan ini sah-sah saja sebenarnya karena dari perannya sebagai punduh yang bersinggungan dengan persoalan membangun rumah, tanpa disadari beliaupun memiliki keahlian sebagai tukang dan sering dipakai masyarakat Naga dalam persoalan ini. Dari keahlian, kemampuan dan perannya selama ini tokoh pemimpin ini cukup disegani dan berwibawa di masyarakat kampung Naga.

Dalam menjalankan semua peran yang menjadi kewajibannya lebe berkoordinasi dengan pemimpin lainnya di kampung Naga yang memiliki peran beririsan dengan tanggung jawabnya. Salah satunya berkoordinasi dengan pemuka agama (Islam) dalam Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM). DKM yang posisinya langsung di bawah Kepala Dusun berkewajiban mengurusi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan upaya memakmurkan mesjid dan terkait dengan ritual syariat Islam.

Lebe seperti sudah dijelaskan dalam pembahasan di depan tentunya mengurusi semua hal yang berkaitan dengan religi masyarakat Naga dan salah satunya adalah ritual di mesjid. Walaupun tidak sekuat kuncen, posisi lebe tentu sangat terkemuka di masyarakat Naga. Tokoh ini tidak sembanrangan karena selain ditunjuk berdasarkan keturunan, juga menguasai keilmuan agama Islam yang mantap.

Dari uraian di atas, terlihat kepemimpinan kuncenlah yang mendominasi relasi kuasa antar pemimpin di kampung Naga ini. kekuatan kuncen terletak tersebut pada kewenangannya yang dianggap titisan roh-roh leluhur oleh masyarakat. Masyarakat sangat ketakutan jika melanggar dan melawan kehendak dari tokoh ini. Namun, dalam sudut pandang relasi kuasa hal ini dapat juga dijadikan sebagai upaya legitimasi kuncen-kuncen sebelumnya sebagai institusi untuk melanggengkan kekuasaannya dibanding pihak dan pemimpin-pemimpin lainnya yang ada di kampung Naga. Mekanisme ini sangat efektif dan terbukti diikuti lebih dari apapun, bahkan  dalam model kekuasaan lingkup negara sekalipun. Mereka tidak takut pada hukum negara, yang mereka takuti justru adalah hukuman Tuhan melalui perantara dari sang leluhur kampung Naga yang dipercaya memberikan kekuasaannya lewat eksistensi kepemimpinan kuncen. (Subhan Agung, 22 Mei 2011).


[1] Tulisan ini merupakan esensi hasil wawancara penulis dengan kuncen kampung Naga, Wakil kuncen, punduh, dan lebe kampung Naga, pada tanggal 18 April 2011.
[2] Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.
[3] Tulisan  tentang ini dimuat dalam Jurnal Aliansi tahun 2011 dalam Subhan Agung, Kepemimpinan Politik di Kampung Adat Kuta, Jurnal Aliansi, Universitas  Siliwangi, Tasikmalaya

5 komentar:

  1. sebuah adat atau tradisi budaya daerah memang harus tetap dilestarikan gan

    ReplyDelete
  2. @ Mas War, Terima kasih kunjungannya mas War.. Betul sekali kearifan lokal perlu kita lestarikan untuk diambil pelajaran di masa sekarang. Saya sedang concern menggali kearifan-kearifan tersebut, terutama di Jawa Barat, sebelum nanti merambah ke daerah lainnya.

    ReplyDelete
  3. Sekarang dah mulai luntur lama2 adat budaya tradisional,soal'a anak muda jaman sekarang dah mulai meninggalkan'a secara perlahan

    ReplyDelete
  4. @ Restoran Jepang, iya betul harus ada panglima nya anak muda yang mau melestarikan kearifan-kearifan lokal tersebut..dan tentunya diambil pelajaran di sosial-kemasyarakatan saat ini. Terima Kasih kunjungannya Gan...

    ReplyDelete
  5. Mungkin para pemimpin kita harus banyak belajar dari karifan sikap dan kepribadian para pemimpin suku adat.

    Ditunggu kunjungan baliknya

    ReplyDelete