Opini : Mekanisme Perwakilan dan Komunikasi Kebijakan

Mekanisme Perwakilan dan Komunikasi Kebijakan

Oleh : 
Subhan Agung

Secara konseptual perwakilan dibagi ke dalam 2 yaitu : pertama, perwakilan dan mekanisme formal. Model ini sudah sangat lazim dalam pemerintahan negara-negara di dunia saat ini lewat parlemen atau sejenis DPR di Indonesia. Mekanismenya pun di setiap negara sudah sangat rigid dibuat dalam bentuk perundang-undangan dan setiap negara memiliki variasi tertentu dalam model mekanisme perwakilan formalnya. Kedua, perwakilan tidak formal dan tidak ada mekanisme yang secara jelas tertulis. Model kedua ini biasanya mendasarkan pada konsensus tertentu dan dalam pelaksanaannya sangat dinamis, tergantung kondisi sosial politik di suatu negara.
 Untuk mencontohkan model  perwakilan tidak formal misalnya keterwakilan golongan tertentu di kabinet hasil Pemilu 1955 di Indonesia, di mana hasilnya memunculkan 4 partai besar saat itu yakni PNI yang meraih 22% suara, Masyumi 20 %, NU 18 % dan PKI 16% suara. Departemen Dalam Negeri (DDN) dan Deplu menjadi jatah PNI. Sebagai partai penguasa PNI menempatkan representasi orang Jawa di DDN sedangkan di Deplu ditempatkan orang Sunda. Masyumi mendapat jatah Departemen Pendidikan dan Departemen Kesehatan dan biasanya dicap sebagai representasi Muhammadiyah di Kabinet. NU mendapat jatah Departemen Agama sedangkan PKI mendapat jatah Departemen Sosial. Disadari ataupun tidak, Pemilu pertama ini menjadi tonggak konsensus “seolah-olah” kelompok-kelompok tersebut diwakili di kabinet sampai saat ini, misalnya orang NU selalu ditempatkan sebagai Menteri Agama dan Muhammadiyah sebagai Menteri Pendidikan.
Dalam isu tentang representasi, terdapat unsur-unsur pokok yakni : (1) yang mewakili, (2), ang diwakili, (3) apa yang diwakili, (4) settingnya seperti apa. Dalam konsep perwakilan juga dikenal prosesnya ada perwakilan semua orang dan ada perwakilan hanya kelompok tertentu atau fragmentasi kelompok tertentu.
Terkait asal usul perwakilan seperti disebut di atas, ada yang disebut Demokrasi Mayoritarian dan Demokrasi Konsosiasional. Pertama, Model mayoritarian biasanya diberlakukan di hampir keseluruhan negara dunia terutama yang menganut model representasi satu mandat(parlementariat). Model ini berasumsi bahwa masyarakat plural dan beragam, sehingga harus mampu terepresentasi, maka dibentuklah partai, partai yang menang dalam persaingan adalah yang akan mengelola kebijakan dengan mutlak (the winner take all). Model ini pada banyak kasus dikritik karena cenderung melahirkan tirani mayoritas.  Kedua, Model Konsosiasional merupakan respon terhadap model mayoritarian yang cenderung tidak mampu ‘merangkul’ golongan-golongan lainnya. Model ini diaplikasikan di negara seperti Australia dan Swedia. Model ini berpendapat bahwa ada jumlah-jumlah dan perwakilan-perwakilan dalam anggota parlemen sesuai dengan sosio-kultural negara tersebut (representasi berdasarkan proporsi), Pemilu merupakan cara untuk menetapkan representasi proporsi. Kalah atau tidaknya partai tertentu tetap akan terepresentasi walau proporsinya beda dengan yang menang, Kritik terhadap model ini adalah melahirkan apa yang disebut tirani minoritas, hal ini terjadi keterwakilan ternyata tidak menyangkut keseluruhan dari semua konteks sosial-politik yang ada. (Subhan Agung, ditulis Senin, 16 Nov. 2009 diposting tanggal 9 Maret 2011)

1 komentar:

  1. Yadi Maryadi, SemarangMarch 11, 2011 at 1:31 AM

    Ok, gan jos banget artikelnya..

    ReplyDelete