Budaya Enggan Berbagi dan Pelanggengan Kemiskinan

Oleh :  Prof. DR. H. Imam Suprayogo[1]


Jika lebih dicermati, maka sebenarnya Indonesia ini bukan negara miskin, melainkan lebih tepat disebut sebagai negara yang secara ekonomis belum merata. Kesenjangan itu di mana-mana terjadi dan jarak antara yang miskin dan mereka yang kaya, kadang sedemikian jauh. Sementara orang menguasai sumber-sumber ekonomi, sedangkan sebagian banyak lainnya tidak memiliki akses, sehingga kemudian mereka menjadi miskin.

Keadaan seperti itu, jika pemerintah tidak melakukan langkah-langkah strategis yang sekiranya dapat menanggulangi, atau setidak-tidaknya mengurangi ketimpangan itu, maka kesenjangan akan semakin jauh. Rakyat yang miskin dan tidak berdaya, sepanjang hidup akan hanya menyaksikan orang-orang kaya yang sehari-hari menikmati kekayaannya. Bahkan orang miskin dan lemah secara ekonomi itu akan tereksploitasi oleh orang kaya. Mereka yang miskin itu bekerja dengan gaji rendah hanya untuk kepentingan orang kaya.

Dominasi orang kaya semakin kuat oleh karena mereka juga tidak memiliki semangat berbagi, bahkan dalam memonopoli sumber-sumber ekonomi semakin luas. Secara sederhana, hal itu sangat mudah dilihat sehari-hari oleh siapa saja, di mana, dan kapan saja. Para pemilik modal mengembangkan usahanya tanpa peduli terhadap kehidupan orang kecil dan miskin. Celakanya lagi, kadangkala penguasa setempat, —–dengan berbagai alasan, justru berpihak dan atau membela orang-orang kuat itu.

Kita lihat banyak usaha kecil, di bidang apa saja telah disaingi oleh pengusaha besar, lalu akibatnya mereka segera mati. Para pemodal membangun pabrik-pabrik berukuran besar, dan menyusun jaringan kerjasama serta distribusi secara rapi, hingga tidak memungkinkan sembarang orang ikut ambil bagian mendapatkan keuntungan. Mereka yang kecil, karena tidak mampu bersaing, maka akhirnya akan tersisih atau bahkan mati.

Para pengusaha kecil tidak ditolong, tetapi justru sebaliknya, dimakan oleh pengusaha besar. Sebagai contoh sederhana, kehadiran toko-toko modern, semisal alfamart, indomart, carrefour hingga di wilayah-wilayah pinggiran kota, maka otomatis berakibat mematikan pedagang-pedagang tradisional. Pasar modern tersebut dengan mudah bisa mengkses barang secara langsung dari pabrik, sehingga bisa mendapatkan harga paling murah, sementara pedagang kecil atau tradisional tidak mungkin melakukan hal yang sama.

Akibatnya, pasar-pasar tradisional menjadi mati dengan sendirinya. Bahkan dengan alasan untuk memenuhi tuntutan keindahan kota dan lain-lain, pasar-pasar tradisional yang sebenarnya adalah sebagai mata pencaharian orang kecil juga sengaja digusur, dan kemudian diganti dengan pertokoan modern itu. Menghadapi kebijakan pemerintah seperti itu, pedagang kecil, karena keterbatasan modal dan tidak ada yang membela, maka harus mati atau tersingkir.

Apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat seperti itu adalah sebagai gambaran tumbuhnya budaya enggan untuk berbagi antar sesama. Sementara orang ingin menguasai sumber-sumber ekonomi secara tidak terbatas, sedangkan lainnya tidak mendapatkan bagian. Maka terjadilah kesenjangan itu. Masyarakat dalam keadaan seperti itu sebenarnya tidak sehat. Suasana sombong, congkak, takabur menjadi hal biasa, dan sebaliknya rasa rendah diri, terhina, dan seterusnya akan selalu terjadi. Kebersamaan antar sesama akan menjadi barang langka.

Islam mengajarkan tentang kebersamaan, berbagi, dan peduli atas sesama. Orang yang tidak peduli pada orang miskin dan anak yatim disebut sebagai telah mendustakan agama. Islam membolehkan ummatnya mendapatkan rizki sebanyak-banyaknya, tetapi tidak boleh hingga mengganggu dan apalagi mematikan pihak lain. Islam mengajarkan konsep berjama’ah, baik dalam kegiatan ritual maupun dalam kegiatan lainnya.

Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa sebagai petanda kesempurnaan iman seseorang, adalah manakala mereka sanggup mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Islam menganjurkan agar selalu peduli sesama, dan bukan malah membangun budaya enggan berbagi, sebagaimana hal itu telah terjadi di mana-mana. Wallahu a’lam.

Sumber Tulisan :
http://www.pkesinteraktif.com


[1] Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)  Maulana Malik Ibrahim Malang, judul dimodifikasi dari web site penerbit pertama tanpa menghilangkan esensi tulisan.

6 komentar:

  1. Kepada penulis mohon maaf tulisannya saya sebarkan kembali, karena esensi tulisannya bagus sekali sebagai stimulan diskusi mencaro solusi atas kemiskinan yang mendera sebagian besar penduduk kita...

    ReplyDelete
  2. om saya ijin kopas ya ? bagus nih ? saya bantu sebarkan informasi nya


    salam kenal

    www.klik-pantura.com

    ReplyDelete
  3. @Tiko terima kasih kunjungannya gan..Silakan saja..Terima kasih..

    ReplyDelete
  4. visit our website at www.hajarabis.com

    ReplyDelete
  5. @hajarhabis.. Terima Kasih sudah mampir..Ok, kapan-kapan mampir..

    ReplyDelete
  6. kunjugan perdana sobat...artikelnya menarik, semoga semakin banyak hati yang terbuka dengan membacanya sehingga budaya saling berbagi semakin tumbuh...seharusnya mereka yang kaya sadar kalau sewaktu-waktu apa yang ada pada mereka bisa hilang dalam sekejap...sadar juga kalau rejeki yang ada pada mereka saat ini, sebagian merupakan milik sesama kita yang kurang mampu yang "dititipkan" oleh Yang Maha Kuasa kepada mereka...maka bagikanlah apa yang menjadi milik mereka...
    Keep Piece to all :)

    ReplyDelete