Ritual dan Penguasa Hutan Keramat

Ritual dan Penguasa Hutan Keramat

Oleh :
Subhan Agung



Awal Cerita..

Tulisan ini saya buat sekitar pukul 2.09 dinihari, ketika saya terbangun dari tidur dan sekonyong-konyong rasa ngantuk saya hilang, akhirnya saya buka komputer dan terbersit dalam benak saya untuk menuliskan pengalaman penelitian dan sekalian “ziarah” ke hutan keramat Kuta. Suatu kampung adat sekitar 30-a km sebelah Timur Laut kota Ciamis. Kampung ini terkenal dalam referensi budaya, karena tercatat pernah menjadi pemenang Kalpataru di masa presiden Megawati menjabat.
Ritual di Leuweung Keramat bagi masyarakat Kuta adalah sejenis ‘ibadah yang diharuskan paling tidak satu bulan dua kali di hari Senin dan Jumat untuk meminta pertolongan dan restu leluhur untuk kebaikan kehidupannya. Proses ritual tersebut sengaja saya ikuti untuk mengetahui secara gamblang dan menambah pengalaman, tanpa harus terikat oleh percaya atau tidaknya, itung-itung sambil wisata dengan istri tercinta di waktu luang. 

Proses Ritual
Prosesnya saat itu pukul 10.00 saya diantar oleh bapak Raswan (salah seorang tokoh adat kepercayaan kuncen) masuk menuju hutan keramat. Sebelum saya masuk ada persyaratan yang harus diikuti yakni melengkapi persyaratan seperti kemenyan (rampe), minyak wangi, amplop, botol air mineral dan uang recehan secukupnya. Setelah siap semuanya saya dan istri berjalan menuju hutan dan ketika sampai di gerbang hutan diharuskan menanggalkan sandal yang dipakai, bawaan semisal tas, perhiasan. Larangan lainnya tidak boleh memakai pakaian dinas bekerja, baju warna hitam-hitam, tidak boleh mengganggu hewan, tidak boleh mengambil apapun dari hutan. Setelah segala larangan dan syarat diikuti saya, istri saya dan bapak Raswan terus berjalan menuju hutan. Ketika melewati sebatang pohon besar saya dan istri diharuskan mengucapkan punten (sejenis ucapan minta izin masuk rumah dalam bahasa Sunda) dengan disertai memperagakan seperti membuka pintu. Hal ini dikarenakan masyarakat Kuta meyakininya bahwa pohon tersebut merupakan pintu pertama masuk hutan keramat. Kami terus berjalan dengan suasana hutan yang gegap gempita oleh pepohonan besar berumur sekitar ratusan tahun dan kami sampai di suatu pohon besar dan diharuskan melakukan isyarat seperti di pohon pintu pertama tadi. Pohon itu di Kuta dianggap sebagai pintu kedua masuk hutan.
Setelah cukup lama berjalan tanpa alas kaki kami dan jalanan hutan yang becek –dikarenakan saat itu musim hujan—kami sampai pada suatu tempat yang berbentuk kolam kecil (babalongan) yang dari hulunya mengalir air jernih yang terlihat dasarnya dikarenakan kolam ini memiliki kedalaman dangkal. Di dasar kolam kecil tersebut terlihat banyak sekali uang recehan dan lamaran rupiah yang sudah mulai lapuk karena ada yang sudah lama di dalam air. Menurut bapak Raswan uang-uang tersebut merupakan uang-uang yang dilemparkan oleh para pengunjung sebagai kewajiban terhadap leluhur. Namun kami tidak langsung disuruh melempar uang di tempat ini, karena tempat ini merupakan tempat kedua melempar uang setelah di danau (kawah) nanti yang letaknya ada diujung sebelah Barat hutan.
Kami terus berjalan menyusuri hutan lebat yang terjal dan becek sekali dan akhirnya sampai di sebuah tempat agak luas. Di sana ada beberapa orang yang sedang melakukan ritual di pimpin oleh orang yang duduk paling depan dan berikat kepala (iket barangbang semplak) model Sunda. Orang yang pakai ikat tersebut ternyata adalah kuncen kampung Kuta yang sedang melayani pengunjung untuk ritual. Setelah rutual rombongan tersebut selesai kami disambut hangat oleh kuncen dan sempat berbincang-bincang untuk kemudian beliau menanyakan maksud dan tujuan kami berkunjung di hutan keramat. Setelah diketahui maksud dan tujuan kami, kuncen kemudian membaca mantra-mantra dan sejenis do’a-do’a pada leluhur supaya maksud dan tujuan kami tercapai. Dalam proses ritual ini syarat-syarat yang sebelum masuk hutan kami persiapkan mulai di minta satu persatu, dari mulai kemenyan yang dibakar, kemudian minyak wangi. Proses membaca mantra terus-menerus dilakukannya. Setelah selesai, kemudian kuncen memberikan kemenyan dan minyak wangi yang harus kami bawa ke rumah saat pulang nanti. Kuncen menjelaskan bahwa kemenyan tersebut harus di bakar di rumah dengan menyebutkan berbagai keinginan kita. Sedangkan minyak wangi dipakai setiap akan berangkat bekerja atau aktivitas apapun minimalnya satu kali sehari. Semua itu dilakukan untuk dijauhkan dari marabahaya dan selalu diberi kesuksesan. Setelah selesai ritual tersebut kami disadarkan dengan amplop yang tadi termasuk syarat sebelum masuk. Amplop tersebut kami isi uang alakadarnya dan di simpan di tumpukan ampop berisi –yang bisa dipastikan isinya uang—yang terletak di sisi samping kanan kuncen.
Setelah selesai dan berbincang alakadarnya dengan kuncen, kami melanjutkan perjalanan ditemani bapak Raswan yang merupakan kepercayaan kuncen menuju ujung sebelah Barat hutan di mana terdapat danau atau kawah yang cukup besar. Ditempat ini kami dipandu untuk melakukan ritual membersihkan badan dari berbagai sifat iri, dengki, sirik pidik jail kaniaya (sifat selalu ingin mencelakakan orang lain), dengan simbol mandi di sisi danau atau paling tidaknya membasuh muka, kedua tangan dan rambut. Dikarenakan tidak memungkinkan persediaan pakaian yang kami bawa, maka kami memutuskan hanya membasuh muka, kedua belah tangan dan membasahi rambut saja. Baru setelahnya kami menabur uang recehan dan lembaran ribuan yang sudah dipersiapkan sebelum masuk hutan tadi. Setelah selesai ritual ini kami balik arah ke jalan yang tadi dilewati dan tentunya melewati tempat ritual dengan kuncen tadi. Setelah mengucapkan amit (izin) lewat kepada kuncen kami terus berjalan menyusuri jalan serupa ketika berangkat tadi dan sampai di kolam kecil yang sudah disebutkan tadi. Dikolam ini kami melakukan ritual membasuh muka dan menabur uang (sawer) persis yang kami lakukan di danau tadi. Setelah kami selesai, pemandu pun melakukan seperti yang kami lakukan dan setelah melakukan ritual tersebut beliau memotong sejenis tumbuhan pakis berukuran cukup besar dan diberikan pada kami untuk ditempelkan di atas pintu rumah kami dengan fungsi sebagai tolak bala. Dikatakannya tumbuhan paku yang sengaja dipetik ini sudah diberi mantra dan tidak semua orang bisa mendapatkannya, hanya orang tertentu saja. Apalagi tumbuhan tersebut didapatkan di hutan keramat yang secara normal tidak boleh mengambil satu benda apapun dari hutan kecuali seizin karuhun.
Setelah itu kami berjalan menuju arah kampung Kuta dengan melakukan hal yang persis seperti masuk tadi ketika melewati dua pohon besar yang dipercaya sebagai pintu pertama dan kedua masuk hutan keramat. Setelah  melewati jalan yang terjal licin yang kiri kanan jalannya dipenuhi pepohonan yang menjulang tinggi sebesar perut kerbau dan melewati pesawahan dan menemukan para petani kampung Kuta sedang bekerja menebar padi. Tebar adalah sejenis proses menabur bibit padi, untuk nanti dipindahkan ke lahan yang sebenarnya jika sudah lumayan besar. Kami akhirnya sampai di posko peristirahatan dan menuju ke pusat kampung.

Kuasa Kuncen
Cerita di atas memberikan suatu feedback pengetahuan bagi kita tentang pengaruh salah satu pemimpin adat di kampung yang terpencil dari keramaian. Peran kuncen yang begitu besar dalam menjembatani masyarakat, baik kampung Kuta ataupun pengunjung lainnya di hutan keramat. Peran yang begitu besar di hutan keramat yang memiliki luas hampir separo kampung Kuta ini (kurang lebih 40 Ha) menjadikannya seolah-olah pemilik hutan keramat itu sendiri. Kesejahteraan ekonominya relatif baik dikarenakan penghasilan dari sumbangan, baik warga Kuta terutama di luar kampung Kuta cukup melimpah, terutama di hari-hari ritual (Senin dan Jum’at). Di hari tersebut tidak kurang dari 50 orang melakukan ritual dengan memberikan sumbangan kepada kuncen. Pengunjung berdatangan tidak hanya di sekitar Ciamis, tetapi Jawa Barat, bahkan dari seluruh Indonesia.
Peran kuncen yang tidak terbantahkan sebagai “penjaga” hutan keramat memberikan pengaruh yang besar dalam membentuk pola pikir masyarakat sekitar supaya melestarikan alam. Sampai sekarang masyarakat tidak ada yang berani mengambil hasil hutan apapun, dengan kuantitas berapapun di hutan keramat Leuweung Gede ini dikarenakan mereka takut pada hukuman dari leluhur kampung Kuta yang dipercaya hidup di hutan tersebut.
Pengaruh kuncen juga menahan semua peran pihak lainnya yang seharusnya bertanggung jawab semisal pemerintahan desa. Dari informasi salah seorang perangkat desa (Wastim, Sekdes) pemerintah desa pun tidak bisa berbuat banyak dengan peran dan pengaruh yang terbentuk dalam kepemimpinan adat ini. Sebagai contoh pemerintahan desa Karangpaningal memasukkan Leweung Gede tersebut masuk sebagai salah satu aset sumber pendapatan desa (APBDes), namun dilematis bagi pemerintahan desa karena aset tersebut sedikit pun tidak pernah mereka manfaatkan.
Pemerintah desa memang memaklumi akan pengaruh kuncen yang begitu besar dalam hutan keramat, sehingga tidak mempersoalkan hutan larangan di daerahnya untuk tidak dimanfaatkan, dikarenakan juga hutan keramat adalah hutan lindung milik adat. Namun secara psikologis tersirat dari informasi mereka, bahwa adanya ketakutan pengaruh yang berlebihan dari kuncen justru dikhawatirkan kuncen tidak murni lagi menjalankan amanah leluhur, namun lebih banyak menjadikan hutan keramat sebagai aset pribadi untuk mencukupi kepentingan pribadi. Pemerintah desa justru menginginkan tranparansi pemasukan hutan keramat dari pengunjung digunakan untuk kepentingan masyarakat adat secara keseluruhan, tidak hanya masuk ke kantong pribadi kuncen. Memang pungutan dari pihak adat sebenarnya sudah ada, yakni biaya masuk ke kampung adat dan biaya masuk ke hutan keramat. Namun biaya tersebut tidak seberapa jika dibandingkan sumbangan yang diberikan pada kuncen.
Di sisi lain kesulitannya bagi pemerintahan desa adalah karena pendapatan kuncen yang begitu besar sifatnya adalah sumbangan dari pengunjung dan sukarela maka sulit untuk dipersoalkan. Jalan satu-satunya adalah pihak perangkat adat (pupuhu adat dan perangkatnya) harus membuat sistem baru tarif masuk ke hutan larangan dengan aturan bahwa pembayaran hanya dilakukan di posko dan tidak ada pungutan lainnya. Namun hal inipun masih mengalami kesulitan dikarenakan pengelola adat (pupuhu adat dan peringkatnya) harus menaikkan tarif, padahal tidak ada larangan bagi siapapun untuk memberikan sumbangan. Yang dilakukan selama ini oleh pengunjung memberikan sumbangan pada kuncen adalah suka rela. Hal ini disebabkan pengaruh dan kewibawaan kuncen yang begitu besar di kampung adat Kuta ini (Subhan Agung).

Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi Subhan Agung.

2 komentar:

  1. Masih ada aja yach yang kaya gitu di jaman sekarang ni,,,????

    ReplyDelete
  2. Ya, sebagai pengetahuan bagi kita masih banyak masyarakat adat di Indonesia yang memiliki kebiasaan unik dan mungkin bagi kita aneh bahkan musyrik dalam pemahaman Islam.. Namun itulah realitasnya. Pemerintah juga harus memperlakukan mereka layaknya sebagai warga negara yang sama dengan kita. Banyak identitas yang selama ini tersembunyi dan jadi khazanah keilmuan tentang potret kehidupan masyarakat kita

    ReplyDelete